KELOMPOK 2 - MALPRAKTIK OPERASI KATARAK BERUJUNG BUTA
source images : https://rejectassistedsuicide.org.nz
LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KASUS
MALPRAKTIK
“OPERASI KATARAK
BERUJUNG KEBUTAAN”
Disusun Oleh :
Florentina Aira S. (41170116)
Edward Kurniawan (41170121)
Ni Kadek Ayu Divia P. (41170131)
Dixie Bramantya S. (41170136)
Kezia Devina Deodatis (41170137)
Brian Ardya Indrajat (41170143)
Florival Jose (41170144)
Maxima Aditya P. (41170148)
Aloysius Gonzaga P.B. (41170164)
Setywanty Layuklinggi (41170171)
Antonius Adhymas P. (41170173)
Antonia Deta Anno Vida (41170177)
Ivon Widiastuti (41170178)
Beltsazar Onne P. (41170179)
Natasha Vanya M. H. (41170196)
Made Wahyu Adi P. (41170203)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pelayanan kesehatan pada
dasarnya memiliki tujuan dalam upaya preventif, promotif, kuratif, serta
rehabilitatif, termasuk pula pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar
hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.
Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut, terjadi transaksi terapeutik,
artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajibannya. Dokter berkewajiban
memberikan pelayanan medis yang terbaik bagi pasien sesuai dengan yang tertulis
dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yaitu seorang dokter dituntut
untuk memiliki integritas tinggi, profesionalisme, serta kecerdasan emosional
dalam memberikan pelayanan medis tanpa diskriminasi atas dasar apapun.
Pelayanan medis ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan tepat sesuai
prosedur, pemberian terapi yang tepat & akurat, melakukan tindakan medik
sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang
diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan
dokter ini bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang
diharapkannya dari transaksi, yaitu kesembuhan atau pemulihan kesehatannya.
(KODEKI. 2012)
Ada kalanya hasil yang
dicapai tidak sesuai dengan harapan dari
masing-masing pihak. Ketika tindakan yang dilakukan oleh dokter tidak
berhasil menyembuhkan pasien, hal tersebut dapat menimbulkan kecacatan pada
pasien, atau bahkan kematian. Dalam peristiwa yang ini, dokter sering kali
dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktik.
Tindakan malpraktik dalam dunia medis berawal dari adanya kesalahan atau
kelalaian dokter dalam memberikan pelayanan medis yang tidak sesuai standar
yang ada, sehingga menyebabkan kerugian pada pihak pasien yang berujung pada
kasus hukum antara dokter dengan pasien.
Dunia
kedokteran pada masa lampau seakan-akan masih belum terjangkau oleh hukum.
Berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan tentang perlindungan hukum
membuat dunia kedokteran mengenali hal-hal yang berkaitan dengan masalah hukum
pidana. Oleh karena itu, penting bagi seorang dokter untuk mengerti dan
senantiasa memperhatikan peraturan-peraturan dan standar pelayanan medis yang
berlaku agar terhindar dari masalah yang berhubungan dengan malpraktik yang
dapat berujung pada kasus pidana.
Banyak
sekali permasalahan pelayanan medis pada masyarakat yang berujung malpraktik.
Oleh karena kesadaran hukum pasien yang semakin tinggi serta banyaknya kerugian
yang disebabkan oleh malpraktik, maka banyak pasien yang mengajukan kasus
tersebut menuju jalur hukum, sehingga menjadi persoalan pidana. Sebagai contoh
adalah kasus seorang dokter di Surabaya, yakni dr. Moestidjab. Kasus operasi
mata katarak oleh dr. Moestidjab pada pasien yang bernama Tatok di Surabaya Eye
Clinic pada tahun 2016 ini juga sempat ramai dibicarakan oleh media.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan suatu pemikiran
dan langkah-langkah yang bijaksana dari berbagai pihak, baik dokter maupun
pihak pendukung, seperti rumah sakit dan pemerintah dalam penyediaan pelayanan
kesehatan agar kasus malpraktik dapat dihindarkan.
B. Tujuan Penulisan
1.
Mampu
mengetahui dan memahami dasar hukum dan etika dalam kasus malpraktik.
2.
Mampu
mengetahui peran komite medis dalam kasus malpraktik.
3.
Mampu
menganalisis kasus malpraktik yang terjadi di masyarakat beserta konsekuensi
hukumnya.
4.
Mampu
memahami dan mengimplementasikan Etika Kedokteran dan Rumah Sakit dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
BAB II
RINGKASAN KASUS
Kasus yang menimpa
salah seorang dokter di Surabaya Eye Clinic, Jalan Jemursari 108, bermula
ketika seorang pasien bernama Tatok Poerwanto (78 tahun) warga Jalan Ubi II/23
Surabaya mendapat perawatan medis atas penyakit katarak di mata kirinya di
Surabaya Eye Clinic pada 28 April 2016 dan ditangani oleh dr. Moestidjab di
klinik tersebut. Usai operasi, kondisi mata kiri Tatok bukannya membaik malah
semakin sakit dan nyeri. Saat itu dr.Moestidjab mengatakan hal tersebut
merupakan kondisi yang wajar. Beberapa waktu berlalu ternyata kondisi mata
Tatok makin parah sehingga dr.Moestidjab menyarankan untuk kembali dilakukan
operasi. Namun operasi kali ini bukan di Surabaya Eye Clinic tetapi di Rumah
Sakit Graha Amerta, Surabaya dengan alasan peralatan disana (Graha Amerta)
lebih lengkap. Pada saat itu Eduard Rudy Suharto selaku menantu Tatok Poerwanto
mulai curiga karena yang menyampaikan hasil operasi kepada keluarga bukan dr.
Moestidjab melainkan asistennya. Operasi kedua pun dilakukan pada 10 Mei 2016
di RS Graha Amerta. Menurut anak pertama Tatok, Condro Wiryono Poerwanto, pada
operasi kedua yang awalnya dijanjikan hanya berlangsung 30 menit ini, mendadak
molor hingga lima jam. Anehnya lagi, usai operasi, dr. Moestidjab tidak menemui
pasien. Tapi menugaskan asistennya menyampaikan hasil operasi bahwa operasi
tidak dapat dilanjutkan karena adanya pendarahan dan peralatan kurang canggih.
Meski begitu, dr.Moestidjab masih meyakinkan keluarga pasien dan merujuk Tatok
ke Singapore Eye Center. Hal tersebut lalu disanggupi oleh keluarga
Tatok.
Ketika sampai di
Singapura, lokasi yang disarankan dokter Moestidjab ternyata tidak layak. Keluarga
pun akhirnya memutuskan membawa Tatok ke Singapore National Eye Centre di
Singapore. Hasil keterangan dari Singapore National Eye Centre itulah yang
akhirnya membuat keluarga sadar bahwa Tatok telah menjadi korban malpraktik dr.
Moestidjab. Rekam medis dari Singapore National Eye Centre menjelaskan bahwa
kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani lagi karena kesalahan saat
operasi pertama yang dilakukan oleh dr. Moestidjab menyebabkan lensa mata robek
serta pecahan kataraknya bertaburan di mata pasien. Mendapat keterangan
tersebut, Eduard mendatangi dr. Moestidjab pada tanggal 13 Januari 2017 untuk
menunjukkan hasil rekam medis dari Singapore Eye Centre. Menurut pengakuan
Eduard, awalnya dr. Moestidjab berkilah dan mengatakan sudah tidak apa-apa,
akan tetapi pada saat dia menunjukkan hasil rekam medis dari Singapore, dr.
Moestidjab lalu mengakui bahwa dirinya berbohong dan Ia menjelaskan yang
sebenarnya. Dokter Moestidjab mengatakan bahwa saat itu gagal operasi, namun
dia malu berterus terang karena takut reputasinya jatuh di mata keluarga Tatok.
Pada saat itu juga dr.Moestidjab memberikan surat permintaan maaf resmi kepada
Tatok. Atas kejadian tersebut, dari pihak keluarga Tatok tidak terima, sehingga
melanjutkan kasus ini ke ranah hukum dengan dugaan malpraktik. Pengacara
keluarga Tatok juga sudah melaporkan dr. Moestidjab dan Surabaya Eye Clinic ke
pihak Polda Jawa Timur. Laporan tersebut bernomor: LP B/75/I/2017/UM/Jatim,
tertanggal 18 Januari 2017, tentang dugaan tindak pidana penipuan dan atau
membuat surat palsu, atau memalsukan surat dan atau memalsukan keterangan palsu
ke dalam suatu akta otentik. Selain itu juga pihak keluarga melaporkan kasus
ini ke IDI Jatim.
Pada kelanjutan kasus
ini, Direktur Utama (Dirut) Surabaya Eye Clinic, dr. Moestidjab menggugat Tatok
Poerwanto, seorang pasien korban malpraktik. Gugatan tersebut diajukan
dr.Moestidjab untuk mencabut permintaan maaf atas tindakan malpraktik yang
dilakukannya terhadap Tatok karena permohonan maaf yang dibuatnya itu atas
tekanan dari keluarga korban. Dalam sidang gugatan yang digelar di Pengadilan
Negeri Surabaya, Kamis 16 Februari 2017, Ketua majelis Hakim Ferdinadus
memerintahkan agar kedua belah pihak (dr. Moestidjab dan Tatok) melakukan
mediasi terlebih dahulu. Persidangan selanjutnya tepatnya dilakukan pada Kamis,
13 Juli 2017 di Pengadilan Negeri Surabaya. Pada persidangan tersebut, Ketua
Majelis Hakim Ferdinandus membacakan penolakan gugatan dr. Moestidjab.
Pertimbangan Majelis Hakim yaitu Tatok Poerwanto yang diduga menjadi korban
malpraktik berhak mendapat permintaan maaf dari dr. Moestidjab serta didapatkan
bahwa tidak ada tekanan dari keluarga pasien saat dokter tersebut menuliskan
permintaan maaf (atas keinginannya sendiri). Sunarno Edi Wibowo, kuasa hukum
dr.Moestidjab enggan berkomentar saat dimintai keterangan dan mengaku akan
mengajukan banding atas putusan hakim,”Saya banding atas putusan itu,”
ungkapnya. Atas ditolaknya gugatan pembatalan surat permohonan maaf tersebut,
Tatok Poerwanto pun akan segera melanjutkan perkara ke tingkat pidana.
Aksi unjuk rasa damai
terhadap dugaan malpraktik oleh dr.Moestidjab dilakukan oleh keluarga korban di
RSUD dr Soetomo Jl.Mayjen Prof Doktor Moestopo Surabaya. Dalam unjuk rasa
tersebut, keluarga korban menuntut dr.Moestidjab untuk bertanggungjawab atas
kejadian yang menimpa Tatok Poerwanto yang kini mengalami kebutaan di mata kirinya
setelah menjalani operasi katarak yang ditangani oleh dr.Moestidjab. Sementara
itu, dr Moestidjab yang didampingi Tim Hukum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Jawa Timur, kepada wartawan membantah melakukan malpraktik. Dokter Moestidjab
mengaku telah sesuai prosedur dan berhati-hati dalam menangani pasien.
"Kejadian tersebut sebuah resiko dari tindakan medis. Terlebih tindakan
medis yang dilakukan dokter bukanlah kontrak untuk sembuh melainkan kontrak
prosedur penanganan atau operasi," kata dr.Moestidjab.
Persidangan
selanjutnya dilakukan pada Kamis, 12 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Surabaya.
Dalam putusan bernomor 415/Pdt.G/2019/PN yang dibacakan oleh Ketua Majelis
Hakim yang diketuai oleh Dwi Purwadi berisikan bahwa dr.Moestidjab terbukti
tidak bersalah dalam menangani operasi katarak pada pasien atas nama Tatok
Poerwanto, warga Surabaya. Dalam pertimbangan hakim, dokter dinilai telah
sesuai prosedur dalam melakukan penanganan medis. Ketiga anggota majelis hakim
juga kompak menilai tindakan operasi yang dilakukan dr. Moestidjab tidak
melanggar kode etik. Pertimbangan hakim ini senada dengan keterangan ahli dari
Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI) cabang Surabaya yang diperdengarkan
pada agenda sidang sebelumnya. Beliau secara tegas mengatakan bahwa tindakan
yang dilakukan oleh dr.Moestidjab telah sesuai dan tidak melanggar kode etik. Kuasa
hukum dr.Moestidjab, Sumarso saat dikonfirmasi mengapresiasi putusan majelis
hakim tersebut. Ia mengatakan, kliennya memang telah menjalankan profesinya sesuai
dengan prosedur dan standar medis.
BAB III
ANALISIS
KASUS
A. Pencermatan / Deliberasi
Fakta Berupa Kronologi Kasus
1. Setelah
operasi, kondisi mata kiri Tatok bukannya membaik malah semakin sakit dan
nyeri, dr.Moestidjab mengatakan hal tersebut merupakan kondisi yang wajar.
2. Eduard
Rudy Suharto, menantu Tatok Poerwanto curiga karena yang menyampaikan hasil
operasi kepada keluarga bukan dr. Moestidjab melainkan asistennya.
3. Menurut
anak pertama Tatok, Condro Wiryono Poerwanto, pada operasi kedua yang awalnya
dijanjikan hanya berlangsung 30 menit, mendadak molor hingga lima jam.
4. Setelah
operasi, dr. Moestidjab tidak menemui pasien, tapi menugaskan asistennya
menyampaikan hasil operasi bahwa operasi tidak dapat dilanjutkan karena adanya
pendarahan dan peralatan kurang canggih.
5. Meski
begitu, dr. Moestidjab masih meyakinkan keluarga pasien dan merujuk Tatok ke
Singapore Eye Center. Hal tersebut lalu disanggupi oleh keluarga Tatok.
6. Rekam
medis dari Singapore National Eye Centre menjelaskan, bahwa kondisi mata Tatok
sudah tidak bisa ditangani lagi karena kesalahan saat operasi pertama yang
dilakukan dr. Moestidjab menyebabkan lensa mata robek serta pecahan kataraknya
bertaburan di mata pasien.
7. Saat
Eduard menunjukkan hasil rekam medis dari Singapore, dr. Moestidjab mengakui
dirinya berbohong dan menjelaskan bahwa saat itu gagal operasi, namun dia malu
mengakui karena takut reputasinya jatuh di mata keluarga Tatok.
8. Tidak
terima, pengacara keluarga Tatok melaporkan dr. Moestidjab dan Surabaya Eye
Clinic ke pihak Polda Jawa Timur. Laporan bernomor: LP B/75/I/2017/UM/Jatim,
tertanggal 18 Januari 2017, tentang dugaan tindak pidana penipuan dan atau
membuat surat palsu, atau memalsukan surat dan atau memalsukan keterangan palsu
ke dalam suatu akta otentik. Dan pihak keluarga melaporkan kasus ini ke IDI
Jatim.
9. Direktur
Utama (Dirut) Surabaya Eye Clinic dr. Moestidjab menggugat Tatok Poerwanto,
seorang pasien korban malpraktek.
10. Pada
persidangan, ketua majelis hakim Ferdinandus membacakan penolakan gugatan dr.
Moestidjab. Pertimbangan majelis hakim yaitu Tatok Poerwanto yang diduga
menjadi korban malpraktik berhak mendapat permintaan maaf dari dr. Moestidjab
serta didapatkan bahwa tidak ada tekanan dari keluarga pasien saat dokter
tersebut menuliskan permintaan maaf (atas keinginannya sendiri).
11. Keluarga
korban menuntut dr. Moestidjab untuk bertanggungjawab dengan kejadian yang
menimpa Tatok Poerwanto yang kini mengalami kebutaan dimata kiri setelah
menjalani operasi katarak yang ditangani dr. Moestidjab.
12. dr.
Moestidjab yang didampingi Tim Hukum Ikatan Dokter Indonesia IDI Jawa
Timur, kepada wartawan membantah melakukan malpraktek. Dokter Moestidjab
mengaku telah sesuai prosedur dan berhati-hati dalam menangani pasien.
13. Persidangan
selanjutnya dilakukan pada Kamis, 12 Maret 2019 di Pengadilan Negeri Surabaya.
Dalam putusan bernomor 415/Pdt.G/2019/PN yang dibacakan oleh ketua majelis
hakim yang diketuai oleh Dwi Purwadi berisikan bahwa dr.Moestidjab terbukti
tidak bersalah dalam menangani operasi katarak pasien atas nama Tatok
Poerwanto, warga Surabaya.
14. Dalam
pertimbangan hakim, dokter dinilai telah sesuai prosedur melakukan penanganan
medis. Ketiga anggota majelis hakim juga kompak menilai tindakan operasi yang
dilakukan dr Moestidjab tidak melanggar kode etik. Pertimbangan hakim ini,
senada dengan keterangan ahli dari Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI)
cabang Surabaya.
B.
Pencermatan
Norma Hukum yang Dilanggar
1. Peraturan yang mencangkup norma dan hukum Dokter :
·
KODEKI pasal 7b
“Seorang
dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan
dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan,
dalam menangani pasien”.
Dokter
Moestidjab sendiri mengakui bahwa beliau berbohong pada pasien tentang
kegagalannya karena takut malu dan reputasinya jatuh di mata keluarga Tatok.
Tindakan berbohong dan membuat surat palsu/ memalsukan surat dan/
memalsukan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik dapat dianggap sebagai
tindakan penipuan.
