KASUS MALPRAKTIK KELOMPOK 1 - MALPRAKTIK PADA SITI CHOMSATUN - TIROIDEKTOMI BERUJUNG SESAK NAFAS



Disusun oleh :
Valaenthina C. Bemey / 41160061
Cynthia Gabriella Nugroho / 41170103
Tillandsia Filli Folia P / 41170105
Stefan Prayoga Yukari Ujan / 41170108
Arike Trivena / 41170109
Anasthasia Audi W / 41170112
Thomas Carel Aditya / 41170113
Dewianti Paluta Pongarrang / 41170114
Vanessa Angelin / 41170115
Ceny Gloria Larope / 41170149
Gusti Ayu Agung Indra Sari Putri / 41170152
Youlla Anjelina / 41170153 
Ade Novita P / 41170156
Muhammad Fikri Mujtahid / 41170157
Claudius PYSM / 41170159
Ginti Lintang S. / 41170160
Nunki Utomo / 41170161


RSUD Blambangan, Banyuwangi, Kurang Dokter Spesialis - Nasional ...

Image source : google images

PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Di beberapa kasus, etika profesi dikesampingkan oleh seorang dokter sehingga menimbulkan satu kelalaian dalam menjalankan tugas profesinya sesuai ilmu dan keterampilan yang dimilikinya. Dampak dari pelangggaran tersebut tidak hanya muncul kepada pasien yang bersangkutan, tetapi dokter tersebut sendiri dan institusi yang menaungi. Hal ini kerap disebut malpraktek.
Malpraktek merupakan salah satu kejadian yang cukup sering terjadi pada praktek pelayanan kedokteran. Dalam beberapa kasus, adanya malpraktek merupakan tindakan yang disengaja. Tujuannya, diantara lain adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi dalam bentuk material maupun non-material. Tindakan tersebut dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak patuh terhadap etika yang berlaku maupun terhadap sumpah yang telah dilapalkan.
Bentuk dari malpraktek medis sendiri beragam dan kerap tidak diketahui oleh masyarakat yang menerima pelayanan medis. Malpraktek medis terjadi ketika mengandung unsur kurang menguasai ilmu dan keterampilan kedokteran, dokter memberikan pelayanan dibawah standar, melakukan kelalaian berat, kelakukan tindakan medik berlawanan dengan hukum. Karena malpraktek medis dapat membahayakan keselamatan pasien, maka pasien di seluruh Indonesia yang menerima pelayanan medis dilindungi oleh hukum. Sehingga apabila terdapat pelanggaran etika maupun hukum tersebut, tenaga medis yang bersangkutan dapat menerima hukuman. 

B.  Tujuan penulisan
1.   Mempelajari dan mengetahui bentuk malpraktek medis yang terjadi pada kasus (berita) yang terpilih
2.   Menganalisis adanya pelanggaran etika pada malpraktek medis
3.   Menganalisis bentuk pelanggaran hukum pada malpraktek medis
4.   Mengetahui hukuman yang dapat diterima pada kasus malpraktek medis
5.   Menambahkan pengetahuan dan kepedulian pembaca mengenai kasus malpraktek medis

RINGKASAN KASUS

Pada tanggal 13 April 2009, Siti Chomsatum menjalani operasi Tiroidektomi (Pengangkatan Tiroid) di Rumah Sakit Kramat 128 dengan dr. Taslim Mansur Sp. B sebagai dokter yang melakukan operasi. Setelah proses operasi, Siti Chomsatum menjalani masa rawat jalan di RS Kramat 128 dan Alm. dr. Rusmaryono, Sp. THT sebagai salah satu dokter yang menangani.
Pada tanggal 14 Februari 2010, Siti mengalami sesak nafas hingga tidak bisa tidur semalaman. 15 Februari 2010, Siti dibawa ke IGD RS Kramat 128 dengan keluhan sesak nafas dan menjalani rawat inap. Tidak ada keterangan jam berapa Siti menerima perawatan berupa suntikan anti radang (kortikosteroid) yang diberikan oleh dr. Tantiyo Setiyowati., M.H., Kes. Keluhan yang Siti alami berkurang dan ia dapat bernafas sedikit lega dengan posisi tempat tidur dinaikan 45 derajat.
Pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 17.30, Leila Zenastri (anak Siti) bertanya kepada perawat apakah dr. Rusmaryono telah diberitahukan tentang Siti yang telah menunggunya di Ruang 210 RS Kramat 128. Perawat yang ada menjanjikan dr. Rusmaryono akan datang melihat keadaan Siti. Namun pukul 19.00 dr. Rusmaryono tidak kunjung melihat keadaan Siti, perawat juga mengatakan bahwa dr. Rusmaryono sudah pulang. Pukul 21.00 setelah dihubungi kembali oleh perawat, dr. Rusmaryono dipastikan tidak akan datang sehingga Leila meminta dokter THT lain untuk melihat kondisi Siti. Pukul 23.30, Siti kembali mengeluh sesak nafas. dr. Fredy Merle Komalig., M.K.M, sebagai dokter jaga IGD datang untuk melakukan pemeriksaan terhadap Siti. Hasil pemeriksaan menyatakan tensi Siti pada saat itu mengkhawatirkan, yakni 170/130. Oleh sebab itu, dr. Fredy Merle Komalig memberikan terapi tambahan berupa injeksi stesolid dan memberikan resep obat anti hipertensi (Captopril).
Keesokan harinya Siti kembali mengeluhkan sesak nafas. Saat itu oleh dokter diminta untuk menandatangani tindakan operasi tracheostomy dengan biaya sebesar Rp 8.000.000 dan dirujuk ke RSCM namun ditolak saat tiba di RSCM karena sudah melewati waktu pendaftaran. Saat itu sesak nafas yang dialami Siti meningkat sehingga perlu dilakukan resusitasi pada IGD RSCM.
Aduan kasus masuk terlebih dahulu melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebelum masuk ke pengadilan. dr. Tantiyo Setiyowati., M.H., Kes dan dr. Fredy Melke Komalig., M.K.M. dinyatakan telah melanggar disiplin kedokteran yang dinyatakan dalam pasal 3 ayat (2) huruf (f) Perkonsil 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi oleh MKDKI. Setelah keputusan dinyatakan, kasus ini dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan di proses secara hukum.

ANALISIS
A.  Kronologi Kasus

1.     Pada tanggal 13 April 2009 Siti Chomsatun melakukan operasi Tiroidektomi di RS Kramat 128 dengan dr. Taslim Mansur Sp.B (Onk) dan ditangani oleh Alm. Dr. Rusmaryono, Sp. THT untuk rawat jalan.
2.     Pada 14 Februari 2010 Siti Chomsatun mengalami sesak nafas dan hingga tidak bisa tidur semalaman.
3.     Pada 15 Februari 2010, Siti Chomsatun dibawa ke IGD RS Kramat 128, pukul 20.20 WIB karena sesak napas yang dideritanya dan menjalani rawat inap hari itu, dan Siti Chomsatun memilih untuk ditangani Alm. Dr. Rusmaryono, Sp. THT yang pada hari itu memiliki jam praktik 18.30 WIB.
4.     Setelah Leila Zenastri (anak Siti Chomsatun) menyelesaikan administrasi, ia belum diperbolehkan masuk ruang inap dan menunggu 10 menit.
5.     Sesudah menunggu, Leila Zenastri diberi penjelasan oleh dr. Tantiyo Setiyowati., M.H., Kes. bahwa ibunya telah diberi suntikan anti radang (korikosteroid).
6.     Setelah diberi anti radang, Siti Chomsatun bernafas sedikit lega namun, sesak jika berbaring sehingga tempat tidur Siti diatur 45 derajat agar tubuhnya dapat sedikit beristirahat.
7.     Pukul 17.30 WIB, Leila Zenastri bertanya ke perawat mengenai dr. Rusmaryono. Perawat menjanjikan dr. Rusmaryono akan menemui Siti Chomsatun.
8.     Pukul 19.00 WIB, Leila Zenastri kembali bertanya kepada perawat. Perawat menyampaikan bahwa dr. Rusmaryono sudah pulang. Leila Zenastri meminta perawat untuk menghubungi dr. Rusmaryono.
9.     Pukul 21.00 WIB, dr. Rusmaryono lewat perawat jaga memastikan tidak akan datang malam itu dan meminta dokter THT yang lain / dokter jaga IGD untuk datang melihat kondisi Siti Chomsatun.
10.  Sekitar pukul 23.30, Siti Chomsatun kembali mengeluh sesak nafas, dr. Ferdy Merle Komalig sebagai dokter jaga IGD memberi terapi tambahan berupa injeksi stesolid (diazepam), dan anti hipertensi Captopril.
11.  Pada 16 Februari 2010 sekitar pukul 01.45 WIB, Siti kembali mengeluh sesak dan dr. Ferdy Merle Komalig memberi terapi inhalasi, injeksi oradexon (anti peradangan) dan injeksi rantin (ranitidine). Kemudian sesak nafas berkurang.
12.  Pukul 05.00 WIB, Siti kembali sesak nafas. Dr. Fauzan, Sp. THT melihat kondisi Siti.
13.  Pada 16 Februari pukul 10.30 WIB, Dr. Fauzan, Sp. THT menyatakan bahwa Siti harus segera dibuatkan lubang di leher untuk jalan nafas (tracheostomy) karena kelumpuhan pita suara (parase abductor bilateral) akibat operasi tiroidektomi pada Maret 2009 silam. Dr. Fauzan, Sp. THT juga mendiagnosa Siti mengalami sesak nafas Grade II. Dr. Fauzan, Sp. THT langsung merujuk Siti ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) tanpa memberitahukan informasi mengenai penyakit kepada Siti. Siti baru diberangkatkan ke RSCM setelah menunggu 2,5 jam karena urusan administrasi.
14.  Sampai di poliklinik THT Laring Faring RSCM, Siti ditolak karena tiba sudah melalui jam pendaftaran. Siti kehilangan kesadaran lalu dilarikan ke IGD RSCM.
15.  Sekitar pukul 15.34 WIB, Siti mendapat pelayanan medis di ruang resusitasi IGD RSCM oleh dr. Fauziah Fardizza. Operasi tracheostomy segera dilakukan karena sesak nafas mencapai Grade IV.
16.  Pada 10 Agustus 2010, Siti Chomsatun lewat Leila Zenastri mengadukan dr. Tantiyo Setiyowati dan dr. Fredy Melke Komalig yang merupakan tenaga kesehatan RS Kramat 128 ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
17.  Pada 26 Juni 2012, MKDKI mengeluarkan keputusan pada pengaduan Siti yang bernomor : No. 43/P/MKDKI/VIII/2010.
18.  Pada bulan April 2017, Siti kembali menggugat RS Kramat 128 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
19.  Putusan pengadilan atas perkara nomor 287/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst pada bulan November 2018.
20.  Hakim melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 287/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst hanya mengabulkan dan memutuskan untuk memberi ganti rugi secara materiil sebesar Rp. 17.620.933 dan secara immateriil sebesar Rp. 300.000.000 sehingga total yang harus dibayar oleh pihak tergugat sebesar Rp. 317.620.933 (Tiga Ratus Tujuh Belas Juta Enam Ratus Dua Puluh Ribu Sembilan Ratus Tiga Puluh Tiga Rupiah).
B.  Norma Hukum yang dilanggar :
Ø Oleh Dokter
1.  KODEKI pasal 3 ayat (2) bagian (b) :

“Melakukan upaya diagnostik, pengobatan atau tindakan medis apapun pada pasien secara menyimpang dari atau tanpa indikasi medik yang mengakibatkan turunnya martabat profesi kedokteran dan  kemungkinan  terganggunya  keselamatan  pasien”

2. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51(a) disebutkan bahwa :

“Dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien”

,dilanjut pada pasal 52(c) mengenai :

“hak dari pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran : mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis”.

Pemberian pelayanan medis yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasien haruslah berdasarkan pada transaksi terapeutik. Adapun yang dimaksud dengan transaksi terapeutik yaitu transaksi yang menentukan atau mencari terapi yang paling tepat bagi pasien. Namun bila dilihat dari kasus yang ada, diketahui bahwa korban (Siti Chomsatun) diberikan suntikan kortikosteroid (anti radang) serta pemberian injeksi stesolid (diazepam) pada pasien dengan keluhan sesak nafas dapat memperparah keluhan karena efek samping pemberian diazepam ialah depresi pernafasan. Pemberian obat tersebut tanpa mempertimbangkan riwayat penyakit dahulu, melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari tahu penyebab dari sesak nafas pasien

3.  Pasal 3 ayat (2) huruf (f) Perkonsil 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi:
Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien

Sesuai dengan penjelasan ayat tersebut menurut Perkonsil adalah dalam melakukan pelayanan atau tatalaksana pasien, dokter tidak dibenarkan melakukan yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesinya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah sehingga membahayakan pasien. Dokter wajib melakukan tatalaksana pada pasien dengan teliti, tepat, hati-hati, etis, dan penuh kepedulian dalam hal sebagai berikut:
a) anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan penunjang  diagnostik;
b) penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi pasien;
c) tindakan/asuhan dan pengobatan secara profesional;
d) tindakan/asuhan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan intervensi  kedokteran;
e) kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana diperlukan.

Pelanggaran yang dilakukan oleh dr. Tantoyo Setiyowati M.H., Kes. dan dr. Fredy Melke Komalig. M.K.M. ialah memberikan kortikosteroid pada Ibu Siti Chomsatun sebagai pasien sesak nafas yang disebabkan oleh kelumpuhan pita suara bilateral (parese abductor bilateral). Dalam putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) a quo, diketahui bahwa pemberian kortikosteroid tidak umum diberikan pada pasien sesak nafas yang disebabkan oleh kelumpuhan pita suara dan pemberian pemberian stesolid (diazepam) pada pasien dengan gejala sesak nafas. Seharusnya penanganan terhadap Ibu Siti Chomsatun adalah observasi ketat oleh dokter.
Ø Oleh Rumah Sakit
1. UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 29 ayat (1) bagian b berbunyi :

memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit

RS Kramat 128 tidak memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan efektif pada pasien (Siti Comsatun) yang mengakibatkan terjadinya kerugian pada pasien.

2. Selanjutnya pada pasal 32 tentang hak pasien pada ayat (1) bagian (d), (e), (g), (h), bahwa pasien berhak :
d)“memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
e)  memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;
g)  memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
h) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;”

melihat dari kasus Siti Chomsatun terdapat pelanggaran pada bagian tersebut dimana pada poin (g) niat Siti yang meminta dokter Rusmaryono Sp. THT untuk memeriksanya tetapi dokter tersebut tak kunjung mengunjungi Siti. Serta layanan yang diperoleh Siti tidak efektif yang menyebabkan kerugian fisik bagi pasien dalam hal ini sesak nafas hingga Grade IV.

Sehingga melihat hak pasien pula pada UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 32 ayat (1) bagian (f), (o), (q), (r), pasien berhak :
f) “mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
o)   mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
q)  menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
r)  mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

dan pada UU No. 36 tahun 2014 tentang Kesehatan, pasal 58 ayat (1) :

“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.”

C.  Peran yang seharusnya dilakukan oleh komite medik :
1. Meningkatkan profesionalisme staf medis di Rumah Sakit
Berdasarkan PERMENKES No.755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit pada pasal 11 dijelaskan bahwa cara komite medik di rumah sakit untuk meningkatkan profesionalisme staf medis di rumah sakit yaitu :
a.      melakukan kredensial (evaluasi terhadap staf medis untuk menentukan kelayakan diberikan kewenangan klinis) bagi seluruh staf medis yang melakukan pelayanan medis di rumah sakit. Dalam melaksanakan hal ini pengkajian/pemeriksaan perlu dilakukan terhadap kompetensi, kesehatan fisik dan mental, perilaku, serta etika profesi. Selain itu perlu dilakukannya proses re-kredensial pada saat berakhirnya masa berlaku surat penugasan klinis.
b.     memelihara mutu profesi staf medis. Dalam memelihara mutu komite medik dapat melakukan pelaksanaan terkait audit medis, melakukan rekomendasi terhadap pertemuan ilmiah internal dan eksternal dalam rangka melanjutkan pendidikan bagi staf medis serta melakukan rekomendasi dalam proses pendampingan staf medis yang membutuhkan. 

c.      menjaga disiplin, etika dan perilaku profesi staf medis, dengan cara melakukan pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran, memeriksa staf medis yang diduga melakukan pelanggaran disiplin, memberikan rekomendasi pendisiplinan perilaku profesional di rumah sakit dan memberikan nasehat/pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis pada asuhan medis pasien.

2.  Melakukan pemeriksaan terhadap dokter yang bersangkutan dan memberikan keputusan
Berdasarkan UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 67 & 68 dijelaskan bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap dokter yang bersangkutan dan apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI akan meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.

