TUGAS ETIKA KELOMPOK 2 - TRANSPLANTASI ORGAN
LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KASUS ETIKA
AKTUAL
“TRANSPLANTASI GINJAL”
Disusun oleh :
Florentina Aira S. (41170116)
Edward Kurniawan (41170121)
Ni Kadek Ayu Divia P. (41170131)
Dixie Bramantya S. (41170136)
Kezia Devina Deodatis (41170137)
Brian Ardya Indrajat (41170143)
Florival Jose (41170144)
Maxima Aditya P. (41170148)
Aloysius Gonzaga P.B. (41170164)
Setywanty Layuklinggi (41170171)
Antonius Adhymas P. (41170173)
Antonia Deta Anno Vida (41170177)
Ivon Widiastuti (41170178)
Beltsazar Onne P. (41170179)
Natasha Vanya M. H. (41170196)
I Made Wahyu Adi P. (41170203)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tranplantasi
organ merupakan prosedur pemindahan organ atau jaringan dari satu tubuh manusia
ke tubuh manusia lain atau diri sendiri yang dilakukan secara medis. Pada
dasarnya tujuan utama transplantasi organ adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup dan harapan hidup bagi penderita. Kelangsungan hidup pasien-pasien
transplantasi organ ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah skrining
penderita, persiapan pra-transplantasi, pendekatan bedah yang diambil pada
waktu transplantasi dan penatalaksanaan penderita pasca transplantasi. Seiring kemajuan
teknologi dan ilmu kedokteran, transplantasi organ tubuh manusia juga
berkembang sangat pesat, seperti transplantasi jantung manusia, ginjal, hati,
termasuk jaringan otot. Berdasarkan hukum Indonesia dan kode etik kedokteran,
transplantasi dilakukan berdasarkan kemanusiaan dan harus disetujui oleh
pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 64 dan 65. Demikian
pula di pasal 192 dijelaskan bahwa setiap orang yang sengaja memperjualbelikan
organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun akan dipidana. Untuk itu, transplantasi
organ dan/atau jaringan boleh dilakukan sukarela atas dasar kemanusiaan dan dengan
keinginan yang baik (Susanto, 2019).
Ginjal
merupakan salah satu organ vital yang berperan penting dalam menjaga kesehatan
tubuh secara menyeluruh. Ginjal berfungsi mengatur keseimbangan cairan di dalam
tubuh, keseimbangan asam basa dalam darah, mengatur konsentrasi garam dalam
darah, dan ekskresi bahan buangan seperti urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah. Bila ginjal tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya maka akan timbul
masalah kesehatan yang berkaitan dengan penyakit gagal ginjal kronik (Sherwood,
2015). Pada gagal ginjal kronik telah terjadi kerusakan ginjal secara permanen
dimana fungsi ginjal tidak kembali normal, cenderung berlanjut menjadi gagal
ginjal terminal sehingga agar ginjal dapat berfungsi baik seperti semula, maka
dapat dilakunan transplantasi ginjal (Guyton, 2015).
Di
Indonesia, donor pada transplantasi ginjal berasal dari donor hidup (living
donor) dan juga dari donasi organ jenazah. Setiap orang yang akan melakukan
donor organ tubuh, harus melewati beberapa prosedur. Pada donor hidup, biasanya
diambil dari orang tua atau saudara dekat karena memiliki darah dan jaringan
yang mirip. Dalam proses pemilihan organ untuk donor pun di uji lagi dengan
teliti. Setelah adanya kesepakatan oleh dokter dan resipient (orang yang
menerima donor), maka dokter dapat melakukan tindakan operasi dan transplantasi
tersebut. Selain itu, seorang resipient juga harus mengetahui informasi
pendonornya (Bintoro, 2016).
Pada
kenyataannya, tindakan jual beli ginjal untuk kepentingan transplantasi secara
medis masih banyak terjadi, dikarenakan organ ginjal dari donor hidup tidak
mudah didapatkan tanpa suatu imbalan, sehingga berpotensi munculnya tindakan
jual beli organ ginjal tersebut. Pengetahuan masyarakat yang rendah mengenai
larangan jual beli organ juga semakin memperkuat potensi transaksi komersial dalam
bentuk jual beli organ ginjal manusia.
Faktor
lain yang dapat memicu terjadinya tindakan jual beli organ ginjal, yaitu
perkembangan teknologi kedokteran khususnya tranplantasi yang berfungsi dengan
baik sehingga pasien gagal ginjal sangat ingin melakukan transplantasi demi
kelangsungan hidupnya. Namun, adanya permintaan organ ginjal yang lebih banyak
dibandingkan penyediaan organ ginjal memungkinkan untuk dilakukannya tindakan
jual beli organ tersebut, di sisi lain permasalahan masyarakat di Indonesia di
bidang ekonomi juga mempengaruhi (Susanto, 2019).
Oleh
karena beberapa faktor di atas, maka kasus ini dipilih dan menjadi perhatian
bagi penulis. Selain itu, banyak informasi yang beredar di masyarakat mengenai
keuntungan besar yang diperolah dari penjualan organ khususnya ginjal, dimana
normalnya masing-masing orang memiliki 1 pasang ginjal dan apabila didonorkan
salah satunya, pendonor masih dapat bertahan hidup. Oleh sebab itu kasus ini
dipilih agar dapat memberikan informasi atau pengetahuan kepada masyarakat luas
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan transaksi jual beli ginjal.
B. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang yang
telah di uraikan sebelumnya, maka tujuan penulisan ini ialah :
1. Dapat
mengetahui fakta terkait etika berdasarkan kasus transplantasi ginjal
2. Dapat
mengerti etika, nilai, prinsip dan hukum terkait kasus transplantasi organ
3. Dapat
mengetahui faktor-faktor resiko terkait kasus transplantasi organ
4. Dapat
menginformasikan keputusan yang etis dan tegas berdasarkan hukum di Indonesia mengenai
kasus transplantasi ginjal
BAB II
RINGKASAN KASUS
Kasus transplantasi ginjal antara
dua pasien di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang bermula dari seorang
pendonor ginjal bernama ibu Ita yang terlilit hutang karena bisnisnya terpuruk
dan memiliki sejumlah hutang di koperasi. Lalu dia menawarkan untuk mendonorkan
ginjalnya di RSSA kepada seorang perawat disana. Perawat itu kemudian meminta
nomor telepon Ita dan memberikan nomor telepon itu kepada dr. Rifai selaku
salah satu tim dokter transplantasi. dr. Rifai lalu menghubungi Ita dan
mengatakan bahwa ada seseorang yang membutuhkan donor ginjalnya yaitu Erwin
Susilo. Pada awalnya, Erwin merupakan pasien yang menjalani cuci darah selama
tujuh bulan di Rumah Sakit Persada Hospital dan RKZ di Kota Malang. Kemudian,
Erwin berobat di RSSA Malang dan bertemu dengan dr. Rifai yang sebelumnya
menghubungi Ita dan dr. Atma selaku ketua tim dokter transplantasi ginjal. dr.
Rifai menawarkan kepada Erwin untuk melakukan transplantasi ginjal dan mempertemukan
Erwin dengan Ita. Pada pertemuan itu, Ita akhirnya bersedia untuk mendonorkan
ginjalnya kepada Erwin. Pada awalnya Erwin sempat ragu untuk menjalani
transplantasi tersebut dikarenakan Ia takut untuk dioperasi, namun setelah
berpikir panjang akhirnya Erwin bersedia untuk melakukan transplantasi
ginjal.
Melalui beberapa prosedur yang
diberikan oleh RSSA, Erwin dan Ita lalu menandatangani beberapa dokumen yang
telah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit atas sepengetahuan tim dokter di
rumah sakit tersebut. Namun, ternyata Ita dan Erwin mempunyai kesepakatan lain
di luar ketentuan rumah sakit, dimana Ita menawarkan ginjalnya seharga Rp. 350
juta kepada Erwin sesuai dengan jumlah hutangnya, akan tetapi kesepakatan itu
diadakan tanpa adanya persetujuan di atas kertas. Transplantasi dilakukan pada
tanggal 1 Maret 2017 di RSSA Malang. Seusai operasi dan sebelum pendonor
pulang, hak pendonor sudah terpenuhi, dimana Erwin sudah menyerahkan uang
sebesar Rp. 70 juta kepada Ita dengan rincian Rp.