·
Pasal 378 KUHP tentang Penipuan
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang
rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara
paling lama empat tahun”.
·
KODEKI
pasal 7c
“Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien,
hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien”.
Dalam hubungan antar dokter dan pasien, seorang
dokter harus bersikap jujur dan berkata yang sebenar-benarnya kepada pasien sesuai
dengan hak pasien dalam Permenkes RI No. 69 tahun 2014, yaitu “memperoleh layanan
yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi.
·
Permenkes No. 290 tahun 2008 pasal 10 ayat 3 dan 4
“Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai
dengan kewenangannya” (3)
“Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 3 adalah
tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung
kepada pasien” (4)
Pada saat perawat menjelaskan hasil operasi, hal itu masih tidak bisa
disalahkan karena perawat tersebut masih memiliki kewenangan untuk menyampaikan
hasil operasi.
·
Permenkes No. 1438 tahun 2010 pasal 13 ayat 2
“Kepatuhan kepada PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan) dan SPO
(Standar Prosedur Operasional) menjamin pemberian pelayanan kesehatan dengan
upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi tidak menjamin
keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien”.
Dokter sudah melakukan prosedur medis dengan baik namun segala resiko
harus diterima dan tindakan medis bukan jaminan untuk keberhasilan atau
kesembuhan pasien
·
Undang – Undang No. 36 Tahun 2014 pasal 57 poin a
“Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”.
Hal ini merupakan alasan Pengadilan Negeri membebaskan gugatan dari
pasien terhadap dokter, karena dokter sudah melakukan prosedur secara baik dan
benar hanya saja terjadi resiko yang merugikan.
·
Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 pasal 2
“Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan
Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien”.
Tindakan dokter yang berbohong mengenai hasil
operasinya mungkin tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan juga tidak
mementingkan perlindungan pasien.
·
Permenkes
No. 290/ Menkes/ Per/ III/ 2008 pasal 6
“Pemberian
persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam
hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang
mengakibatkan kerugian pada pasien”.
Menurut
peraturan ini, meskipun dokter sudah melakukan tindakan dan sudah
ada persetujuan namun menyebabkan kerugian pada pasien, maka dokter harus mengganti
kerugian yang sudah di alami pasien tersebut.
·
Undang – undang No. 36 Tahun 2009
tentang kesehatan pasal 23 ayat 1 dan 4
“Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan” (1)
“Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi”
(4)
Dalam
pelayanan kesehatan kepada pasien, seorang dokter harus mengutamakan
kepentingan pasiennya dan tidak memikirkan tentang nilai materi berupa uang,
jabatan, maupun reputasi.
2. Peraturan yang mencangkup norma dan hukum sebagai Pasien :
·
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
66 ayat 1
“Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia”.
Berdasarkan peraturan ini, memang sudah diatur bahwa
setiap orang dapat mengadukan secara tertulis dan resmi kepada Ketua MKDKI bila
merasa dirugikan.
·
Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 pasal 58 ayat 1
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.”
Pada kasus disini tidak ada salahnya jika pasien memiliki keinginan
untuk menuntut dokter karena mengalami kerugian yang dialami pasca operasi
·
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Pasal 45 ayat (3) Tentang persetujuan Tindakan
“Penjelasan sebagaimana dimaksud sekurang -
kurangnya mencakup :
1.
diagnosis
dan tata cara tindakan medis;
2.
tujuan
tindakan medis yang dilakukan;
3.
alternatif
tindakan lain dan risikonya;
4.
risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5.
prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan”.
Belum diketahui pasti apakah dr. Moestidjab sudah
memberikan segala keterangan diatas, tetapi sebagai dokter sudah seharusnya
menjelaskan dan memastikan apakah pasien sudah mengerti dengan jelas akan
tindakan yang dilakukan, resiko dan prognosis. Bukan hanya sekedar memberitahu
saja.
·
Permenkes No. 290 Tahun 2008 pasal 8 ayat 3c
“Penjelasan tentang resiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah
semua resiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran
yang dilakukan, kecuali : resiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan
sebelumnya (unforeseeable)”
Apabila dokter disini sudah memberitahu bahwa resiko dan komplikasi akan
terjadi (melalu informed consent), pasien harus menerima keadaannya.
·
Paragraf 7 Hak
dan Kewajiban Pasien pasal 52
Pasien dalam
menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap
tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter
gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis;
e. mendapatkan isi rekam medis.
·
UU No.
36 Th 2009 tentang Kesehatan pasal 8
“Setiap
orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan”.
Dokter Moestidjab telah berbohong mengenai hasil operasi Tatok karena
tidak mau reputasinya sebagai dokter jatuh. Jika pasien dan/atau keluarga
pasien mempunyai niat untuk menyalahkan dokter karena menganggap bahwa tindakan
tersebut menyebabkan kerugian bagi pasien dan/ atau keluarganya, maka pasien
berhak untuk melaporkan kasus tersebut dengan laporan bahwa dokter bermaksud
menguntungkan dirinya sendiri, dimana seharusnya pasien dan/atau keluarga
pasien berhak memperoleh informasi medis yang sejujur-jujurnya dari dokter
C. Peran yang Seharusnya Dilakukan
oleh Komite Medik
Secara garis besar, peran
dan fungsi Komite Medik di rumah sakit adalah menegakkan etik dan mutu
profesi medik dengan tugasnya adalah meningkatkan profesionalisme staf
medis yang bekerja di rumah sakit, dengan cara : melakukan kredensial bagi seluruh
staf medis yang akan melakukan pelayanan medis di rumah sakit; memelihara mutu
profesi staf medis; dan menjaga disiplin, etika, serta perilaku profesi staf
medis. Komite Medik bukan merupakan wadah atau perwakilan dari seluruh
staf medis. Komite medik telah ditetapkan hanya menangani masalah keprofesian
saja dan bukan menangani pengelolaan rumah sakit yang seharusnya dilakukan
kepala/ direktur rumah sakit. Kepala/ direktur rumah sakit dapat membentuk
berbagai panitia/ pokja dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
Panitia/ pokja tersebut bertanggung jawab langsung kepada kepala/ direktur
rumah sakit. Rumah sakit harus menerapkan model komite medik yang menjamin tata
kelola klinis (clinical governance) untuk melindungi pasien.
Pada kasus ini peran Komite
Medik adalah memastikan bahwa dokter yang melakukan operasi atau tindakan medis
lainnya sudah menggunakan protokol atau prosedur sesuai SOP yang ada, dan
segala resiko yang akan dialami pasien harus diterima melalui Informed Consent
yang sudah disetujui dari pihak pasien. Tindakan medis tidak selalu menjamin
kesembuhan dari pasien, semua tindakan pasti akan ada resiko dan komplikasi
yang bisa dialami pasien. Jadi jika dokter yang menangani sudah melakukan
prosedur dengan baik dan benar, maka Komite Medik berhak melindungi dokter
tersebut dari berbagai tuntutan yang ada, dan membantu menjelaskan kepada
pasien bahwa semua tindakan ini sudah disetujui segala resikonya melalui
Informed Consent yang diberikan.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan dari kasus
ini adalah dr. Moestidjab sudah melakukan operasi sesuai prosedur medis/ SOP yang
ada dan segala resiko ataupun komplikasi seharusnya dapat diterima oleh pasien
melalui Informed Consent. Walaupun dokter disini berbohong mengenai hasil
operasinya, segala permintaan maaf yang dikatakan dokter menjadi salah satu
alasan pihak Pengadilan Negeri untuk memberi keringanan. Namun sepertinya kasus
ini belum berhenti sampai disini saja karena banyak masyarakat dan pihak
keluarga pasien yang melakukan unjuk rasa sebagai rasa tidak terima dan meminta
ganti rugi.
REFLEKSI
KELOMPOK
Florentina Aira S. – 41170116
Pada
kasus kelompok di atas, pembelajaran yang dapat diambil yaitu tetaplah sebagai
dokter yang tidak perlu menutupi tindakan yang sudah terjadi walaupun risikonya
tinggi. Sebagai tenaga medis, pekerjaan yang dijalankan tidaklah mudah karena
harus menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral sebab pekerjaan yang dihadapi
bersentral pada kesembuhan dan kehidupan seorang manusia. Pada ajaran agama
juga diajarkan untuk tidak bersaksi dusta terhadap sesama dalam situasi apapun.
Dengan memperhatikan kode etik terutama sebagai dokter, apabila yakin sudah
melakukan segala sesuatu sesuai dengan hukum, aturan dan kode etik yang berlaku,
pertimbangkan juga bahwa segala tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang
terbaik serta hindari rasa keinginan berbohong untuk hanya menenangkan pasien
maupun keluarga yang terlibat.
Edward Kurniawan –
41170121
Berdasarkan
kasus yang ada dan dalam proses menganalisa selama praktikum ini, mengingatkan
saya bahwa setiap profesi khususnya seorang dokter memiliki norma dan aturan
yang diatur oleh pemerintah. Dalam praktek yang berhubungan dengan masyarakat
atau pasien, seorang dokter juga harus memerhatikan hak, kewajiban, dan
kewenangan dalam berkomunikasi hingga dalam melakukan tindakan. Menurut saya,
seorang dokter haruslah menjadi dokter yang berintegritas. Dokter yang
berintegritas ialah dokter yang mengamalkan ilmu terbaiknya dalam penanganan
pasien, bertugas dibawah aturan yang berlaku, memerhatikan hak dan kepentingan
pasien, bertanggung jawab dalam setiap tindakannya, dan melakukan setiap proses
tindakan kedokteran berdasarkan standar operasional yang sudah ditetapkan. Saat
telah menanamkan sikap berintegritas, maka dapat terwujudlah layanan kesehatan
yang bermutu dan berkualitas secara komprehensif bagi setiap masyarakat ataupun
sesama profesi.
Ni Kadek Ayu Divia Pridayanthi –
41170131
Setelah
membaca dan memahami kasus di atas, pembelajaran yang bisa saya ambil adalah
bahwa dalam menjalankan suatu prosedur atau tindakan medis tertentu, seorang
dokter harus selalu mengutamakan keselamatan pasien dan wajib untuk bertindak
sesuai dengan prosedur yang ada dan berlandaskan atas dasar hukum yang berlaku.
Seorang dokter harus mampu mengungkapkan segala sesuatu secara jujur kepada
pasien maupun keluarga pasien, baik hal itu berupa kabar yang bersifat baik
maupun buruk, karena setiap pasien dan/atau keluarganya mempunyai hak untuk
mengetahui kondisi pasien yang sebenarnya. Selain itu, dari kasus tersebut saya
menjadi tahu bahwa pengetahuan pasien tentang kesehatan masih terbilang buruk,
dimana setelah dilakukan tindakan medis terhadap pasien, maka pasien tersebut
hanya beranggapan bahwa jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada
dirinya, maka hal itu merupakan kesalahan dari dokter yang melakukan tindakan
tersebut, akan tetapi sebenarnya keberhasilan suatu tindakan medis tidak hanya
ditentukan oleh pelaksana tindakan tersebut, namun masih sangat banyak
faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi outcome dari suatu tindakan atau
terapi.
Dixie Bramantya S. – 41170136
Pada kasus ini ada banyak pandangan dari sisi yang berbeda. Pertama
adalah setiap tindakan medis yang memiliki resiko ataupun komplikasi harus
benar benar disetujui oleh pihak pasien dalam Informed Consent, sehingga jika
memang pahitnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, pihak pasien sudah
mengetahuinya. Kemudian yang kedua adalah mengenai kebohongan yang diungkapkan
dokter dalam menyampaikan hasil operasi, saya kurang mengerti mengapa dokter
disini dapat diberikan keringanan karena meminta maaf dari hal berbohongnya.
Mungkin disini dikarenakan dokter sudah melakukan prosedur medis dengan baik
sehingga dokter tersebut dapat dibebaskan dari gugatan. Jadi pada kesimpulannya
adalah semua tindakan medis wajib memahami arti Informed Consent yang ada,
sehingga tidak membuat adanya perbedaan pendapat, karena pada dasarnya semua
tindakan medis tidak ada jaminan untuk upaya keberhasilan dan jaminan
kesembuhan.
Kezia Devina Deodatis – 41170137
Pembelajaran
yang saya dapatkan dari kasus ini adalah menjadi seorang dokter harus berintegritas,
jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan prosedur yang dilakukan. Komunikasi
antara dokter dengan pasien penting dibangun sejak pasien tersebut datang untuk
berkonsultasi hingga selesai dilakukannya terapi. Dalam berkomunikasi, dokter
harus memastikan bahwa pasien benar-benar mengerti akan adanya Informed Consent
sebelum dilakukan tindakan yang beresiko tinggi. Penting untuk pasien memahami
isi dari Informed Consent, sehinga pasien mengerti prosedur yang dilakukan,
resiko, maupun komplikasi yang dapat terjadi karena segala tindakan yang akan
dilakukan terhadap pasien tidak menjamin akan berhasil. Namun, dokter juga harus
bertindak sesuai dengan SOP dan mengutamakan keselamatan pasien. Tindakan
berbohong maupun malpraktik jelas bukan merupakan tindakan yang baik, karena
sudah seharusnya seorang dokter memberi tau yang sebenarnya mengenai kondisi
pasien atas diagnosis dan hasil operasinya, sebab hal tersebut merupakan hak
dari pasien. Berbohong demi menjaga reputasi merupakan sifat yang tidak
seharusnya diterapkan oleh seorang dokter. Atas kerugian yang dialami pasien,
sudah seharusnya dokter meminta maaf atau memberikan ganti rugi akibat
kelalaiannya.
Brian
Ardya Indrajat – 41170143
Dari
kasus dugaan malpraktek yang dibahas pada kelompok ini, saya belajar bahwa
segala tindakan yang dilakukan dokter dalam dunia medis selalu diawasi, baik
oleh pasien, keluarga, maupun pihak-pihak lainnya. Tindakan medis oleh dokter
juga diatur dalam undang-undang dan kode etik. Pasien dan keluarga mengharapkan
kesembuhan dari terapi oleh dokter sehingga dokter harus memberikan terapi yang
terbaik bagi pasien. Apabila terjadi sesuatu dalam tindakan, maka dokter juga
harus memberitahukan yang terjadi secara jujur pada pasien dan keluarga. Dokter
juga harus menguasai dan mengikuti prosedur yang ada dalam setiap tindakan
medis. Karena saat ini kesadaran hukum dari masyarakat mulai timbul, maka
dokter juga harus selalu berhati-hati dalam melakukan tindakan pada pasien,
karena dugaan malpraktek akan mudah dituduhkan kepada dokter apabila terjadi
suatu hal yang dinilai tidak sesuai oleh pasien, dan hal ini dapat berujung ke
ranah hukum pidana.
Florival Jose – 41170144
Dalam
kasus tersebut ditemukan bahwa dokter tersebut tidak jujur terhadap informasi
yang dimana wajib untuk diketahui oleh pasien. Dari hal tersebut, malah membuat
pasiennya menjadi buta permanen, Apabila seorang dokter tidak mampu melakukan
sebuah penanganan medis, dokter tersebut bisa merujuk ke dokter lain yang lebih
ahli. Dokter tersebut sudah melanggar Kode Etik pasal 52 yaitu tidak memberikan
informasi kepada pasien dengan benar dan yang harus pasien terima.
Maxima Aditya – 41170148
Malpraktik
merupakan sebuah kelalaian atau kesalahan seorang tenaga medis dalam melakukan
pelayanan kesehatan atau tindakan medis. Pada kasus dr. Moestidjab ini, pasien
melakukan operasi katarak, tetapi bukannya membaik malah memburuk bahkan
kebutaan. Oleh karena itu, pasien merasa bahwa ia adalah korban malpraktik
sehingga membawa kasus tersebut ke ranah pengadilan. Pasien melaporkan dr.
Moestidjab berdasarkan hasil rekam medis dari Singapore Eye Center yang
menyatakan bahwa mata pasien sudah tidak dapat diselamatkan akibat kegagalan
dalam operasi yang pertama kali oleh dr. Moestidjab. Seiring dengan berjalannya waktu, dr. Moestidjab
dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan karena telah melakukan prosedur
operasi sesuai dengan SOP. Belajar dari kasus ini, saya mendapatkan beberapa
pelajaran berharga, salah satunya adalah bahwa seorang dokter sangat perlu
menaati kode etik kedokteran dan SOP yang berlaku dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Hal ini bermanfaat bukan hanya untuk pihak pasien, tetapi juga untuk
pihak dokter. Dengan menaati kode etik kedokteran dan SOP yang berlaku, pasien
mendapatkan perlakukan/ pelayanan medis terbaik berdasarkan ketentuan yang ada sehingga
keselamatan pasien dan hasil tindakan dapat optimal. Sedangkan, untuk pihak
dokter, selain untuk menjaga keselamatan
selama tindakan, dengan menaati kode etik dan SOP yang ada, dokter bisa
menjadikan hal tersebut sebagai “pembelaan” apabila nantinya ada tuntutan
pasien ke ranah hukum. Selain itu, seharusnya dr. Moestidsjab tidak perlu
berbohong ke pasien apabila dia gagal melakukan operasi. Menurut saya, hal
tersebut dapat dihindari dengan melakukan informed consent kepada pasien
sebelum tindakan baik tertulis maupun lisan bahwa tindakan medis tidak
menjanjikan kesembuhan namun memberi layanan terbaik sehingga masih ada
kemungkinan kegagalan terjadi saat tindakan medis dilakukan.