Berdasarkan UU No 29 tahun 2004  tentang praktik kedokteran pasal 69 dijelaskan bahwa keputusan yang diberikan oleh MKDKI sifatnya mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia. Keputusan yang diberikan berupa “tidak bersalah/pemberian sanksi”, sanksi disiplin yang diberikan dapat berupa :
1. pemberian peringatan tertulis ;
2. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik, dan/atau ;
3. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

3. Memberikan sanksi 
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dijelaskan apabila dokter maupun tenaga medis terbukti melakukan malpraktek, maka mereka dapat dikenakan sanksi yang berupa:
a. Sanksi Administrasi
Dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebutan MDTK (Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan) ini menjadi MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yang menerima pengaduan dan berwenang memeriksa serta memutuskan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter karena melanggar penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menerapkan sanksi. Sanksi administrasi atau sanksi disiplin berupa pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR), atau Surat Izin Praktik (SIP), dan wajib mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi tempat dokter tersebut menjalankan pendidikannya.
b. Tuntutan Perdata
Pasien dapat melanjutkan tuntutan perdata, yang diajukan dapat berupa tuntutan wanprestasi yang didasarkan pada contractual liability dan/atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dokter yang bekerja dalam sebuah tim, maka pertanggungjawaban berdasarkan seberapa besar tanggung jawabnya dalam team tersebut. Rumah sakit yang bersangkutan dapat menjadi tergugat karena tindakan yang dilakukan oleh seluruh karyawannya (baik medis maupun non medis) .
c. Tuntutan Pidana
Tuntutan pidana dapat dikenakan ketentuan pasal-pasal karena kesengajaan atau kealpaan yang mengakibatkan orang lain meninggal, sakit atau luka dan pasal-pasal tentang pengguguran kandungan. Sebelum hakim meyakini dokter telah lalai atau sengaja melakukan tindakan yang dapat menyebabkan kerugian bahkan kematian pada pasien (malpraktik), harus terlebih dahulu mendengarkan pendapat dari MKDKI. Dokter dapat dikatakan bersalah setelah ditinjau dari apakah sudah terpenuhinya standar pelayanan medik, standar operation procedure (SOP) dan adanya contribution negligence dari pasien. Selain hal tersebut, kemampuan dan tindakan dokter yang melanggar kode etik kedokteran juga dapat mempengaruhi keputusan hakim.
4. Penjabaran dan penjelasan dari peran yang dilakukan oleh komite medik berdasarkan   Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi : 
Pasal 3 
(1) Setiap Dokter dan Dokter Gigi dilarang melakukan pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
(2) Pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 28 bentuk:
1.     melakukan Praktik Kedokteran dengan tidak kompeten
2.     tidak merujuk pasien kepada Dokter atau Dokter Gigi lain yang memiliki kompetensi yang sesuai
3.     mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut
4.     menyediakan Dokter atau Dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut
5.     menjalankan Praktik Kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien
6.     tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien
7.     melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien
8.     tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran
9.     melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya
10.  tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja
11.  melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau keluarganya
12.  menjalankan Praktik Kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan, atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara Praktik Kedokteran yang layak
13.  tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
14.  menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis atau tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku

15.  membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut
Pada keputusan MKDKI, dr. Tantiyo Setiyowati., M.H., Kes dan dr. Fredy Melke Komalig., M.K.M. dinyatakan telah melanggar disiplin kedokteran merujuk pada Pasal 3 ayat (2) Perkonsil 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi :
tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien”.
Hal tersebut dengan rincian tindakan sebagai berikut : 
dr. Tantoyo Setiyowati M.H., Kes. dan dr. Fredy Melke Komalig. M.K.M. memberikan kortikosteroid pada Ibu Siti Chomsatun sebagai pasien sesak nafas yang disebabkan oleh kelumpuhan pita suara bilateral (parese abductor bilateral). Dalam putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) a quo, diketahui bahwa pemberian kortikosteroid tidak umum diberikan pada pasien sesak nafas yang disebabkan oleh kelumpuhan pita suara dan pemberian pemberian stesolid (diazepam) pada pasien dengan gejala sesak nafas. Seharusnya penanganan terhadap Ibu Siti Chomsatun adalah observasi ketat oleh dokter.
Dari keputusan tersebut kedua dokter tersebut terjerat kasus hukum sesuai dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 tahun  2011 pasal 3 yang telah dijabarkan di atas, penjabaran pasal tersebut juga sekaligus menjelaskan secara rinci poin apa saja yang telah dilanggar oleh kedua dokter. Pada pasal 1 peran yang dilakukan oleh komite medik dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1.       Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi adalah ketaatan terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
2.       Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
3.       Konsil Kedokteran Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKI adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
4.       Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang selanjutnya disingkat MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi.

5.       Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat Provinsi, yang selanjutnya disebut MKDKI-P adalah lembaga di wilayah provinsi tertentu yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi.
Pada pasal 1 dijelaskan komisi yang mengatur disiplin dokter, sehingga praktik kedokteran diatur didalamnya menjadi lembaga yang senantiasa bekerja untuk memperhatikan disiplin yang dilakukan oleh dokter saat bekerja.  
Pada pasal 2 pengaturan disiplin profesional Dokter dan Dokter Gigi bertujuan untuk:
a)     Memberikan perlindungan kepada masyarakat.
b)     Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
c)     Menjaga kehormatan profesi.

KESIMPULAN
Sebagai seorang tenaga kesehatan, merupakan sebuah kewajiban bagi seorang dokter untuk memberikan pelayanan profesional, selain itu Rumah Sakit juga sangat berperan penting dalam memberikan pelayanan yang efektif dan bermutu kepada pasien. Namun, kegagalan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berakibat kehilangan atau kerugian bagi penerima layanan kesehatan  terus saja terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah kasus yang diangkat pada artikel ini. Norma yang dianggar pada kasus ini adalah transaksi teraupetik yang tidak sesuai, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan sehingga membahayakan pasien.
Selain itu, rumah sakit tempat terjadinya pelanggaran pada kasus ini juga tidak efektif dan tidak aman dalam memberikan pelayanan kesehatan yang harusnya bermutu dan berkualitas sehingga pasien yang menerima layanan kesehatan tersebut mengalami beberapa kerugian dengan jangka waktu yang cukup lama. Akibat dari hal tersebut, beberapa dokter yang sempat menangani pasien harus berhadapan dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan Rumah Sakit yang menjadi tempat terjadinya kasus ini harus berhadapan dengan Pengadilan Negeri. Beberapa dokter yang terlibat dan Rumah Sakit dalam kasus ini harus bertanggung jawab untuk menanggung kesalahan yang telah  dilakukan.
Pembelajaran yang bisa diambil dari kasus ini, yaitu dalam memberikan pelayanan, baik dari seorang dokter maupun pelayanan dari Rumah Sakit kepada seorang pasien, tidak hanya dituntut untuk bisa fasih dalam keilmuan medis yang memang harus dipelajari, tetapi juga harus mengerti bahwa bekerja di ranah pelayanan kesehatan  merupakan sebuah profesi yang memiliki Etika, Norma dan Hukum yang harus dimengerti dan ditaati.


REFLEKSI INDIVIDU
Valaenthina C. Bemey / 41160061
Setelah membaca artikel malpraktik yang terjadi di RS Kramat 128, Jakarta Pusat, saya menyadari bahwa apapun tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus berdasarkan alasan yang jelas. Jika ingin memberi penangan, maka penanganan harus berdarkan alasan yang jelas, jangan sampai mencelakai pasien. Kesalahan sekecil apapun, jika pasien merasa tidak terima, pasien dapat memilih untuk mencari bantuan hukum dan menyelesaikannya melalui jalur hukum. Sebagai profesi yang harus memegang sumpah, seorang dokter juga harus selalu ingat bahwa ada hukum yang mengatur keberlangsungan hidup di negara ini, sehingga dokter dapat selalu bertindak benaar dan hati-hati.
Cynthia Gabriella Nugroho / 41170103
Kelalaian dokter bisa saja terjadi, tetapi ketika kelalaian ini bersifat fatal hingga membahayakan pasien maka perlu dilakukan pendisiplinan. Materi kali ini membahas kasus malpraktik yang pernah terjadi beserta pengertian dan pendalaman bagaimana dan apa saja kode etik yang dilanggar pada kasus malpraktik ini. Pendapat saya pribadi adalah bagaimana kasus ini menjadi pembelajaran baik bagi dokter maupun bagi pasien untuk tidak membiarkan kasus malpraktik yang mungkin saja terjadi. Bila ada kasus yang mungkin saja terjadi, maka perlu segera diatasi dan diselesaikan dengan cara yang tepat sesuai dengan prosedur yang ada. Selain itu, saya juga belajar bahwa penyelesaian kasus malpraktik tidak semudah yang terlihat. Ada prosedur hukum dan prosedur etika yang sangat panjang dan mendalam terkait kasus ini.

Tillandsia Filli Folia P / 41170105
Berdasarkan analisa kasus menganai malpraktik ini, saya menyadari bahwa tindakan profesional seorang dokter sangat-sangat dibutuhkan. Hal ini berhubungan dengan bagaimana cara dokter tetap mempertahakan kualitas dirinya dalam melakukan segala tindakan dan keputusannya dalam menjalankan pekerjaannya diikuti dengan sikap jujur, seperti dalam kasus ini dimana dokter serta petugas kesehatan yang ada di Rumah Sakit tersebut seharusnya jujur terkait apa yang telah terjadi dengan pasien dan tidak menutup-nutupi apa yang telah terjadi kepada pasien bahkan mengoper pasien ke dokter lain. Maka dari itu dengan adanya lembar informed consent sangat membantu baik pasien maupun dokter untuk memahami bagaimana kondisi pasien jadi kita tidak boleh sembarangan mengisi lembar informed consen, sehingga dengan mempelajari dan memahami hukum-hukum terkait tindakan malpraktik, izin praktik, tenaga kesehatan, etika keselamatan pasien dan lainnya mampu membantu kami sebagai mahasiswa dalam menjalankan profesi dokter di masa depan.

Stefan Prayoga Yukari Ujan / 41170108
Yang saya petik dari kasus ini, sebagai dokter memerlukan ilmu keterampilan klinis yang baik, niat menolong sesama dan tanggung jawab yang besar. Melihat dari kasus bahwa prosedur tiroidektomi yang awalnya bertujuan untuk mengobati pasien tetapi dapat berujung pada malpraktik sehingga pasien dapat menuntut dokter yang bersangkutan untuk dibawah ke ranah hukum. Oleh karena itu sebagai dokter kelak harus mempunyai tanggung jawab terhadap ilmu yang dimiliki serta segala perbuatan dan keputusan yang diambil ketika memberikan pelayan kepada pasien.

Arike trivena / 41170109
Sudah menjadi kewajiban serang dokter untuk memberikan pelayanan profesional terhadap pasien. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, kita juga harus memanfaatkan keterampilan dan pengetahuan yang kita miliki agar tindakan apapun yang kita berikan tepat sesuai kondisi pasien dan tidak menimbulkan kerugian. Dari kasus ini, saya belajar pentingnya seorang dokter untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadahi, karena apabila hal itu tidak cukup, dapat membahayakan nyawa orang lain, serta ada hukum dan kode etik profesi yang dilanggar.

Anasthasia Audi W / 41170112
Malpraktek merupakan suatu fenomena gunung es, tidak banyak orang yang tahu mengenai kapan kasus tersebut dapat terjadi. Malpraktek dapat dilakukan dalam hal sekecil mungkin, seperti menambahkan obat yang sebenarnya tidak diperlukan tetapi dapat memberikan keuntungan untuk dokter yang bersangkutan. Melalui pembuatan makalah ini, saya dapat lebih mengerti mengenai kasus malpraktek yang bisa muncul disekitar kita. Saya juga berharap para pembaca juga lebih mengerti mengenai kasus malpraktek setelah membaca makalah ini. Dengan berpikiran kritis dan terbuka, pasien maupun keluarga yang bersangkutan dapat menganalisis atau mengajak dokter untuk berdiskusi mengenai tatalaksana yang diberikan. Jangan hanya diam, jangan takut untuk mengkritisi atau memberikan pendapat.

Thomas Carel Aditya / 41170113
Pelajaran yang bisa saya ambil dari praktikum ini adalah seorang dokter dalam pelayanan terhadap pasien wajib menggunakan seluruh bentuk keilmuan dan keterampilan yang dimiliki agar pasien yang dirawat dapat terjamin kehidupan nya. Dokter juga dalam bekerja diharapkan menerapkan standar pelayanan yang tinggi dan tidak sewenang-wenang memberikan sebuah terapi atau tindakan medis yang hanya sedikit keuntungan dan memiliki lebih banyak kerugian yang ditimbulkan, dalam kasus praktikum ini ditemukan berbagai bentuk kelalaian seorang dokter seperti menulis resep dengan tidak baik, memberikan terapi farmakologis yang tidak semestinya dan pelayanan rujukan yang kurang terintegrasi dengan baik, dari situ dapat diambil pelajaran bahwa baik dokter dan pihak rumah sakit seharusnya dapat lebih baik dalam melakukan pelayanan kesehatan, dalam kode etik profesi dokter dan rumah sakit juga diatur apa saja kewajiban yang harus dipenuhi kepada pasien, dalam kasus ini juga dapat dikategorikan sebagai sebuah malpraktek  dimana terjadi sebuah kelalaian yang mengancam nyawa pasien. Dari kasus ini saya juga dapat mengambil pelajaran bahwa sebagai seorang dokter diharapkan dapat memikirkan secara matang terlebih dahulu tindakan medis yang akan dilakukan, selain itu standar pelayanan harus selalu dijaga agar segala bentuk kelalaian dapat diminimalisir, dan juga harus selalu menerapkan prinsip etika terhadap pasien agar pelayanan yang diberikan selalu terjamin kualitas nya.

Dewianti Paluta Pongarrang / 41170114
Melalui kasus ini menyadarkan saya mengenai pentingnya sikap professionalism seorang dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pasien. Saat ini, diharapkan seorang dokter dapat memiliki sikap perilaku yang bertanggung jawab dan bertindak berdasarkan kemampuan clinical reasoning dan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur. Dengan adanya  SOP sebagai panduan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, tak hanya dokter namun seluruh tenaga kesehatan dapat mewujudkan terciptanya pelayanan kesehatan yang terstandarisasi dan aman, juga meminimalisir kelalaian yang dapat merugikan dokter maupun pasien.
 
Vanessa Angelin / 41170115
Pada praktikum ini kelompok saya mengambil kasus malpraktek yang dilakukan oleh beberapa dokter terhadap seorang pasien yang bernama Siti Chomasatun. Pasien ini memiliki riwayat operasi Tirodektomi karena penyakit pembengkakan kelenjar tiroid (gondok) yang dialaminya pada 13 April 2009. Satu tahun kemudian setelah operasi tersebut, pasien mengalami sesak nafas sehingga dilarikan ke rumah sakit yang sama dengan rumah sakit tempatnya di operasi untuk mendapatkan pertolongan. Karena kondisi sesak nafas tersebut, seorang dokter memberikan injeksi kortikosteroid dan menyetel tempat tidurnya 45 derajat, sesak nafas sempat berkurang namun sesak nafas tersebut kembali lagi, sehingga dokter lain memberikan injeksi stesolid dan meresepkan obat antihipertensi sesak nafas kemudian sempat berkurang namun kemudian bertambah lagi. Sehingga dokter kedua memberikan terapi inhalasi, injeksi oradexon dan injeksi rantin setelah tindakan tersebut sesak nafas sempat berkurang namun kembali lagi. Oleh seoran dokter spesialis THT mendiagnosis pasien mengalami lumpuh pita suara yang disebabkan oleh cidera saraf di sekitar pita suara akibat operasi tiroidektomi pasien juga mengalami sesak nafas Grade II, sehingga harus dilakukan operasi tracheostomy.
Pada kasus ini dua dokter yang menangani sesak nafas pasien telah melanggar disiplin dokter karena tidak melakukan tindakan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien. Dimana dokter pertama memberikan injeksi kortikosteroid pada pasien yang sesak nafas karena kelumpuhan pita suara padahal hal tersebut  tidak lazim diberikan karena yang seharusnya dilakukan adalah observasi ketat. Kemudian dokter kedua yang telah menulis resep untuk obat hipertensi diatas kertas yang bukan miliknya sendiri.
Dari kasus tersebut ada banyak hal yang dapat diambil, selain karena tindakan malpraktek yang merugikan dan membahayakan nyawa pasien juga bagaimana tindakan dokter yang gegabah dalam memberikan penanganan tanpa melakukan observasi secara menyeluruh. Tindakan dua dokter yang mengalami tuntutan tersebut adalah beberapa kondisi yang pernah terjadi di rumah sakit, sehingga berakibat hukum dan pasien yang mengalami kerugian karena tindakan yang kurang bijaksana dari dokter. Dalam kode etik kedokteran, pada pasal 8 : Profesionalisme ”Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara  berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia”. Dari kasus ini, saya sebagai seorang mahasiswa kedokteran mendapat pembelajaran bahwa sebagai seorang dokter, haruslah tetap bijaksana dan teliti dalam memberikan pelayanan agar tidak merugikan pasien.