45 juta sebagai biaya hidup selama tiga bulan, Rp5 juta untuk BPJS, dan Rp20
juta sebagai tali asih. Pada kasus ini, Ita merasa dirugikan karena tidak
dibayarkan sesuai perjanjian dengan Erwin yaitu Rp. 350 juta dan hanya
dibayarkan Rp. 70 juta. Oleh karena itu, Ita meminta kekurangan pembayaran
kepada Erwin. Akan tetapi, Ita malah mendapatkan makian, sehingga Ia merasa
dirugikan dan membawa kasus ini ke ranah hukum.
Menurut kuasa
hukum Ita yaitu Yassiro Ardhana Rahman, adanya praktik
transplantasi ilegal dalam kasus kliennya. Bahkan menyebut adanya dugaan
keterlibatan dua dokter senior dalam transplantasi tersebut. Dugaan itu
didasarkan pada pengakuan Ita yang tidak dimintai persetujuan dalam proses
transplantasi tersebut. Ita hanya diminta tanda tangan satu kali menjelang dilakukan
operasi transplantasi dan tidak ada persetujuan dari pihak keluarganya. Pada
kasus ini juga dokter tidak meminta persetujuan dari keluarga Ita sebagai
pendonor. Dasar lain adalah adanya kesepakatan sebesar Rp. 350 Juta, tetapi
dibayarkan oleh Erwin Rp. 70 juta yang menunjukkan bahwa transplantasi tersebut
bermotif ekonomi dan bukan lagi dilandasi kemanusiaan sebagaimana ketentuan
yang berlaku.
Pihak rumah
sakit RSSA lalu menanggapi adanya berita mengenai kasus jual beli organ tubuh
dan praktek transplantasi ilegal tersebut. Hal tersebut tampak saat konferensi
pers di ruang Majapahit. Menemui awak media, Wakil Direktur Bidang Pelayanan
Medik dan Keperawatan RSSA Hanief Noersjahdu, Ketua Komite Medik RSSA Istan
Irmansyah, serta ketua tim transplantasi ginjal yaitu dr Atma Gunawan. Selain
itu, hadir pula dokter-dokter yang terlibat dalam operasi, termasuk dr Rifai.
Dari hasil konferensi, pihak rumah sakit menyatakan bahwa transplantasi sudah
dilakukan secara institusional dan tidak dilakukan secara pribadi, dimana
proses ini melibatkan 20 orang dokter dan proses transplantasi yang dilakukan
sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
yaitu Permenkes 38 tahun 2016. Pihak RSSA juga menekankan bahwa pada proses ini
tidak ada unsur jual beli organ atau menawar, kemudian dilakukan secara
sukarela oleh pendonor maupun penerima.
Dalam
konferensi, dr. Atma Gunawan menyatakan bahwa dalam proses transplantasi tidak
ada perjanjian di luar perjanjian yang disepakati oleh pihak rumah sakit.
Beliau juga menyatakan bahwa pihak rumah sakit awalnya tidak mengetahui tentang
perjanjian antara Ita dan Erwin mengenai pembayaran sebesar Rp. 350 juta.
Sesuai dengan perjanjian yang dipegang oleh pihak rumah sakit, diterangkan
bahwa tidak boleh ada tuntut-menuntut pasca tindakan, baik antara pendonor
dengan penerima atau dengan pihak rumah sakit. Jika ada perjanjian antara
pendonor dan penerima, hal itu bukan merupakan tanggung jawab pihak rumah
sakit.
Pada tanggal 18 Januari
2018, Ita Diana mengaku sudah berdamai dengan pihak RSSA dan juga Erwin. Ita
bertemu dengan pihak RSSA dan membicarakan prihal perdamaiannya di RSSA. Ita
mengaku sudah menandatangani surat perdamaiannya dengan pihak rumah sakit
lantara Ia sudah lelah dalam menghadapi kasusnya tersebut, sehingga Ia
memutuskan untuk berdamai.
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Pencermatan Fakta Berupa Kronologi yang Menjadi Kasus Etika
·
Ibu Ita yang
sedang terlilit hutang menawarkan untuk menjual ginjalnya di Rumah Sakit Saiful
Anwar (RSSA) Malang.
·
Dokter Rifai
selaku salah satu tim dokter transplantasi menghubungi Ita dan mengatakan bahwa
ada seseorang yang membutuhkan donor ginjal yaitu Erwin Susilo.
·
Ita dan Erwin
mempunyai kesepakatan lain di luar ketentuan rumah sakit, dimana Ita menawarkan
ginjalnya seharga Rp. 350.000.000 kepada Erwin sesuai dengan jumlah hutangnya,
akan tetapi kesepakatan itu diadakan tanpa adanya persetujuan di atas kertas.
·
Erwin sudah
menyerahkan uang sebesar Rp. 70.000.000 kepada Ita dengan rincian Rp. 45.000.000 sebagai biaya hidup selama tiga bulan,
Rp5.000.000 untuk BPJS, dan Rp20.000.000 sebagai tali asih.
·
Ita merasa dirugikan karena tidak dibayarkan sesuai perjanjian dengan
Erwin yaitu Rp. 350.000.000, hal tersebut menunjukkan bahwa transplantasi yang
dilakukan bermotif ekonomi dan bukan lagi dilandasi oleh ketentuan yang berlaku
sesuatu dengan peraturan yang ada. Ita membawa kasus ini ke ranah hukum.
·
Ita tidak
dimintai persetujuan dalam proses transplantasi tersebut. Ita hanya diminta
tanda tangan satu kali menjelang dilakukan operasi transplantasi dan tidak ada
persetujuan dari pihak keluarganya.
·
Pihak rumah sakit menyatakan bahwa transplantasi sudah dilakukan secara
institusional dan tidak dilakukan secara pribadi, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Permenkes 38 tahun 2016.
Pihak RSSA juga menekankan bahwa pada proses ini tidak ada unsur jual beli
organ atau menawar, kemudian dilakukan secara sukarela oleh pendonor maupun
penerima.
Pencermatan nilai/norma etika yang dilanggar
1. Ita dan Erwin mempunyai kesepakatan lain di luar
ketentuan rumah sakit. Ita menawarkan ginjalnya seharga Rp. 350.000.000 kepada
Erwin. Kesepakatan itu diadakan tanpa adanya persetujuan di atas kertas.
Norma terkait Hukum yang dilanggar:
·
Pada UU No. 23 tahun 1992 pasal 33
dijelaskan bahwa “Transplantasi organ dan
atau jaringan tubuh serta transfusi darah dilakukan hanya untuk tujuan
kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial”
·
Dilanjutkan penjelasan Undang- undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
dalam Pasal 64 ayat (3) dijelaskan bahwa “Organ
dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belikan dengan dalih apapun”.
·
Permenkes No. 38 tahun 2016 pasal 13
ayat 1 dijelaskan bahwa “Setiap orang
dapat menjadi Pendonor secara sukarela tanpa meminta imbalan”
·
Permenkes No. 38 Tahun 2016 Pasal 19
Ayat 1 (g) dijelaskan bahwa "salah
satu persyaratan administratif yaitu membuat pernyataan tidak melakukan
penjualan Organ ataupun perjanjian khusus lain dengan pihak Resipien".
·
Permenkes No. 38 Tahun 2016 Pasal 24
Ayat 1 (d) dijelaskan bahwa "untuk
dapat terdaftar sebagai calon Resipien harus memenuhi salah satu persyaratan
yaitu menyerahkan pernyataan tertulis tidak membeli Organ tubuh dari calon
Pendonor atau melakukan perjanjian khusus dengan calon Pendonor, yang
dituangkan dalam bentuk akte notaris atau pernyataan tertulis yang disahkan
oleh notaris".
·
Dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun
1981 tentang bedah mayat klinis, pasal 1c dijelaskan bahwa “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan
dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi
dengan baik” Pada kasus ini terlihat
jelas bahwa alasan ibu Ita mendonorkan ginjalnya bukan untuk mengobati atau
menggantikan jaringan tubuh yg rusak melainkan ada alasan terselubung yaitu
untuk menutupi kebutuhan ekonomi ibu Ita yang terlilit hutang.
Kode
Etik Kedokteran yang dilanggar :
·
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Pasal 5 : Perbuatan
Melemahkan Psikis maupun Fisik.
"Tiap
perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan
untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut."