Aloysius Gonzaga P.B – 41170164
Menurut
saya, dari kasus tersebut, dokternya memang sudah mematuhi standar operasi, dan
kegagalan memang pasti ada. Benar dari pengadilan bahwa dokter tidak bersalah.
Karena memang usia tua membuat bagian mata juga sudah melemah, tidak sebaik
saat masih muda. Yang sangat disayangkan hanya dokter berbohong jika beliau
gagal operasi dan takut reputasinya turun. Sebaiknya jujur saja, karena gagal
tidaknya sudah ditangan Tuhan.
Setywanty
Layuklinggi – 41170171
Pada
kasus yang menimpa salah satu dokter di Surabaya Eye Clinic yaitu dr.
Moestidjab, sudah melalui proses yang panjang sampai akhirnya gugatan dari
penggugat Tatok Poerwanto ditolak dengan keputusan akhir dr. Moestidjab tidak
bersalah. Dari kasus ini dapat dilihat bahwa dari dr. Moestidjab sendiri tidak
sepenuhnya benar karena ada beberapa peraturan dan kode etik yang dilanggar.
Meskipun begitu, beliau dalam menjalankan operasi pasien yang bernama Tatok
Poerwanto sudah sesuai prosedur yang berlaku. Sebelum tindakan operasi
dilakukan, terlebih dahulu pastilah diminta Informed Consent dari Tatok,
sehingga segala resiko ataupun komplikasi
seharusnya dapat diterima oleh pasien melalui Informed Consent. Meskipun
demikian, karena dr. Moestidjab sudah membuat kerugian yang
ditanggung kliennya, dr. Moestidjab seharusnya juga memberikan ganti rugi atas
perbuatannya tersebut. Hal ini juga sudah diatur dalam Undang – Undang No 36 Tahun 2009 pasal 58 ayat
1 bahwa “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”. Sehingga
jelas jika Tatok Poerwanto menuntut atas operasinya tersebut. Dokter Moestidjab
juga sempat berbohong mengenai kondisi pasiennya seusai operasi sehingga
perbuatan dr. Moestidjab ini sudah melanggar Kode Etik Kedokteran. Seorang
dokter seharusnya jujur dalam memberikan informasi mengenai Kesehatan pasien.
Antonius Adhymas P. – 41170173
Dari
kasus tersebut saya menyimpulkan bahwa menjadi dokter
harus berkewajiban memberikan pelayanan medis yang terbaik bagi pasien. Seperti
yang tertulis dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia bahwa menjadi seorang dokter
dituntut untuk memiliki integritas yang tinggi, profesionalisme, serta
kecerdasan emosional dalam memberikan pelayanan medis tanpa diskriminasi atas
dasar apapun. Serta ketika melakukan tindakan, seharusnya dokter memberitahu
atau menyampaikan hasil terbaik dan hasil terburuk dari tindakan yang akan
dilakukan. Agar pasien yang ditangani dapat mengetahuinya serta dapat mempersiapkan
dengan lebih baik lagi. Sebagai dokter juga harus bisa mengakui kesalahan
apabila memang benar melakukan kesalahan, dan bertindak professional, hati-hati
dan teliti agar tidak menyebabkan kerugian pada pihak pasien yang berujung pada
kasus hukum antara dokter dengan pasien.
Antonia Deta Anno Vida – 41170177
Ada
beberapa hal yang bisa dipelajari dari kasus dr. Moestidjab ini. Pertama,
penting bagi seorang dokter untuk melakukan Informed Consent kepada pasien, terutama
sebelum melakukan prosedur yang beresiko. Diberita yang kami dapat memang tidak
dijelaskan apakah dr. Moestidjab sudah melakukan Informed Consent atau belum.
Tetapi jika memang beliau sudah melakukan, beliau semestinya sudah menjelaskan
prosedur operasi hingga resiko yang mungkin terjadi, misalkan pasien dapat
mengalami kebutaan. Jika dr. Moestidjab sudah menjelaskan seperti itu, maka
dari pasien pun sudah paham dan tidak sepenuhnya menyalahkan dokter karena
dokter sudah melakukan operasi sesuai dengan SOP. Hal yang kedua adalah
pentingnya kejujuran dalam praktek sehari-hari. Dokter Moestidjab tidak berani
mengatakan yang sejujurnya kepada pasien dan malah merujuk pasien ke RS
Singapura. Cepat atau lambat apa yang disembunyikan dokter akan terungkap,
apalagi ini menyangkut keselamatan pasien. Oleh karena itu, tidak seharusnya
dokter berbohong dan bersembunyi seperti ini hanya karena takut reputasi turun.
Hal yang ketiga adalah terkait pentingnya reputasi bagi seorang dokter. Untuk
saat ini saya sendiri yang masih menjadi mahasiswa kedokteran belum bisa
mentoleransi alasan dr. Moestidjab yang berbohong hanya karena reputasi ini.
Saya tidak paham apakah saat menjadi dokter kelak mempunyai reputasi tinggi itu
sangat diidolakan atau tidak. Namun bagi saya keselamatan pasien menjadi hal
terpenting yang harus diutamakan. Meskipun akan terjadi resiko seperti
kebutaan, jika memang dokter sudah melakukan sesuai prosedur tetap tidak
seharusnya ia berbohong hanya untuk reputasi.
Ivon
Widiastuti – 41170178
Hal
yang menjadi perhatian dari kasus ini ialah tentang seorang dokter yang diduga
melakukan malpraktik pada pasiennya, dimana seorang dokter tersebut gagal dalam
melakukan operasi dan ia tidak mau mengakui hal tersebut kepada keluarga
pasien, namun pada akhirnya ia mengakui hal tersebut “ia malu berterus terang
karena takut reputasinya jatuh di mata keluarganya”. Hal ini menjadi evaluasi
salah satunya bagi seorang dokter agar dapat melakukan operasi sesuai prosedur
dan sesuai standar medis, serta tidak membuat surat palsu, atau memalsukan
keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik. Sebagai seorang dokter juga
seharusnya jujur terhadap kondisi pasien yang sebenarnya tanpa menutup-nutupi.
Beltsazar
Onne Pattinaya – 41170179
Dari
kasus ini saya belajar bahwa sebagai tenaga medis harus melakukan sesuai dengan
prosedur yang ada atau SOP mulai dari persetujuan sampai pelaporan hasil
operasi kepada pasien maupun keluarga pasien itu sendiri. Dalam pelaporan hasil
pun harus sesuai dengan apa yang terjadi pada saat operasi maupun pasca
operasi, bukan malah tidak berkata jujur tentang hasil yang terjadi. Maka dari
itu, sudah tugas kita sebagai tenaga medis untuk menginformasikan hasil yang
sesungguhnya kepada pasien maupun
keluarganya agar tidak membuat pasien menderita atau mengalami kerugian.
Natasha
Vanya M. H. – 41170196
Setelah
saya membaca dan menganalisis kasus diatas, saya menjadi paham bahwa sebagai
seorang dokter, sangat penting dalam menjaga etika keselamatan pasien dan etik
kedokteran. Dokter dituntut untuk dapat melayani masyarakat dengan jujur,
tanggung jawab dan sepenuh hati. Sehingga ketika menjadi dokter, tidak akan
melakukan kecurangan yang dapat merugikan tempat bekerja maupun pasien itu
sendiri. Dokter harus semaksimal mungkin memperhatikan pelayanan pasien dan
jika itu diluar kemampuan, dokter harus bisa untuk tidak memaksakan diri dan
belajar untuk mengembangkan diri terhadap kekurangan tersebut. Berpikir secara
luas dan mengedepankan kepentingan pasien merupakan yang utama. Pasien juga
berhak mendapatkan kejujuran terhadap hasil pengobatan yang dilakukan.
I Made Wahyu Adi Putrawan – 41170203
Melalui
praktikum analisis kasus malpraktek aktual ini, hal yang dapat saya pelajari
adalah bahwa sebagai dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan tidak boleh berbohong ataupun melakukan penipuan dalam menangani pasien
karena itu dapat dikenakan pasal. Pelajaran lain yang dapat saya ambil dari
kasus ini adalah kita sebagai dokter tidak boleh menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan rangkaian kebohongan atau memikirkan kepentingan pribadi
karena pada saat sumpah dokter sudah disebutkan bahwa prinsip-prinsip dan etika
dokter seperti menghargai orang, tujuan yang jelas dan menjaga kerahasiaan
merupakan dasar dalam hubungan dokter-pasien. Satu hal yang sangat penting juga
dimana kita sebagai dokter nantinya dalam melakukan praktek jikalau mengalami
kesulitan atau kegagalan harus melakukan atas dasar SOP yang berlaku karena
jika terjadi kesalahan akan menyebabkan kerugian terhadap berbagai pihak
tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Purwadianto, Agus. et al. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
Beritajatim.com. (20 Januari 2017). Buta Permanen, Pasien Polisikan Dokter Mata.
Diakses pada 28 Mei 2020, dari http://m.beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/287971/buta_permanen,_pasien_polisikan_dokter_mata.html
Beritajatim.com. (1 Maret 2017). Warga Demo Dokter Moestidjab di IDI Surabaya.
Diakses pada 28 Mei 2020, dari http://m.beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/291362/warga_demo_dokter_moestidjab_di_idi_surabaya.html
Lensaindonesia.com. (14 Juli 2017). Kasus Dugaan Malpraktek Dokter Surabaya Eye
Clinic Akhirnya Dipidanakan. Diakses pada 27 Mei 2020, dari https://www.lensaindonesia.com/2017/07/14/kasus-dugaan-malpraktek-dokter-surabaya-eye-clinic-akhirnya-dipidanakan.html
Lensaindonesia.com. (12 Februari 2017). Kasus Malpraktek, Dirut Surabaya Eye Clinic
Gugat Surat Permohonan Maafnya Sendiri. Diakses pada 28 Mei 2020, dari https://www.lensaindonesia.com/2017/02/17/kasus-malpraktek-dirut-surabaya-eye-clinic-gugat-surat-permohonan-maafnya-sendiri.html/amp
Merdeka.com. (2017, 20 Januari). Diduga Korban Malpraktik, Warga Surabaya
Buta Usai Operasi Katarak. Diakses pada 27 Mei 2020, dari https://www.merdeka.com/peristiwa/diduga-korban-malapraktik-warga-surabaya-buta-usai-operasi-katarak.html
Pojokpitu.com. (23 Maret 2017). Dokter Moetijab Bantah Lakukan Mall Praktek
Pasien Mata. Diakses pada 27 Mei 2020, dari http://pojokpitu.com/baca.php?idurut=43370
Surabayaupdate.com. (13 Juli 2017). Pihak Keluarga Korban dr. Moestidjab Minta
Perkara Dugaan Malpraktik Dilanjutkan. Diakses pada 28 Mei 2020, dari https://surabayaupdate.com/pihak-keluarga-korban-dr-moestidjab-minta-perkara-dugaan-malpraktik-dilanjutkan/
Jatim.antaranews.com. (13 Juli 2017). Hakim Tolak Gigatan Surat Permohonan Maaf
Malapraktik. Diakses pada 28 Mei 2020, dari https://jatim.antaranews.com/berita/201294/hakim-tolak-gugatan-surat-permohonan-maaf-malapraktik
Jurnaljatim.com. (12 Maret 2020). Hakim Bebaskan Dokter yang Dituduh
Malpraktek pada Pasien Mata. Diakses pada 28 Mei 2020, dari https://www.jurnaljatim.com/2020/03/hakim-bebaskan-dokter-yang-dituduh-malpraktek-pada-pasien-mata/?amp
KUHP Tentang Penipuan
Permenkes No. 290 Tahun 2008
Permenkes No. 1438 Tahun 2010
Undang Undang No. 36 Tahun 2014
Undang Undang No 36 Tahun 2009
Undang Undang No. 29 Tahun 2004
Kasus yang sangat baik, perkenalkan nama saya Kezia Adya nim 41170107, ingin bertanya apakah korban tidak diberi uang kompensasi/ganti rugi atas kesalahan operasi oleh dokter tersebut? Terimakasih
BalasHapusAntonia Deta 41170177
HapusTerimakasih Kezia atas pertanyaannya.
Dari semua sumber yang sudah kami baca, tidak ada yang mengatakan bahwa korban(Totok)diberi kompensasi/ganti rugi karena ulah dokter Moestidjab ini. Sekalipun keluarga korban sudah meminta pertanggungjawaban, dr.Moestidjab mengatakan bahwa kebutaan yang dialami korban merupakan resiko dari prosedur.
Ditambah lagi dari pertimbangan hakim mengatakan dr.Moestidjab sudah melakukan prosedur sesuai SOP sehingga dinyatakan tidak bersalah, maka dari itu sang ang ko pun tidak diberi kompensasi apapun atas kebutaannya.
Terima kasih kelompok 2 telah membuat artikel yang sangat menarik.
BalasHapusSaya mau bertanya, dalam Permenkes No. 290/ Menkes/ Per/ III/ 2008 pasal 6 meskipun dokter sudah melakukan tindakan sesuai SOP, namun menyebabkan kerugian pada pasien, maka dokter harus mengganti kerugian yang sudah di alami pasien tersebut. Yang saya ingin tanyakan adalah dokter mengganti kerugian pasien berupa apa? Apakah dr. Moestidjab sudah mengganti kerugian yang di alami bapak Tatok Poerwanto?
Terima kasih
Beltsazar Onne P - 41170179
HapusTerimakasih atas pertanyaan Saudara Jonathan :)
Ijin menjawab, dalam peraturan yang anda sebutkan itu sebenarnya lebih mengarah kepada persetujuan atau informed consent bukan keseluruhan dari SOP. Meskipun dr. Moestidjab dan pasien sudah menyetujui tindakan operasi, tetapi mungkin ada beberapa hal yang membuat operasinya tidak berjalan lancar, mungkin dari tenaga medis yang terlibat ataupun kondisi dari pasien itu sendiri. Dan untuk mengganti kerugian pasien di berita di tuliskan yaitu surat permohonan maaf kepada pasien dan keluarga, dan untuk pengganti kerugian pasien yang lain tidak dituliskan pada berita.
Semoga membantu :)
Florentina Aira S_41170116
HapusTerimakasih atas pertanyaannya Jonathan,
Ingin menambahkan jawaban dari rekan saya Beltsazar, memang pada kasus ini memang dr. Moestidjab mengakibatkan kerugian pada bpk Tatok, tetapi setelah ditelusuri lagi pada Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam putusan bernomor 415/Pdt.G/2019/PN yang dibacakan oleh ketua majelis hakim yang diketuai oleh Dwi Purwadi telah menyetujui bahwa surat tersebut berisikan bahwa dr.Moestidjab terbukti tidak bersalah dalam menangani operasi katarak pasien atas nama Tatok Poerwanto, warga Surabaya.
Dan pada persidangan, ketua majelis hakim Ferdinandus telah membacakan penolakan gugatan dr. Moestidjab. Pertimbangan majelis hakim yaitu Tatok Poerwanto yang diduga menjadi korban malpraktik berhak mendapat permintaan maaf dari dr. Moestidjab serta didapatkan bahwa tidak ada tekanan dari keluarga pasien saat dokter tersebut menuliskan permintaan maaf (atas keinginannya sendiri).
Seperti yang dikatakan rekan saya, sehingga tidak ada keterangan pasti akan penggantian rugi terhadap pasien.
Demikian, semoga bermanfaat:)
Pembahasannya cukup baik. Terima kasih
BalasHapusHalo Kak Evan Nandi, terimakasih atas tanggapannya,
HapusGbu selalu.
Mengingat tindakan medis tersebut beresiko, apakah sebelumnya sudah diberi informed consent tertulis dan bertandatangan?
BalasHapusFlorentina Aira S - 41170116
HapusTerima kasih atas pertanyaannya,
Dari kasus ini dr. Moestidjab terbukti sudah melakukan tindakan sesuai SOP dan tidak terjerat hukuman dalam arti dr. Moestidjab sudah memberikan IC yang bertanda tangan, tetapi sebagai dokter sudah seharusnya menjelaskan dan memastikan kembali, apakah pasien sudah mengerti dengan jelas terkait tindakan yang dilakukan, resiko dan prognosis. Bukan hanya sekedar memberitahu pada pasien saja saja.
Serta pada kasus ini dr.Moestidjab sendiri mengaku berbohong pada pasien dan keluarga tentang kegagalannya karena takut malu dan reputasinya jatuh di mata keluarga pasien. Sehingga harus hati2 terkait tindakan berbohong dan memalsukan keterangan medis ke dalam suatu akta otentik tersebut yang dapat dianggap sebagai tindakan penipuan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Terimakasih atas pembahasannya,
BalasHapusTentang kasus tersebut, lalu apakah rekam medis pasien yang menyebutkan adanya kesalahan pada op katarak oleh dr terkait tidak terbukti?