Ceny Gloria Larope / 41170149
Dari kasus Ibu Siti Chomsatun, saya kembali merefleksikan bahwa tugas utama dari seorang dokter adalah pelayanan dan tentunya pelayanan berdasarkan kasih. Hal penting yang kembali diingatkan bagi saya sebagai calon dokter adalah melakukan yang terbaik dalam tanggungjawab profesi sekecil apapun itu dengan menjunjung tinggi keselamatan pasien, menolong terlebih dulu tanpa memikirkan urusan administrasi terlebih pada kasus darurat, dan tentunya belajar dengan sungguh-sungguh agar apa yang telah dipelajari dapat diimplementasikan dengan baik.

Gusti Ayu Agung Indra Sari Putri / 41170152
Setelah membaca kasus ini, saya menjadi tahu ternyata malpraktik tidak hanya berupa tindakan yang disengaja oleh dokter untuk mencelakakan pasien, tetapi juga dapat terjadi karena kelalaian dokter saat menangani pasiennya. Fokus saya adalah dimana saat dokter sudah mencoba untuk melakukan pertolongan tetapi ternyata obat yang diberikan tidak tepat malah dapat memperparah keadaan pasien dan hal tersebut juga dapat diajukan sebagai gugatan apalagi semua tindakan yang dilakukan dokter kepada pasien tercatat dalam rekam medis. Kasus ini terjadi pada tahun 2009 tetapi seiring dengan perkembangan jaman, pasien tentu dapat mengakses informasi lebih mudah, sebagai tenaga kesehatan tentu menjadi lebih berhati – hati dalam bertindak. Setiap prosedur juga harus dijelaskan risikonya. Kasus malpraktik ini juga menghabiskan waktu yang lama untuk penyelesainnya.

Youlla Anjelina / 41170153 
Sebagai seorang tenaga medis, khususnya sebagai seorang dokter yang bekerja untuk masyarakat di dalam sebuah negara dengan landasan hukum, seharusnya mengerti bagaimana hukum itu sendiri berjalan di bidang kesehatan. Praktikum analisa kasus malpraktik ini membuat saya mengerti bahwa mempelajari  hukum terutama dalam bidang kesehatan itu sangatlah penting, karena dapat membuat kita bertindak lebih hati – hati lagi dan bisa sesuai dengan prosedur yang telah di buat. Sampai sekarang masih banyak kasus malpraktik yang terjadi karena kesalahan satu orang dokter, ataupun beberapa tim dokter , bahkan rumah sakit. Hal ini membuat saya lebih terdorong untuk bersungguh – sungguh dalam belajar selama di masa pre klinik ini, karena banyak sekali hal – hal yang dapat membuat kita tidak sadar bahwa kita melakukan suatu kesalahan dalam pelayanan kepada pasien. Hal tersebut membuka pikiran saya untuk terus belajar dengan sungguh – sungguh dan belajar untuk bisa taat kepada hukum dan hal – hal kecil seperti menulis rekam medis, menulis informed consent untuk wali pasien, dan hal lain yang sering dilupakan.

Ade Novita P / 41170156
Kasus diatas mengajarkan saya untuk lebih berhati hati lagi dalam memberikan penanganan demi keselamatan pasien. Memberikan penanganan agar pasien bisa selamat menjadi prioritas utama, yang berarti ketika sudah berhadapan dengan pasien harus mengesampingkan urusan pribadi dan hanya berfokus pada pasien. Meskipun seorang dokter juga manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan saat melakukan suatu prosedur, tetapi seorang dokter tidak boleh berkata demikan karena tugas utama dokter adalah menyelamatkan pasien.

Muhammad Fikri Mujtahid / 41170157
Dari kasus tersebut bahwa terjadi kesalahan malpraktik terhadap pasien yang diberikan dari kasus ini bahwa pasien menggugat kesalahan yang dilakukan oleh beberapa tenaga medis, dimana memang tenaga medis ini tidak memperlakukan pasien tersebut dengan sebaik mungkin dan juga salah untuk pelaksanaan terapi medisnya, hal ini tentu akan merugikan pasein maupun pihak keluarga yang bersangkutan dan juga hal ini bertentangan dengan kode etik kedokteran dan ada hukumannya. Dari kejadian diatas saya mendapatkan pelajaran bahwa seorang dokter maupun tenaga medis lainnya harus benar-benar dapat bertanggung jawab atas perlakuannya dan juga harus menguasai materi sesuai bidangnya agar bisa memberikan pelayana terbaik buat pasien. Jika hal diatas tidak dilakukan, tenaga medis dinyatakan melanggar disiplin kedokteran dengan tidak melakukan pelayana medis yang memadai terhadap situasi yang terjadi dan dapat membahayakan pasien. Seorang dokter juga harus benar benar memperhatikan atas tindakannya, atas terapi yang diberikan maupun efek dari terapinya dan harus selalu dapat memantau kondisi ibu siti ini agar ibu siti selalu merasa aman dan percaya sepenuhnya dengan dokter tersebut.

Claudius PYSM / 41170159
Dari kasus ini saya belajar kalau didalam pelayanan kesehatan kita sebagai dokter dalam melakukan sebuah tindakan harus benar-benar memperhatikan efek dari tindakan kita tersebut apakah akan memperbaiki kondisi pasien atau justru memperparahnya. Seorang dokter harus menguasai materi-materi yang ada dibidang kedokteran. Selain itu sebagai tenaga medis kita juga harus bersikap professional terhadap pasien dan memiliki sikap tanggung jawab. Dimana jika ada seorang pasien yang membutuhkan penaganan medis kita harus memperhatikannya hingga pasien tersebut sembuh. Memberikan pelayanan terbaik sudah menjadi tugas dan tanggung jawab seorang dokter. Dalam hal ini dokter juga harus memperhatikan kode etik dan hukum yang berlaku sehingga tidak merugikan diri sendiri dan juga pasien tersebut.

Ginti Lintang S. / 41170160
Dari kasus Ibu Siti, saya belajar tentang sikap seorang dokter yang harus selalu siap siaga dalam menangani sesuatu dan harus teliti serta berhati-hati.
Kasus ini membuat saya berpikir bahwa kelalaian dokter yang terjadi sesaat bisa mempengaruhi hidup pasien kedepan. Saya menjadi sadar bahwa menjadi seorang dokter berarti harus selalu siap siaga untuk melakukan suatu prosedur agar pasien bisa selamat.

Nunki Utomo / 41170161
Melihat kronologi kejadian yang dialami Siti Chomsatun, sebagai dokter ada baiknya kita mengevaluasi kemampuan kita masing – masing dalam 2 aspek. Aspek yang pertama yaitu pengetahuan kita mengenai tatalaksana yang dapat diambil dan aspek kedua yaitu bagaimana kita dapat tenang dan tidak terburu – buru dalam mengambil keputusan. Teknologi dan keilmuan semakin maju tiap harinya, tidak ada salahnya bagi kita untuk memperbarui ilmu agar tidak sesat saat mengobati pasien. Ketenangan saat merawat pasien dapat membantu kita untuk berpikir jernih dalam menghadapi kasus kegawatdaruratan, seperti contohnya melakukan konsultasi pada sejawat jika memang ragu dalam menangani pasien yang sedang kritis.



DAFTAR PUSTAKA

 Anggi. (2019). Siti Chomsatun, Korban Malpraktik Menang Di Pengadilan. https://www.bantuanhukum.or.id/web/siti-chomsatun-korban-malpraktik-menang-di-pengadilan/  .Diakses 29 Mei 2020

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: IDI

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 tahun 2011. DISIPLIN PROFESIONAL DOKTER DAN DOKTER GIGI. 22 September 2011. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 304. Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011. PENYELENGGARAAN KOMITE MEDIK DI RUMAH SAKIT. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 259. Jakarta

Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara. Diakses 30 Mei 2020. Keyword : Siti Chomsatun

Undang Undang Republik Indonesia No 44 tahun 2009. RUMAH SAKIT. 28 Oktober 2009. Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153. Jakarta

Undang Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009. KESEHATAN. 13 Oktober 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. Jakarta


Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 tahun 2004. PRAKTIK KEDOKTERAN. 6 Oktober 2004. Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116. Jakarta

Komentar

  1. Artikel yang sangat menarik
    izin bertanya :
    1. Terkait keputusan hukuman yang diterima oleh dr.Fredly dan dr.Tantiyo apakah hanya berupa ganti tugi secara materil ? atau ada hal lain seperti pencabutan izin praktik sebagai dokter di RS atau dimanapun ?
    2. Apa pendapat teman-teman terkait sikap dr.Rusmaryono yang tidak segera datang menangani pasien namun hanya meminta dokter lain untuk menangani Ibu siti , apakah menurut teman-teman tindakan dr.Rusmaryono ini benar atau salah ?

    Terimakasih teman :)
    Lucia Vini P Rodja_41170158

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Vini. terima kasih untuk pertanyaannya, saya Gusti Ayu (41170152) akan mencoba menjawab pertanyaan pertama. Sejauh ini belum ada sumber berita lain yang dapat menyebutkan sanksi lain seperti sanksi administrasi (pen yang diterima oleh dr. Fredy dan dr. Tantiyo selain ganti rugi secara materil yang jumlahnya cukup besar.


      Gusti Ayu Agung Indra Sari P (41170152)

      Hapus
  2. Iannugrah Pandung Wibowo/41170124 anggota kelompok 4
    Saya meminta klarifikasi atas dua poin di bagian B yang menurut saya sedikit rancu
    .........serta pemberian injeksi stesolid (diazepam) pada pasien dengan keluhan sesak nafas dapat memperparah keluhan karena efek samping pemberian diazepam ialah depresi pernafasan.
    dan poin yang kedua
    Seharusnya penanganan terhadap Ibu Siti Chomsatun adalah observasi ketat oleh dokter dan pemberian pemberian stesolid (diazepam) pada pasien dengan gejala sesak nafas.

    kenapa poin pertama dan kedua menjadi kontradiktif berkaitan dengan pemberian Diazepam??padahal poin pertama menjelaskan pemberian Diazepam memperparah sedangkan yang kedua justru menganjurkan pemberian Diazepam, mungkin teman teman bisa jelaskan atau mungkin justru saya yang salah mengerti, Terimakasih sebelumnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)1 Juni 2020 pukul 00.48

      Terima kasih Ian untuk masukannya,

      mohon maaf sebelumnya karena kesalahan penulisan sehingga membuat anda menjadi bingung, sudah kami sunting kesalahan tersebut.

      Hapus
  3. Ijin bertanya, setau saya sebelum melakukan oprasi ada persetujuan sebelum nya, jika dalam melakukan proses oprasi, kemudian pasien meninggal,
    apakah itu termasuk malpraktik?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya Cynthia Gabriella (41170103) izin menjawab yaa, hubungan dokter, petugas kesehatan, dan pasien di rumah sakit disebut dengan transaksi terapeutik. Transaksi ini tentunya didasarkan pada komunikasi dokter pasien serta kepercayaan antara dokter dan pasien. Hubungan transaksi terapeutik terjalin dengan adanya kesepakatan antara dokter dan pasien, termasuk dengan terapi yang dipilih oleh pasien. Pada kasus tindakan beresiko (seperti yang Anda contohkan, operasi), pada KODERSI BAB III Pasal 11 dikatakan bahwa “Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien (informed consent) sebelum melakukan tindakan medik.”
      Persetujuan pasien disini ada dalam dua bentuk yaitu bentuk tersirat dan bentuk tersurat (tertulis). Bentuk tersurat akan digunakan pada tindakan-tindakan besar seperti operasi. Sesuai namanya, informed consent berarti izin yang diberikan oleh pasien setelah “mendapatkan penjelasan” lengkap terkait dengan penyakit serta pilihan terapi yang tersedia. Bila ada resiko meninggal atau kecacatan maka harus disampaikan terlebih dahulu (termasuk dengan rasio resikonya). Bila sebelum operasi pasien sudah menandatangani informed consent maka pasien dapat dianggap telah setuju dan paham terkait pilihan terapi dan resikonya sehingga bila ada efek samping setelah tindakan tidak dihitung sebagai malpraktik.

      Hapus
  4. Apakah dokter yang melakukan malpraktik harus dilapor ke MKDI ? Atau bisa ke langsung ke Pengadilan Negeri ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)4 Juni 2020 pukul 23.57

      Terimakasih sudah mengunjungi dan bertanya di artikel kami. Sebelumnya perkenalkan saya Claudius Sembiring akan mencoba menjawab pertanyaan anda. Maaf sebelumnya apakah yang anda maksud adalah MKDKI?
      Jika iya perlu diketahui bahwa Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia, ”Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.” Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (kodeki), di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi (Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran).
      Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Meskipun, korban malpraktik dapat saja langsung mengajukan gugatan perdata.
      Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga kesehatan yakni:
      a. Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;
      b. Melakukan mediasi;
      c. Menggugat secara perdata.

      Terimakasih salam saya Claudius Pasco Yudhitama S.M. (41170159)

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Halo! Terima kasih untuk pertanyaan yang bagus sekali.
      Saya Ceny (41170149) akan mencoba menjawab.

      Kepastian dan perlindungan hukum merupakan hak warga negara, salah satunya termasuk jasa pelayanan di bidang kesehatan. Diperlukan adanya lembaga pengawas yang mewakili Pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
      Lembaga pengawas itu adalah:
      -Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
      -Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
      -Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
      -Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
      Lembaga ini beranggotakan ahli hukum, dokter dan dan dokter gigi. Tugas dari MKDKI seperti yang disebutkan dalam kasus di atas adalah menentukan ada tidaknya pelanggaran dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menjatuhkan sanksi (pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan Surat Izin Praktik kepada KKI, dll).

      Jadi, apabila terjadi adanya dugaan malpraktik maupun disiplin profesi, maka alur pelaporannya adalah ke MKDKI secara tertulis. Sedangkan MKEK akan menangani pelanggaran kode etik dokter. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 66 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.”
      Sayangnya, belum banyak yang tahu mengenai MKDKI ini. Namun, pengaduan ke MKDKI tidak menghilangkan setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke Pengadilan.

      Semoga jawaban saya cukup membantu. Jika dirasa kurang jelas, silahkan membuka tautan di bawah ini:

      http://kki.go.id/index.php/tentangkami/index/1206/1245/majelis-kehormatan-disiplin-kedokteran-indonesia

      Hapus
  5. Materinya sangat membantu terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)4 Juni 2020 pukul 23.59

      Terimakasih sudah berkunjung di artikel kami.

      Hapus
  6. Setywanty Layuklinggi1 Juni 2020 pukul 15.44

    Setywanty Layuklinggi-41170171/kelompok 2

    Materi yang sangat menarik. Saya mau bertanya
    Disebutkan diatas dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dijelaskan apabila dokter maupun tenaga medis terbukti melakukan malpraktek, maka mereka dapat dikenakan sanksi yang berupa sanksi administrasi atau sanksi disiplin berupa pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR), atau Surat Izin Praktik (SIP), dan wajib mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi tempat dokter tersebut menjalankan pendidikannya. Yang saya ingin tanyakan apakah pada kasus ini kedua dokter tersebut diatas diberlakukan sanksi ini atau justru diberikan kompensasi menimbang bahwa dokter dalam kasus ini sudah melakukan kesalahan.
    Terimakasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Wanty. Terima kasih atas pertanyaannya. Saya Gusti Ayu (41170152) akan mencoba menjawab. Memang benar sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada dokter jika melakukan malpraktik berupa pencabutan STR, SIP, dan wajib untuk menjalani pendidikan kembali, tetapi untuk kasus ini kami belum bisa menemukan sumber berita lain tentang kelanjutan kasusnya. Seperti yang disebutkan pada berita, kedua dokter tersebut harus mengganti rugi secara materi kepada pasien.

      Gusti Ayu Agung Indra Sari Putri (41170152)

      Hapus
  7. izin bertanya, dikatakan dlm pasal 32 tentang hak pasien pada ayat (1) bagian (g) bahwa pasien berhak :
    g) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

    nah apabila disini terdapat kasus pasien yg merasa lebih tahu (ngeyel) dan tidak mempercayai keputusan yang diberikan oleh dokter. apa sikap yg diambil oleh dokter tsb? apakah menuruti keinginan pasien tsb atau bgmn? soalnya saat ini banyak sekali kalangan awam merasa sok tahu dengan prosedur tindakan medis sehingga sangat sulit mengangani pasien tsb apabila dari pihak keluarganya merasa tdk sepaham dengan dokternya

    sekian dari saya terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, terima kasih untuk pertanyaannya, saya coba membantu menjawab.

      Pada uu rumah sakit pasal 32 ayat (1) bagian (g) :

      “pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginan dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit”

      Pada pasal ini contohnya seperti pasien yang pernah diobati atau pernah mendapat pelayanan seorang dokter dan menganggap dokter yang pernah menanganinya ini lebih paham mengenai penyakitnya sehingga pasien memilih dokter yang sama atau pasein cenderung lebih memilih dokter yang memiliki reputasi baik dalam pelayanannya. Dan kelas perawatan sendiri seperti pemilihan kelas rumah sakit atau pemilihan kelas kamar rawat inap.