Disebutkan bahwa pada
kasus ini tidak ada keterangan mengenai persetujuan yang jelas maupun
persetujuan yang jelas diatas kertas terkait memperjual belikan ginjal
ibu Ita, dan tidak ada keterangan pasti atas persetujuan keluarga.
·
Pasal 9
“Seorang
dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.”
Jika yang salah adalah
dokter yang bertugas maka kesalahannya adalah tidak memastikan bahwa terdapat
transaksi jual beli organ yang terjadi antara resipien dan pendonor, yaitu
terlihat bahwa saat konferensi pers, dokter dari pihak RS menjelaskan tidak
tahu menahu mengenai transaksi jual beli organ yang dilakukan, mereka hanya
menjalankan prosedur atau protokol medis yang ada.
2.
Ita tidak
dimintai persetujuan dalam proses transplantasi tersebut. Ita hanya diminta
tanda tangan satu kali menjelang dilakukan operasi transplantasi dan tidak ada
persetujuan dari pihak keluarganya.
Norma yang dilanggar:
·
Dalam Undang - Undang No.23 Tahun 1992
Pasal 34 Ayat 2 dijelaskan bahwa "Pengambilan
organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan
donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya".
·
Dalam Permenkes No. 38 Tahun 2016 Pasal
19 Ayat 1 (e) dijelaskan bahwa "salah
satu persyaratan administratif yaitu mendapat persetujuan suami/istri, anak
yang sudah dewasa, orang tua kandung, atau saudara kandung Pendonor".
·
Kode Etik Kedokteran Indonesia
Pasal 5 : Perbuatan
Melemahkan Psikis maupun Fisik.
"Tiap
perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan
untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
Dalam
FATWA MUI No 13 Tahun 2019 dijelaskan bahwa
“Seseorang tidak boleh memberikan
atau menjual organ dan/atau jaringan
tubuhnya kepada orang lain karena organ tubuh tersebut bukan hak milik (haqqul milki). Untuk itu,
pengambilan dan transplantasi organ
tubuh tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara syar’i hukumnya haram”
Pada
kasus ini ibu Ita berkeyakinan muslim, sehingga penjelasan pada peraturan
tersebut melanggar aturan jual beli organ tubuh
Pandangan
Gereja dan Ajarannya :
Hidup
manusia yang merupakan anugerah Tuhan, maka manusia bukanlah pemilik dari hidup
tersebut. Dengan kata lain, manusia juga tidak seharusnya memliki kekuasaan
yang mutlak atas hidupnya. Pada ajaran ini, kita diajarkan untuk seharusnya
memelihara, melindungi dan menjaga hidup termasuk anggota badan yang telah
Tuhan berikan kepada kita.
Sebagai
pemilik seharusnya kita tetap bertanggung jawab dan mempertahankan serta
memelihara badan sesuai yang diberikan Tuhan kepada masing-masing manusia
B. Konsekuensi/risiko
dari tindakan pelanggaran etik pada pasien / dokter
1.
Konsekuensi
secara norma hukum
·
Larangan
tersebut termaktub dalam UU 36 tentang Kesehatan tahun 2009 Pasal 64 ayat 3.
Bunyinya, “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih
apa pun”. Pasal tersebut diperkuat dengan pasal 192 yang mengatur tentang
ancaman pidana. Setiap orang, setiap orang artinya siapa saja yang dengan
sengaja memperjualbelikan anggota tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana
dimaksud dalam pasal 64 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
tahun dan denda paling banyak 1 miliar pada pasal 192.
·
Dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1992
Pasal 80 Ayat 3 dijelaskan bahwa “Barang
siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Konsekuensi sebagai pelanggaran kode etik
·
Dokter yang terlibat dalam jual beli ginjal dapat dipecat dari rumah sakit dan kehilangan izin prakteknya
atau dibekukan karena melanggar kode etik yang ada.
·
Rumah
sakit/dokter akan kehilangan reputasi dari masyarakat khususnya pasien dari rumah sakit/dokter tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
pada kasus ini adalah adanya praktik jual beli organ yang melibatkan pihak
pendonor, resipien, dan Rumah Sakit. Kasus ini tidak ditindaklanjuti
penyelidikan pastinya karena mereka sepakat untuk berdamai dan tidak saling
menuntut, walaupun belum ada kepastian hukumnya yang jelas kejadian ini sangat
melanggar etika dan hukum yang berlaku
REFLEKSI
KELOMPOK
Florentina
Aira Syaharani - 41170116
Dari
kasus transplantasi ginjal yang sudah kelompok bahas, bila dikaitkan dengan
hukum yang ada, tetap sebagai dokter harus memiliki prinsip dan janji dokter
yang sudah ada. Dokter tidak semata-mata dengan mudah untuk menerima penawaran
pasien untuk kepentingannya dan tidak ada perjanjian tertulis. Bila memang
motifnya memperjual-belikan organ untuk kepentingan ekonomi, tetapi beberapa
hal yang saya kurang setuju adalah dari permasalahan pasien yang sedang tidak
dalam kondisi berat dan menuju kematian tidak seharusnya untuk menjual-belikan
organ yang masih digunakan dalam kondisi badan sehat dan masih bisa digunakan
dalam kondisi jangka panjang kehidupan. Refleksi saya sebagai mahasiswa
kedokteran, kedepannya akan lebih memperhatikan permasalahan pasien dan harus
sangat mempertimbangkan keadaaan yang ada dari sisi peraturan dokter, hukum,
rumah sakit, maupun pasien.
Edward
kurniawan - 41170121
Hal yang menjadi
perhatian dari kasus ini dari saya ialah tentang seseorang yang terlibat secara
tidak langsung dalam “jual beli organ” karena adanya tekanan dari faktor
ekonomi berupa hutang. Dikarenakan banyaknya stressor yang ada menyebabkan ibu
Ita dengan sadar mendonorkan ginjalnya dengan diberikan janji akan dibantu
dalam penyelesaian masalahnya. Hal ini menjadi evaluasi salah satunya bagi
seorang dokter agar dapat memberikan informasi tentang adanya larangan etika,
hukum, dan konsekuensi yang dapat terjadi akibat jual beli organ kepada
masyarakat karena masih maraknya informasi bahwa menjual organ bisa mendapatkan
untung yang sangat besar. Menjadi seorang dokter juga berdasarkan aturan yang
ada harus dapat memoderasi baik pasien maupun pendonor agar dapat terjadi
komunikasi yang efektif dan tidak terjadi kesalahpahaman sepihak. Dari
pembelajaran kasus ini saya berharap kedepannya saat menjadi dokter ataupun
sebagai masyarakat dapat mengerti tentang norma dan aturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Ni
Kadek Ayu Divia P. – 41170131
Setelah membaca dan memahami kasus mengenai transplantasi
ginjal ini, saya menjadi tahu bahwa pelanggaran etika di bidang kesehatan tidak
hanya dapat dilakukan oleh pihak pemerintah dan pihak pemberi layanan
kesehatan, akan tetapi hal itu bisa juga dilakukan oleh beberapa oknum lainnya,
seperti pasien itu sendiri. Fokus saya pada kasus ini adalah tentang
pengetahuan masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan yang masih rendah
mengenai prosedur kesehatan itu sendiri, seperti pada kasus ini bisa dilihat
bahwa kurangnya informasi dan edukasi yang dilakukan oleh pihak rumah sakit
kepada pasien menyebabkan pasien tidak mengetahui tentang syarat perjanjian
yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan pihak lainnya yang bersangkutan.
Hal itu memberikan pembelajaran bagi saya bahwa tenaga kesehatan harus mampu
memberikan informasi dan sanksi yang jelas bagi para penerima layanan kesehatan
sebelum melakukan prosedur tertentu. Selain itu, dari kasus tersebut juga dapat
dilihat bahwa pelanggaran etika yang dilakukan oleh satu atau beberapa pihak
dapat menimbulkan efek yang merugikan, salah satunya adalah dapat menimbulkan
buruknya citra pemberi pelayanan kesehatan.