Terimakasih
Florival Jose-41170144
HapusDari berbagai sumber berita yang saya baca, disebutkan bawa korban tersebut cuma mendapatkan salin rekam medis dari singapore eye clinic, “Dugaan malapraktik terbongkar, saat pihak keluarga mendapat salinan rekam medis hasil berobat(singapore eye clini), kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani. Sebab pada operasi pertama, ada lensa mata yang robek serta pecahan kataraknya, ternyata bertaburan di mata pasien.” dari merdeka.com. Di rekam medis dari singapore eye cliinic menjelaskan bawa sudah terjadi robekan di lensa mata seta pecahan kataraknya bertaburan di mata. Berdasarka jalur hukum rekam medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti tertulis di pengadilan. Dari situ mereka dapat meminta rekam medis tersebut dari singapore eye clinic, untuk dijadikan bukti apabila kasus tersebut ingin dilanjutkan ke jalur hukum. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, rahasia kedokteran (isi rekam medis) baru dapat dibuka bila diminta oleh hakim majelis di hadapan sidang majelis. Dokter dan dokter gigi bertanggung jawab atas kerahasiaan rekam medis sedangkan kepala sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab menyimpan rekam medis. Rahasia kedokteran tersebut dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum (hakim majelis), permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Mantap, makasi bang penjelasannya!
HapusPertama saya mengapresiasi pembahasan teman-teman sekalian. Saya mampu menangkap inti dari pembahasan ini dengan baik. Tetapi, Saya ingin bertanya apakah ketika Dokter tersebut sudah terbukti mengikuti kode etik dan prosedur yang benar dalam melakukan operasi, Ia otomatis terbebas dari segala tanggung jawab terhadap pasien yang mengalami kegagalan operasi? Atau tetap sebagai dokter harus membayar kompensasi bagaimana pun keputusan pengadilan?
BalasHapusNi Kadek Ayu Divia P - 41170131
HapusHallo Adelia, terima kasih atas tanggapan dan pertanyaan yang diberikan..
Jika dilihat dari peraturan yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, yakni pada Bab VI, Pasal 13 (2) ditanyakan bahwa “Kepatuhan kepada PNPK dan SPO” menjamin pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi tidak menjamin keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien”. PNPK merupakan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, sedangkan SOP merupakan Standar Operasional Prosedur. Pasal tersebut menunjukkan bahwa setiap tenaga medis harus melakukan segala tindakan medis yang sesuai dengan PNPK dan SOP yang berlaku, akan tetapi hal itu tidak menjamin kesembuhan pasien 100% setelah dilakukan tindakan medis tersebut, karena faktor kesembuhan seseorang tidak hanya ditentukan oleh pelayanan medis/pemberi layanan medis tersebut, akan tetapi masih banyak faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kesembuhan pasien, seperti kondisi kesehatan dari pasien itu sendiri juga dapat berpengaruh. Selain itu, jika dilihat dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2014, Pasal 57, Poin a yang berbunyi “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”, maka dari peraturan ini dapat diketahui bahwa jika seorang tenaga medis sudah menjalankan suatu tindakan sesuai dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan, namun tidak terjadi kesembuhan yang diinginkan pada pasien, maka tenaga medis tersebut tidak dapat dianggap melakukan malpraktik dan berhak mendapatkan perlindungan hukum, sehingga berhak untuk dibebaskan dari tuntutan.
Sumber :
- UU No. 36 Tahun 2014
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
Semoga informasi yang diberikan bermanfaat yaa :) Sukses dan sehat selalu..
Pembahasan kasus dalam artikel ini sangat menarik dan informatif. Saya ingin bertanya, mengenai norma hukum yg dilanggar oleh dr moestidjab yg sangat jelas terlihat yaitu mengenai KODEKI pasal 7b dan pasal 378 KUHP tentang penipuan. Melihat norma hukum yg dilanggar, mengapa dr moestidjab tetap dikatakan tidak bersalah dan sudah menyelesaikannya kasusnya dgn hanya permintaan maaf. Apakah dalam kasus ini terdapat penyelesaian hukum yg "berat sebelah" antara pihak dr moestidjab dan korban dalam penyelesaian kasus hukum ini? Terimakasih
BalasHapusMaxima Aditya (41170148)
HapusMenurut KODEKI pasal 7b, dr. Moestijab memang bersalah karena telah melakukan ketidakjujuran terhadap pasien seperti yang tertera dalam pasal tersebut. Namun, harus ditinjau juga dari Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 yang berisi praktik kedokteran diselenggarakan atas persetujuan dokter dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Selain itu, pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512 tahun 2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksaan Praktik Kedokteran pasal 14 yang berbunyi praktik kedokteran dilaksanakan berdasar pada kesepakatan berdasarkan hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien dalam upaya maksimal untuk mencapai kesembuhan dan pemulihan kesehatan pasien sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan kebutuhan medis pasien. Berdasarkan 2 peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah tindakan merupakan kesepakatan berdasarkan kepercayaan antara dokter dan pasien. Kesepakatan ini sering disebut sebagai kesepakatan terapeutik. Kesepakatan ini berbentuk perjanjian untuk melakukan usaha maksimal untuk menyembuhkan pasien, bukan menjanjikan kesembuhan. Hal tersebut juga didukung Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 50 yang berisi bahwa dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Oleh karena dr. Moestijab telah melakukan operasi mata tersebut sesuai SOP yang ada, dapat disimpulkan jika dr. Moestijab tidak bersalah. Dan perlu diketahui, bahwa di setiap tindakan kedokteran selalu akan ada informed consent. Seperti pada Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 8 yang berisi setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Selain itu, terdapat Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 yang berisi setiap tindakan kedokteran yang dilakukan dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan ini didapatkan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap, berupa diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, tindakan alternatif dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Jadi, dari 2 peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien dr. Moestijab sudah mengetahui tentang risiko dan komplikasi operasi mata tersebut dan pasien telah menyetujuinya. Dapat disimpulkan bahwa dr. Moestijab tidak malpraktik. Permintaan maaf atas ketidakjujuran tentang kegagalannya dalam operasi secara resmi telah disampaikan ke pengadilan negeri, hal ini dapat digunakan sebagai ikhtikad baik oleh pengadilan meskipun berdasarkan hukum yang ada dr. Moestijab tidak bersalah.
Sumber :
- Kode Etik Kedokteran Indonesia
- Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39
- Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45
- Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 50
- Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 8
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512 tahun 2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksaan Praktik Kedokteran pasal 14
- Pasal 378 KUHP
Maxima Aditya (41170148)
HapusSebagai tambahan, untuk pasal 378 KUHP berisi tentang "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun." Jadi, pasal ini tidak ada hubungannya dengan kasus dr. Moestijab, penipuan yang dimaksudkan di pasal ini lebih menitikberatkan pada penipuan yang merujuk pada tindakan pidana/kriminal, misalnya me-rental mobil namun di bawa kabur. Jadi mohon dicermati kembali, terima kasih.
Panjang dan jelas untuk jawabannya, thx kelompok 2
HapusRefleksi dari teman2 sangat menarik, namun bagaimana jika dokter sudah mengikuti prosedur dan sudah jujur menjelaskan keadaan pasien kepada keluarga, sedangkan dimasyarakat berkembang isu bahwa sebuah penyakit bisa dibohongi atau bahkan dilebih2kan agar biaya rumah sakit membengkak. Tentu saja itu tidak benar. Isu itu muncul karena pemahaman kekuarga pasien pada penjelasan dokter atau bahas dokter kurang sederhana diterima keluarga pasien.
BalasHapusAntonius adhymas P - 41170173
HapusTerima Kasih atas pertanyaan yang diberikan.
Oleh sebab itu betapa pentingnya penjelasan dokter terhadap pasien dan keluarga/wali harus jelas dan menggunakan Bahasa awam atau non medis. Sehingga pasien dan keluarga/ wali tahu apa yang disampaikan dokter tersebut. Maka pasien dan wali menjadi tahu informasi yang disampaikan dokter tersebut. jika harus dilakukan tindakan, maka mereka semua tahu apa yang akan dilakukan dokter terhadap pasien dan juga mengetahui dampak positif dan negatif (kegagalan/ hasil terburuk) dari dindakan tersebut. Sehingga setelah dokter melakukan penggalian informasi keluhan utama pasien, riwayat terdahulu, riwayat keluarga, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan menyampaikan beberapa pilihan tindakan/ terapi apa yang pas untuk pasien serta telah disampaikan rincian kira-kira biaya dari prosedur tersebut, dan jika pasien sudah memilih terapi apa yang di pilih serta keluarga/ wali setuju dengan prosedur tersebut, maka pentingnya dokter dan pasien mengisi suatu form pernyataan yang menyatakan bahwa dokter telah menyampaikan semu informasi terhadap pasien dan keluarga/wali secara jelas. Pasien mengisi form pernyataan persetujuan tindakan dan telah mengetahui kemungkinan hasil positif dan kemungkinan terburuk dari tindakan tersebut, serta terapi berikutnya setelah tindakan hingga sembuh. Setelah itu dokter menandatangani form tersebut, pasien dan keluarga/wali juga menandatangani form pernyataan tersebut. Sehingga ada bukti tertulis yang kuat dan sah.
Untuk menjawab regulasi biaya rumah sakit, pemerintah sudah memberikan standar/patokan biaya secara rinci dari masing-masing tindakan dan rawat inap sesuai yang tertulis pada Permenkes RI Nomor 64 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Terima Kasih
Sumber:
- Purwadianto, Agus. et al. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
- Peraturan Menterl Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Mantap! thx infonya
HapusTerimakasih atas artikelnya. Disini saya mau bertanya. Mengapa dokter tersebut tidak dihukum, padahal ia berbohong mengenai hasil operasinya?
BalasHapusterimakasih sebelumnya
Bryan Abednego
41170181
I Made Wahyu Adi Putrawan/41170203
HapusIjin menjawab, seharusnya dokter yang melakukan pembohongan terhadap pasien dipidana sesuai Kodeki Pasal 7b: “Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien”. Tetapi Undang – Undang No 36 Tahun 2014 pasal 57 poin a mengatakan bahwa “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”. Ini adalah alasan Pengadilan Negeri membebaskan gugatan dari pasien terhadap dokter, karena dokter sudah melakukan sesuai prosedur medis dan sesuai SOP yang ada, hanya saja terjadi resiko akibat operasi yang sudah dijelaskan dalam informed consent. Walaupun dokter disini berbohong mengenai hasil operasinya, segala permintaan maafDARI dokter menjadi salah satu alasan pihak Pengadilan Negeri untuk memberi keringanan.
Sumber: KODEKI, UU No. 36 Th 2014
terimakasih atas artikelnya kelompok 2. disini saya ingin bertanya berkaitan dengan hasil yang menyatakan bahwa dokter diatas tidak bersalah. apakah dari kalian merasa itu keputusan yang sesuai atau tidak? dan apabila dinyatakan bersalah, bentuk hukuman apa yang seharusnya diterima oleh dr. Moestijab?
BalasHapus-Gabriel Btara - 41170163
Aloysius Gonzaga P.B-41170164
HapusHalo cedric a.k.a Gabriel Btara, terimakasih tanggapan anda
Menurut saya hal tersebut adalah keputusan yang tepat dari hakim/pengadilan. Karena dokter sendiri sudah memenuhi SOP. Dari pasien sendiri yang sudah cukup tua pasti ada penurunan fungsi salah satunya adalah lemahnya serat pemegang lensa (zonnular weakness) yang menyebabkan terjadi vitreus (terjadinya materi inti lensa masuk badan kaca) sehingga operesi dihentikan demi kepentingan pasien. Dokter sendiri mempunyai tujuan yang baik. Majelis Hakim sudah menimbang apakah memang ada unsur Perbuatan Melawan Hukum, unsur tersebut yakni:
-adanya perbuatan;
-perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum;
-harus ada kesalahan pelaku;
-harus ada hubungan sebab dan akibat (causalitas) antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut;
Dan dari situ tidak ada atau tidak ditemukannya unsur Perbuatan Melawan Hukum. Hakim juga sudah memmperhatikan ketentuan hukum yang berlaku khususnya dalam HIR (Stb-1941-1944) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Tentang Kekuasaan, Kehakiman, Undang-undang Tentang Peradilan Umum dan Ketentuan Hukum lain yang bersangkutan dengan Perkara ini, terimakasih
Terimakasih, artikelnya menarik dan menambah wawasan 😊
BalasHapusHallo kak Febrina.. Terima kasih sudah membaca dan terima kasih juga untuk tanggapannya kak :)
HapusSukses dan sehat selalu kak febrina..
Terimakasih kak Febrina atas tanggapannya.
HapusSemoga bermanfaat.
Terima kasih atas tulisannya. Apakah dari segi hukum tidak ada yang melindungi pihak medis terkait malpraktik ? Menurut saya sudah menjadi resiko pasien jika ingin melakukan operasi mengingat setiap operasi selalu memliki kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
BalasHapusKezia Devina Deodatis - 41170137
HapusTerimakasih atas pertanyaannya kak, disini saya akan bantu menjawab.
Memang benar setiap tindakan yang beresiko tinggi seperti operasi kemungkinan memiliki resiko atau komplikasi tertentu, untuk itu seorang dokter juga harus memastikan pasien apakah sudah mengerti / belum mengenai kemungkinan terburuk yang dapat terjadi.
Dasar hukum yang memberikan perlindungan terhadap dokter terdapat dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 pasal 57, dimana tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional, sehingga dokter tidak dapat dituntut, baik secara administrasi, perdata, maupun pidana. Pada saat melaksanakan praktek kedokteran, dokter juga harus memenuhi Informed Consent dan Rekam Medik sebagai alat bukti yang bisa membebaskan dokter dari segala tuntutan hukum apabila terjadi dugaan malpraktek. Dalam Undang-Undang Kesehatan juga mengatakan jika tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Sumber : Undang-Undang No. 36 Tahun 2014
Semoga jawaban ini dapat membantu, terimakasih.
Terima kasih infonya.... Sukses kelompok 2!
HapusTerimakasih artikel yang menarik, saya hanya ingin menanyakan sebenarnya sejauh mana batasan yang digunakan untuk menyebut sebuah tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis itu malpraktik? Seperti yang kita tau bahwa setiap tindakan yang diambil oleh dokter sangat mungkin terjadi hal hal yang tidak diinginkan walaupun sudah dilakukan secara maksimal dan perhitungan yang tepat. Permasalahan disini adalah masyarakat pada umumnya menilai seorang dokter melakukan malpraktik untuk setiap kesalahan yang dilakukan oleh dokter walaupun tidak sengaja atau dapat disebut kecelakaan yang tidak terduga. dengan kata lain apakah seorang dokter tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun? Mohon tanggapannya terimakasih.
BalasHapusBrian Ardya Indrajat_41170143. Terimakasih Ocha atas pertanyaannya. Dalam UU no. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, maupun dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia no. 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, memang tidak disebutkan definisi atau batasan dari malpraktik. Namun menurut KBBI, definisi kata malpraktik sendiri adalah "praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik". Mengacu pada definisi tersebut, berarti tindakan malpraktik merupakan bagian dari tindakan dokter yang melanggar dengan disiplin profesionalnya. Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia no. 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, disebutkan bahwa pelanggaran terhadap disiplin profesional seorang dokter atau dokter gigi pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi 3 hal, di antaranya adalah melaksanakan Praktik Kedokteran dengan tidak kompeten dan tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga ketika dokter melanggar hal-hal tersebut, maka dokter tersebut dapat dikatakan melakukan malpraktik. Semoga menjawab, terima kasih.
HapusSumber : Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia no. 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi
Topik pembahasannya menarik, saya ingin bertanya apabila jika ditinjau dari sisi pihak rumah sakit, lantas bagaimana langkah yang tepat untuk melindungi reputasi rumah sakit di mata pasien?
BalasHapusOpsi pertama, apakah dengan mengusut tuntas kasus tersebut melalui jalur hukum, termasuk apabila benar terbukti dokter yang salah? Namun jika terbukti dokter yang bersalah, maka situasi tidak terlalu menguntungkan karena di sudut pandang pasien akan muncul stigma bahwa dokter di RS tersebut kurang reliable..
Opsi kedua yaitu pihak RS akan membela dokter dari pihak rumah sakit tersebut? Lantas bagaimana dengan hak-hak yang seharusnya diterima oleh pasien RS?
terimakasih sebelumnya, mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan
41170171-Setywanty Layuklinggi
HapusTerimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya. Saya akan mencoba menjawab
Rumah sakit maupun dokter memiliki kode etik dan hukum yang mengaturnya dalam menjalankan profesinya. Jika memang tindakan yang dilakukan oleh dokter di RS tersebut telah melanggar kode etik kedokteran dan hukum yang berlaku maka tindakan yang diambil juga harus tegas kepada dokter tersebut. Pihak rumah sakit tidak boleh menutup-nutupi kesalahan yang dibuat dokter tersebut meskipun pastilah juga berdampak pada reputasi rumah sakit. Kecuali jika dokter tersebut sudah menggunakan protokol atau prosedur sesuai SOP yang ada, maka Komite Medik di RS tersebut berhak melindungi dokter. Tetapi jika terbukti tindakan dokter melanggar protokol yang berlaku maka kasus dokter tersebut perlu diusut tuntas melalui jalur hukum ataupun melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Meskipun tindakan mengusut kasus tersebut memberi dampak pada nama baik Rumah Sakit, hal tersebut harus tetap ditegakkan. Untuk mengembalikan reputasi Rumah Sakit tersebut, bisa dengan memberi pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi kedepannya dengan tetap mengutamakan transparansi dan tetap mengutamakan kode etik serta berdasar kepada peraturan hukum yang berlaku.