      Untuk pertanyaan mengenai sikap dokter terhadap pasien yang ngeyel, merujuk pada UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pada pasal 45 ayat (1),(2), dan (3) :

      “(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
      (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
      (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
      a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
      b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
      c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
      d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
      e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.”

      persetujuan dilakukannya tindakan kedokteran tidak dititikberatkan hanya pada keputusan dokter seorang tetapi, persetujuan tindakan kedokteran merupakan hak penuh pasien ingin menerima atau menolak tindakan yang dijelaskan oleh dokter. Terdapat pengecuali mengenai persetujuan tindakan kedokteran pada keadaan darurat medik guna menyelamatkan nyawa pasien, dokter tidak perlu persetujuan pasien atau keluarga terlebih dahulu sebelum melalukan tindakan.

      Oleh karena itu, dokter tetap menghormati segala keputusan pasien baik menerima atau menolak tindakan kedokteran yang sudah dijelaskan dengan lengkap oleh dokter.

      Terima kasih, semoga membantu.

      Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)

      Hapus
  8. Antonia Deta 41170177
    Terimakasih kel 1. Pembahasannya menarik sekali.
    Saya mau bertanya
    1. Dikatakan di fakta 13 "Dr. Fauzan, Sp. THT juga mendiagnosa Siti mengalami sesak nafas Grade II. Dr. Fauzan, Sp. THT langsung merujuk Siti ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) tanpa memberitahukan informasi mengenai penyakit kepada Siti." Apakah dr Fauzan terbilang melanggar etika karena tidak memberi penjelasan ke pasien sebelum di rujuk? Mohon tanggapannya
    2. Apakah sudah dipastikan bahwa dokter terkait melakukan malpraktik dalam prprosedur operasinya? Ataukah sesak tersebut merupakan resiko dari operasi/penyakit yang diderita?
    2. Apa perbedaan ganti rugi materil dan imateril?
    Terimakasih. Salam work form home💪

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Kak Deta, trimakasih atas pertanyaan nya
      Saya akan menjawab untuk pertanyaan terakhir ya, yang terkait perbedaan ganti rugi materiil dan imateriil,

      Kerugian materil adalah kerugian yang nyata “telah” di derita oleh korban. Sedangkan,
      kerugian immateril adalah kerugian yang “akan” diperoleh oleh korban dikemudian hari
      Jadi, ganti rugi materil adalah ganti rugi yang diberikan oleh pelaku kepada korban sejumlah kerugian yang telah di peroleh oleh korban.
      Tuntutan ganti rugi ini harus memiliki azas causalitas (hubungan sebab-akibat) sehingga mekanisme pembuktiannya tidaklah tunggal.
      Dalam pasal 163 HIR disebutkan bahwa
      “Barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak atau menyebut suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.
      Artinya seluruh rangkaian peristiwa hukum yang terjadi adalah benar-benar yang menyebabkan timbulnya kerugian.
      Oleh karena itu hubungan antara peristiwa dan nilai kerugian harus dibuktikan dalam persidangan, karena jika tidak terbukti akan mengakibatkan gugatan tidak memenuhi syarat materiil dan akibatnya gugatan akan ditolak, karena gugatan dianggap tidak beralaskan hukum.
      Pada kasus ini, ganti rugi materiil yang diterima oleh korban yaitu sebesar Rp. 17.620.933 dan ganti rugi imateriil yang diterima pasien yaitu sebesar Rp. 317.620.933

      Sumber :Buku “Perbuatan Melawan Hukum” tahun 2013 oleh Prof. Rosa Agustina

      Terimakasih
      Youlla Anjelina
      41170153

      Hapus
    2. Ade Novita P. (41170156)

      Terimakasih Deta untuk pertanyaannya. Kurang lebih sudah disampaikan teman kelompok saya Youlla.
      Saya ingin menambahkan sedikit.
      Dokter harus memberi penjelasan secara lengkap dan jelas tentang kondisi pasien yang datang memeriksa. Penjelasan harus diberikan secara lengkap baik itu tentang penyakitnya, tindakan yang mungkin diambil, hasil kedepan, dsb.
      Dalam melakukan rujukan kepada pasien, perlu diberikan penjelasan mengenai alasan dilakukannya rujukan tersebut kepada pasien dan keluarganya.
      Hal itu diperlukan suapaya keluarganya tidak merasa gelisah dan mempertanyakan setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter.

      Terimakasih.

      Sumber : Text book Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Permenkes 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. Halo, Deta. Terima kasih atas pertanyaannya, Saya Gusti Ayu (41170152) akan menambahkan jawaban dari kedua teman saya sebelumnya. Perihal tentang rujukan. menurut KODEKI tahun 2012 pasal 14 tentang Konsul dan Rujukan, disebutkan bahwa, "Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan/pengobatan atau demi kepentingan terbaik pasien, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib berkonsultasi/merujuk pasien kepada dokter lain yang mempunyai keahlian untuk itu." dalam kasus ini, tentu dr. Fauzan juga sudah melanggar pasal tersebut karena melakukan rujukan tanpa penjelasan terlebih dahulu kepada pasien ataupun keluarga pasien.

      Gusti Ayu Agung Indra Sari P (41170152)

      Hapus
  9. Saran buat penulis. Di bagian analisis sub bab kronologi kasus poin ke-3 kan mba siti datang jam 20.20 tapi di poin ke 7, keluarganya bertanya ke perawat tentang dokternya jam 17.30
    Mungkin ada kesalahan penulisan waktu saja. Bisa di perbaiki. Terima kasih penulis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)5 Juni 2020 pukul 00.09

      Sebelumnya terimakasih atas sarannya dan mohon maaf atas kesalahan yang ada. Tetapi disini saya mencoba klarifikasi bahwa setelah kami cek kembali hal tersebut terjadi karena pada berita yang kami angkat juga menuliskan hal tersebut. Mungkin anda bisa mengaksesnya dari : https://www.bantuanhukum.or.id/web/siti-chomsatun-korban-malpraktik-menang-di-pengadilan/
      Tetapi disini saya mencoba koreksi bila dilihat kemungkinan seharusnya pada poin ke 3 tertulis Pada tanggal 15 Februari 2010 pukul 00.20 bukan 20.20.

      Terimakasih salam saya Claudius Pasco Yudhitama SM (41170159)

      Hapus
  10. Saya izin bertanya, bagaimana sebenernya realita yang terjadi dalam masyarakat apakah sudah sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih pertanyaannya, saya coba jawab ya. Untuk realita hukum kesehatan di indonesia sudah cukup baik, namun dari pihak dokter dan pasien terkadang melakukan kelalaian dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, dokter yang terkadang tidak melakukan penjelasan terapi dengan baik dan pasien yang tidak menceritakan keluhan utama dan riwayat penyakit dengan jelas menjadi salah satu masalah yang cukup serius dikemudian hari, terlebih saat terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi pada pasien. Saat itu terjadi baik pasien dan dokter akan merasa menjadi korban. Namun dalam pemutusan hukum yang berlaku pastinya sudah ditinjau oleh MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dan pihak pengadilan, sehingga keputusan yang digunakan sudah seadil mungkin, namun terkadang dalam pandangan masyarakat umum, hukuman yang diberikan kepada seorang dokter masih sangat kurang adil walaupun sudah melalui putusan pengadilan.

      semoga jawabannya membantu, terimakasih…
      Thomas Carel (41170113)

      Hapus
  11. Edward kurniawan-41170121
    Pembahasan yg menarik dari kelompok 1. Saya ijin bertanya
    1. Bedasarkan permenkes 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit, disitu dijelaskan tentang meningkatkan profesionalitas dari staf RS dan juga ada undang2 yg mengatur dokter melakukan tindakan kedokteran sesuai standar prosedur yg ada. Nah disini sya mau nanya, menurut teman2 apabila seorang dokter melakukan kesalahan, yg bersalah dokternya karna tidak melakukan sesuai SOP yg ada atau yg salah rumah sakit karna tidak memerhatikan staf medisnya? Atau keduanya?

    2. Apa pendapat teman2 tentang admisnistrasi RS yg ribet dan bisa memakan waktu lama sehingga membahayakan pasien gawat darurat?

    Makasih teman2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ade Novita P. (41170156)

      Terimakasih Edward untuk pertanyaannya, saya mencoba menjawab.
      1. Jika dokter melakukan kesalahan dalam suatu tindakan medis, maka dokter tersebut harus dihukum. Hukuman yang diberikan sesuai dengan kesalahan yang dilakukan dokter, sesuai dengan alat bukti yang ada susuai dengan Pasal 184 KUHAP, Undang-Undang No. 8 tahun 1981.
      Dokter tetap akan dikenakan sanki yang berlaku seuai dengan Pasal 359, 360 dan 361 KUHP, Pasal 1365 KUHP, tetapi pada Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
      tentang Kesehatan dikatakan bahwa kesalahan diselesaikan terlebih dahulu dengan mediasi.
      Tetapi Rumah Sakit tetap menaungi kasus dokter tersebut. Dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia, BAB I pasal 2 di katakan bahwa " Rumah sakit harus dapat mengawasi serta bertanggung jawab terhadap semua kejadian di rumah sakit."

      2. Dalam Kode Etik Rumah Sakit BAB I Pasal 3 "Rumah sakit harus mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta tidak mendahulukan urusan biaya." dan Permenkes 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien Pasal 8 " Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan pada Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak Pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu." dan Pasal 10 "pelayanan gawat darurat tanpa meminta uang muka;". serta dalam UU RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit Pasal 29 " melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi
      misi kemanusiaan; "

      Dari semua aturan diatas bisa dikatakan bahwa Pasa pasien yang Gawat Darurat, Terkena Bencana , Miskin, dsb. penanganan perlu dilakukan terlebih dahulu setelah itu baru urusan biaya.

      Terimakasih.

      Hapus
    2. Terima kasih atas pertanyaanya, disini saya Dewianti Paluta NIM 41170114 akan menambahkan jwaban teman sya.
      Kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan tindakan medis merupakan kesalahan dari pihak dokternya sendiri maupun pihak Rumah Sakit karena keduanya sama-sama bertanggung jawab penuh atas setiap pasien yang dirawat. Dalam PERMENKES No 755 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa “Komite medik mempunyai tugas meningkatkan profesionalisme staf medis yang bekerja di rumah sakit dengan cara: a.melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan medis di rumah sakit; b. memelihara mutu profesi staf medis; dan c.menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis” jadi Rumah Sakit bertanggung jawab dalam meningkatkan profesionalisme tim medis di RS tsb dan mengawasi performa kerja dari setiap tim medis. Namun disamping itu juga, setiap dokter pun harus memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri untuk tetap mengikuti setiap SOP yang ada dan bertindak sesuai kompetensi yang ia miliki dalam melakukan pelayanan medis kepada pasien seperti yang tertulis dalam Pasal 51(a) dan (b) UU No 29 tahun 2004 yang berbunyi : “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : (a) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, (b) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan:” , sehingga kesalahan yang terjadi akibat kelalaian dokter dalam tindakan pelayanan kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab dokter saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab pihak RS juga. Sehingga, dibutuhkan evaluasi rutin terhadap kinerja dokter maupun dari pihak Rumah Sakit.

      Hapus
  12. terima kasih untuk artikelnya, saya ingin bertanya, "dirujuk ke RSCM namun ditolak saat tiba di RSCM karena sudah melewati waktu pendaftaran. Saat itu sesak nafas yang dialami Siti meningkat sehingga perlu dilakukan resusitasi pada IGD RSCM". apakah tindakan RSCM ini buakn merupakan salah satu pelanggran hukum ?
    Brenda M rustam (41170167)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)5 Juni 2020 pukul 00.44

      Terimakasih sudah mengunjungi dan bertanya di artikel kami. Sebelumnya perkenalkan saya Claudius Sembiring akan mencoba menjawab pertanyaan anda.
      Dalam UU No. 36 tahun 2009 Pasal 32 dan UU No. 36 tahun 2014 Pasal 59 menyatakan bahwa dokter dan rumah sakit tidak boleh menolak pasien dan/atau meminta uang muka jika pasien dalam keadaan gawat darurat. Secara tidak langsung, kedua dasar hukum tersebut juga menyatakan bahwa dokter tidak boleh menolak pasien karena alasan biaya pada kondisi gawat darurat. Dalam UU Kesehatan Pasal 190, penolakan pasien yang dalam kondisi gawat darurat dapat menyebabkan hukuman pidana.
      Namun dalam Permenkes 1/2012 Pasal 7 dan 9, dokter boleh tidak menangani pasien karena alasan berikut:
       Dokter tidak kompeten dan ada dokter lain yang lebih kompeten untuk mengobati penyakit pasien.
       Fasilitas rumah sakit tidak memadai atau rumah sakit penuh.
      Jika kita tinjau kembali disini RSCM menolak pasien karena sudah melewati waktu pendaftaran pada poliklinik THT. Hal ini bisa dimasukkan kedalam permenkes 1/2012 dimana dokter boleh tidak menangani pasien karena dokter tidak kompeten dan ada dokter lain yang lebih kompeten, karena bisa saja pada jam itu dokter THT RSCM sudah tidak ada dilokasi. Tetapi dilihat kembali bahwa RSCM tetap menangani ibu Siti di IGD RSCM. Jadi menurut saya hal yang dilakukan RSCM tersebut tidak melanggar hukum

      Terimakasih salam saya Claudius Pasco Yudhitama S.M. (41170159)

      Hapus
    2. Saya Nunki Utomo (NIM 41170161) mencoba menjawab
      Pelayanan medis di tiap rumah sakit tentunya memiliki ketentuan dan standar masing masing, namun kelalaian pelayanan kesehatan mungkin sekali terjadi. Pembiaran medik atau dapat diartikan sebagai pelayanan kesehatan yang tidak sungguh - sungguh oleh tenaga kesehatan dan/ atau institusi terkait atau bahkan tidak diberikannya pelayanan kesehatan kepada pasien yang membutuhkan dengan berbagai alasan (contoh : persyaratan administrasi seperti pada kasus di artikel). Dalam hal demikian, tenaga medis yang bertugas harus bertanggung jawab, dalam pertanggung jawabannya tersebut tidak lepas dari peran rumah sakit sebagai institusi terkait untuk melaksanakan pelayanan kesehatan pula. Dalam hukum tidak terlalu jelas apakah rumah sakit dapat dituntut juga sebagai pelanggar hukum, namun pada Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 190 disebutkan bahwa pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/ atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,-. Namun demikian, rumah sakit tetap memiliki prosedur pelayanan kesehatannya masing masing yang telah ditetapkan rumah sakit sendiri.

      Hapus
  13. materi yang menarik

    saya ingin bertanya, apa yang dimaksud dengan clinical reasoning ?
    terimkasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya Cynthia Gabriella (41170103) izin menjawab yaa, clinical reasoning atau penalaran klinis merupakan salah satu metode berpikir kritis yang saat ini sedang dikembangkan. Metode ini digunakan untuk memilah informasi yang diberikan oleh pasien dan informasi yang didapatkan dari pemeriksaan untuk menentukan diagnosis dan terapi yang tepat dan mungkin untuk dilakukan pada pasien.

      Hapus
  14. Terima kasih kelompok 1 artikelnya sangat menarik.

    Saya ingin bertanya, apakah dalam kasus ini Alm. dr. Rusmaryono, Sp. THT bersalah karena tidak menemui ibu Siti sebagai pasiennya?
    Jika Alm. dr. Rusmaryono bersalah beliau melanggar peraturan apa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Terimakasih Jonathan Dave atas kunjungannya dan terimakasih atas pertanyaannya, disini saya coba menjawab. Pada kasus ini Alm. dr. Rusmaryono, Sp. THT tidak datang menemui Ibu Siti Chomsatun meski perawat sudah menjanjikan bahwa Alm. dr. Rusmaryono, Sp. THT akan datang, dalam hal ini dokter bisa dikatakan telah melanggar UU No 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 60 mengenai tanggung jawab sebagai tenaga kesehatan untuk mendahulukan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan pribadi.
      Tillandsia Filli F P (41170105)

      Hapus
  15. mau nanya, apa aja sih kemungkinan alasan2 dokter seenaknya lakukan malpraktek sama pasien?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)5 Juni 2020 pukul 01.02

      Terimakasih sudah mengunjungi dan bertanya di artikel kami. Sebelumnya perkenalkan saya Claudius Sembiring akan mencoba menjawab pertanyaan anda.
      Berikut adalah kriteria dimana suatu kejadian praktek kedokteran dikatakan sebagai malpraktik:
      • Kegagalan dokter untuk melakukan tatalaksana sesuai standar terhadap pasien
      • Kurangnya keterampilan dokter
      • Adanya faktor pengabaian dari dokter
      • Adanya cidera yang merupakan akibat langsung salah satu dari ketiga faktor tersebut
      Namun hal ini bukan menjadi alasan seorang dokter melakukan malpraktik. Karena dalam suatu hubungan dokter dan pasien, ada kewajiban dokter kepada pasien yang diatur di Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yaitu:
      Pasal 10
      Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
      Pasal 13
      Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

      Terimakasih salam saya Claudius Pasco Yudhitama S.M. (41170159)

      Hapus
    2. Saya Nunki Utomo NIM 41170161 mencoba menjawab
      Terdapat berbagai alasan yang cenderung personal bagi seorang dokter yang dengan sengaja (dolus) melakukan tindak malpraktik, sebagai contohnya aborsi dengan sengaja (abortus provocatus). Namun demikian, sesuai prinsip beneficence, non maleficence, autonomy dan justice, seorang dokter dilarang dengan sengaja melakukan tindak medis yang merugikan pasien. Walaupun sangat mungkin terjadi variasi penatalaksanaan terhadap suatu kasus medis (penyakit) yang berlainan antara 1 dokter dengan dokter lain, penatalaksanaan yang akan dipilih harus sesuai dengan kaidah praktik dan ilmu pengetahuan; karena itu seharusnya tidak ada alasan bagi seorang dokter untuk seenaknya melakukan tindak malpraktik.