Dixie
Bramantya S. - 41170136
Membaca berita kasus transplantasi organ ginjal ini
membuat saya prihatin. Motif yang diberikan adalah karena adanya lilitan hutang
dan rumah yang disita. Hal ini jelas sangat melanggar etika dan hukum yang ada
di Negara Indonesia dimana konsekuensi yang diterima sangat berat. Tuhan sudah
memberikan anugerah yang baik untuk manusia dengan diberinya organ tubuh yang
bekerja untuk kehidupan. Apabila rela menghilangkan organ tubuhnya hanya untuk
uang semata, hal itu sangat salah untuk dilakukan. Menjalani kehidupan dengan
keterbatasan ekonomi memang menyusahkan, tetapi bukan dengan cara menjual organ
tubuh sebagai jalan keluar yang tepat, masih banyak sesuatu hal yang bisa
dilakukan seperti meminta bantuan saudara ataupun teman terdekat. Pelajaran
yang bisa diambil mungkin jangan terlalu memaksakan diri untuk berhutang
terlalu banyak, karena jika uang sudah mengalahkan, segala cara dapat
dihalalkan.
Kezia
Devina Deodatis - 41170137
Dari kasus jual beli ginjal untuk kepentingan
transplantasi, menurut saya hal tersebut sudah termasuk ke dalam pelanggaran
hukum dan etika yang ada di Indonesia, karena transplantasi organ ginjal
seharusnya dilakukan secara sukarela dengan tujuan kemanusiaan. Menurut saya,
seharusnya pihak rumah sakit membuat salinan dari setiap perjanjian atau persetujuan
yang sudah di tanda tangani oleh dokter, pendonor maupun resipien. Dokter ahli
atau kepala rumah sakit juga harus menjelaskan bagaimana prosedur dan peraturan
sebelum dilakukannya transplantasi organ ginjal tersebut, hal ini harus
dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang mungkin muncul. Karena hidup
di negara hukum artinya apapun yang kita lakukan harus mengacu pada hukum yang
berlaku dan harus bertanggung jawab atas konsekuensinya. Selain itu, dokter
juga harus tetap menerapkan kode etik kedokteran dalam setiap pelayanannya.
Brian Ardya Indrajat –
41170143
Dari
kasus yang dibahas oleh kelompok pada praktikum ini, saya belajar bahwa dalam
setiap tindakan yang diambil dalam dunia medis harus benar-benar memperhatikan
aspek hukum dan etikanya. Karena tindakan medis menyangkut organ dan nyawa
seseorang, sehingga harus benar-benar berhati-hati dalam melaksanakan tindakan
seperti donor atau transplantasi organ seperti pada kasus. Dalam tiap tindakan,
termasuk transplantasi organ juga harus terutama dipastikan bahwa semua
prosedur sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada,
terutama harus benar-benar dilakukan informed consent. Dalam beberapa
hal seperti transplantasi organ juga harus dipastikan bahwa tidak terjadi
transaksi jual beli organ yang menyalahi aturan. Hal ini perlu dilakukan baik
oleh dokter maupun rumah sakit dan pihak-pihak yang bersangkutan.
Florival
Jose - 41170144
Setelah menganalisis kasus yang kami dapatkan, saya
mendapatkan pengetahuan tentang pelanggaran pada orang yang melakukan
transplantasi organ dengan niat mendapatkan keuntungan dan bagaimana caranya
dokter bisa mengikut sertakan diri dalam pengambilan keputusan oleh pasien
dengan menjelaskan prosedur dan komplikasi atau hasil terakhir dari keputusan
yang diambil. Saya juga sudah mempunyai sedikit banyangan tentang bagaimana
menganalisa suatu kasus berdasarkan moral dan hukum-hukum yang ada untuk bisa
digunakan apabila saya mengalami masalah yang saya jumpai di masa depan nanti.
Maxima
Aditya Prabowo - 41170148
Berdasarkan
kasus yang dijadikan topik, terbukti bahwa masalah ekonomi masih menjadi
masalah utama di kehidupan bernegara di Indonesia. Masalah ekonomi yang paling
sering adalah kemiskinan. Kemiskinan dapat memicu seseorang untuk berbuat
apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, dari kasus Bu Ita, menurut saya,
Bu Ita melakukan “koping” yang salah dalam menanggapi masalah yang ia alami.
Beliau memilih untuk menjual organ ginjalnya untuk menutupi utang pada koperasi
sebesar 350 juta rupiah padahal tiap individu memiliki kewajiban untuk menjaga
kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Selain melanggar kewajiban
asasi manusia, Bu Ita juga melanggar beberapa peraturan yang berlaku di
Indonesia, salah satunya adalah Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 yang
tercermin dari pasal 64 ayat (2) dan (3) yang berisi bahwa transplantasi organ
hanya diperbolehkan untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang memperjualbelikan
organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun. Melihat dari hal tersebut,
dibanding menjual organ, akan lebih baik dan lebih manusiawi ketika Bu Ita mencari
pekerjaan entah sebagai ART, karyawan yang bekerja pada suatu
instansi/perusahaan/wirausahawan atau profesi lainnya karena beliau masih
terhitung produktif. Pelajaran yang saya ambil untuk kehidupan saya ke depannya
adalah apapun masalah yang dihadapi, seberat apapun itu, pasti akan ada
jalan/solusi ketika kita berpikir dengan kepala dingin dibandingkan hanya
mencari cara instant untuk menyelesaikannya tapi melawan hak dan kewajiban
sebagai manusia.
Aloysius
Gonzaga P. B. - 41170164
Dari berita yang saya baca dari Ibu Ita sendiri sudah
salah karena meminta resipien untuk membayar 350 juta, karena pada peraturan
perundang-undangan hal tersebut sudah masuk dalam jual beli organ. Sesuai pasal
192 UU 36/2009 harus dipidana paling lama 10 tahun dengan denda paling banyak 1
miliar. Menurut saya memang harus mengikuti tujuan utama transplantasi yaitu
untuk pengobatan bukan untuk alasan lain seperti adanya masalah ekonomi.
Setywanty
Layuklinggi - 41170171
Dari kasus pendonoran ginjal yang yang dialami Ita dapat
dikatakan pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh satu pihak tetapi pihak yang
lain juga melakukan beberapa pelanggaran. Untuk pelanggaran yang dilakukan oleh
Ita lebih ke tindakan pendonor yang tidak sesuai etik, dimana melakukan
perjanjian khusus diluar persetujuan dan sepengetahuan RS yaitu imbalan uang
Rp.350jt dari resipien yaitu Erwin Susilo. Tindakan Ita yang lain yaitu latar
belakang penyumbangan organnya tidak secara sukarela tapi karena berlatar
belakang mengharapkan imbalan berupa uang untuk menutupi kebutuhan ekonomi ibu
Ita yang terlilit hutang. Menurut saya tindakan Ita tersebut adalah salah
karena sudah melanggar etik dimana seharusnya tindakan pendonoran dilakukan
secara sukarela dan tidak boleh ada perjanjian lain diluar rumah sakit. Selain
dari pendonor, pada kasus ini juga resipien yaitu Erwin Susilo melakukan
pelanggaran karena melakukan perjanjian khusus diluar persetujuan dan tanpa
sepengetahuan RS bersama Ita. Dari tuntutan yang diajukan Ita kepada Erwin dan
RSSA tentunya merugikan pihak RSSA karena ikut membawa nama RS tersebut dimana
yang pada kenyataannya pihak RSRA sudah menjalani prosedur transplantasi sesuai
prosedur dan peraturan yang berlaku tetapi justru dituntut atas dasar penjualan
organ oleh Ita. Pada kasus ini juga ada kesalahan dari Komisi Transplantasi
Nasional dimana tidak melakukan verifikasi lapangan khususnya tidak memastikan
latar belakang penyumbangan organ, serta unsur jual beli organ sehingga dalam
transplantasi terdapat unsur jual beli organ dari perjanjian khusus yang
dilakukan Ita dan Erwin dan juga latar belakang transplantasi ini bukan secara
sukarela dari pendonor tapi karena mengharapkan imbalan.
Antonius
Adhymas P. – 41170173
Dari kasus tersebut,
membuat saya ikut prihatin. Karena faktor ekonomi yang tidak dapat teratasi
sehingga terjadilah penyitaan rumah akibat utang-piutang. Hal ini lah yang
membuat banyak orang untuk berpikir dan bertindak secara gegabah, sehingga
tidak memikirkan kesehatan diri sendiri, yang terpenting adalah hutang lunas
dan rumah tidak jadi tersita. Sehingga beberapa berpikir untuk melakukan
penjualan organnya demi mendapatkan uang dan terpaksa untuk melakukannya. Ini
dapat digolongkan pelanggaran hukum dan kode etik kedokteran di Indonesia.