Semoga informasinya bermanfaat :) Terimakasih
Artikel yang bagus. Saya jadi penasaran, meskipun dokter tersebut sudah melakukan operasi sesuai dengan prosedur dan terbukti tidak melakukan malpraktik, apakah dokter tersebut tetap dinyatakan tidak bersalah atas kebohongan yang dilakukannya? Atau karena tuduhannya hanya sebatas malpraktik maka kebohongan tersebut tidak ditindaklanjuti?
BalasHapusTerima kasih
Ni Kadek Ayu Divia P - 41170131
HapusHallo Kak Panji, terima kasih atas tanggapan dan pertanyaan yang diberikan ..
Kebohongan yang dilakukan oleh dr. Moestidjab sebenarnya melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia, Pasal 7c yang berbunyi “Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan menjaga kepercayaan pasien”, dimana menurut Permenkes RI No. 69 Tahun 2014 dinyatakan bahwa hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan antara lain memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi”, dari kedua peraturan tersebut, dapat dikatakan bahwa dr. Moestidjab melanggar hak pasiennya dengan memberikan informasi medis yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain itu, hal ini juga dinyatakan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, Pasal 7b bahwa “Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien”, sehingga dari peraturan ini dapat disimpulkan bahwa setiap dokter/tenaga medis mempunyai kewajiban untuk memberitahukan pasien dan/atau keluarganya mengenai kondisi pasien yang sebenarnya meski hal itu merupakan berita buruk. Jika dilihat dari ketiga peraturan tersebut, maka dr. Moetidjab dianggap bersalah, akan tetapi harus dilihat lagi peraturan lainnya mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP), yakni Undang-Undang No. 36 Tahun 2014, Pasal 57, Poin a yang berbunyi “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”, pasal ini menunjukkan bahwa dr. Moestidjab berhak mendapatkan perlindungan hukum karena sudah terbukti tidak melakukan malpraktik dan bertindak sesuai dengan SOP. Kebohongan yang dilakukan oleh dr. Moestidjab sudah dinyatakan dalam sebuah permohonan maaf yang diajukan oleh dr. Moestidjab ke Pengadilan Negeri, sehingga hal tersebut juga dinilai sebagai sesuatu yang positif dari segi hukum karena tersangka bersedia untuk mengajukan permohonan maaf, dan juga dapat digunakan sebagai pertimbangan hukum untuk dr. Moestidjab.
Sumber :
- UU No. 36 Tahun 2014
- Permenkes RI No. 69 Tahun 2014
- Purwadianto, Agus. et al. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta:
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
Semoga informasi yang diberikan bermanfaat :) Sukses dan sehat selalu..
Selamat malam, terima kasih kelompok 2 untuk kasus yang sangat menarik :)
BalasHapusSaya mempunyai beberapa pertanyaan terkait pembahasan diatas:
1. Beberapa pelanggaran yang dilakukan dr.Moestidjab diatas bisa dikaitkan dengan pelanggaran etika kedokteran. Kapankah suatu bentuk pelanggaran etika dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum?
2. Dikatakan pada kasus bahwa dokter telah melakukan prosedur pembedahan dengan benar dan hal diatas merupakan risiko dari sebuah tindakan medis yang harus disetujui. Bagaimana membedakan dalam kasus ini bahwa dalam prosedur tersebut memang terjadi risiko dari prosedur medis, atau itu merupakan kesalahan dokter yang disebabkan kelalaian atau suatu bentuk inkompetensi dokter tersebut saat melakukan prosedur? Apakah kelalaian medis dimasukkan dalam suatu risiko dalam tindakan medis?
3. Bagaimana pendapat kelompok 2 mengenai informasi palsu/bohong yang diberikan oleh dr.Moestidjab terhadap pasien tersebut, mengapa suatu bentuk pembohongan terhadap kondisi pasien ini dapat lolos dari hukuman baik dari segi etika maupun perdata?
4. Permenkes No. 290/ Menkes/ Per/ III/ 2008 pasal 6, terdapat bentuk kerugian besar dalam prosedur medis dari dr. Moestidjab yang menyebabkan kebutaan permanen. Apakah gantu rugi non materiil saja dalam bentuk permintaan maaf sudah cukup untuk ganti rugi terdahap pasien yang mengalami cacat?
Terimakasih, semangat terus kelompok 2
Patrick K - 41170104
Ni Kadek Ayu Divia P - 41170131
HapusHallo Patrcik, terima kasih atas tanggapan dan pertanyaan yang diberikan :) Disini saya akan menjawab pertanyaan nomor 1 dan 2 :
1. Di Indonesia sendiri terdapat ketentuan yang mengatur etika kedokteran dan hukum kesehatan, jadi sebenarnya ada beberapa kasus yang mungkin memang tumpang tindih antara pelanggaran etika dan hukum yang berlaku, namun untuk membedakan kasus-kasus tersebut, kita perlu mencermati isi dari Kode Etik Kedokteran dan ketentuan hukum yang berlaku agar dapat membedakan mana kasus yang merupakan pelanggaran etik, pelanggaran hukum, maupun keduanya. Sebagai contoh, ada prinsip etika kedokteran yaitu non-mafelicence, yang berarti tidak merugikan pasien, dan kita ambil contoh pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008, Pasal 6 yang berbunyi "Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien". Dari Kodeki dan Permenkes tersebut bisa dilihat ada kesamaan antara keduanya, yaitu sama-sama membahas mengenai kerugian yang dialami pasien akibat tindakan medi, maka kasus yang menyangkut kerugian pasien dapat dianggap sebagai pelanggaran etika dan hukum sekaligus. Jadi, kunci utamanya adalah kita harus mampu memahami Kodeki dan hukum yang berlaku untuk mengetahui kapan suatu kasus dianggap melanggar kode etik dan kapan dianggap melanggar hukum.
2. Kelalaian medis tentu saja merupakan salah satu resiko dari ketidakberhasilan suatu tindakan medis. Untuk Standar Operasional Prosedur sendiri merupakan salah satu hal yang wajib dimiliki oleh sebuah rumah sakit sebagai acuan untuk memberikan layanan kepada pasien. Rumah sakit sendiri mempunyai Komite Medis yang memiliki Sub-komite Etika dan Disiplin Profesi sebagai salah satu anggotanya, dimana sub-komite ini bertugas untuk menilai kinerja dan juga melakukan pendisiplinan bagi para staf medis berdasarkan standar prosedur operasional asuhan medis yang telah dilakukan, segala tindakan yang dilakukan oleh staf medis akan selalu dinilai oleh Komite Medis Rumah Sakit, sehingga akan diketahui mana staf medis yang melaksanakan tindakan sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) dan mana yang tidak sesuai. Oleh karena itu, akan dapat diketahui apakah ketidakberhasilan suatu tindakan medis benar-benar disebabkan oleh kelalaian tim medis atau oleh faktor lainnya, seperti kondisi kesehatan pasien, dan lain-lain.
Sumber :
- Permenkes No. 290/ Menkes/ Per/ III/ 2008.
- KODEKI, 2012.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 755/Menkes/Per/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit.
Semoga informasi yang diberikan bermanfaat, terima kasih :) sehat dan sukses selalu..
Mohon maaf, ada kesalahan dalam penyebutan nama, maksud saya Patrick :)
HapusFlorentina Aira S_41170116
HapusTerimakasih untuk pertanyaanya Patrick
Ijin menambahkan untuk pertanyaan no.3 dan no.4
3. Baik untuk pendapat kelompok kami terkait kasus ini adalah memang dr. Moestidjab sudah melakukan operasi sesuai prosedur medis/ SOP yang ada dan segala resiko ataupun komplikasi seharusnya sudah seharusnya dijelaskan sebelum perlakuan tindakan dan akhirnya pun dapat diterima oleh pasien karena sebelumnya sudah ada Informed Consent. Walaupun dokter disini berbohong mengenai hasil operasinya, segala permintaan maaf yang dikatakan dokter juga akhirnya menjadi salah satu alasan pihak Pengadilan Negeri untuk memberi keringanan.
Jika memang tindakan yang dilakukan oleh dr. Moestidjab tersebut telah melanggar kode etik kedokteran dan hukum yang berlaku maka sebaiknya peraturan hukum juga mengambil yang harus tegas kpd pihak yang bersalah. Sedangkan, pihak rumah sakit pun tidak boleh menutup-nutupi segala tindakan yang memang bersalah meskipun juga akan berdampak pada reputasi rumah sakit.
Kecuali jika pada kasus ini kan dr. Moestidjab tersebut sudah menggunakan protokol atau prosedur sesuai SOP yang ada, maka Komite Medik di RS tersebut berhak melindungi dokter. Tetapi jika terbukti tindakan dokter melanggar protokol yang berlaku maka kasus dokter tersebut seharusnya perlu diusut tuntas melalui jalur hukum ataupun melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Semoga membantu.
selamat malam kak,, wah artikel yang bagus sekali..
BalasHapusizin bertanya kak, apakah ini menunjukan bahwasannya hukum kita mengalami fleksibilitas yang memberikan ruang terhadap kejadian seperti ini ? karen jelas terlihat pola bahwa ketika sang dokter telah melakukan sebuah prosedur dengan sesuai dan memang mungkin ada terjadi hal diluar kehendak yang terjadi tetapi melalui prosedur penialaian dokter seharusnya resiko tersebut sudah dipresentasekan dan sudah dipikirkan kemungkinan terburuknya ? dan apakah dibenarkan ketika dokter telah menyadari hal tersebut terjadi,lalu dilakukan rujukan dengan dalih "dibutuhkan alat yang lebih memadai dan mumpuni untuk mengerjakan? sementara seharusnya dalam rekam medis dituliskan semua kejadian dan tindakan dokter selama diruang tindakan ?
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Vallen untuk pertanyaan supernya, disini saya mewakili kelompok akan mencoba membantu menjawab
Untuk fleksibilitas hukum sendiri, sebenarnya semua sudah dibagi - bagi menurut porsinya masing - masing. Pada kasus ini yaitu pada Undang – Undang No. 36 Tahun 2014 pasal 57 poin a yang berbunyi “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”. Dan segala kejadian yang akan terjadi pasca tindakan juga diatur pada Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (3) Tentang persetujuan Tindakan yang berbunyi
“Penjelasan sebagaimana dimaksud sekurang - kurangnya mencakup :
1. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
2. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. alternatif tindakan lain dan risikonya;
4. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan”.
Jadi pada dasarnya semua sudah dilakukan dengan baik, hanya saja yang ditekankan di kasus ini adalah adanya kebohongan seorang dokter dalam memberikan informasi pasca tindakan. Memang pada Kodeki pasal 7b dijelaskan bahwa dokter harus jujur terhadap pasiennya. Nah mengapa disini hakim memutuskan untuk memberikan keringanan ? Karena atas banyak pertimbangan yang dilakukan seperti dokter sudah melakukan prosedur medis dengan baik, hanya saja pasien belum memahami benar mengenai informed consent yang diberikan. Dan kasus ini masih banyak massa yang belum menerima dengan baik, sehingga bisa ditunggu kembali untuk kelanjutan kasusnya.
Terimakasih semoga membantu :)
Info yang menarik, bagaimana bila kelanjutan dokter tersebut dipenjara?
BalasHapusApakah ada hukuman yang diatur dalam pasal perundang2an? Bila ada berapa lama dokter tersebut dapat hukuman?
Florentina Aira S _ 41170116
HapusTerimakasih atas tanggapannya Vivian,
untuk peraturan sudah diatur dalam Pasal 263 KUHP pemalsuan surat
1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
ada juga hukum yang menyebutkan Pasal 378 KUHP penipuan
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Semoga bermanfaat.
Kalau kasus pasien seperti itu, apa sebenarnya masih boleh ditangani padahal sudah buta?
BalasHapuskalau bisa ditangani apa tindakan yang tepat? donor mata?
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak BG untuk pertanyaan supernya, saya mewakili kelompok akan mencoba membantu menjawab
Pada kasus yang kami bahas tersebut awalnya pasien belum mengalami kebutaan, hanya saja setelah dilakukan operasi, pasien tersebut mengalami kebutaan yang merupakan akibat dari resiko operasinya. Untuk tindakan yang tepat kepada pasien yang mengalami kebutaan, seperti yang anda katakan benar sekali yaitu melakukan donor mata. Hanya saja untuk prosedur donor mata yang akan dilakukan harus tetap memperhatikan SOP, Hukum, serta Etika yang ada. Semua harus dilaksanakan informed consent terlebih dahulu terutama kepada pihak pendonor apakah mau untuk mendonorkan matanya, biasanya memang dilakukan setelah pendonor tersebut sudah meninggal dan meninggalkan surat wasiatnya. Untuk ketentuan bagaimana mendonor yang benar mungkin kak BG bisa membaca kembali artikel yang pernah kami buat mengenai transplantasi organ yang ada di blog ini juga :)
Terimakasih semoga membantu
Terimakasih atas tanggapannya :) semoga informasinya bermanfaat
BalasHapusTerimakasih untuk artikelnya yang sangat menarik! setelah membaca mengenai kasus diatas, saya ingin bertanya mengenai beberapa hal :
BalasHapus1. Bagaimana kriteria rujukan yang baik dan benar? Karena berdasarkan pemahaman saya, dokter dan korban dalam kasus tersebut seringkali mengalami miskomunikasi yang pada akhirnya merugikan keluarga korban.
2. Tindakan apakah yang seharusnya dilakukan oleh pasien dan keluarga pasien untuk menghindari terjadinya malpraktek apabila dokter yang bertugas merujuk kasus ke dokter atau tempat lain.
Terimakasih (Mary Rose A._41170145)
Edward Kurniawan-41170121
HapusTerima kasih mary atas pertanyaannya. Disini saya mewakili kelompok mencoba menjawab
1. Jadi pada PERMENKES RI No.4 Tahun 2018 tentang Kewajiban RS dan Kewajiban pasien Pasal 14 ayat 4b" Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima dapat menerima pasien" disini seharusnya seorang dokter tidak asal merujuk seperti pada kasus dimana tujuan rujukan yang diberikan dokter tersebut ternyata salah, jadi seorang dokter harus melakukan komunikasi terlebih dahulu. Kemudian pada PERMENKES RI No. 2502 Tahun 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran Pasal 23 ayat 3b "pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;" seorang dokter yang merujuk tetap harus mengawasi pasien yang dirujuknya. Agar terhindar dari miskomunikasi juga perlunya inform consent yang baik antara dokter dengan pasien/keluarga.
2. Sebagai pasien atau keluarga pasien hendaklah untuk lebih cermat, karena derajat pasien sama dengan dokter. Jadi pasien dapat mencari tahu penyebab dengan membaca ataupun dengan bertanya langsung kepada dokternya alasan mengapa dirujuk. Dengan begitu dapat mengatisipasi terjadinya malpraktik yang kemudia dirujuk ke layanan kesehatan lainnya
Kasus yang menarik dan membuka mata saya sebagai mahasiswa kedokteran, bahwa dalam profesi apapun kejujuran adalah hal yang perlu dinomor satukan, karena sebesar apapun resiko yang akan dihadapi, akibat dari kebohongan akan selalu menanti kita di depan dan akan lebih merugikan kita. Tuhan memberkati kakak-kakak selalu. Sukses untuk kedepannya.
BalasHapusTerimakasih kak sudah berkunjung di blog ini dan sudah membaca. Sukses juga untuk kedepannya kak, Tuhan memberkati:)
Hapusterimakasih sudah membaca artikel kami :)
Hapussemoga hal seperti ini tidak terjadi lagi dan bisa menjadi reminder bagi kita semua sebagai mahasiswa kedotekteran kedepannya. Sukses selalu kak GBU!
Terimakasih atas artikelnya, Kasus yang menarik, saya ingin bertanya
BalasHapus1. Apakah keluarga korban tidak menaikan banding/kasasi?
2. Jika itu murni kesalahan dari dokter , kenapa dokter harus berbohong, padahal didalam kode etik kedokteran ada pasal yang berbunyi dokter harus jujur/ tidak menyembunyikan diagnosis, apa tidak ada hukuman untuk dr tersebut? Terimakasih
Ormy Abiga Mahendra
41170155
Terimakasih kak Ormy atas pertanyaan supernya, disini saya mewakili kelompok akan mencoba membantu menjawab
Hapus1. Untuk banding sendiri keluarga korban sudah melakukannya terhadap keputusan dari Pengadilan Negeri. Hanya saja Pengadilan Negeri tetap memberikan keputusan yang sama, sehingga akibatnya banyak massa dan pihak korban yang melakukan unjuk rasa untuk meminta keadilan dan membuat kasus ini terus berlanjut sampai belum ada yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Untuk kelanjutan kasus sendiri saat ini baru sampai di keputusan pengadilan negeri itu saja, belum ada update terkini
2. Pada kasus ini sudah dijelaskan, bahwa kebutaan yang dialami pasien yaitu bukan murni kesalahan dokter tetapi memang akibat dari resiko dan komplikasi yang dialami pasien, dan hal itulah yang membuat dr Moedtidjab diberikan keringanan dimana menurut Undang – Undang No 36 Tahun 2014 pasal 57 poin a mengatakan bahwa “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”.