      Hapus
  16. Florentina Aira S_41170116
    Terimakasih kelompok 1, saya ingin menanyakan terkait tuntutan perdata yang menyebut kan
    "Pasien dapat melanjutkan tuntutan perdata, yang diajukan dapat berupa tuntutan wanprestasi yang didasarkan pada contractual liability dan/atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)." Mohon dijelaskan bagian ini.
    Lalu untuk hukuman sendiri, peraturan yang mengatur ganti rugi secara materiil belum dijelaskan pada analisis, kapan seorang tenaga medis bisa mendapatkan hukuman secara materiil dan kapan bisa mendapatkan hukuman secara tahanan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Halo, Aira.Terima kasih atas pertanyaannya, saya Gusti Ayu (41170152) akan mencoba menjawab pertanyaan pertama. Maksud dari kalimat tuntuttan wanprestasi adalah tuntuttan yang diajukan bila salah satu pihak melanggar perjanjian yang telah disepakati oleh pihak lain.Wanprestasi dapat juga disebut sebagai contractual liability yaitu gugatan yang muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak terlaksananya suatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya suatu hak pihak lain. Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan, yang dimaksudkan dengan prestasi adalah: “perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Wanprestasti timbul karena tidak terpenuhinya perjanjian, seperti tidak melaukan apa yang ia sanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana apa yang dijanjikan (hanya memenuhi sebagian isi perikatan), melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjiannya tidak boleh dilakukan.

      Gusti Ayu Agung Indra Sari P (41170152)

      Hapus
  17. Saya ingin bertanya. Pada bagian kronologi kasus, nomor 20 dikatakan "ada ganti rugi secara materiil, dan inmateriil" apakah perbedaan nya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Marshella, terimakasih atas kunjungannya pada artikel ini dan terimakasih untuk pertanyaannya, disini saya mencoba untuk menjawab. Kerugian dalam hukum dapat digolongkan menjadi dua yaitu kerugian materil dan kerugian imateril, dimana kerugian materil merupakan kerugian yang secara nyata di terima atau di derita pemohon (dalam kasus ini pasien) sedangkan kerugian imateril merupakan kerugian atas keuntungan yang mungkin akan diterima oleh pemohon (dalam kasus ini pasien) di masa depan.
      Salam sejahtera,
      Tillandsia Filli Folia P (41170105)

      Hapus
  18. Saya ingin bertanya, menurut pendapat para penulis, apa yg dapat dilakukan pihak RS Kramat 128 agar kelalaian seperti ini tidak terjadi lagi? dan hukuman yg diberikan terhadap para dokter tersebut apakah sudah pantas atau masih kurang? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Terima kasih untuk pertanyaannya, saya mencoba menjawab

      Untuk tindak lanjut dari RS sendiri melihat dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 496/MENKES/SK/IV/2005 Tentang Pedoman Audit Medis Di Rumah Sakit, dalam upaya peningkatan pelayanan rumah sakit untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, perlu dilaksanakan kendali mutu dan kendali biaya melalui audit medis.
      Audit medis sendiri dilakukan dengan penuh tanggung jawab dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan, bukan untuk menyalahkan atau menghakimi seseorang. Pelaksanaan audit dilakukan harus objektif, independen dan memperhatikan aspek kerahasiaan pasien dan wajib simpan rahasia kedokteran.
      Pelaksanaan analisa hasil audit medis sendiri dilakukan oleh kelompok staf medis terkait yang mempunyai kompetensi, pengetahuan dan keterampilan sesuai bidang pelayanan dan atau kasus yang di audit, apabila dari hasil audit ditemukan kesalahan atau tidak dipatuhinya standar, maka perlu dilakukan pembinaan dan solusi pemecahan permasalahanya.

      Untuk langkah pelaksanaan audit medis sendiri dapat saya rangkum sebagai berikut :

      1. Pemilihan topik yang akan diaudit
      Pemilihan topik permasalahan yang akan di analisis, masalah yang dipilih berdasarkan kesepakatan komite medis dan kelompok staf medis.

      2. Penetapan standar dan kriteria
      Setelah memilih topik akan ditentukan kriteria atau standar profesi yang jelas, objektif dan rinci terkait topik yang dipilih.

      3. Penetapan jumlah kasus/sampel yang akan diaudit
      Pengambilan sampel mengenai kasus dapat melihat jumlah kasus terkait topik yang dipilih dalam kurun waktu tertentu.

      4. Membandingkan standar atau kriteria dengan pelaksanaan pelayanan
      Tim pelaksana audit medis akan mempelajari rekam medis untuk mengetahui apakah kriteria atau standar dan prosedur yang telah ditetapkan pada langkah kedua telah dicapai dalam masalah atau kasus yang dipelajari. Data kasus yang tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan akan dipisahkan, dikumpulkan dan dianalisa.

      5. Melakukan analisa kasus yang tidak sesuai standar dan kriteria
      Dari data yang telah dikumpulkan akan diberikan kepada “peer group” atau kelompok staf medis untuk ditinjau lebih lanjut, akan dianalisa dan didiskusikan mengenai penyebab dan mengapa terjadi ketidaksesuaian dengan standar. Hasil dari analisis ini bisa terjadi penyimpangan yang acceptable karena penyulit atau komplikasi yang tidak terduga sebelumnya (unforeseen) kelompok ini disebut “deviasi” dan pada penyimpangan yang unacceptable yang dikatakan sebagai “defisiensi”.

      6. Tindakan korektif
      Peer group melakukan tindakan korektif terhadap kasus defisiensi secara kolegial, dan menghindari “blaming culture” dengan membuat rekomendasi upaya perbaikan, cara pencegahan, penanggulangan, mengadakan program pendidikan dan latihan, penyusunan dan perbaikan prosedur yang ada dan lain sebagainya.

      7. Rencana reaudit
      Mempelajari lagi topik yang sama di kemudian waktu untuk melihat apakah sudah ada upaya perbaikan.

      Untuk pertanyaan hukuman yang diberikan kepada dokter menurut saya, saya tidak bisa menentukan apakah sudah pantas atau masih kurang.
      Perbuatan pelanggaran disiplin ini nantinya akan ditindaklanjuti oleh RS sesuai dengan peraturan dalam Undang Undang, peraturan dalam RS dan peraturan dalam profesi yang berlaku.

      Sehingga diharapkan dengan adanya hukuman dari pengadilan yang didapatkan oleh kedua dokter tersebut dapat menjadi motivasi untuk bertanggung jawab memperbaiki standar pelayanan kesehatan untuk kedepannya agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien.

      Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)

      Hapus
  19. Sebagai tenaga medis yg profesional apa yang seharusnya dilakukan seorang dokter kalau terjadi kesalahan dalam tindakan operatif yang menyebabkan komplikasi seperti kasus tsb? Apakah ada pembelaan secara hukum yang dapat diberikan kepada seorang dokter walaupun ia sudah memangani pasien akibat kesalahan operasi tsb? Mksh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih telah mengunjungi dan membaca artikel kami, saya Arike Trivena (41170109) akan mewakili kelompok untuk mencoba menjawab pertanyaan anda mengenai pembelaan secara hukum yang dapat diberikan kepada dokter yang diduga melakukan malpraktik.

      Pada pasal 50 huruf (a) Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, berbunyi “dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”. Dalam pasal ini kita dapat melihat bahwa sorang dokter memperoleh perlindungan hukum apabila telah melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, ia tidak dapat dituntut, baik secara administrasi, perdata, maupun pidana.

      Selain itu, ada beberapa hal yang dapat menjadi perlindungan hukum apabila seorang dokter diduga melakukan malpraktik medis, yaitu :
      Dasar dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum terhadap dokter dalam menjalankan profesi kedokteran, terdapat pada Pasal 50 Undang Undang Praktik Kedokteran, Pasal 24 Ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang Undang Kesehatan, dan Pasal 24 Ayat (1) PP Tentang Tenaga Kesehatan.
      Hal hal yang dapat menghindarkan diri dari tuntutan hukum, yaitu Informed consent, dan rekam medik.

      Hapus
  20. saya ingin bertanya apakah hal - hal yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memberikan pengaduan / keterangan kepada MKDKI ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ginti Lintang Sinkyatri - 411701603 Juni 2020 pukul 13.30

      Terima kasih untuk pertanyaan yang sudah diberikan. Saya Lintang akan mencoba menjawab, sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa pemberian peringatan secara tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi (STR) atau surat izin praktik (SIP) dan kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Berikut merupakan cara pengaduan dokter ke MKDKI:
      1. Buatlah pengaduan secara tertulis dengan mengisi formulir yang dapat didownload di www.inamc.or.id (Format Pengaduan) atau Anda dapat memperoleh formulir tersebut dengan menghubungi petugas KDDKI di (021) 72800920.
      Informasi yang harus dilengkapi pelapor dalam formulir pengaduan antara lain, identitas pengadu/pelapor, identitas pasien (jika pengadu bukan pasien), nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan, waktu tindakan dilakukan, alasan pengaduan dan kronologisnya, serta pernyataan tentang kebenaran pengaduan. Apabila ada barang bukti yang dapat disertakan, dapat dimasukkan dalam formulir pengaduan sebagai bukti pendukung.
      2. Apabila tidak dapat membuat pengaduan secara tertulis, dapat mendatangi kantor MKDKI, petugas akan membantu dalam pembuatan pengaduan secara tertulis.
      3. Jika ada kesulitan dalam pengisian formulir, dapat bertanya kepada petugas.
      4. Pengaduan tersebut ditujukan kepada Ketua MKDKI, Jalan Hang Jebat III Blok F3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120.
      5. Pengaduan tersebut harus dibubuhi tanda tangan pengadu/pelapor di atas meterai yang cukup.

      Berikut saya sertakan informasi tambahan, dapat diakses dalam PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PENGADUAN DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI. Pada BAB VI tentang Pengaduan disebutkan mengenai persyaratan pengadu, persyaratan pengaduan, tata cara penyampaian pengaduan.

      - Ginti Lintang Sinkyatri (41170160)

      Hapus
  21. Izin bertanya, bagaimana caranya seorang dokter dapat menyetabilkan keadaan hati dan pikirannya sehingga saat bekerja dapat fokus dan terhindar dari ketidak sengajaan malpraktik yang mungkin terjadi? Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih pertanyaannya, Ambarwatiaw!
      saya Anasthasia Audi (41170112) ijin menjawab ya. Kalau menurut saya, dokter yang menangani pasiennya harus memiliki kesadaran terhadap etika yang berlaku. Mereka juga baiknya memiliki empati dan keinginan untuk mendahulukan kepentingan dan keselamat pasiennya sebelum yang lain. Apabila hal-hal itu sudah dimiliki, dokter akan berusaha melakukan pekerjaannya sesuai dengan etika kerja yang berlaku, tidak semena-mena.
      Selain itu, calon dokter juga wajib menyatakan sumpahnya sebelum menjadi dokter. salah satu poinnya adalah mengenai berbakti untuk kepentingan perikemanusiaan, termasuk melayani kebutuhan medis pasien dan membebaska pasien dari rasa tidak nyaman yang dirasakan.

      Hapus
  22. Selamat siang saya mau menanyakan
    Jika pemberian kortikosteroid pertama kali membuat gejala pasien membaik kenapa dokter tetap dihukum?
    Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih telah mengunjungi dan membaca artikel kami, saya Arike Trivena (41170109) akan mewakili kelompok untuk mencoba menjawab pertanyaan anda.

      Penyebab gejala sesak nafas yang dialami oleh pasien Ibu Siti Chomsatun disebabkan oleh kelumpuhan pita suara bilateral (parese abductor bilateral), yang dalam putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pemberian kortikosteroid tidak lazim diberikan dalam kasus ini, serta pemberian obat tersebut tidak didasarkan oleh riwayat penyakit dahulu dan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari tahu penyebab dari keluhan pasien.

      Hapus
  23. Artikel yang menarik, saya ingin bertanya utk kelanjutan pasien Siti Chomsatun apakah masih tertolong atau sudah meninggal?
    Lalu yang kedua, adakah tips bagaimana menghindari malpratik. Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ginti Lintang Sinkyatri - 411701603 Juni 2020 pukul 14.18

      Terima kasih untuk pertanyaan yang sudah diberikan. Saya Lintang akan mencoba menjawab, menurut berita yang kami ikuti Ibu Siti masih terselamatkan dan dapat kembali melakukan kegiatan kesehariannya dengan baik.
      Berikut akan saya berikan beberapa tips untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman berdasarkan perspektif pasien. Beberapa hal yang harus diketahui atau ditanyakan kepada dokter yang merawat Anda:
      Obat-obatan:
      1. Pastikan bahwa setiap dokter yang merawat Anda tahu setiap obat yang Anda konsumsi, termasuk suplemen makanan, vitamin, herbal. Untuk kepentingan kunjungan dokter atau kontrol lebih baik membawa obat-obatan tersebut supaya dapat berdiskusi dengan dokter.
      2. Pastikan dokter mengetahui alergi dan efek samping dari obat apabila Anda dalam kondisi tertentu mengonsumsinya.
      3. Meminta informasi tentang obat-obatan yang diresepkan kepada Anda.
      4. Perlunya cross check resep yang ditulis dokter dengan apoteker ketika Anda sedang mengambil resep.
      5. Bertanyalah apabila ada informasi yang didapat masih kurang jelas.

      Rawat inap di RS:
      1. Perhatikan kebersihan petugas kesehatan sebelum mereka menangani Anda, seperti mencuci tangan sebelum melakukan tindakan supaya mencegah penyebaran infeksi di RS.
      2. Minta dokter untuk menjelaskan rencana perawatan di RS, seperti obat-obatan yang akan dikonsumsi dan kapan obat berhenti dikonsumsi, jadwal tindak lanjut dan kontrol, dan menanyakan kapan dapat kembali menjalani aktivitas normal.
      3. Bertanyalah apabila ada informasi yang didapat masih kurang jelas.

      Operasi:
      1. Pastikan bahwa Anda, dokter yang merawat, dokter bedah, dan dokter anestesi sepakat tentang tindakan operasi yang akan dilakukan.
      2. Jika Anda memiliki pilihan untuk memilih RS dimana akan dilaksanakan operasi, pilihlah RS dengan angka dilakukannya tindakan operasi tersebut tinggi. Karena akan berpengaruh kepada hasil dan kualitas.
      3. Bertanyalah apabila ada informasi yang didapat masih kurang jelas.
      Untuk informasi lebih lanjut silakan mengakses https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6088519/

      - Ginti Lintang Sinkyatri (41170160)

      Hapus
  24. 1. Menurut teman teman, kenapa dr Taslim Mansur Sp.B yang melakukan pembedahan pertama kali pada ibu siti tidak di tindak pidana ?

    2. Berdasarkan cerita, terdapat 4 dokter yang terlibat dalam menangani pasien pada saat masih di Rumah Sakit Kramat 128,
    yg pertama
    dr Bedah,
    yang kedua alm dr Rusmaryono,
    dr Tantiyo Setiyowati dan yang keempat dr Ferdy Merle Komalig.

    Menurut kalian, apakah dokter - dokter ini harus saling berkomunikasi tentang bagaimana kondisi ibu siti ? Atau tidak ? Jika ya mengapa ?

    BalasHapus
  25. Materinya sangat menarik dan semoga bermanfaat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)5 Juni 2020 pukul 01.06

      Terimakasih sudah mengunjungi artikel kami.

      Hapus
  26. Materinya sangat menarik terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)5 Juni 2020 pukul 01.06

      Terimakasih sudah mengunjungi artikel kami.

      Hapus
  27. Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)5 Juni 2020 pukul 01.06

      Terimakasih sudah mengunjungi artikel kami.

      Hapus
  28. Terimakasih ulasannya yaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah mengunjungi artikel kami.

      Hapus
  29. Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)5 Juni 2020 pukul 01.07

      Terimakasih sudah mengunjungi artikel kami.

      Hapus
  30. Terimakasih atas kasus yang sangat menarik
    Ijin bertanya, apabila saat terjadi operasi dan dokter melakukan kesalahan dalam operasi apakah termasuk malpraktik?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya Cynthia Gabriella (41170103) izin menjawab yaa, kerjasama antara dokter dan pasien terjalin dalam suatu transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik ini (terutama pada tindakan berbahaya atau invasif) akan dijalin atas informed consent dari pasien. Bila kasus yang Anda tanyakan dokter tersebut tidak memberikan informed consent maka itu bisa dimasukan sebagai malpraktik. Tetapi bila pada kasus dokter telah melakukan informed consent dan resiko yang dialami pasien sudah di informasikan sebelumnya dalam informed consent tertulis yang ditandatangani oleh pasien maka tidak termasuk ke dalam malpraktik karena secara resmi pasien sudah menyetujui tindakan terapi beserta resikonya.