Berdasarkan hukum Indonesia dan kode etik kedokteran, transplantasi dapat
dilakukan berdasarkan asas kemanusiaan dan harus disetujui pihak pendonor
dan/atau ahli waris atau keluarganya yang diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan pasal 64 dan 65. Serta di pasal 192 dijelaskan bahwa setiap
orang yang melakukan secara sengaja untuk memperjualbelikan organ atau jaringan
tubuh dengan dalih apapun akan dipidana. Sehingga transplantasi organ dan/atau
jaringan boleh dilakukan secara sukarela atas dasar kemanusiaan dan dengan
keinginan sendiri yang baik. Dari sini saya mendapatkan pembelajaran untuk
bertindak hati-hati/ tidak gegabah dalam memutuskan sesuatu apalagi yang
menyangkut diri kita sendiri dan kesehatan pribadi.
Antonia
Deta Anno Vida - 41170177
Dari
kasus praktikum kali ini ada banyak hal yang bisa saya pelajari. Pertama, dalam
mengambil suatu keputusan harus dipertimbangkan berbagai hal terutama jika hal tersebut berhubungan dengan orang
lain. Pertimbangan yang sesuai konteks kasus ini adalah mencari tau dasar-dasar
hukum dalam menjalani transplantasi. Jika sudah bersedia untuk mendonorkan
organ maka tidak seharusnya bu Ita masih
menargetkan harga setinggi itu sehingga terlihat ia terlalu mementingkan
ekonomi bukan kemanusiaan. Saya juga belajar untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan
lain yang lebih realistis dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan
pilihan bu Ita untuk mendapatkan uang dengan cara mendonorkan ginjalnya.
Padahal mungkin ada hal-hal lain yang lebih bisa dilakukan bu Ita untuk
membayar utang. Kedua, berhubungan dengan ketelitian dalam menjalani berbagai
prosedur. Prosedur transplantasi ginjal yang justru ditemukan adanya
kesepakatan diluar rumah sakit. Alangkah baiknya dari pihak rumah sakit maupun
tenaga medis lainnya tetap mengecek bahwa semua prosedur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Ivon
Widiastuti – 41170178
Hal yang dapat saya
pelajari dari kasus transplantasi ginjal ini bahwa terjadinya pelanggaran etika
di bidang kesehatan tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak pemerintah atau
tenaga medis akan tetapi hal itu dapat juga dilakukan oleh pasien. Rendahnya
pengetahuan masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan mengenai prosedur
kesehatan dapat membuat kesalahan atau pelanggaran etika di bidang kesehatan.
Pada kasus ini dapat dilihat bahwa kurangnya informasi dan edukasi kepada
pasien baik itu pendonor maupun penerima menyebabkan pasien tidak mengetahui
tentang syarat dan prosedur dalam melakukan transplantasi ginjal, akibatnya
pihak RS dirugikan karena pada kenyataannya pihak RS sudah melakukan prosedur
transplantasi dengan benar dan sesuai peraturan yang berlaku tetapi justru
dituntut atas dasar penjualan organ oleh pihak pendonor karena dari pihak
pendonor tersebut merasa dirugikan. Melalui kasus ini memberikan pelajaran bagi
saya bahwa sebagai tenaga kesehatan harus mampu memberikan informasi dan
edukasi yang jelas kepada pasien sebelum melakukan prosedur tententu, serta
dapat juga memberikan informasi terkait sanksi yang akan diterima ketika
melanggar prosedur tersebut.
Beltsazar Onne
Pattinaya – 41170179
Dari
kasus yang saya baca mengenai transplantasi ginjal ini, saya mendapatkan hal
baru mengenai pelanggaran etika maupun norma dalam bidang kesehatan.
Pelanggaran etika ini tidak hanya dilakukan oleh pihak rumah sakit, dokter, dan
pemerintah tetapi dilakukan dari pihak pasien baik pendonor maupun resipien
atau penerima. Dalam hal ini, mungkin terdapat ketidaktahuan atau literasi yang
rendah pada masyarakat tentang syarat-syarat dan prosedur yang sudah ditulis
dalam peraturan. Hal ini menyebabkan terjadinya perjanjian khusus antara
pendonor dan penerima diluar dari perjanjian dari pihak rumah sakit, serta
ketidakwaspadaan rumah sakit terutama bagian administrasi akan hal ini yang
membuat melanggar beberapa peraturan. Dari sini saya mendapat pembelajaran
bahwa sebagai tenaga medis harus memeriksa terlebih lanjut tentang persyaratan
yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur tertentu agar tidak menyebabkan
masalah yang lebih besar di bidang hukum dan juga perlunya penjelasan lebih
lanjut kepada masyarakat tentang hal ini.
Natasha
Vanya Michelia H. – 41170196
Dari analisa kasus ini
saya mempelajari bahwa kasus jual beli organ yang dilatarbelakangi masalah
ekonomi sudah banyak terjadi. Saya merasa miris dengan kasus ini karena banyak
oknum tertentu yang sengaja untuk mencari kesempatan dalam kesulitan dan
banyaknya orang yang menganggap ini adalah jalan pintas yang cepat untuk
mendapatkan uang, tanpa mengetahui dampak yang akan terjadi. Kasus ini termasuk
kedalam pelanggaran etik dan norma hukum, mengingat bahwa transplantasi organ
hanya dapat dilakukan dengan tujuan kemanusiaan bukan tujuan komersil.
I
Made Wahyu Adi Putrawan - 41170203
Melalui praktikum
analisis kasus etika actual ini, hal yang dapat saya pelajari adalah bahwa
menjadi seorang dokter harus mempelajari dan menerapkan nilai-nilai moral dan
etika profesi kedokteran. Etika bagi seorang dokter merupakan pedoman yang
digunakan dalam bertindak untuk mengurangi kesalahan. Dari kasus ini masih
dibutuhkannya pengawasan dari pemerintah agar melakukan verifikasi lapangan
untuk memastikan hubungan antara pendonor dan resipien, latar belakang
penyumbangan organ dan tidak ada unsur jual beli organ. Sebagai tenaga medis
harus bisa menjelaskan persyaratan dan aturan untuk mengganti alat atau
jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Pelajaran lain juga yang saya
dapat ambil yaitu sebagai seorang dokter sangat penting melakukan informed consent sebelum tindakan kepada
pasien, dokter juga harus hati-hati dan mengerti tindakan apa yang termasuk
dalam pelanggaran baik itu etika, agama, nilai moral dan lainnya agar tidak
merugikan diri sendiri, pasien ataupun pihak lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
l Bintoro,
Ady. 2016. Memahami Etika dan Moral Donasi Organ. Jurnal Orientasi Baru.
25(1), 93-110
l Guyton,
A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC
l Jawapos.com.
(2017,27 Desember). Kasus Transplantasi Ginjal, Penyidik Bakal Panggil Dirut
RSSA Malang. Diakses pada 20 Mei 2020, dari https://malang.merdeka.com/kabar-malang/kasus-transplantasi-ginjal-rssa-malang-bantah-adanya-praktik-jual-beli-1712232.html
l Malang.merdeka.com.
(2017,23 Desember). Kasus transplantasi ginjal, RSSA Malang bantah adanya
praktik jual beli. Diakses pada 20 Mei 2020, dari https://malang.merdeka.com/kabar-malang/kasus-transplantasi-ginjal-rssa-malang-bantah-adanya-praktik-jual-beli-1712232.html
l Malangtimes.com.
(2017,22 Desember). Terkesan Lepas Tangan Soal 'Jual Beli' Ginjal, RSSA
Malang Sebut Transplantasi Sesuai Prosedur. Diakses pada 20 Mei 2020, dari https://www.malangtimes.com/baca/23523/20171222/194526/terkesan-lepas-tangan-soal-jual-beli-ginjal-rssa-malang-sebut-transplantasi-sesuai-prosedur
l Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38/Tahun 2016 Tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ
l Purwadianto,
Agus dkk. 2015. Kode Etik Kedokteran Indonesia.
l Sherwood,
L. 2015. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
l Susanto.
2019. Reformulasi Kebijakan Tentang Transplantasi Organ Ginjal Manusia. Jurnal
Ilmiah Dunia Hukum, Vol. 3 (2)
l Suryamalang.tribunnews.com.