Terimakasih semoga membantu :)
I Made Wahyu A P / 41170203
HapusIjin menambahkandan menyambung jawaban dixie, Hukumnya ada terkait dokter berbohong, tetapi pihak pengadilan memberi keringanan kepada dokter. Dilihat dari permenkes No.290 Tahun 2008 Pasal 8 ayat 3 menyebutkan bahwa penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua resiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan dokter yang dilakukan, kecuali:
a). risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b). risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan
c). risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
Jika dokter sudah menjelaskan bahwa resiko dan komplikasi apa yang bisa terjadi melalui informed consent, pihak keluarga sudah mengisi form pernyataan tindakan, menjelaskan prognosis baik buruk yang bisa terjadi post operasi dan pihak dokter sudah melakukan operasi sesuai SOP yang berlaku, dan juga sudah meminta maaf melalui surat tertulis. Ini alasan pengadilan membebaskan gugatan dari pasien terhadap dokter
Terimakasih semoga membantu.
Halooo, pertama saya mengapresiasi artikelnya. Sangat bagus sekali artikelnya. Kedua ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan :
BalasHapus1. Bilamana dr tersebut terbukti bersalah. Bagaimana cara mengembalikan reputasi Eye Clinic tersebut? Adakah cara-cara ataupun langkah-langkah yang harus ditempuh?
2. Bagaimana untuk mencegah/ tindakan preventif agar kasus seperti ini tidak terulang kembali? Mungkin dari komite medik nya atau bagaimana.
Natasha Vanya M H_41170196
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya kak radian :)
saya ijin menjawab ya
untuk no 1 ,dapat dilakukan beberapa cara untuk mengembalikan reputasi rumah sakit;
1. Memanfaatkan indikator performa
mengimplementasikan indikator performa yang membuat tenaga kesehatan bisa mengetahui performa mereka sendiri dan juga patokan mereka. Selain itu, untuk mempromosikan transparansi, mempublikasi outcome klinis dari prosedur Tujuannya adalah untuk menyediakan informasi berguna mengenai kualitas kesehatan. Pasien ingin mereka selalu mendapat pelayanan medis berkualitas tinggi, patokan yang dibuat dari indikator performa. Dengan demikian, jika rumah sakit ingin membangun reputasinya, penting bagi mereka untuk fokus pada peningkatan skor menggunakan indikator ini.
2. Meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit
Di Amerika Serikat, survey Hospital Consumer Assessment of Healthcare Providers and Systems (HCAHPS) menggunakan kepuasan pasien sebagai salah satu kriteria penilaian rumah sakit. Selain itu, manajemen rumah sakit harus membangun kemampuan interpersonal tenaga kesehatan. Kemampuan ini bisa meningkatkan reputasi rumah sakit, karena staff karyawan merupakan wakil dari brand rumah sakit.
3. Berikan kualitas,tunjukan apabila memiliki kualitas yang baik
Reputasi rumah sakit sangat bergantung pada kualitas pelayanan yang diberikan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memastikan fasilitas dan alat medis yang digunakan. Ketika rumah sakit bisa memberikan kualitas pelayanan yang tinggi, rumah sakit juga bisa mendapat akreditasi dari pasien.Manajemen staf rumah sakit juga harus ikut mempertimbangkan masalah non-medis dan pelayanan.
Aloysius Gonzaga P.B_41170164
HapusIjin menambahkan,
Bisa dilakukannya audit medis.
Audit medis merupakan proses evaluasi mutu pelayanan medis melalui telaah rekam medis oleh profesi medis sendiri. Tujuan dilakukan audit medis adalah pelayanan medis prima yang bersumber pada evaluasi mutu pelayanan, penerapan standar, dan perbaikan pelayanan berdasarkan kebutuhan pasien dan standar yang telah ada. Audit medis di Indonesia diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan no. 496 tahun 2005. Pembahasan kasus kematian, kasus sulit, kasus langka, dan lain-lain adalah bentuk audit medis yang paling sederhana. Audit medis paripurna menyertakan review, assessment, dan surveillance. Audit medis adalah proses yang terus menerus karena merupakan upaya yang terus menerus. Proses inti audit medis adalah menetapkan kasus yang akan diaudit, mengumpulkan berkas kasus tersebut, dan membandingkan pelayanan medis yang diberikan dengan standar, untuk selanjutnya mengambil tindakan korektif. Audit medis dapat dilakukan mulai dari kelompok staf medis (organisasi dokter dengan kemampuan atau kompetensi klinis yang sama) sampai ke tingkat komite medis di tingkat rumah sakit.
Kasus yang diambil oleh kelompok ini baik sekali, karena hal ini dalam dunia kedokteran perlu diperhatikan. Berdasarkan kasus diatas maka sebagai orang yang awam di dunia kedokteran, saya memiliki tanggapan bahwa penting sekali menanamkan etika berprofesi, keprofesionalan kerja, serta rasa bertanggung jawab bagi calon dokter yang saat ini sedang menempuh jenjang pendidikan tinggi, supaya hal2 seperti kasus diatas dapat dihindari. Mengenai kasus yang ada tanggapan saya yakni terlepas dari dokter yang dirasa sudah sesuai prosedur dalam operasi, namun kerugian tetap akan dirasakan pasien seumur hidup, jadi menurut saya hal ini menjadi pembelajaran berarti bahwa ketelitian, profesionalitas, dan etika berprofesi dalam kedokteran perlu ditanamkan kepada para calon dokter.
BalasHapusDari : Arnoldus Galih / mahasiswa
Terimakasi Bang Galih mahasiswa arsi, atas tanggapannya, ya benar betul sekali etika profesi, sikap profesionalitas, dan teliti memanglah penting, tidak hanya untuk calon dokter saja tapi untuk semua profesi,
HapusSalam mahasiswa
Saya iseng tadi menbaca jawaban dri kelompok ini mengenai masalah ketidak jujuran dokter mengenai hasil operasinya kepada pasien apakah tidak dihukum?
BalasHapusLalu kelompok ini menjawab katanya seharusnya dipidana sesuai kodeki no 7b
Mungkin saya minta tolong dijelaskan alurnya ketika dokter mengalami masalah pelanggaran etik apakah dokter itu bisa dipidanakan ?
Atau ada proses lainnya ?
Antonia Deta 41170177
HapusTerimakasih kak WW atas pertanyaannya. Saya akan menjelaskan.
1.Pada dasarnya apa yang dilakukan dr.Moestidjab sudah sesuai prosedur. Sesuai dengan UU No 36 tahun 2014 (Tentang tenaga kesehatan) pasal 57, dikatakan bahwa "tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak a)memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional"
Maka dari pasal ini bisa disimpulkan kesalahan dr.Moestidjab yaitu berbohong mendapatkan perlindungan hukum.
2. Tujuan pemberian sanksi bagi pelanggar etik kedokteran sejatinya bersifat pembinaan terhadap teman sejawat sehingga mereka menyadari kekeliruan yang dilakukan tanpa merasa direndahkan martabatnya.
Sanksi pelanggar etik kedokteran dapat berupa pencabutan atau pembekuan hak pelaku yang bersifat sementara. Berat ringannya sanksi biasanya ditentukan pemilik kuasa berdasarkan kerugian/ beban yang dialami korban. Dalam hal ini syarat pemberian sanksi adalah dianggap bersalah oleh pemilik kuasa.
Pemberian sanksi secara umum dilakukan dengan tiga tahap:
-Tahap pertama :merumuskan tujuan sanksi yang diberikan. Sanksi harus bertujuan mendidik pelaku dengan nilai yang sesuai, mempertimbangkan kondisi pelaku dan masyarakat secara luas. Pemberian sanksi juga harus disertai penjelasan dan penegasan agar pelaku mengerti bahwa terdapat peraturan yang harus ditaati. Sanksi juga harus diberikan secara spesifik, relevan.
-Tahap kedua adalah menentukan berat ringannya sanksi berdasarkan beberapa pertimbangan: jenis pelanggaran, berat ringannya pelanggaran berdasarkan konsensus atau ketentuan yang berlaku, riwayat pelanggaran, dan faktor-faktor penyerta lain. Jenis pelanggaran dijelaskan lebih rinci isi sesuai peraturan tersebut. Hal itu bertujuan agar pelaku mengerti jenis pelanggaran dan dampak yang mungkin timbul, bukan hanya menyebutkan peraturan pelanggaran yang terjadi.
-Tahap ketiga adalah pelaksanaan sanksi yang konkrit dan terawasi. Sanksi yang telah diberikan harus dievaluasi bila terdapat pengulangan pelanggaran atau hambatan ketika sanksi sedang dijalankan.
Berbicara tentang pelanggaran etika berbeda dengan pelanggaran hukum. Melanggar hukum akan diberi sanksi hukum(pidana,perdata,administratif). Namun pelanggaran etika dapat diberi sanksi hukum selama apa yang dilanggar juga tercantum dalam undang-undang atau hukum semacamnya.
Demikian penjelasan dari saya, mohon maaf jika ada yang kurang. Terimakasih
Referensi:
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran tahun 2012. Jakarta; 2012
Terima kasih kelompok 2 buat artikelnya yang sangat menarik.
BalasHapusPada artikel ini kelompok menyebutkan bahwa dr.Moestidjab awalnya secara sengaja tidak bersikap jujur terhadap pasien akan kondisi pasien dan bisa disimpulkan bahwa dr Moestidjab sudah melanggar KODEKI pasal 7b. Kemudian dari kasus ini juga bisa disimpulkan bahwa dr.Moestidjab melanggar KUHP pasal 378 dan jelas pada pasal ini disebutkan bahwa ketika seorang dokter hendak melakukan penipuan demi untuk menguntungkan diri sendiri akan dikenai pidana selama 4 tahun. Pertanyaan saya, menurut kelompok apakah keputusan yang diambil pengadilan sudah tepat dengan tidak memberikan hukuman kepada dr Moestidjab ? Apakah pertimbangan bahwa dokter dr.Moestidjab dinyatakan tidak bersalah hanya karena dr Moestidjab sudah melakukan tindakan sesuai SOP atau ada pertimbangan yang lain ? bila ada tolong disebutkan. Terima Kasih, GBU
Novita Eveline T_41170162
Ivon Widiastuti - 41170178
HapusTerimakasih atas pertanyaannya, saya mewakili kelompok akan mencoba menjawab
Pada peraturan yang berlaku di Indonesia, yaitu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1438 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, pada Bab VI, Pasal 13 ayat 2 dinyatakan bahwa "Kepatuhan kepada PNPK dan SPO menjamin pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi tidak menjamin keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien". Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa setiap tenaga medis harus menjalankan segala tindakan sesuai dengan PNPK dan SOP yang berlaku, namun tidak menjamin kesembuhan pasien setelah dilakukan tindakan medis tersebut, karena faktor kesembuhan pasien tidak hanya ditentukan oleh pelayanan medis, tetapi banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi kesembuhan pasien. Dapat juga dilihat pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2014, Pasal 57, Poin a menyatakan bahwa “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”, dari peraturan ini dapat dipahami jika seorang tenaga medis telah menjalankan suatu tindakan sesuai dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan, namun tidak terjadi kesembuhan yang diinginkan pada pasien, maka tenaga medis tersebut tidak dapat dianggap melakukan malpraktik dan berhak mendapatkan perlindungan hukum, sehingga berhak untuk dibebaskan dari tuntutan tersebut.
Sumber :
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
- UU No. 36 Tahun 2014
Terimakasih, semoga bermanfaat
Setywanty Layuklinggi-41170171
HapusTerimakasih atas tanggapan dan pertanyaan yang diajukan :)
Saya akan menambahkan jawaban dari teman saya sebelumnya. Memang benar bahwa tindakan dokter pada kasus ini yaitu melakukan kebohongan atas kondisi kesehatan pasien pascaoperasi tidak dibenarkan dan hal tersebut sudah melanggar KODEKI pasal 7b. Namun dalam hal ini karena dokter sudah melakukan tindakan kepada pasien sesuai dengan PNPK dan SOP yang berlaku sehingga dokter juga berhak mendapatkan perlindungan hukum seperti yang tertulis dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2014, Pasal 57, Poin a. Selain itu juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1438 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, pada Bab VI, Pasal 13 ayat 2 dinyatakan bahwa "Kepatuhan kepada PNPK dan SPO menjamin pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi tidak menjamin keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien". Seperti yang dijelaskan pada artikel mengenai peran Komite Medik yaitu memastikan dokter melakukan tindakan medis sudah menggunakan protokol/prosedur yang sesuai dan segala resiko yang akan dialami pasien harus diterima melalui Informed Consent yang sudah disetujui oleh pasien. Jadi karena dr.Moestidjab sudah melakukan tindakan medis sesuai dengan prosedur yang ada maka Komite Medik juga berhak melindungi dokter dalam hal ini.
Pertimbangan yang lainnya juga terdapat dalam Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45 ayat (3) Tentang persetujuan Tindakan, dikatakan bahwa “Penjelasan sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya mencakup :
1. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
2. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. alternatif tindakan lain dan risikonya;
4. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan”
Sebelum prosedur operasi dilakukan, pastilah terlebih dahulu diminta persetujuan tindakan dari yang bersangkutan. Sehingga jika dalam tindakan medis terdapat komplikasi atau resiko maka hal tersebut sudah disetujui pasien/keluarga pasien. Dalam hal ini bisa dikatakan setiap tindakan medis tidak selamanya menjamin kesembuhan pasien, tetapi dalam proses itu juga banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi kesembuhan pasien selain itu juga pastilah terdapat resiko dan komplikasi yang bisa saja terjadi. Dengan menandatangani/menyetujui informed consent berarti pasien sudah menerima resiko/komplikasi yang akan timbul. Sehingga dengan ini, pengadilan bisa menjadikan salah satu pertimbangan untuk membebaskan gugatan terhadap dr.Moestidjab
Demikian, terimakasih :) semoga informasinya bermanfaat
Sumber:
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
- Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
- UU No. 36 Tahun 2014
Terimakasih atas informasi yang diberikan. Dapat memberikan pengetahuan lebih mengenai dunia medis yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Semoga dengan apa yang telah terjadi pada kasus tersebut tidak dapat terulang kembali dan menjadi pelajaran sendiri bagi setiap petugas medis kedepannya.
BalasHapusTerimakasih Bang Steven atas tanggapannya, Amin, Sukses selalu, Gbu. Salam Gamers.
HapusHallo kelompol 2, artikel yang runtut dan sistematis sehingga memudahkan pembaca mengerti alur nya.
BalasHapusSaya ingin bertanya, menurut kalian hal apa yg menarik dari kasus ini sehingga kalian mengangkatnya menjadi sebuah artikel ? Apakah dari sisi hukum, dari cerita kasus atau dari sisi apa. Mengapa ? Trimakasih
Youlla Anjelina
41170153
Kezia Devina Deodatis - 41170137
HapusTerimakasih atas pertanyaannya, saya mewakili kelompok akan mencoba menjawab.
Menurut kami ada beberapa hal menarik yang dapat dilihat, baik dari sisi cerita kasus maupun sisi hukum.
Dari sisi fakta kasus di atas menunjukan bahwa ada kalanya hasil dari tindakan dokter tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pihak pasien maupun dokter, sehingga timbul kecacatan/ kerugian pada pasien. Dari hal ini, bisa saja timbul suatu tuduhan bahwa dokter melakukan malpraktik. Maka dari itu, penting bagi seorang dokter dalam praktiknya untuk mengerti peraturan-peraturan dan standar pelayanan medis agar terhindar dari masalah yang berhubungan dengan malpraktik.
Dari sisi hukum, tindakan malpraktik pada kasus ini menyebabkan kerugian pada pihak pasien akibat kesalahan/ kelalaian dokter saat memberikan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis, sehingga berujung pada kasus hukum antara dokter dengan pasien. Pada kasus ini juga kita bisa lihat bagaimana kesadaran seseorang akan perlindungan hukum yang semakin tinggi, sehingga tidak sedikit pasien yang mengajukan tindakan dokter yang merugikan itu ke jalur hukum dan menjadi persoalan pidana.
Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat:)
Natasha Vanya M H_41170196
HapusTerimakasih sudah berkunjung ke blog kami. Salah satu alasan kami mengangkat kasus ini menjadi topik bahasan artikel, karena dari sisi hukum dan kode etik yang bertentangan kami melihat hal yang cukup menarik untuk dibahas tergambar di kasus ini, dapat dilihat apabila dokter Moestidjab melanggar Kodeki Pasal 7b yang berbunyi “Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien”. tetapi beliau juga sudah menyatakan apabila sudah melakukan semua nya seuai SOP dan sudah dibenarkan oleh hakim dan diputuskan tidak bersalah yang membuat kami mau menelusuri lebih lanjut apa poin -poin penting dari kasus ini yang dapat kami pelajari terutama mengenai malpraktik
terimakasih :)
Terimakasih kelompok 2, artikelnya sangat menarik dan bermanfaat.