      Hapus
  31. Sebenarnya, apakah ada kriteria tertentu yang mengatakan bahwa suatu tindakan tersebut adalah tindakan malpraktik ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaannya, saya Arike Trivena (41170109) akan mewakili kelompok kami untuk menjawab pertanyaan anda.
      Pada peraturan perundang undangan yang saat ini berlaku, tidak ditemukan pengertian mengenai malpraktik, namun kriteria malpraktik secara perundang undangan justru terdapat pada Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No.6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

      Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:
      (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai berikut:
      a. melalaikan kewajiban;
      b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;
      c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
      d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang

      Hapus
  32. Ijin mengutip dr kalimat di atas, " Pemberian obat tersebut tanpa mempertimbangkan riwayat penyakit dahulu, melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari tahu penyebab dari sesak nafas pasien" sebenarnya apa aja sih hal yang harus dipertimbangkan sebelum membrikan injeksi diazepam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Petani berdasi! saya Anasthasia Audi (41170112) ijin menjawab, ya.
      Diazepam adalah obat golongan benzodiazepine, biasanya digunakan untuk menenangkan pasien, menangani insomnia dan mengurangi spasme/kejang otot (masih banyak lagi fungsinya).
      Untuk mendukung kalimat yang Anda kutip diatas, harusnya memang dicari terlebih dahulu sebab pasien sesak nafas apa. Ibu Siti menderita paresis abductor bilateral, dimana pada otot sekitar pita suara terdapat kelemahan. Kondisi tersebut menyebabkan jalan pernapasan tidak terbuka secara cukup dan menimbulkan gangguan pernapasan. Karena bila diazepam di berikan, otot yang sudah lemah tadi bisa ikut lemah. Maka dari itu, sesak nafas bisa semakin menjadi-jadi.
      Hal lain yang perlu dipertimbangkan sebelum memberikan diazepam diantara lain adalah tingkat kesadaran pasien (karena diazepam menurunkan kerja sistem saraf pusat, baiknya jangan diberikan pada pasien yang kesadarannya sudah menurun nanti bisa makin menurun), umur pasien, riwayat alergi pasien, kondisi saat ini (sedang hamil/menyusui).

      Sumber:
      https://www.webmd.com/drugs/2/drug-6306/diazepam-oral/details
      https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6464146/

      Hapus
  33. Pada poin C nomor 2, dikatakan bahwa MKDKI diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap dokter yang bersangkutan. Di dalam hukum yang berkaitan dengan medis, apakah MKDI adalah sebuah lembaga yang bisa disamakan dengan Pengadilan Negeri ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo terima kasih sudah mampir dan bertanya :), saya Vanessa Angelin (41170115) ingin mencoba menjawab :

      Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang selanjutnya disingkat MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi.

      Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) juga merupakan lembaga otonom yang berwenang menerima aduan dugaan pelanggaran disiplin, memeriksa pengaduan sampai memberikan sanksi yang bersifat mengikat. Pelanggaran disiplin kedokteran menyangkut kompetensi, tugas dan tanggung jawab terhadap pasien, dan perilaku dalam menjaga martabat dan kehormatan profesi.

      MKDKI hanya menangani di bidang ruang lingkup dugaan pelanggaran disiplin kedokteran sedangkan bila menyangkut hal etika kedokteran akan ditangani oleh organisasi profesi (dalam hal ini MKEK/G).

      jadi MKDKI itu tidak bisa disamakan dengan pengadilan negeri terutama dalam pelanggaran kesehatan semua memiliki ruang lingkup kerja yang berbeda :)

      Terima kasih :)

      sumber : PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
      NOMOR 4 TAHUN 2011

      Hapus
  34. Terimakasih atas kasus diatas yang sangat menarik, ijin bertanya
    Apakah kelalaian dalam tindakan medis termasuk dalam malpraktik ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah membaca artikel kami, saya akan menjawab pertanyaan dari ka Andri ya
      Untuk menyamakan persepsi, saya akan memberikan informasi terkait apa itu pengertian malpraktik.
      Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata malpraktik tidak terdapat dalam KBBI. Namun mengutip dari black’s law dictioanary, “Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan.”
      UU Tenaga Kesehatan Pasal 11 ayat 1 huruf b, dapat di jadikan acuan tentang makna malpraktik yang terkait “melalaikan kewajiban”, dapat diartikan melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat seorang tenaga kesehatan.
      Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:
      (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai berikut:
      a. melalaikan kewajiban;
      b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;
      c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
      d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.
      Jika kelalaian yang di temukan adalah kelalaian yang disengaja maka hal tersebut harus segera di tindak lanjuti dan dilapor ke MKDKI, karena hal tersebut sudah melebihi batas dan kemungkinan sudah terdapat hukum yang dilangggar. MKDI lah yang berhak dalam menentukan apakah tindakan tenaga kesehatan tersebut termasuk malpraktik atau tidak.

      Terimakasih
      Youlla Anjelina ( 41170153 )

      Hapus
    2. Mohon maaf sebelumnya kak Andri, saya ingin menambahkan informasi lagi terkait pertanyaan yang sudah diajukan.
      Menurut World Medical Association, “Malpraktek medis melibatkan kegagalan dokter untuk menyesuaikan diri dengan standar perawatan untuk perawatan kondisi pasien, atau kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan perawatan kepada pasien
      pasien, yang merupakan penyebab langsung dari cedera pada pasien."
      Kemudian, terdapat 4 Unsur yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai sebuah tindakan malpraktik :
      1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan
      medis
      2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
      3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala
      sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
      kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
      4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata.
      Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara
      penyimpangan kewajiban dengan kerugian.

      Kemudian, World Medical Association juga mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga
      sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang
      sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke
      dalam pengertian malpraktek.

      Sehingga, suatu kelalaian pada tindakan medis tidak sepenuhnya masuk ke dalam malpraktik, perlu ada 4 unsur di atas sehingga bisa dikatakan malpraktik, dan hasilnya juga harus di tentukan oleh MKDI yang berhak menentukan apakah tindakan tersebut termasuk malpraktik atau tidak.

      Terimakasih
      Youlla Anjelina
      411710153

      Hapus
  35. Saya ingin bertanya terkait UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 69 tentang sanksi disiplin nomor 3 " kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi" mekanisme nya bagaimana ya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya Nunki Utomo (NIM 41170161) mencoba menjawab
      untuk mekanismenya dapat dilakukan dalam bentuk
      Reedukasi formal di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang terakreditasi
      Reedukasi nonformal yang dilakukan di bawah pengawasan dokter atau dokter gigi tertentu di institusi pendidikan yang terakreditasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan jejaringnya, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain yang ditunjuk, sekurang - kurangnya 2 bulan dan paling lama 1 tahun.

      Hapus
  36. PERMENKES No.755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit pada pasal 11 bagian a, terdapat kalimat yang mengatakan "perilaku, serta etika profesi" juga dinilai dalam kredensial. Perilaku seperti apa yang di nilai ? dan Etika profesi apa yang dinilai ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ginti Lintang Sinkyatri - 411701605 Juni 2020 pukul 13.51

      Terima kasih untuk pertanyaan yang sudah diberikan. Saya Lintang akan mencoba menjawab, nilai etika profesi yang hendaknya dilakukan dokter tercantum pada KODEKI bab kewajiban umum, saya akan menyebutkan inti dari setiap pasalnya:
      1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
      2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
      3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
      4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
      5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.

      Begitu pula mengenai elemen profesionalisme, antara lain:
      1. Altruism
      2. Accountability
      3. Excellence
      4. Duty service
      5. Honor
      6. Integrity
      7. Respect to others

      - Ginti Lintang Sinkyatri (41170160)

      Hapus
  37. Artikel yang sangat menarik, saya F Julian Sciffa Mulya (41170201) ingin bertanya, mengapa kasus tersebut dikatakan sebagai malpraktik? Apakah ada kriteria yang menyebabkan kesalahan dokter dapat disebut sebagai malpraktik? Apakah ketika dokter salah diagnosis dan memberi pengobatan yang salah akibat pemeriksaan penunjang yang tidak memadai termasuk tindakan malpraktik? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Julian terima kasih sudah mampir ke blog dan bertanya, saya Vanessa Angelin (41170115) akan mencoba menjawab pertanyaan :)

      Kasus tersebut dapat dikatakan sebagai malpraktik karena melanggar Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

      Pada keputusan MKDKI, dr. Tantiyo Setiyowati., M.H., Kes dan dr. Fredy Melke Komalig., M.K.M. dinyatakan telah melanggar disiplin kedokteran karena “tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien”. Hal tersebut merujuk pada Pasal 3 ayat (2) Perkonsil 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Itu sebabnya kedua dokter tersebut bisa dikatakan telah melakukan tindakan malpraktik.

      Definisi malpraktek medik pada intinya mengandung salah satu unsur seperti :
      dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan kedokteran dan keterampilan yang sudah berlaku secara umum dikalangan profesi kedokteran.
      dokter memberikan pelayanan medik dibawah standar (tidak legeartis)

      dokter melakukan kelalaian berat/kurang hati-hati, yang dapat mencakup :
      tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan
      melakukan sesuatu kelalaian berat yang seharusnya tidak dilakukan
      melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum

      Dalam kasus ini, sebenarnya dokter memiliki fasilitas untuk melakukan pemeriksaan penunjang yang memadai karena berada di kota namun dokter telah lalai karena tidak melakukan pengecekan dan anamnesis yang baik terkait riwayat penyakit, pengobatan, dan operasi yang di alami pasien. makanya tindakan medis yang dilakukan pun salah. karena dokter sejak awal tidak melakukan anamnesis dengan baik dan malah menyebabkan kondisi pasien makin buruk.

      Ketika dokter salah diagnosis dan memberi pengobatan yang salah akibat pemeriksaan penunjang yang tidak memadai termasuk tindakan malpraktik?

      Saya akan menjawab ini dengan KODEKI Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
      Pasal 14

      “Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.”
      Jadi dokter itu harus mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya sebaik mungkin agar tidak sampai salah mengobati. kemudian jika memang tidak memungkinkan dokter itu untuk mengobati karena fasilitas yang kurang maka, dokter harus merujuk pasien tersebut.


      sumber : buku etika kedokteran dan hukum kesehatan dan KODEKI

      Hapus
  38. Trimakasih atas kasus yang sangat menarik untuk diangkat menjadi artkel. Seperti yang kita ketahui, masih banyak kasus malpraktik yang terjadi di Indonesia. Saya ingin bertanya, apakah setelah terjadi kasus-kasus tersebut terdapat perubahan yang terjadi baik itu dari sisi undang-undang, hukum ataupun pendidikan di dunia kesehatan di Indonesia ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Christin, terima kasih untuk pertanyaannya, saya akan mencoba menjawab pertanyaannya.

      Melihat Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien:

      Pasal 14 :

      “(1) Insiden di fasilitas pelayanan kesehatan meliputi:
      a. Kondisi Potensial Cedera (KPC);
      b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC);
      c. Kejadian Tidak Cedera (KTC); dan
      d. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).”

      “(2) Kondisi Potensial Cedera (KPC) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.”
      Misalnya : kerusakan alat medis (ventilator, tensimeter).

      “(3) Kejadian Nyaris Cedera (KNC) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.”
      Misalnya : salah identifikasi pasien operasi namun diketahui sebelum tindakan operasi.

      “(4) Kejadian Tidak Cedera (KTC) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.”
      Misalnya : pasien meminum obat yang tidak diresepkan oleh dokter, tetapi tidak ada efek.

      “(5) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan Insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien.”
      Misalnya : tertusuk jarum suntik, pasien jatuh

      Pasal 15 :
      "(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan penanganan Insiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
      (2) Selain penanganan Insiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan penanganan kejadian sentinel.
      (3) Kejadian sentinel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang mengakibatkan kematian, cedera permanen, atau cedera berat yang temporer dan membutuhkan intervensi untuk mempetahankan kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak terkait dengan perjalanan penyakit atau keadaan pasien.
      (4) Kejadian sentinel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disebabkan oleh hal lain selain Insiden."

      Pada kedua pasal ini dijelaskan mengenai kejadian insiden atau sentinel yang dapat terjadi di rumah sakit (fasilitas pelayanan kesehatan).

      Untuk penanganan kejadian tersebut tidak terulang lagi dapat melihat pasal 16, 17 dan 18 yang saya rangkum sebagai berikut :

      Penanganan Insiden di rumah sakit dilakukan melalui pembentukan tim Keselamatan Pasien yang ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai pelaksana kegiatan penanganan Insiden. Kegiatan yang dilakukan berupa pelaporan, verifikasi, investigasi, dan analisis penyebab Insiden tanpa menyalahkan, menghukum, dan mempermalukan seseorang.
      Tim keselamatan ini melaksanakan beberapa tugas yang berhubungan dengan menyusun kebijakan dan pengaturan di bidang keselamatan pasien di rumah sakit untuk ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit. Nantinya setiap Insiden yang terjadi dilaporkan ke tim keselamatan pasien, yang nanti laporan tersebut akan di investigasi untuk menemukan akar masalah. Setelah itu tim Keselamatan Pasien akan memberikan rekomendasi dan solusi kepada pimpinan rumah sakit mengenai kejadian tersebut agar dapat diterapkan dalam peraturan rumah sakit.

      untuk penjelasan secara rinci bisa langsung membaca UU RI No. 11 tahun 2017 pasal 16,17 dan 18

      Terima kasih, semoga membantu.

      Stefan Prayoa Yukari Ujan (41170108)

      Hapus
  39. Saya ingin bertanya, berdasarkan PERMENKES No.755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit pada pasal 11 bagian a, dikatakan bahwa
    "melakukan kredensial (evaluasi terhadap staf medis untuk menentukan kelayakan diberikan kewenangan klinis) bagi seluruh staf medis yang melakukan pelayanan medis di rumah sakit. Dalam melaksanakan hal ini pengkajian/pemeriksaan perlu dilakukan terhadap kompetensi, kesehatan fisik dan mental, perilaku, serta etika profesi. Selain itu perlu dilakukannya proses re-kredensial pada saat berakhirnya masa berlaku surat penugasan klinis"

    Berapa kali Kredensial di lakukan dalam sebuah rumah sakit ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Halo! Terima kasih untuk pertanyaanya.
      Saya Ceny (41170149) akan mencoba menjawab pertanyaan Anda.

      Benar yang Anda katakan, proses credentialing tentunya dilakukan demi menjaga keselamatan pasien dengan menjaga standar, kompetensi, dan mutu profesi para staf medis melalui kredensial.
      Kewenangan klinis adalah hak khusus staf medik untuk melakukan pelayanan di lingkungan rumah sakit dalam periode waktu tertentu sesuai penugasan klinisnya. Kewenangan klinis berakhir bila surat penugasan miliknya habis masa berlaku atau dicabut oleh kepala rumah sakit atau tindakan disiplin komite medis. Surat penugasan ini habis dalam periode tertentu, misalnya 2 tahun.
      Setiap berakhir masa berlaku surat penugasan staf medis, rumah sakit perlu melakukan re-kredensial terhadap tenaga medis yang bersangkutan untuk menentukan apakah staf medik tersebut masih layak diberi kewenangan klinis.

      Jadi, kredensial dilakukan satu kali bagi calon staf medik yang akan bekerja rumah sakit terkait. Sedangkan re-kredensial dilakukan mengikuti periode waktu sesuai kebijakan rumah sakit terkait atau ketika masa berlaku surat penugasan telah habis bagi staf medis yang pernah mengikuti kredensial.

      Semoga jawaban saya membantu. Jika dirasa kurang jelas, silahkan membuka tautan di bawah ini:

      http://www.pdpersi.co.id/kegiatan/kredensial/

      Hapus
  40. Nindya Stephanie Christina ( 41170185 )

    Halo kelompok 1, terimakasih untuk penjelasan yang menarik dan mudah dipahami. Saya ingin bertanya.

    " Pada 16 Februari pukul 10.30 WIB, Dr. Fauzan, Sp. THT menyatakan bahwa Siti harus segera dibuatkan lubang di leher untuk jalan nafas (tracheostomy) karena kelumpuhan pita suara (parase abductor bilateral) akibat operasi tiroidektomi pada Maret 2009 silam."