(2018, 18 Januari). Dugaan Kasus Jual Beli Ginjal di Malang, Ita Diana
Berdamai dengan RSSA, Simak Kronologisnya. Diakses pada 20 Mei 2020, dari https://www.google.com.tw/amp/s/suryamalang.tribunnews.com/amp/2018/01/18/dugaan-kasus-jual-beli-ginjal-di-malang-ita-diana-berdamai-dengan-rssa-simak-kronologisnya
l Undang
– Undang No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
l Undang
– Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Terima kasih, informasi yang sangat bermanfaat. Mohon izin untuk menjadikan laporan ini sebagai referensi laporan saya.
BalasHapusSiap terimakasih kembali, sukses selalu mas Wiki
HapusInformasi yang sangat menarik, saya mau tanya apa alasan anda mengambil topik ini ? Padahal disitu sudah diberitahu bahwa kasus ini tidak dilanjutkan penyelidikannya karena mereka berdamai
BalasHapusTerimakasih dan sukses selalu
Ni Kadek Ayu Divia P-41170131
HapusSelamat malam, terima kasih atas pertanyaannya🙏 Kami tertarik untuk membahas topik diatas karena jika dilihat dari kasusnya banyak sekali terdapat adanya pelanggaran etika, baik yang dilakukan oleh pihak penyedia layanan kesehatan maupun dari pihak penerima layanan kesehatan itu sendiri. Jadi, dari hal itu kita mendapatkan pembelajaran bahwa masih sangat banyak ditemui pelanggaran etika kedokteran, baik yang dilakukan oleh dokter sendiri maupun dari pihak-pihak lainnya seperti penerima layanan kesehatan yaitu pasien, yang tentu saja akan menimbulkan dampak yang buruk bagi banyak pihak. Terima kasih🙏
tulisan yang sangat menarik!
BalasHapussaya ingin bertanya, donor organ haruslah dilakukan tanpa paksaan. namun apa sebaiknya yang seorang dokter katakan/sarankan, pada seseorang yang harus mendonorkan organnya karena tekanan dari keluarganya sendiri.
Terimakasih.
Antoniaa Deta 41170177
HapusTerimakasih atas pertanyaannya. Bagi seseorang yang ingin melakukan donor(baik darah,organ, maupun lainnya) alangkah lebih baik sudah ada niat dari dalam diri sendiri, jadi bkn paksaan. Jika terdapat paksaan dari keluarga, sebagai dokter dapat menjadi penengah untuk pihak keluarga&pendonor agar dapat dikomunikasikan lebih jelas. Jika memang enggan, maka sebagai dokter pun tidak dapat memaksa karena itu hak pendonor dgn berbagai pertimbangannya
Saya Antonia Deta izin menambahkan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38/Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ pasal 13 "Setiap orang dapat menjadi Pendonor secara sukarela tanpa meminta imbalan", kata sukarela disini dapat diartikan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun(baik keluarga, dokter, atau pihak manapun). Diharapkan jika ingin mendonorkan harus benar-benar tanpa paksaan.
HapusTerimakasih
Terimakasih, informasinya sangat menarik!!
BalasHapusSaya ingin bertanya, pada kasus transplantasi diatas dokter bersalah karena adanya unsur jual beli organ. Dan diatas telah dibahas mengenai norma yang dilanggar.
Lalu bagaimana bila kasus ini di nilai berdasarkan prinsip bioetik (autonomy, beneficence, non-maleficence, justice) ?
Terimakasih
Florentina Aira S-41170116
HapusTerima kasih atas tanggapan dan pertanyaannya🙏🏻 bila dinilai dari sisi profesi kedokteran, mmg dikenal 4 prinsip bioetik dan moral utama tsb. Dilihat dari prinsip otonomi, tenaga medis memang seharusnya membolehkan pasien untuk menentukan hak-hak mereka dan menghormati otonomi mereka sendiri. Dalam hal ini pihak pasien pun sudah menandatangani beberapa dokumen yg dipersiapkan oleh pihak rumah sakit atas sepengetahuan tim dokter di rumah sakit tsb, serta adanya persiapan tim medis untuk mempersiapkan operasi pilihan dari pasien sendiri. Kedua, prinsip beneficence bila dikaitkan dalam kasus disini, seharusnya pihak dokter memastikan kembali tindakan yg ditujukan kpd pasien apakah baik untuk kehidupan/tubuh pasien kedepan, bukan sekedar memenuhi kewajibannya. Lalu, pd prinsip non-maleficence dokter seharusnya dapat membatalkan tindakan yang bisa memperburuk keadaan pasien atau memberikan resiko tinggi thd kesehatannya. Serta prinsip justice, pd sisi tenaga medis memang seharusnya tetap mementingkan fairness/keadilan thdp pasien dan berperilaku tidak memihak untuk menangani pasien sendiri. Tetapi, pada kasus tsb tetap harus mempertimbangkan semua tindakan dg melihat sisi hukum dan juga kode etik kedokteran dalam mengambil keputusan ataupun bertindak. Pada penjelasan pasal 5 kode etik kedokteran jg menyebutkan : Pada diri pasien sebagai manusia, kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melemahkan daya tahan psikis dan fisik adalah bertentangan dengan fitrah/tugas ilmu kedokteran, karena hal ini jika dibiarkan justru akan membahayakan nyawa atau memperberat penderitaannya.
Terima kasih untuk tulisannya, sangat menarik! Saya ingin bertanya di luar kasus yang anda bahas, tetapi masih berkaitan. Jika pasien butuh transplantasi ginjal segera dikarenakan kondisi pasien sudah kritis namun belum ada persetujuan dari wali, bagaimana pihak RS akan menyikapi hal ini? Terima kasih.
BalasHapusBrian Ardya Indrajat-41170143
HapusSelamat malam, terima kasih atas pertanyaannya🙏🏻 Ketika pihak rumah sakit mendapat kondisi seperti yang saudara/i sebutkan tersebut, maka langkah yang dapat diambik oleh pihak dokter rumah sakit adalah memberi tahu pihak wali pasien mengenai kondisi pasien beserta pilihan terapinya (termasuk keuntungan dan kerugiannya), lalu meminta persetujuan dari wali dan juga pasien untuk tindakan transplantasi, sehingga pihak rumah sakit (tim transplantasi) dapat memberikan persetujuan tertulis untuk tindakan tersebut. Persetujuan rumah sakit (tim transplantasi) ini menjadi salah satu syarat bagi calon resipien untuk mendapatkan transplantasi menurut Permenkes RI No. 36 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ, pasal 24. Terima kasih 🙏🏻
Maaf maksud saya diambil bukan diambik 🙏🏻
HapusTerima kasih atas artikelnya. Izin bertanya, disebutkan bahwa transplantadi organ tdk boleh atas dalih apapun (harus sukarela), padahal jarang sekali ada orang yg mau mendonorkan organnya secara sukarela kpd orang lain kecuali keluarga sendiri. Uang yang diberikan hanya uang hidup 3 bulan, uang BPJS, dan tali asih sebesar 70jt; padahal mendonorkan organ tentu saja bkn keputusan mudah, dan pendonor harus hidup tanpa organ tsb seumur hidupnya, bkn 3 bulan saja. Apakah menurut kelompok kalian 70jt itu sudah cukup bagi pendonor? Apakah ini tidak melanggar keadlian bagi pendonor? Bagaimana cara agar ada pendonor yang 'sukarela' mendonorkan organnya? (Bayangkan saja kalian sendiri harus memberi ginjal kalian secara sukarela kpd org yg tidak kalian kenal). Terima kasih
BalasHapusMaaf, mksd saya transplantasi, bkn transplantadi
HapusFlorival Jose Ximenes Pereira Da Conceicao-41170144
HapusTerkait dengan donor organ menurut saya, peraturan dan kode etik kedokteran dari seluruh dunia relatif hampir sama, yaitu donasi organ tubuh seseorang kepada orang lain harus dilakukan sukarela dan atas dasar kemanusiaan serta dengan keinginan-keinginan yang baik. Prinsip pertama, jual beli organ dilarang karena puncak/goal dari pelayanan kesehatan itu adalah kemanusiaan. Akan tetapi, menurut saya, untuk beberapa hal, tetap membutuh biaya, tidak sekedar gratis demi nilai kemanusiaan seperti uang hidup 3 bulan, uang BPJS, dan tali asih sebesar 70jt. Untuk perawatan, misalnya, tetap membutuhkan biaya demi tercapainya kesehatan yang lebih baik. Donor organ memang harus dikerjakan secara sukarela. Jika hal itu dilanggar, dengan melakukan jual beli organ, itu sudah melanggar kode etik kedokteran dan ini merupakan prinsip yang utama. Prinsip yang kedua adalah anggota tubuh seseorang adalah diciptakan Tuhan. Orang harus menyadari dan percaya bahwa organ tubuh adalah anugerah Tuhan secara cuma-cuma bukannya untuk diperjualbelikan. Jika itu diperjualbelikan, prinsip perlindungan kepada manusia itu dilanggar sehingga suatu hari ia bisa saja menjual jarinya, telinga, dan anggota tubuh yang lain. Akhirnya, hakikat manusia dan kemanusiaan menjadi hilang. Itu yang dijaga UU dan ketentuan-ketentuan dalam ilmu kedokteran.