BalasHapusSaya Clara Margareta 41170195, ingin bertanya. Di urutan peristiwa diatas tertuliskan "dr. Moestidjab mengakui dirinya berbohong dan menjelaskan bahwa saat itu gagal operasi, namun dia malu mengakui karena takut reputasinya jatuh di mata keluarga Tatok" yang berarti dr. moestidjab telah melakukan pemalsuan rekam medis yang saya palajari di tugas sebelumnya hal itu bisa saja melanggar etik. Bagaimana bisa dr. moestidjab dinyatakan tidak bersalah?(mungkin bisa dijelaskan dengan landasan hukum yang lebih rinci)
Terimakasih
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Clara untuk pertanyaan supernya, saya mewakili kelompok akan mencoba membantu menjawab
Memang seharusnya dokter yang melakukan ketidakjujuran terhadap pasien dipidana sesuai Kodeki Pasal 7b yang berbunyi “Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien”.
Tetapi Undang – Undang No 36 Tahun 2014 pasal 57 poin a mengatakan bahwa “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”. Ini adalah alasan kuat yang disampaikan oleh Pengadilan Negeri sehingga membebaskan gugatan dari pasien terhadap dokter, karena dokter sudah melakukan sesuai prosedur medis dan sesuai SOP yang ada, hanya saja terjadi resiko akibat operasi yang sudah dijelaskan dalam informed consent. Walaupun dokter disini berbohong mengenai hasil operasinya, segala permintaan maaf dari dokter menjadi salah satu alasan pihak Pengadilan Negeri untuk memberi keringanan. Memang hal ini masih banyak yang belum menerima dengan baik sehingga masih adanya massa dan pihak korban melakukan unjuk rasa, hanya saja untuk kelanjutan kasus ini sudah diputuskan seperti itu.
Terimakasih semoga membantu :)
Terimakasi atas artikel yang telah dibuat. Artikel ini dapat menambah wawasan pembaca mengenai pentingnya mengetahui secara teliti akan tindakan yang akan dilakukan oleh seorang dokter.
BalasHapusBenar sekali. Terimakasih atas tanggapannya kak. Ssehat selalu
HapusTerima kasih kelompok 2 untuk artikel yang menarik, saya ingin bertanya berhubungan dengan tuntutan pasien yang terus tidak terima terhadap hasil operasi ini, secara tidak langsung mewakili padangan awam mengenai kecacatan pasca operasi, menurut pandangan kelompok apa yang harus dilakukan profesi dokter agar kejadian seperti ini tidak terjadi?
BalasHapusTerima kasih
Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)
Edward kurniawan-41170121
HapusTerima kasih mas yoga atas pertanyaannya, disini saya mewakili kelompok untuk menjawab. Yg harus dilakukan ialah pertama menghindari terjadinya kasus malpraktik yg disebabkan oleh tindakan dokter itu sendiri sebab dalam Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51(a) disebutkan bahwa :
“Dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien”. Dengan begitu, seorang dokter akan melakukan tindakan medis atau pelayanan medis sesuai SOP dan kebutuhan pasien, sehingga terhindar dari kejadian malpraktik. Selain itu juga untuk menghilangkan stigma masyarakat tentang kecacatan pasca operasi, sebaiknya sebagai seorang dokter dapat memberikan promosi kesehatan dan membangun komunikasi yang efektif karena tindakan operasi yang dilakukan sebaik mungkin dan mengikuti semua Standar Operasional Prosedur yang ada, maka kemungkinan sembuh tanpa komplikasi semakin besar juga.
Artikel yang menarik dari kelompok 2. Saya Carolina ingin bertanya apakah komite medik tersebut melakukan audit medis atas terjadinya kasus tersebut? Apa saja barang bukti yang dokter tersebut miliki hingga dapat membuktikan dia tidak bersalah dan telah menangani pasien sesuai prosedur ? Terimakasih
BalasHapusKelompok 3 : Carolina Devi Santi M_41170122
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Carolina atas pertanyaan supernya, disini saya mewakili kelompok akan mencoba membantu menjawab
Untuk audit medis sendiri, sampai saat ini kami belum mendapatkan sumber yang pasti apakah sudah dilakukan. Hanya saja menurut kamu, audit medis perlu dilakukan untuk mengevaluasi segala tindakan yang pernah merugikan orang lain dan mencegah hal itu terulang kembali sesuai dengan Kemenkes RI no 496 Tahun 2005 Tentan Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit.
Kemudian suatu bukti yang menyatakan dr Moestidjab tidak bersalah adalah pada saat persidangan dan dari pertimbangan hakim, dokter dinilai telah sesuai prosedur melakukan penanganan medis. Ketiga anggota majelis hakim juga kompak menilai tindakan operasi yang dilakukan dr Moestidjab tidak melanggar kode etik. Pertimbangan hakim ini, senada dengan keterangan ahli dari Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI) cabang Surabaya. Nah dari pihak PERDAMI pun sudah memastikan bahwa dr Moestidjab sudah melakukan prosedur dengan benar dan tepat, hanya saja pemahaman informed consent pada tindakan ini kurang dipahami oleh pasien.
Terimakasih semoga membantu :)
terimakasih, artikelnya dapat menambah wawasan kita semua. INTERESTING !
BalasHapusTerimakasih kak Aditya, sukses terus dan semoga besok corona selesai bisa main futsal bareng lagi :)
HapusBagus bgt artikelnya, menariik ni ksus yang diangkat krn kasus katarak bnyak di indo .. Makasih yaa informasinya ����
BalasHapusTerimakasih kak Yediva telah berkunjung di blog kami, sukses selalu dan tetap semangat
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusArtikel yang menarik dan bagus untuk dibaca tidak hanya bagi kalangan kedokteran namun untuk umum juga. Ingin bertanya, apakah kelompok mempunyai update berita mengenai kelanjutan kondisi kesehatan Sdr Tatok seperti apa? Terima kasih, selalu berharap agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.
BalasHapusBrian Ardya Indrajat-41170143. Terima kasih Martha atas pertanyaannya. Kelompok kami sudah mencari dan sampai saat ini belum menemukan berita update kondisi kesehatan Sdr Tatok saat ini. Berita yang kami dapatkan adalah Sdr Tatok mengalami kebutaan seperti yang diuraikan pada artikel di atas. Terima kasih, semoga bermanfaat 🙏🏻
HapusTerima kasih kelompok 2 untuk pemaparan artikel yang edukatif. Saya Ginti Lintang Sinkyatri (41170160) ingin menanyakan beberapa hal terkait artikel yang kalian susun.
BalasHapus1. Apa alasan kalian mengambil kasus ini untuk diangkat menjadi sebuah artikel? Apa yang menarik dari kasus ini?
2. Pada bagian pencermatan norma hukum yang kalian tuliskan berikut mendukung bahwa dr. Moestidjab melanggar peraturan "etik" yang berlaku. In the other hand, anggota majelis hakim dan PERDAMI menyatakan bahwa dr. Moestidjab tidak melanggar kode etik. Bagaimana dr. Moestidjab dinyatakan tidak melanggar kode etik dengan adanya sources and facts yang sudah dipaparkan?
Terima kasih.
Antonius Adhymas P_41170173
HapusTerima kasih atas pertanyaan yang disampaikan.
1) Kasus ini kita ambil karena dapat sebagai pembelajaran kami perihal kasus malpraktik. Hal ini berguna ketika sudah menjadi dr. kelak supaya dapat lebih berhati-hati dan mengetahui dasar-dasar hukumnya. Juga sebagai pembelajaran jika tidak selamannya tindakan medis tergantung pada orang yang melakukan saja, tetapi keberhasilan/ kegagalan berasal dari luar non medis. Malpraktik juga tidak berarti selalu dinilai dari kerugian sisi pasien, tetapi dapat dilihat kembali prosedur yang dilakukan tim medis sudah sesuai SOP atau tidak.
2) Melihat dari Permenkes No. 209 Th. 2018 Pasal 8 (3) yakni penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran (a) risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum (b) risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan (c) risiko dan komplikasi tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Dari ayat 3 poin c, jika dokter disini sudah memberitahu bahwa risiko apa yang terjadi dan kemungkinan komplikasi yang terjadi (ringan-berat), jika itu sudah disampaikan melalui inform consent serta apabila sebelum melakukan tindakan tersebut dokter, pasien dan keluarga/wali sudah mengisi form pernyataan tindakan dan sudah mengetahui apa prognosis baik dan buruk pasca operasi, maka pasien harus siap menerima keadaanya. Oleh sebab itu form pernyataan persetujuan merupakan bukti tertulis yang sah. Sehingga Majelis Hakim dan PERDAMI melihat dari bukti tertulis (form pernyataan) yang ditandatangani dr. dan pasien sebelum melakukan tindakan. Apakah dr. Moestidjab telah melakukan prosedur tersebut sesuai SOP yang ada/berlaku. Jika melakukannya sesuai SOP dan terbukti tidak lalai ketika ditelususri Majelis Hakim dan PERDAMI, maka kepurusan dari mereka tidak melanggar kode etik.
Terima kasih, semogga membantu.
Sumber:
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/MENKES/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
Terima kasih kelompok 2 atas artikelnya yang informatif. Saya Puji Kristi (41170184) ingin bertanya
BalasHapus1. Apakah jika seorang dokter melakukan suatu prosedur dengan sesuai SOP tetapi hasil prosedur tersebut malah membuat kerugian pada korban dapat dimasukkan kedalam malpraktik?
2. Jika menurut UU yang ada, sudah melakukan sesuai SOP tetapi menimbulkan kerugian, apakah kerugian tersebut tetap bisa dituntut oleh pasien yang dirugikan dan apakah ada persyaratan tertentu jika pasien ingin menuntut kerugian yang dialami?
3. Apakah jika terdapat kerugian seperti kebutaan pada pasien yang jelas diakibatkan oleh prosedur dokter tersebut dan ditutupi dengan kebohongan hasil operasi yang jelas melanggar hukum dan kodeki akan tetap akan mendapatkan perlindungan hukum walaupun kesalahan yang dilakukan cukup fatal?
Ni Kadek Ayu Divia P - 41170131
HapusHallo Puji, terima kasih atas tanggapan dan pertanyaan yang diberikan.
1. Menurut Munir Fuady dalam Jurnal Dinamika Hukum, 3 malpraktik memiliki pengertian yaitu setiap tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang-orang di bawah pengwasannya, atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal diagnosis, terapeutik dan manajemen penyakit yang dilakukan secara melanggar hukum dan prinsip-prinsip professional, sehingga menyebabkan kerugian pada pasien. Jadi suatu tindakan medis harus didasarkan pada SOP (Standar Operasional Prosedur) yang miliki oleh masing-masing rumah sakit, dan jika tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan SOP, maka hal itu baru akan akan disebut sebagai malpraktik. Sebenarnya, dalam melakukan tindakan medis, banyak sekali factor-faktor yang mempengaruhi outcome dari tindakan tersebut, jadi bukan hanya ditentukan oleh pelaksana tindakan medis, akan tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi penyakit dari pasien itu sendiri. Sehingga, jika dokter sudah melaksanakan tindakan medis sesuai dengan SOP, akan tetapi menyebabkan kerugian pada pasien, hal ini tidak dapat disebut sebagai malpraktik.
2. Berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004, Pasal 66 (1) dikatakan bahwa “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disipilin Kedokteran Indonesia”. Pasien yang merasa dirugikan akibat tindakan medis berhak untuk melaporkan seorang tenaga medis yang bersangkutan, dimana menurut UU No. 29 Tahun 2004, Pasal 66 (2), pengaduan yang dilakukan sekurang-kurangnya harus memuat 3 hal, yaitu :
a. Identitas pengadu
b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan
c. Alasan pengaduan
Setelah pasien mengajukan pengaduan tersebut, maka Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia akan memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan tersebut.
3. Apabila seorang dokter/tenaga medis dalam melakukan suatu tindakan medis tidak sesuai dengan SOP yang berlaku di Rumah Sakit tertentu, maka dokter yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi dan tidak mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan Pasal 360 (2) KUHP, dinyatakan bahwa “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tidak ratus rupiah”
Sumber :
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
- Heryanto, Bambang. 2010. Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum. Jurnal Dinamika Hukum. 10, 184 - 191
Semoga informasinya bermanfaat :) sukses dan sehat selalu,,
Mohon maaf, tadi ada sumber yang belum disebutkan yaitu :
Hapus- UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Florival Jose-41170144
HapusIngin menambahkan sedikit
Dari jurnal "Penafsiran Hukum dalam Menentukan Unsur-Unsur Kelalaian
Malpraktek Medik (Medical Malpractice)" ditulis oleh Widodo Tresno Novianto
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Secara harfiah praktik kedokteran adalah suatu kegiatan yang
mengandung berbagai wujud konkrit tingkah laku. Perbuatan dalam perlakuan
medis dokter dapat berupa perbuatan aktif dan dapat pula berupa perbuatan
pasif. Perbuatan aktif, artinya perbuatan yang memerlukan gerakan tubuh atau
bagian tubuh tertentu untuk mewujudkannnya, sedangkan perbuatan pasif adalah
tidak berbuat yang seharusnya dokter berbuat. Keharusan berbuat karena
kedudukannya, jabatannnya, tugas pekerjaannya, dan lain-lain menyebabkan
dokter dalam keadaan tertentu secara hukum diwajibkan untuk berbuat. Karena
apabila dokter tidak berbuat sesuai kewajiban hukum yang diembannya, ia
bersalah dan dibebani pertanggungjawaban hukum apabila menimbulkan
kerugian.
Meskipun demikian dokter adalah manusia biasa, yang dapat melakukan
kesalahan dalam menjalankan profesinya, baik yang dilakukan secara
sengaja(dolus) maupun tidak sengaja(lalai,culpa) . Sehingga terkadang niat
untuk menolong dan menyembuhkan penyakit seorang pasien tidak selalu dapat
berhasil dengan baik yang dapat berakibat cacat bahkan kematian pasiennya
akibat praktik kedokteran. Bilamana hal tersebut terjadi maka masyarakat yang
disebabkan baik dari tingkat kecerdasannya tinggi sehingga bersikap lebih kritis
atau karena ketidak tahuannya terhadap pelayanan yang diberikan dokter , pada
umumnya terjadi miskonsepsi yang menganggap setiap kegagalan praktek medis
tersebut sebagai akibat adanya tindakan dokter yang dapat dikategorikan
sebagai malpraktek medis atau akibat kelalaian medis dan akibatnya pasien
yang merasa tidak puas dan mengadukan / melaporkan kasus tersebut melalui
jalur hukum
Semoga bisa membantu
Artikel yang sangat menarik. Saya Ade Novita P. (41170156) dari kelompok 1.
BalasHapusSaya ingin bertanya kepada teman-teman kelompok 2.
Apakah rumah sakit akan menaungi kasus tersebut?, Apa yang terjadi kepada dokter tersebut? apakah dia akan dikenai suatu tindak hukum? padahal ia sudah sesuai SOP.
Terimakasih
Terimakasih atas pertanyaannya novi, saya ijin menjawab,sesuai Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengatur segala hal yang berhubungan dengan rumah sakit, termasuk sumber daya manusianya. Dalam Pasal 46 disebutkan tentang tanggungjawab hukum rumah sakit, yaitu “Rumah Sakit bertanggung- jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”. Artinya pihak rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian dokternya, jika seorang dokter terbukti bersalah/ melakukan malpraktek dan tidak sesuai SOP yang ada maka dokter berhak di hukum dan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan lisan, tertulis sampai dengan pencabutan SIP. Jika seorang dokter memang terbukti sudah melakukan tindakan sesuai SOP yang berlaku artinya sebelum tindakan sudah menjelaskan IC serta resiko post operasi, Jadi dokter tidak dikenakan sanksi karena tidak terbukti bersalah.
HapusTerimakasih semoga membantu
I Made Wahyu A P/41170203
Terimakasih kelompok 2, artikelnya sangat bermanfaat :)
BalasHapusSaya Nathania Dhestia Putri (41170132) ingin bertanya. Menurut pendapat teman-teman dari kelompok 2, bagaimana seharusnya sikap seorang dokter saat menghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan realita(kegagalan dalam menangani pasien)? Selain itu bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan pihak rumah sakit atas tindakan dokter yang merugikan pasien (menyebabkan buta)?
Kezia Devina Deodatis - 41170137
HapusTerimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya, disini saya akan coba menjawab.
Dalam praktik kedokteran tentunya seorang dokter harus melaksanakannya sesuai dengan standar pelayanan operasional (SOP), namun apabila saat proses tindakan seorang dokter gagal dalam menangani pasien (karena human eror) maka dokter harus bersikap jujur dan melaporkan insiden tersebut. Insiden tersebut harus dilaporkan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan pasien.
Hal ini secara rinci sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691 Tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit Bab VI Pasal 12 :
(1) Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam waktu paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan sebagaimana tercantum pada Formulir 1 Peraturan ini.
(2) TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas
insiden yang dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Apabila ada tindakan dokter yang merugikan pasien, maka rumah sakit dapat memberikan sanksi disiplin berupa pemberian peringatan tertulis; rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Sumber :
- Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691 Tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Terimakasih, ini merupakan artikel yang baik, saya Pande Komang Wahyu Pradana (41170130) ingin bertanya apakah hanya sebatas permintaan maaf yang membuat Pengadilan Negeri untuk memberikan keringanan hukum? atau ada alasan lainnya, mengingat walaupun sudah dilakukannya informed consent kepada pasien, namun pasien tidak dapat menerima keadaan Terimakasih.