    Berdasarkan data tersebut, apakah dokter Taslim Mansur juga melakukan malpraktek karena menyebabkan komplikasi pada pasien?
    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Terimakasih atas pertanyaannya, saya Muhammad Fikri Mujtahid (41170157) akan menjawab. Pada kasus tersebut dr.Taslim Mansur memang melakukan operasi tiroidektomi pada Maret 2009 silam, tetapi tidak ada yang menyatakan bahwa dr.Taslim salah atau gagal dalam melakukan operasinya, kemungkinan beliau sudah mengikuti prosedur operasi dengan sesuai, dan waktu munculnya komplikasi itu termasuk lama. Memang seorang dokter pada saat ingin menjalani operasi harus memahami dahulu terhadap fisiologis, anatomi, dan kemungkinan komplikasi yang akan terjadi saat operasi, hal ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi, memang salah satu efek samping pembedahan/operasi tiroidektomi ini dapat menyebabkan kerusakan pada saraf yang melayani pita suara, tetapi belum tentu sepenuhnya dokter Taslim yang menyebabkan timbulnya komplikasi tersebut, karena sudah 1 tahun pasca operasi bisa banyak faktor yang menyebabkan komplikasi dan sesak napas yang dialami ibu siti, jadi dokter tersebut tidak bisa dikatakan melakukan malpraktik karena tidak ada pernyataan – pernyataan bahwa dr. Taslim lalai dalam melaksanakan operasi.

      Hapus
  41. Menurut teman - teman, pelayanan seperti apakah yang aman da efektif pada pasien yang harus dilakukan oleh rumah sakit ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Terima Kasih atas pertanyaan nya, saya akan menjawab pertanyaan ka Elsa ya :)

      Menurut Permenkes 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien yang terkait dengan Pelayanan aman dan efektif di Rumah Sakit terdapat pada Pasal 6, yang berisi :
      1. Kewajiban Rumah Sakit memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b melalui akreditasi Rumah Sakit.
      2. Pelayanan kesehatan yang aman dan efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilaksanakan melalui sasaran keselamatan Pasien Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
      3. Pelayanan kesehatan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit sebagai bagian dari tata kelola klinis yang baik.
      4. Standar pelayanan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dan diterapkan dengan memperhatikan standar profesi, standar pelayanan masing-masing Tenaga Kesehatan, standar prosedur operasional, kode etik profesi dan kode etik Rumah Sakit.
      5. Pelayanan kesehatan yang antidiskriminasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tidak membedakan pelayanan kepada Pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan, baik menurut ras, agama, suku, gender, kemampuan ekonomi, orang dengan kebutuhan khusus (difable), latar belakang sosial politik dan antar golongan.


      - Pada pasal (1) pelayanan yang aman dan efektif termasuk dalam kewajiban dari rumah sakit, selain efektif dan aman dikatakan juga pelayanan harus bermutu dan anti diskriminatif (menurut ayat yang pertama (1) )
      - Selanjutnya pada ayat ke 2 dijelaskan bahwa pelaksanaan minimal dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang aman dan efektif adalah dengan mewujudkan tercapainya keselamatan pasien Rumah Sakit
      - Jadi, untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang aman dan efektif di Rumah Sakit, maka pihak Rumah Sakit harus mengedepankan Keselamatan Pasien dengan beberapa hal yang terdapat di dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan dalam rangka mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien, yaitu :
      1. Ketepatan identifikasi pasien;
      2. Peningkatan komunikasi yang efektif;
      3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
      4. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
      5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan;
      6. Pengurangan risiko pasien jatuh


      Sumber :
      1. Permenkes 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien
      2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit


      Terimakasih, semoga bisa menjawab pertanyaan ka Elsa ya :)
      Youlla Anjelina
      41170153

      Hapus
  42. Terima kasih untuk artikelnya
    Saya ingin bertanya

    Mengapa dokter yang ikut menangani Siti Chomsatum tidak seluruhnya ikut dipidana? Padahal ditinjau dari kasus yang ada, setiap dokter mengambil bagian tertentu dalam penanganan pasien tersebut mulai dari operasi hingga menangani sesak napas yang timbul pasca operasi

    Terima kasih
    Edwin Hendrawan - 41170191

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaannya saya Muhammaf Fikri Mujtahid (41170157) mencoba menjawab, menurut kasus diatas telah dinyatakan melanggar KODEKI pasal 3 ayat (2) bagian (b) yang menyatakan: Melakukan upaya diagnostik, pengobatan atau tindakan medis apapun pada pasien secara menyimpang dari atau tanpa indikasi medik yang mengakibatkan turunnya martabat profesi kedokteran dan kemungkinan terganggunya keselamatan pasien akan mendapatkan sanksi hukum.

      Pemberian pelayanan medis yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasien haruslah berdasarkan pada transaksi terapeutik. Adapun yang dimaksud dengan transaksi terapeutik yaitu transaksi yang menentukan atau mencari terapi yang paling tepat bagi pasien. Namun bila dilihat dari kasus yang ada, diketahui bahwa korban (Siti Chomsatun) diberikan suntikan kortikosteroid (anti radang) serta pemberian injeksi stesolid (diazepam) pada pasien dengan keluhan sesak nafas dapat memperparah keluhan karena efek samping pemberian diazepam ialah depresi pernafasan. Pemberian obat tersebut tanpa mempertimbangkan riwayat penyakit dahulu, melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari tahu penyebab dari sesak nafas pasien, korban mengadukan dr. Tantiyo Setiyowati dan dr. Fredy Melke Komalig karena sudah melanggar hal diatas.

      Untuk dokter lainnya yang terlibat pada penanganan pasien ini contohnya pada saat dilakukan operasi Tiroidektomi pada tanggal 13 april 2009 tidak ada yang menyatakan bahwa operasi tersebut gagal, jadi masih belum bisa dikatakan bahwa dokter yang melakukan opersai mendapatkan sanksi hukum.

      Hapus
  43. Terimakasih atas artikelnya, sangat menarik dan bermanfaat. Saya Danny, mohon izin menanggapi dan bertanya.

    Saya sangat setuju mengenai pemaparan peran komite medik di atas, salah satu tujuan pembentukan komite medik yaitu menyelenggarakan tata kelola klinis yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien terjamin dan terlindungi. Dalam kasus di atas sudah diimplementasikan dalam audit dan menghasilkan putusan sanksi.

    Selain putusan sanksi, rekomendasi apa lagi yang dapat diberikan untuk RS agar memiliki tata kelola klinis yang lebih baik sehingga tidak lagi terjadi kasus serupa?

    Terimakasih dan semangat selalu!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, kak Danny!
      Saya Anasthasia Audi (41170112) ijin mencoba menjawab pertanyaan kakak.
      Untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa, RS yang bersangkutan akan direkomendasikan untuk melakukan audit medis terhadap kasus yang ada.

      Audit medis merupakan suatu rangkaian yang bertujuan untuk menganalisis suatu kasus yang dipandang "memperburuk mutu pelayanan" yang muncul di RS tersebut (contoh: peningkatan jumlah kematian pasien, kasus yang baru saja di tindak pidana/perdata oleh pasien, munculnya kasus yang jarang/kasus yang kompleks).

      Untuk mekanisme Audit medis sendiri, akan diawali dengan "pencarian masalah" yang terjadi pada RS. Masalah tersebut akan ditinjau kembali dan dicarikan solusinya melalui penerapan sistem atau kebijakan baru agar mampu kembali meningkatkan mutu pelayanan RS.

      Tetapi, apabila kasus sudah sempat di audit dan masih menimbulkan 'masalah', regulasi yang baru saja diterapkan belum sepenuhnya berhasil. Maka, baiknya di lakukan re-audit terhadap kasus yang ada. Selain adanya re audit, sistem dari audit medis hendaknya diperbaiki/di evaluasi kembali. Perbaikan dapat berupa pelatihan dan sosialisasi yang maksimal untuk para tenaga medis maupun mengikutsertakan konsulen/pihak profesional lain dalam usaha pembuatan regulasi baru.

      Itu saja, saya harap sudah menjawab pertanyaan Anda.
      Terima kasih.

      Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI no 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di RS

      Hapus
  44. Terima kasih untuk artikel yang sangat menarik dan bermanfaat.
    pada kasus ini siti mengalami sesak napas akibat kelumpuhan pita suara karena sebelumnya menjalani operasi tiroidektomi yang dipimpin oleh dr. Taslim. Apakah kelumpuhan pita suara yang dialami oleh ibu siti ini memang wajar dialami pasca operasi tiroidektomi atau adanya kesalahan ?
    Terima kasih :)

    (Krisentia Yahya_41170141)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih pertanyaannya, saya coba jawab ya. Tiroidektomi merupakan salah satu prosedur medis yang berfungsi untuk mengangkat kelenjar tiroid, biasanya tiroidektomi dapat dilakukan apabila pasien menderita keganasan atau gondok. Efek samping yang mungkin terjadi pada pasien yang menjalani tiroidektomi antara lain : nyeri area leher, perdarahan, infeksi, suara serak / lemah ( karena gangguan fungsi saraf). Kelumpuhan pita suara yang mengakibatkan suara serak / lemah dapat terjadi apabila terdapat gangguan saraf disekitar area laring yang dapat disebabkan salah satunya oleh cedera ataupun tindakan operasi, namun gangguan ini biasanya bersifat sementara dan akan membaik dengan sendirinya.

      semoga jawabannya membantu, terimakasih…
      Thomas Carel (41170113)

      Hapus
  45. Artikel yang sangat menarik. Saya ingin bertanya, ketika seorang dokter melakukan suatu kesalahan dalam menjalankan praktik kedokteran, maka sanksi yang diberikan pada dokter dapat berupa pencabutan surat ijin praktik dan membayar denda ganti rugi. Pada kasus ini, rumah sakit juga dituntut karena tidak memberikan pelayanan yang aman dan efektif pada pasien. Sanksi apa saja yang diterima oleh rumah sakit ini? Apakah hanya membayar ganti rugi atau ada tindakan disiplin lainnya? Terima kasih

    Neysa Bella H - 41170126

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ceny Gloria (41170149)5 Juni 2020 pukul 11.01

      Halo Neysa! Saya Ceny Larope (41170149) Terima kasih untuk pertanyaannya. Benar sekali, sanksi pada dokter dapat berupa pencabutan SIP dan denda ganti rugi. Ibu Siti melaporkan kejadian ini ke MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) terkait dr. dr. Tantoyo Setiyowati M.H., Kes. dan dr. Fredy Melke Komalig. M.K.M. Sedangkan gugatan terhadap RS Kramat dilaporkan di Pengadilan Jakarta Pusat dengan nomor perkara 287/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst. Sejauh ini, informasi yang tersedia adalah hakim melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara: 287//Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst. hanya mengabulkan dan memutuskan untuk memberikan ganti rugi kepada Ibu Siti secara materil yaitu sebesar Rp. 17.620.933 yang harus dibayar oleh pihak tergugat. Tidak terdapat informasi lebih lanjut tentang sanksi lainnya yang diberikan pada RS Kramat. Semoga jawaban saya membantu.

      Hapus
  46. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  47. Apa alasan kalian mengambil kasus ini untuk diangkat menjadi sebuah artikel ? Apa yang menarik dari kasus ini ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih pertanyaannya, saya coba jawab ya. Profesi dokter merupakan salah satu profesi yang memiliki resiko tinggi, dimana tindakan dan keputusan yang dibuat memiliki dampak terhadap kondisi kesehatan pasien dan berhubungan juga dengan keselamatan pasien. Profesi dokter juga selalu memiliki standar tinggi dalam pelayanannya, namun dalam prakteknya setiap dokter tidaklah luput dari kesalahan, kasus di artikel ini merupakan sebuah cerminan ketidaksempurnaan seorang dokter, dimana kasus seperti ini masih cukup banyak terjadi di lingkungan rumah sakit. Dalam kasus di artikel ini kita dapat melihat pentingnya sebuah komite etik pada sebuah lingkungan kerja yang dapat berfungsi sebagai penengah apabila terjadi sebuah kelalaian yang berpotensi merugikan pasien. Artikel ini juga kami angkat agar kedepannya kami sebagai calon dokter di masa depan agar dapat lebih profesional dalam menjalankan tugas profesi kami.

      semoga jawabannya membantu, terimakasih…
      Thomas Carel (41170113)

      Hapus
  48. Terima kasih untuk artikelnya yang menarik. Saya ingin menanyakan beberapa hal:
    1. Menurut teman-teman apakah ganti rugi yang telah diputuskan cukup memuaskan?
    2. Apakah rumah sakit berhak menolak pasien yang datang jika disesuaikan dengan pernyataan "dirujuk ke RSCM namun ditolak saat tiba di RSCM karena sudah melewati waktu pendaftaran" ?
    3. Apakah kelumpuhan pita suara yang dialami oleh ibu Siti diakibatkan tiroidektomi atau akibat pemberian obat oleh dokter lain?

    Terima kasih :) Semangat!
    Anastasia Dwi M_41170206

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Anastasia, terimakasih sudah berjungkung ke artikel kami dan terimakasih atas pertanyaan yang diberikan, disini saya akan menjawab pertanyaan saudari yang nomor 3, berdasarkan berita yang telah saya baca di https://www.bantuanhukum.or.id/web/siti-chomsatun-korban-malpraktik-menang-di-pengadilan/ disana tertuliskan bahwa “dr. Fauzan datang melihat kondisi Siti Chomsatun, pada 16 Februari Pukul 10.30 WIB. Hasil diagnosa dr. Fauzan, Sp. T.H.T., menyatakan bahwa Siti Chomsatun harus segera dibuatkan lubang di leher untuk jalan pernafasan (tracheostomy). dr. Fauzan menjelaskan bahwa hal ini harus dilakukan karena Siti Chomsatun menderita lumpuh pita suara (parese abductor bilateral) yang disebabkan cedera saraf di sekitar pita suara akibat operasi tiroidektomi pada Maret 2009 silam”.
      Salam sejahtera,
      Tillandsia Filli Folia P (41170105)

      Hapus
    2. Terima kasih atas pertanyaanya, disini saya Dewianti Paluta NIM 41170114, perwakilan dari kelompok ini ingin membantu menjawab pertanyaan ke-2 saudara.
      Dalam Pasal 32 ayat (2) UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 berbunyi bahwa “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka”. Namun, perlu kita ketahui bersama bahwa dalam merujuk pasien pun terdapat Undang-undang yang mengatur mengenai sistem rujukan. Hal ini termuat pada Pasal 21 Ayat (1) dan (2) Permenkes RI No 69 Tahun 2014 yang berbunyi “(1) Kewajiban Rumah Sakit dalam melaksanakan sistem rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf q dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam melakukan rujukan pasien Rumah Sakit paling sedikit harus: a. melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien selama pelaksanaan rujukan; b. melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat; dan c. membuat surat rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan”. Didalam kronologi kasus, tidak diceritakan secara mendetail mengenai sistem rujukan yang dilakukan oleh RS Kramat 128, yang dapat kita ketahui adalah pasien dirujuk dalam keadaan sesak napas Grade II namun masih menunggu selama 2,5 jam karena urusan administrasi sebelum akhirnya dirujuk ke RSCM, dan bila kita lihat lebih lanjut dalam kronologi kasus pun diceritakan bahwa ketika pasien pingsan, pasien langsung segera ditangani oleh petugas IGD RSCM dan segera dilakukan operasi tracheostomy karena sesak nafas pasien mencapai grade IV. , Sehingga kita tidak dapat menyalahkan RSCM itu sendiri, karena ketika pasien mengalami kondisi kegawatdaruratan RSCM segera menangani pasien tersebut

      Hapus
  49. terimakasih sebelumnya karna informasi yang kalian berikan sangat mengedukasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Gita Grecia telah mengunjungi artikel kami, semoga bermanfaat yaa :)

      Hapus
  50. Terimakasih untuk ulasannya, semoga sebagai calon dokter kalian bisa lebih memahami dan menunjung tinggi etika dalam menjalankan tugas sebagai dokter ya. Pertanyaan saya, adakah standar yg jelas ketika malpraktek medis berlangsung dan dapat diperkarakan hukum?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Halo terima kasih sudah mampir ke blog dan meninggalkan pertanyaan :) saya Vanessa Angelin (41170115) ingin mencoba menjawab pertanyaan :
      Jadi saya akan mencoba menjawab dengan undang-undang dan KUHP yang mengatur tentang tindakan malpraktek sehingga hal tersebut termasuk dalam pelanggaran hukum.
      Undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai malpraktek:
      1. Undang-undang Hukum Pidana Pasal-pasal dalam KUHP yang relevan dengan pertanggungjawaban pidana terkait malpraktek medik adalah Pasal 359, 360, dan 361 KUHP.
      Kelalaian yang menyebabkan kematian diatur dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi:
      “barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
      Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, dimana kematian bukanlah yang dituju atau dikehendaki.