Semoga bisa menjawab
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Veve atas pertanyaan supernya, saya mewakili kelompok akan membantu menambahkan jawaban yang sudah diberikan teman saya Fabho
Untuk masalah nominal uang 70 juta sendiri kembali lagi kepada kesepakatan atau pemberian tali asih yang diberikan, dan bukan bermaksud untuk membeli organ tersebut melainkan untuk kebutuhan hidupnya dalam hal kesehatan. Hal pertama yang harus kembali diperhatikan adalah sebagai seorang pendonor harus memiliki perasaan sukarela dalam mendonorkan organnya tanpa harapan imbalan yang diminta, untuk keadilan sebagai pendonor sendiri juga kembali kepada tujuannya untuk mendonorkan, apakah tujuannya memang sebagai rasa kemanusiaan atau ada maksud tersendiri misalnya membutuhkan uang untuk menyambung kehidupannya, namun jika terjadi jual beli organ hal itu sangat dilarang. Kemudian bagaimana caranya membuat orang sukarela memberikan organ tubuhnya untuk didonorkan, sebagai seorang Dokter atau tenaga kesehatan kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk mau mendonorkan, semua kembali ke niatan pasien sendiri. Jika memang pasien sudah memiliki niat atau mengikhlaskan organ tubuhnya baik saat masih hidup ataupun sudah meninggal, kita sebagai dokter hanya menjalankan prosedur medisnya saja tanpa membuat pasien tersebut merasa dirugikan atau merusak fungsi tubuhnya sendiri. Pada intinya tidak ada paksaan dari tenaga kesehatan untuk membuat orang mau mendonorkan, karena semua berasal dari niat sukarela dari pendonor itu sendiri.
Terimakasih semoga membantu :)
I Made Wahyu Adi P - 41170203
HapusTerimakasih atas pertanyaannya, saya ingin menambahkan jawaban dari fabho dan dixie, dari sumber yang saya baca terkait biaya imbal balik untuk pendonor tidak ada patokan harga, tergantung dari penerima donor organ yang memberi uang tanda terimakasih atau balas budi diluar uang perjanjian di atas kertas yang disebutkan 70 juta tersebut. Hal tersebut lebih mengarah ke tujuan kemanusiaan bukan komersial. Jadi sebelum mendonorkan organ si pendonor harus benar benar siap dan ikhlas mendonorkan organ dan siap menanggung hidup selama penyembuhan dan hidup dengan 1 ginjal seumur hidupnya tanpa menuntut tanda balas budi kepada pihak penerima.
semoga menjawab, terimakasih
Artikel menarik, karena kasus ini memang layak untuk diekspos. Sukses terus, terutama mas Aga. Salam sehat, jaya jaya jaya
BalasHapusTerimakasih tanggapannya:) Salam Sehat!
HapusTerima kasih atas artikel yg sanagat bermanfaat ini. Kemudian saya ingin bertanya mengenai tanggapan anda sekalian mengenai xenotransplantation. Bagaimana anda menanggapi mengenai temuan ini secara etika, hukum, dan agama yang ada di negara kita ini?��
BalasHapusKalau boleh tau apa pengertian dari xenotransplantation tsb ? Karena saya cuma taunya xe no tu drugs hehehe
HapusBrian Ardya Indrajat-41170143.
HapusTerima kasih atas pertanyaannya. Xenotransplantation (transplantasi dari hewan ke manusia) secara hukum diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 66, berbunyi "Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya."
Dari sudut pandang agama, Gereja Katolik memaklumi hal tersebut dan menyatakan bahwa tindakan tersebut dapat diterima secara moral bila memenuhi 3 syarat, yaitu transplantasi organ tubuh tidak merusak keutuhan genetik atau identitas psikologis penerima; transplantasi memiliki catatan biologis yang teruji dalam kemungkinan berhasilnya, dan transplantasi tidak mendatangkan banyak resiko bagi si penerima.
Terima kasih 🙏🏻
Sumber :
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Bintoro, Ady. 2016. Memahami Etika dan Moral Donasi Organ. Jurnal Orientasi Baru. 25(1), 93-110
Terima kasih, tulisan yang baik sekali untuk menjawab keresahan masyarakat yang masih bertanya-tanya terkait mekanisme dari transplantasi ginjal. Jadilah dokter yang tetap mengutamakan etika kedokteran dalam menangani pasien. Sukses terus
BalasHapusTerima kasih banyak, sukses dan sehat selalu Mbak Bintang..
HapusTerima kasih atas tanggapannya. Amin. Semoga bermanfaat..
HapusArtikel yang menarik karena ditinjau dari segi hukum dan norma. Mohon izin bertanya mengenai kebijakan yang mengatakan bahwa pada penjelasan mengenai pasal 9 KODEKI disebutkan bahwa dokter yang bersangkutan bersalah karena tidak memastikan adanya kesepakatan transaksi oleh pendonor dan penerima. Bagaimana kasusnya jika dari pihak baik pendonor dan penerima yang melakukan transaksi namun saat ditanyakan dan digali lebih dalam lagi oleh dokter tetap tidak mengakui? Terimakasih.
BalasHapusKezia Devina Deodatis - 41170137
HapusSelamat siang, terimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya.
Terkait dengan transaksi jual beli organ tubuh manusia di Indonesia, sebenarnya sudah lama dilarang oleh Undang-Undang bahwa "barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah akan dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000". Dalam kasus donor organ pun harus ditanamkan prinsip-prinsip dasar moral hidup. Dalam penjabaran KODEKI pasal 10 juga dijelaskan bahwa seorang dokter wajib memberikan informasi yang jelas dan memadai serta menghormati pendapat atau tanggapan pasien atas penjelasan dokter.
Berdasarkan peraturan dan etik di atas, apabila dokter sudah memberikan penjelasan mengenai larangan transaksi jual beli ginjal dan juga sudah ada informed concent atau persetujuan dari pihak pendonor maupun penerima serta ditanda tangani, maka dokter tersebut sudah melakukan kewajibannya dengan benar. Apabila masih ada transaksi jual beli ginjal/organ tanpa sepengetahuan rumah sakit, maka baik pendonor maupun penerima akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Terimakasih🙏🏻
sumber :
- Bintaro, Ady. 2016. Memahami Etika dan Moral Donasi Organ. Jurnal Orientasi Baru. 25(1), 93-110
- Purwadianto, Agus dkk. 2015. Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Terimakasih untuk informasinya yang sangat menarik! Selanjutnya saya ijin bertanya mengenai kelanjutan dari kasus ini, hal apa yang perlu dilakukan rumah sakit sebagai bentuk pertanggungjawaban untuk menghindari prosedur transplantasi ginjal dari kasus jual beli organ?
BalasHapusFlorentina Aira S-41170116
HapusBaik, terimakasih atas pertanyaannya.
Dari pihak RS untuk menghindari kasus tsb, seharusnya lebih menegaskan pd peraturan rumah sakit dg mempertimbangkan segala aspek hukum dan kode etik yang ada.
Dari ulasan mengutip tentang larangan jual beli organ yg masuk dalam UU 36 tentang Kesehatan tahun 2009 Pasal 64 ayat 3. Bunyinya, “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun”. Serta pasal tersebut diperkuat pd pasal 192 yang mengatur tentang ancaman pidana.
Sehingga bilamana ada peraturan yg jelas dan tegas dgn mengutamakan aspek hukum dan kode etik tsb, pihak rumah sakit bisa mempertanggungjawabkan segala tindakan yang akan maupun tidak akan dilakukan.
Semoga Bermanfaat.