BalasHapusSetywanty Layuklinggi-41170171
HapusTerimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya.
Dalam kasus yang dilakukan oleh dr.Moestidjab ini, pengadilan memutuskan bahwa beliau tidak bersalah dan dibebaskan dari gugatan. Hal yang menjadi pertimbangan pengadilan mengambil keputusan tersebut adalah dr.Moestidjab telah menjalankan tugasnya (prosedur operasi) sesuai dengan SOP. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2014, Pasal 57, Poin a menyatakan bahwa “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional”. Jelas dalam peraturan ini bahwa jika tenaga kesehatan sudah melaksanakan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) maka tenaga kesehatan tersebut wajib dilindungi hukum. Oleh karenanya, hal ini bisa menjadi pertimbangan pengadilan. Selain itu, karena dalam kasus ini dr.Moestidjab sudah menjalankan operasi tersebut sesuai SOP sehingga Komite Medik juga berhak melindungi dokter. Seperti yang tertulis pada artikel bahwa jika dokter yang menangani sudah melakukan prosedur dengan baik dan benar, maka Komite Medik berhak melindungi dokter tersebut dari berbagai tuntutan yang ada, dan membantu menjelaskan kepada pasien bahwa semua tindakan ini sudah disetujui segala resikonya melalui Informed Consent yang diberikan.
Demikian, semoga informasinya bermanfaat :)
Sumber: UU No. 36 Tahun 2014
Terima kasih artikelnya. Saya Oey, Yedida Stephanie S 41170190 ingin bertanya:
BalasHapus1. Di atas disebutkan "Atas ditolaknya gugatan pembatalan surat permohonan maaf tersebut, Tatok Poerwanto pun akan segera melanjutkan perkara ke tingkat pidana." Yang ingin saya tanyakan, apa indikator seseorang atau Tatok itu sendiri untuk dapat dipidanakan?
2. Kasus 'naik' 28 April 2016 namun keputusan menjelang akhir baru 12 Maret 2019, kira" apakah kasus ini tertunda atau sedang diproses atau bagaimana ya? Dan menurut kalian apakah kini hukum Indonesia sudah bertindak cukup cepat?
Sekian pertanyaan saya, terimakasih.
Artikel yang sangat menarik, goodjob kawan. Saya Daniel Eka Raenata 41170170 mohon izin bertanya ya.
BalasHapusPada Permenkes No. 290/ Menkes/ Per/ III/ 2008 pasal 6, teman-teman menyimpulkan bahwa "Menurut peraturan ini, meskipun dokter sudah melakukan tindakan dan sudah ada persetujuan namun menyebabkan kerugian pada pasien, maka dokter harus mengganti kerugian yang sudah di alami pasien tersebut."
Bukankah dalam sebuah informed consent sudah dijelaskan terkait resiko-resiko yang mungkin terjadi. Sehingga apabila pasien/pihak keluarga sudah memberikan persetujuan bukankah pasien sudah siap menanggung resikonya?
Melihat kronologi kasus teman-teman semua, disini dokter sudah melakukan sesuai SOP yang berlaku, apakah masih harus mengganti kerugian kepada pasien?
Kalau misal iya, kerugian seperti apa yang mungkin dapat diberikan dokter kepada pasien tersebut?
Terimakasih teman-teman.
Beltsazar Onne P - 41170179
HapusTerimakasih atas pertanyaannya Saudara Daniel :)
Ijin menjawab,
Memang benar sudah dilakukan informed consent, tetapi karena mungkin ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan operasi terganggu misalnya kondisi penyakit pasien, hal itu membuat dokter tersebut tidak memberitahu ke pihak keluarga maupun pasien karena takut akan kehilangan reputasinya sebagai dokter. Kemudian, untuk ganti rugi masih belum jelas berupa apa, tetapi dalam kasus ini karena dr. Moestidjab sudah melakukan sesuai SOP yang ada, maka menurut UU No. 36 Tahun 2014 Pasal 57 (a) yang berbunyi "Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional" dr. Moestidjab berhak mendapatkan perlindungan hukum sehingga tidak harus mengganti kerugian yang ada, hanya saja disini dr. Moestidjab juga memberikan surat permintaan maaf kepada keluarga pasien.
Semoga membantu :)
Kezia Devina Deodatis - 41170137
HapusSaya ijin menambahkan jawaban dari Beltsazar.
Dalam informed consent memang sudah dijelaskan resiko-resiko yang mungkin terjadi saat dilakukan tindakan operasi, sehingga sudah seharusnya pasien siap menanggung resiko yang ada. Namun pada kasus ini dokter Moestidjab tidak memastikan apakah pasien sudah/ belum memahami isi dari infromed consent tersebut, sehingga muncullah suatu tuntutan dari pasien ketika pasien belum memahami informed consent tersebut.
Apabila dokter sudah melakukan praktiknya sesuai dengan SOP, maka seorang dokter mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2014. Namun dalam kasus ini dr. Moestidjab awalnya berbohong terkait kondisi pasien, sehingga sudah seharusnya dr. Moestidjab meminta maaf kepada pasien dan/ keluarga.
hallo, terimakasih artikel yang sangat baik. saya intan saraswati / 41170194 ingin bertanya mengenai pendapat teman - teman, apakah etis seorang dokter menyampaikan hasil operasi kepada keluarga pasien hanya melalui, terlebih pada kasus ini hasil operasi tidak seperti yang diharapkan pasien? dan apakah perlu dilakukan audit medis pada kasus ini? karena disini dikatakan dokter sudah melakukan sesuai prosedur. terimakasih
BalasHapusHallo saras, terimakasih atas pertanyaannya
HapusMenurut pendapat saya, dalam menyampaikan hasil pemeriksaan ataupun hasil operasi seperti pada kasus, sebaiknya dokter sendiri yang menyampaikan. Hal ini karena dalam kodeki, dokter dituntut untuk memiliki sifat jujur baik kepada pasien maupun teman sejawat. Selain itu hubungan dokter pasien harus tetap dijaga, kepercayaan pasien terhadap seorang dokter harus tetap dijaga, dengan bersikap jujur dan tanggung jawab.
Untuk pertanyaan kedua, menurut pendapat saya, audit medis tetap harus dilakukan. Tujuan dilakukannya audit medis adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Dalam kasus ini, keselamatan pasien masih kurang terjamin, serta pelayanan masih dinilai kurang baik karena dokter awalnya masih menyembunyikan hasil operasi yang tidak berhasil sehingga menimbulkan kecacatan pada pasien. Sehingga masih perlu dilakukan audit medis.
Semoga menjawab
I Made Wahyu A P/41170203
Artikel yang menarik :)) Saya Vanessa Angelin (41170115) ingin bertanya,
BalasHapus1.Apakah memang hanya Undang – Undang No 36 Tahun 2014 pasal 57 poin a mengatakan bahwa “Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional” yang dapat membebaskan dr. Moestidjab dari segala tuduhan atau ada bukti konkrit lain yang menyatakan bahwa dokter ini tidak bersalah?
2. Saya mengutip isi artikel kelompok yang menuliskan pada UU No. 36 Th 2009 tentang Kesehatan pasal 8
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.
Dokter Moestidjab telah berbohong mengenai hasil operasi Tatok karena tidak mau reputasinya sebagai dokter jatuh. Jika pasien dan/atau keluarga pasien mempunyai niat untuk menyalahkan dokter karena menganggap bahwa tindakan tersebut menyebabkan kerugian bagi pasien dan/ atau keluarganya, maka pasien berhak untuk melaporkan kasus tersebut dengan laporan bahwa dokter bermaksud menguntungkan dirinya sendiri, dimana seharusnya pasien dan/atau keluarga pasien berhak memperoleh informasi medis yang sejujur-jujurnya dari dokter.
Berdasarkan kutipan tersebut, menurut pendapat kelompok apakah sebenarnya dr. Moestidjab patut untuk dihukum?
Kasus dan ulasan yang menarik.
BalasHapusSaya ingin bertanya, pasien telah di operasi di tempat yang berbeda yaitu Surabaya Eye Clinic dan Graha Amerta. Mengapa yang dilaporkan hanya Surabaya Eye Clinic? Mengapa Graha Amerta tidak terlibat didalamnya? Apakah benar Graha Amerta memiliki alat yang lebih canggih atau hanya manipulasi dokternya saja? Terimakasih sebelumnya.
Ivan Satrio Wicaksono (41170188)
ANTONIA DETA 41170177
HapusTerimakasih saudara Ivan atas pertanyannya.
Memang benar yang sering terdengar adalah terlibatnnya Surabaya Eye Clinic dibanding RS Graha Amerta. Hal ini karena dr.Moestidjab sendiri merupakan direktur Utama di Surabaya Eye Clinic , sehingga saat ada kasus ini nama dari Surabaya Eye Clinic yang menonjol.
Dari berbagai info yang kami dapat memang sungguhan fasilitas dari RS Graha Amerta yang lebih mumpuni untuk menangani penyakit Tatoek, disbanding di Surabaya Eye Clinis. JJadi menurut kami untuk permasalahan rujukan ini bukan manipulasi dokter, karena bukan ini yang ditekankan pasien untuk menggugat dokter.
Terimakasih, semoga menjawab
halo kelompok 2, terima kasih sebelumnya atas artikelnya, sangat menarik pembahasannya dan menambah wawasan.
BalasHapusada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan :
1. pada bagian ringkasan kasus, disebutkan bahwa pasien bernama tatok poerwanto mendapatkan tindakan operasi sebanyak 2 kali, yang pertama pada tanggal 28 April 2016 di surabaya eye clinic, dan operasi kedua dilakukan pada tanggal 10 Mei 2016 di RS Graha Amerta, apakah benar operasi ini dilakukan oleh dokter yang sama pada kedua RS tersebut (sesuai ringkasan kasus yg dibuat)? bagaimana peraturan tentang rujukan pasien, apakah dokter yang bertugas di satu rumah sakit bisa merujuk pasiennya karena kendala sarana kesehatan tapi di tangani juga oleh dokter yang sama yang menangani kasus tersebut di rumah sakit rujukan yang akan dituju? bagaimana kontrak kerja seorang dokter dirumah sakit?
2. Apakah pasien tatok poerwanto sudah mendapatkan inform consent dengan baik dan benar sesuai peraturan sebelum dia menyanggupi untuk mengikuti tindakan operasi yang dilakukan oleh dr moestidjab ? karena terlihat pihak dari keluarga dan pasien kaget, tidak terima, dan menuntut dokter moestijab, walaupun pada akhirnya sudah diterangkan bahwa operasi yang dilakukan dokter moestijab sudah sesuai SOP yang berlaku. menurut kelompok kalian apa saja syarat inform konsen yang baik dan benar yang perlu diterangkan oleh seorang dokter terhadap suatu tindakan medis? bagaimana peraturan hukum tentang inform konsen diatur di indonesia?
3. berdasarkan ringkasan kasus :
"awalnya dr. Moestidjab berkilah dan mengatakan sudah tidak apa-apa, akan tetapi pada saat dia menunjukkan hasil rekam medis dari Singapore, dr. Moestidjab lalu mengakui bahwa dirinya berbohong dan Ia menjelaskan yang sebenarnya. Dokter Moestidjab mengatakan bahwa saat itu gagal operasi, namun dia malu berterus terang karena takut reputasinya jatuh di mata keluarga Tatok."
disini di sampaikan jika dokter moestidjab berbohong dan tidak mengakui operasi yang dilakukannya gagal, karena takut reputasinya jatuh dimata keluarga tatok. dan pada keputusuan terakhir dari hakim dr moestidjab dinyatakan tidak bersalah karena sudah melakukan tindakan sesuai SOP.
menurut kelompok kalian, apakah hasil akhir sidang keputusan ini sudah sesuai dengan hukum yang berlaku di indonesia? kenapa hakim tidak mempertimbangkan kesalahan tindakan yang dibuat oleh dokter moestijab yang mengatakan jika kondisi post operasi yang buruk sebagai hal yang wajar? bukannya ini sudah merugikan dari pihak pasien sehingga perlu mencari rumah sakit rujukan ke singapura dan mengetahui bahwa dia mengalami kasus malpraktik ( dengan pertimbangan disini dari pihak pasien sudah mengalami, kerugian dalam bentuk materi, waktu dll).
4. menurut kelompok kalian, bagaimana peraturan hukum di indonesia mengenai praktik kesehatan, apakah sudah cukup adil dan bisa diterapkan dalam menangain berbagai kasus yang terjadi? apakah ada aspek hukum tertentu yang perlu diperbaiki, dirubah, atau dipertahakan?
terima kasih.
salam
Bagus Made Arisudana WPS (41170110)
Antonia Deta A.V (41170177)
HapusTerimakasih saudara Ari atas pertanyaannya. Saya akan menjawab pertanyaan 1 dan 2.
1. dr.Moestidjab menyarankan untuk kembali dilakukan operasi di Rumah Sakit Graha Amerta, Surabaya dengan alasan peralatan disana (Graha Amerta) lebih lengkap. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan pasal 8 "Rujukan horizontal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap. "
Dokter yang melakukan operasi tersebut memang dr.Moestidjab, baik di Eye Centre dan di RS Graha Amerta. Selain menjadi staf medis di Surabaya Eye Clinic beliau berkiprah sebagai Staf Pengajar di Divisi Vitreo Retina-Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr Graha Amerta Soetomo Surabaya. Jadi kedua lokasi ini cukup berhubungan.
2. Dari berita-berita yang kami dapat, tidak ada informasi terkait sudah atau belumnya dr.Moestidjab memberi informed consent. Namun mengingat hasil putusan sidang yaitu dokter sudah melakukan prosedur sesuai SOP, dimana menyampaikan informed consent merupakan bagian dari SOP, kemungkinan dapat dikatakan bahwa beliau sudah melakukan informed consent.
Berdasar Peraturan Menteri Kesehatan RI No 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran pasal 7 mengenai penjelasan dari dokter kepada pasien dapat meliputi:
-Diagnosis dan tata cara tindakan
-Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan
-Alternatif tindakan lain, dan resikonya
-Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
-Prognosis terhadap tindakan
-Perkiraan biaya
SUMBER:
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran
Demikian jawaban dari saya. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Terimakasi
Brian Ardya Indrajat-41170143. Terima kasih Ari atas pertanyaannya. Saya akan menjawab pertanyaan Anda nomor 3 dan 4.
Hapus3. Menurut kelompok kami, ketika seorang hakim menentukan putusan dalam suatu perkara, hakim tersebut pasti telah mempertimbangkan, mencermati, dan menganalisis perkara dan bukti-bukti yang ada dengan baik dan seksama sesuai dengan landasan hukum yang berlaku. Seorang hakim pasti memiliki pertimbangan yang matang untuk memutuskan perkara yang ditanganinya. Dalam hal ini, kelompok kami menilai putusan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
4. Menurut kelompok kami, peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah adil dan dapat diterapkan dengan baik di Indonesia untuk menangani kasus-kasus malpraktek yang terjadi di tengah masyarakat, dan perlu ditegakkan dalam menangani kasus-kasus serupa.
Terima kasih, semoga menjawab! 🙏🏻
Terimakasih telah mengangkat artikel ini, artikel yang sangat menarik, saya ingin bertanya bagaimana bila dalam suatu keadaan pasien telah mengisi inform consent dan setuju dengan tindakan medis namun terjadi sebuah malpraktek yang dilakukan dokter, apakah hukuman tersebut telah adil baik terhadap pasien dan dokter tersebut ?
BalasHapusThomas Carel (41170113)
Hallo Mas Carel, terimakasih atas tanggapannya,
HapusJika memang dari pihak dokter sendiri sengaja melakukan malpraktik, tentunya jika tidak mendapat hukum, menjadikan pasien menjadi tidak adil. Maka dari itu dapat diberi Tindakan Pendisiplinan Perilaku Profesional oleh subkomite etika dan disiplin profesi yang berupa :
a. peringatan tertulis
b. limitasi kewenangan klinis ( clinical privilege )
c. bekerja dibawah supervisi dalam waktu tertentu
d. pencabutan kewenangan klinis ( clinical privilege ) sementara / selamanya
Untuk pelaksanaan keputusan itu nantinya dilakukan oleh kepala / direktur rumah sakit atas rekomendasi subkomite etik dan disiplin profesi.
Untuk kasus ini sendiri dokter sudah mematuhi SOP dan tidak melakukan malpraktik, sehingga sudah cukup adil keputusan hakim. Hakim sendiri juga sudah mempertimbangkan dari ketentuan hukum yang berlaku khususnya dalam HIR (Stb-1941-1944) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Tentang Kekuasaan, Kehakiman, Undang-undang Tentang Peradilan Umum dan Ketentuan Hukum lain yang bersangkutan dengan Perkara ini, terimakasih.
Permenkes 755 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit
Aloysius Gonzaga P.B-41170164
Selamat Malam, Saya Tandean Jeffrey Ferdinand (41170180) ingin bertanya
BalasHapusKnp kasus ini tidak dihitung sebagia kasus perdata ?
padahal sepengetahuan saya
Hukum perdata bersifat privat, yang menitikberatkan dalam mengatur mengenai hubungan antara orang perorangan, dengan kata lain menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. (Sumber KUHPer) Kan kasus ini yang menggugat dari pihak keluarga
Terima kasih