      Ada dua macam tindak pidana menurut Pasal 360. Dari rumusan ayat (1) dapat dirinci unsurunsur yang ada yaitu:
      1) Adanya kelalaian;

      2) Adanya wujud perbuatan;

      3) Adanya akibat luka berat;

      4) Adanya hubungan kausalitas antara luka berat dan wujud perbuatan. Rumusan ayat (2) mengandung unsur-unsur:

      1) Adanya kelalaian;

      2) Adanya wujud perbuatan;

      3) Adanya akibat: luka yang menimbulkan penyakit; dan luka yang menimbulkan halangan menjalankan jabatan, atau pencarian selama waktu tertentu;

      4) Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat.
      Menurut Pasal 90 KUHP, luka berat berarti:
      1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberikan harapan akan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut;

      2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalani tugas jabatan atau pekerjaan perncaharian;

      3) Kehilangan salah satu panca indera;

      4) Menderita sakit lumpuh;

      5) Terganggu daya pikirnya selama empat minggu lebih;

      6) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

      Terima kasih :)

      Hapus
  51. Terimakasih untuk kelompok 1, atas artikel beserta penjelasannya yang mudah dipahami.
    Saya ingin bertanya terkait poin 14 pada kronologi kasus di atas, dimana dikatakan bahwa Siti ditolak oleh pihak RSCM karena tiba setelah melalui jam pendaftaraan saat dilakukan perujukan. Nah, menurut teman-teman, pihak manakah yang sekiranya melakukan pelanggaran pada poin ini? Apakah pihak RSCM yang menolak rujukan pasien, atau pihak RS Kramat 128 (termasuk Alm. dr. Rusmayono beserta jajaran) karena tidak merujuk sesuai etika yang berlaku, atau keduanya melakukan pelanggaran?
    Terimakasih sekali lagi!
    Meliana Julistiani - 41170117 (Kelompok 3)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaanya, disini saya Dewianti Paluta NIM 41170114, perwakilan dari kelompok ini ingin membantu menjawab pertanyaan saudara.
      Bila kita lihat dalam Pasal 21 Ayat (1) dan (2) Permenkes RI No 69 Tahun 2014 yang berbunyi “(1) Kewajiban Rumah Sakit dalam melaksanakan sistem rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf q dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam melakukan rujukan pasien Rumah Sakit paling sedikit harus: a. melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien selama pelaksanaan rujukan; b. melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat; dan c. membuat surat rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan”. Didalam kronologi kasus, tidak diceritakan secara mendetail mengenai sistem rujukan yang dilakukan oleh RS Kramat 128 kepada RSCM. Sehingga, kita tidak dapat mengetahui apakah hal ini merupakan kesalahan sistem rujukan RS Kramat 128 ataukah kesalahan poli THT RSCM karena menolak pasien. Bila kita tinjau lebih lanjut dalam kronologi kasus pun diceritakan bahwa pada akhirnya ketika pasien pingsan, pasien segera dilarikan ke IGD RSCM dan ditangani oleh pihak RSCM untuk mencegah perburukan kondisi pasien.

      Hapus
  52. Artikel yang menarik dari kelompok 1.Saya Carolina, ingin bertanya karena kasus tersebut berada di Indonesia adakah peran dari IDI atau MKEK dalam mengatasi kasus tersebut? Dan menurut kalian apakah yang akan komite medik rumah sakit tersebut lakukan sebagai masukkan agar hal tersebut tidak terjadi lagi? Terimakasih

    Kelompok 3 : Carolina Devi Santi M _41170122

    BalasHapus
  53. Halo kelompok 1, artikel yang disuguhkah sungguh menarik, hanya saja ada yang ingin saya tanyakan. Dalam artikel di atas diceritakan secara tidak langsung bahwa dr. Tantiyo dan dr. Ferdy yang melakukan kesalahan, tetapi mengapa dalam persidangan, pihak yang digugat bukan kedua dokter tersebut, melainkan Rumah Sakit tempat mereka bekerja?

    -Virgina Glory B (41170151), kelompok 4

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaanya, disini saya Dewianti Paluta (41170114) perwakilan dari kelompok 1 akan membantu menjawab pertanyaan saudara.
      Dalam Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit, menyatakan bahwa : “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit” dari Pasal ini dapat kita ketahui bahwa bilamana terjadi kerugian yang disebabkan oleh kelalaian tenaga medis yang bekerja di Rumah Sakit tsb, maka ketika dilakukan penyelesaian secara hukum hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab oleh tenaga kesehatan yang bersangkutan tetapi juga menjadi tanggung jawab oleh Rumah Sakit yang menaungi tenaga kesehatan itu

      Hapus
  54. Mary Rose (41170145)4 Juni 2020 pukul 10.33

    Terimakasih untuk artikelnya, kelompok 1. Setelah membaca kasus yang sudah disampaikan, saya ingin bertanya mengenai tindakan spesifik apa yang dilakukan oleh tersangka atau kedua dokter yang sudah disebutkan di atas sehingga divonis sudah melakukan pelanggaran hukum? Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, saya Muhammad Fikri Mujtahid (41170157) mencoba menjawab. Pelanggaran yang dilakukan oleh dr. Tantoyo Setiyowati M.H., Kes. dan dr. Fredy Melke Komalig. M.K.M. ialah memberikan kortikosteroid pada Ibu Siti Chomsatun sebagai pasien sesak nafas yang disebabkan oleh kelumpuhan pita suara bilateral (parese abductor bilateral). Dalam putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) a quo, diketahui bahwa pemberian kortikosteroid tidak umum diberikan pada pasien sesak nafas yang disebabkan oleh kelumpuhan pita suara dan pemberian pemberian stesolid (diazepam) pada pasien dengan gejala sesak nafas. Seharusnya penanganan terhadap Ibu Siti Chomsatun adalah observasi ketat oleh dokter.

      Pasal 3 ayat (2) huruf (f) Perkonsil 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi:
      “Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien”

      Sesuai dengan penjelasan ayat tersebut menurut Perkonsil adalah dalam melakukan pelayanan atau tatalaksana pasien, dokter tidak dibenarkan melakukan yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesinya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah sehingga membahayakan pasien. Dokter wajib melakukan tatalaksana pada pasien dengan teliti, tepat, hati-hati, etis, dan penuh kepedulian

      Hapus
  55. Artikel yang super menarik izin bertanya :
    1. Atas dasar dan pertimbangan apa saja sanksi perdata berupa ganti rugi tersebut bisa mencapai jumlah tersebut? baik secara materil dan lebi spesifiknya yang imateril
    2. Pada penjelasan tuntutan pidana diatas dituliskan bahwa dokter dapat dikatakan bersalah setelah ditinjau dari apakah sudah terpenuhinya standar pelayanan medik, standar operation procedure (SOP), menurut anda apakah dokter yang dinyatakan bersalah sudah atau belum melakukan standar tersebut? Jika belum melakukan standar mengapa dokter tersebut tidak dituntut sanksi pidana, dan jika sudah melakukan standar apa alasanya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kelompok 1, salam Ardo Septian Timorales Enembe 41170119

      Hapus
    2. Claudius PYSM (41170159)6 Juni 2020 pukul 01.55

      Halo Ardo, perkenalkan saya Claudius Sembiring akan mencoba menjawab pertanyaan no 1 anda.
      Perlu diketahui bahwa sengketa ataupun gugatan perdata pada prinsipnya hanya ada dua jenis, yaitu Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
      Dalam kasus malpraktik ini diklasifikasikan kedalam perbuatan melawan hukum
      Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
      Akibat perbuatan pelaku menimbulkan kerugian. Kerugian di sini dibagi jadi 2 (dua) yaitu Materil dan Imateril.
      kerugian materiil yaitu kerugian yang nyata telah diderita, dan kerugian immateriil atau kerugian yang diderita karena hilangnya potensi keuntungan di kemudian hari.
      Namun KUHPerdata tidak mengatur soal ganti kerugian yang harus dibayar karena Perbuatan Melawan Hukum.
      Hasil ganti rugi tersebut merupakan hasil keputusan dari persidangan yang kami akses dari : Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara. Diakses 30 Mei 2020. Keyword : Siti Chomsatun.

      Terimakasih. ~ Claudius Pasco Yudhitama SM / 41170159 ~

      Hapus
  56. Balasan
    1. Thank you Aggelos

      Hapus
    2. Ginti Lintang Sinkyatri5 Juni 2020 pukul 13.53

      hey Aggelos! thanks for coming to our page :))

      Hapus
  57. Halo, pembahasan yang bagus ��
    Izin bertanya, mengapa ganti rugi yang diberikan itu sebesar 300juta sekian? Apakah ada ketentuan yang mengaturnya?
    Terimakasih ����

    Theodora Arnadia (41170120)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Claudius PYSM (41170159)6 Juni 2020 pukul 01.53

      Halo Theo, perkenalkan saya Claudius Sembiring yang akan mencoba menjawab pertanyaan anda.
      Perlu diketahui bahwa sengketa ataupun gugatan perdata pada prinsipnya hanya ada dua jenis, yaitu Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
      Dalam kasus malpraktik ini diklasifikasikan kedalam perbuatan melawan hukum
      Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
      Akibat perbuatan pelaku menimbulkan kerugian. Kerugian di sini dibagi jadi 2 (dua) yaitu Materil dan Imateril.
      kerugian materiil yaitu kerugian yang nyata telah diderita, dan kerugian immateriil atau kerugian yang diderita karena hilangnya potensi keuntungan di kemudian hari.
      Namun KUHPerdata tidak mengatur soal ganti kerugian yang harus dibayar karena Perbuatan Melawan Hukum.
      Hasil ganti rugi tersebut merupakan hasil keputusan dari persidangan yang kami akses dari : Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/index.php/detil_perkara. Diakses 30 Mei 2020. Keyword : Siti Chomsatun.

      Terimakasih. ~ Claudius Pasco Yudhitama SM / 41170159 ~

      Hapus
  58. Artikel yang menarik.
    Saya ingin bertanya, Seberapa pentingnya pemberitahuan kepada pasien sebelum tindakan? dan apakah semua kesalahan yang dilakukan dokter berujung tindak hukum?
    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Imanuel atas kunjungannya ke artikel kami dan terimakasih atas pertanyaannya, disini saya mencoba untuk menjawab.
      Berdasarkan PERMENKES RI No 290/MENKES/PER/III/2008 pada pasal 2 dijelaskan bahwa semua tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan yang dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, namun sebelum itu "pasien harus mendapatkan penjelasan yang diperlukan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan" dimana setiap tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang berhak memberikan persetujuan.
      Tillandsia Filli Folia P (41170105)

      Hapus
    2. Disini saya akan melanjutkan jawaban mengenai pertanyaan saudara tentang "apakah semua kesalahan yang dilakukan dokter berujung tindak hukum?". Tidak semua berujung pada tindak hukum, berdasarkan UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pada pasal 66 hingga pasal 70 dijelaskan bahwa seriap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktiknya, dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), sehingga nanti MKDKI akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap dokter tesebut lalu memberikan keputusan terhadap pengaduan yang telah diterimanya, dimana keputusan ini berupa “tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin”. Sanksi disiplin yang dimaksud dapat berupa pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika yang dilakukan dokter atau dokter gigi maka MKDKI akan meneruskan pengaduan terhadap organisasi profesi.

      Hapus
  59. Terimakasih atas artikelnya. Saya ijin bertanya, jika pihak dokter melakukan malpraktek, apakah tidak dikenakan sanksi pidana? Apakah ada UU yang mengatur tentang nominal ganti rugi yang diberikan?
    Jika pasien menggunakan KIS/ BPJS apakah pihak pasien bebas menggugat pihak rumah sakit dan dokter?
    Terimakasih
    I Made Wahyu A P/41170203

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ginti Lintang Sinkyatri - 411701605 Juni 2020 pukul 14.42

      Terima kasih untuk pertanyaan yang sudah diberikan. Saya Lintang akan mencoba menjawab, berdasarkan PERMENKES RI No 290/MENKES/PER/III/2008 pada pasal 2 dijelaskan bahwa semua tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan yang dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, namun sebelum itu "pasien harus mendapatkan penjelasan yang diperlukan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan" dimana setiap tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang berhak memberikan persetujuan.

      Mengenai ganti rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
      1. Melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
      2. Melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
      3. Melalui Permohonan Restitusi → berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”), PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (“PP 44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.

      Penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam Bab XIII UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal 101. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa, “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
      Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban dapat dilihat Pasal 99 ayat [1] KUHAP. Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap (Pasal 99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama (Pasal 100 ayat [1] KUHAP). Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (Pasal 100 ayat [2] KUHAP).
      Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.

      Saya akan memaparkan mengenai hak pasien terlebih dahulu. Pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). Dapat Anda baca pada pasal 4 untuk lebih jelasnya. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 52 juga membahas mengenai hak-hak pasien. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 32 membahas mengenai perlindungan hak pasien.
      Berdasarkan hal-hal yang sudah saya sebutkan diatas, apabila hak-hak pasien dilanggar, maka pasien dapat:
      1. Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45 UUPK)
      2. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran hak-hak pasien.

      Sumber sudah saya sertakan bersama dengan jawaban saya.

      Hapus
  60. Hallo kelompok 1, terima kasih atas artikelnya, sangat menarik.
    Saya ingin bertanya, berdasarkan ringkasan kasus diatas dijelaskan bahwa dr. Rusmaryono tidak melakukan kunjungan kepada siti melainkan dr. Rusmaryono pulang. Menurut kelompok 1 yang dilakukan oleh dr. Rusmaryono merupakan tindakan yang benar atau tidak? Apabila tidak, apa yang seharusnya dilakukan oleh dokter? Terima kasih

    Tiara Adeledya T. Karwur (41160040)

    BalasHapus
  61. terimakasih atas artikelnya yang sangat informatif.
    Saya ingin bertanya berkaitan dengan sanksi diatas, apakah dalam pemberian sanksi diatas yang berupa sanksi perdata tersebut diberikan atas adanya suatu pertimbangan atau aturan tertentu?
    - Gabriel Btara-41170163

    BalasHapus
  62. Terimakasih atas pembahasan kasus serta penjelasan akan kedisiplinan dalam profesi dokter, saya Daniel Eka Raenata 41170170 mohon izin bertanya.
    Disebutkan bahwasannya dr. dr. Tantiyo Setiyowati., M.H., Kes dan dr. Fredy Melke Komalig., M.K.M. dinyatakan telah melanggar disiplin kedokteran.
    Lantas bagaimana dengan nasib dr. Taslim Mansur Sp. B sebagai dokter yang melakukan operasi serta dr. Rusmaryono yang tidak melakukan visit kepada pasien pada waktu yg sudah ditentukan?
    Bukankah dalam Menkes RI No. 129 Tahun 2008 dijelaskan bahwa dokter rawat inap wajib melakukan visit sesuai dengan jadwalnya?
    Terimakasih.

    BalasHapus
  63. Maxima Aditya - 41170148

    Artikel yang sangat menarik. Dari artikel di atas, diketahui bahwa dr. Tantiyo Setiyowati dan dr. Fredy Melke beserta pihak RS hanya diberi sanksi berupa denda, tidak ada sanksi terhadap profesinya bahkan sanksi pidana. Bukankah hal tersebut menunjukkan adanya "keadilan yang berat sebelah"? Seperti yang kita tahu, profesi dokter dilindungi oleh beberapa undang-undang, salah satunya adalah Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 50 yang berisi bahwa dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Undang-Undang tersebut sering kali digunakan sebagai "pembelaan" oleh pihak rumah sakit atau seorang dokter apabila dituntut atas kelalaian saat memberi tindakan/pelayanan medis. Saya ingin bertanya, bagaimana cara seorang pasien "melawan" undang-undang tersebut agar bisa mendapatkan haknya sebagai pasien seperti yang terdapat pada Undang-Undang No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 32 yang salah satunya berisi "pasien berhak memperoleh layanan kesehatan bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional"? Terima kasih.

    BalasHapus
  64. Kasus dan pembahasan yang menarik.

    Saya ingin bertanya, Mengapa hanya dokter jaga IGD yang melanggar hukum? Mengapa dokter sebelumnya (yang melakukan operasi tiroidektomi, dokter THT yang melakukan pengawasan) tidak dianggap melanggar? Saya agak bingung hubungan pelanggarannya, mengapa hanya dokter IGD saja yang dianggap melanggar, bahkan dr Rusmaryono yang sudah ditunggu-tunggu tidak melakukan kunjungan saja tidak dianggap melanggar. Mohon penjelasannya kawan kawan, terimakasih sebelumnya.

    Ivan Satrio Wicaksono (41170188)

    BalasHapus
  65. INDRIANI NUR AZIZAH _ 41160021

    Artikel sangat menarik. Mas dan mba saya ingin bertanya diatas tertulis Siti menggugat kembali RS Keramat dan akhirnya Putusan didapat tabjn 2018..
    Mengapa dalam kasus malpraktek putusanya bisa lama?
    Dan mengapa bisa digugat kembali?

    Terimkasih, Semoga kebaikan selalu menyertai kalian

    BalasHapus
  66. Kasus yang menarik sekali, saya mau bertanya apakah nilai kompensasi/ganti rugi yang harus dibayarkan oleh tergugat sudah sesuai dan adil sesuai dengan keputusan? Apakah ada suatu tolak ukur besarnya kompensasi yang dibayarkan terhadap kasus seperti ini, melihat nilai akhir yang diputuskan oleh hakim sepertinya lebih kecil dari yang awalnya diharapkan oleh penggugat?

    Terima kasih, Tuhan Yesus memberkati kita semua amin.
    Valentino Y. Buriko (41170209)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS ETIKA KELOMPOK 6 - KASUS ABORSI

TUGAS ETIKA KELOMPOK 5 - PEMALSUAN DIAGNOSA REKAM MEDIS