Brian Ardya Indrajat-41170143. Terima kasih saudari Mary atas pertanyaannya. Dari pemberitaan yang beredar, disebutkan bahwa pada kasus Ibu Ita di atas rumah sakit tidak bertanggung jawab atas transaksi jual beli organ yang terjadi karena perjanjian jual beli tersebut sudah di luar dari kesepakatan dengan pihak rumah sakit & tanpa sepengetahuan rumah sakit. Untuk ke depannya, hal yang perlu dilakukan oleh pihak rumah sakit adalah memaksimalkan peran tim transplantasi rumah sakit untuk benar-benar melakukan inform consent pada donor maupun resipien organ dan memastikan tidak ada tindakan/unsur jual beli organ di dalam pelaksanaan transplantasi, sesuai yang diatur dalam Permenkes No. 38 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ. Terima kasih banyak 🙏🏻
HapusMary Rose_41170145
HapusSebelumnya terima kasih atas artikel yang sangat menarik dan informatif. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dari artikel tersebut :
BalasHapus1. Disebutkan bahwa untuk menjadi pendonor organ, seseorang perlu melewati beberapa prosedur. Apakah bisa diberikan gambaran bagaimana prosedur untuk menjadi pendonor organ tersebut (khususnya di Indonesia)?
2. Disebutkan donor pada transplantasi ginjal dapat berasal dari donor hidup maupun jenazah, selain transplantasi ginjal adakah transplantasi organ lain yang dapat diambil dari donor hidup?
Terima kasih.
Ni Kadek Ayu Divia P (41170131)
HapusHallo Trisanti, terima kasih atas pertanyaannya :)
Disini saya akan mencoba menjawab pertanyaan yang diberikan..
1. Setiap orang yang hendak melakukan donor organ tubuh harus melalui beberapa prosedur terlebih dahulu. Pada umumnya donor diambil dari saudara dekat atau orang tua dari pasien. Akan tetapi, dalam pemilihan organ untuk donor harus dipastikan terlebih dahulu bahwa organ tersebut benar-benar dapat berfungsi dengan baik dan tidak menimbulkan penolakan oleh tubuh recipient nantinya, sehingga dalam pemilihan organ tersebut tidak hanya semata-mata berdasarkan garis darah saja. Selain itu, juga harus dilakukan pencocokkan organ, kesiapan dari pendonor dan recipient (penerima). Setelah semuanya dipastikan dengan baik, maka harus ada kesepakatan antara pihak pendonor dan penerima beserta keluarganya, setelah itu barulah tim dokter melakukan operasi terhadap pasien tersebut.
2. Sebenarnya transplantasi organ dari donor yang masih hidup dan sehat masih diperkenankan apabila hal itu tidak akan menyebabkan penderitaan atau kerusakaan serius pada fungsi tubuh dari pendonor. Dalam melakukan donor tersebut pihak pendonor tidak boleh memberikan organnya berdasarkan atas paksaan dari pihak manapun, dan harus dilakukan secara sukarela. Selain ginjal, organ lain yang dapat didonorkan oleh pendonor hidup adalah mata, meskipun hal itu dapat menyebabkan penurunan fungsi biologis tubuh manusia, akan tetapi manusia masih bisa hidup dengan satu mata saja, jadi tidak merusak fungsi tubuh secara keseluruhan. Jadi dalam hal ini harus diperhatikan mana organ yang bersifat vital dan mana yang bukan, contoh dari organ vital sendiri adalah jantung yang hanya bisa didonorkan oleh pendonor yang sudah meninggal.
Semoga informasinya bermanfaat :)
Sumber : Bintaro, Ady. 2016. Memahami Etika dan Moral Donasi Organ. Jurnal Orientasi Baru. 25(1), 93-110
Mohon maaf, ada kesalahan penulisan sumber🙏
HapusBintoro, Ady. 2016. Memahami Etika dan Moral Donasi Organ. Jurnal Orientasi Baru. 25(1), 93-110
Ivon Widiastuti - 41170178
HapusTerimakasih atas pertanyaannya, saya izin menambahkan jawaban dari Divia mengenai pertanyaan no. 1
Menurut Permenkes RI No. 38, Tahun 2016 Bab IV, Pasal 11, dalam Penyelenggaraan Transplantasi Organ di Indonesia ada beberapa tahapan yang harus dilalui, antara lain :
1. Pendaftaran
2. Pemeriksaan kecocokan Resipien-Pendonor, dan
3. Tindakan transplantasi organ dan pascatransplantasi organ.
Dalam Pasal 12 Ayat 1, dijelaskan bahwa: Setiap calon pendonor dan calon Resipien harus terdaftar di Komite Transplantasi Nasional, setelah memenuhi persyaratan.
Pada ayat 2: Pendaftaran pada Komite Transplantasi Nasional dapat dilakukan
melalui perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi.
Pasal 18 dijelaskan bahwa: Persyaratan untuk terdaftar sebagai calon Pendonor meliputi:
a. persyaratan administratif; dan
b. persyaratan medis.
Pada Pasal 19
Ayat 1 dikatakan bahwa: Persyaratan administratif paling sedikit terdiri atas:
surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki SIP; telah berusia 18 (delapan belas) tahun dibuktikan dengan KTP, kartu keluarga, dan/atau akta kelahiran; membuat pernyataan tertulis tentang kesediaan Pendonor menyumbangkan Organ tubuhnya secara sukarela tanpa meminta imbalan;
memiliki alasan menyumbangkan Organ tubuhnya kepada Resipien secara sukarela;
mendapat persetujuan suami/istri, anak yang sudah dewasa, orang tua kandung, atau saudara kandung
Pendonor; membuat pernyataan memahami indikasi, kontra indikasi, risiko, prosedur Transplantasi Organ, panduan hidup pascatransplantasi Organ, serta pernyataan persetujuannya; dan
membuat pernyataan tidak melakukan penjualan Organ ataupun perjanjian khusus lain dengan pihak
Resipien.
Pada pasal 20 Ayat 1 dikatakan bahwa: Persyaratan medis merupakan pemeriksaan medis awal dan skrining oleh rumah sakit penyelenggara Transplantasi Organ atas permintaan dari Komite Transplantasi
Nasional atau Perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi terhadap calon Pendonor yang telah
melakukan pendaftaran.
Pada Ayat 2: Pemeriksaan medis awal dan skrining ditujukan untuk memastikan kelayakan sebagai Pendonor dilihat dari segi kesehatan Pendonor.
Pada Pasal 27
Ayat 1 dikatakan bahwa: Dalam rangka memastikan pemenuhan persyaratan Pendonor dan Resipien Komite Transplantasi Nasional melakukan verifikasi dokumen.
Pada Ayat 2: Pendonor yang telah dilakukan verifikasi dokumen dan memenuhi persyaratan Pendonor berhak mendapatkan kartu calon Pendonor dari Komite Transplantasi Nasional.
Sumber:
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016.
Terimakasih, semoga jawaban ini dapat membantu.
Ada ga si aturan yang bahas tentang biaya biaya itu ? Atau cuma kesepakatan kedua belah pihak ?
BalasHapusDixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih atas pertanyaannya kak WW, saya mewakili kelompok akan mencoba bantu menjaawbnya. Untuk aturan mengenai biaya di Indonesia tidak dijelaskan secara rinci bagaimana prosedurnya, hanya saja menurut penjelasan Undang- undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 64 ayat (3) dijelaskan bahwa “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belikan dengan dalih apapun” dan pada Permenkes No. 38 tahun 2016 pasal 13 ayat 1 dijelaskan bahwa “Setiap orang dapat menjadi Pendonor secara sukarela tanpa meminta imbalan”.
Dari kedua peraturan diatas sudah dijelaskan bahwa tidak boleh ada transaksi dalam donor organ dan harus dilakukan secara sukarela. Kemudian untuk masalah pemberian "tali asih" sebagai ucapan terimakasih itu kembali kepada pihak resipien apakah akan memberikan atau tidak, yang jelas tali asih disini bukan bermaksud untuk membeli organ itu melainkan sebagai ucapan terima kasih karena sudah dibantu diberi organ tubuh tersebut.
Antonius Adhymas P- 41170173
HapusHalo selamat sore saya setuju dengan jawaban teman saya Dixie. Dan izinkan saya untuk menjawab dan menambahkan apa yang sudah dijawab. Berdasarkan sumber yang saya baca perihal biaya imbal balik untuk pendonor adalah tidak ada patokan harganya. Ibaratnya tergantung dari penerima donor organ yang memberi imbal balik atau balas budi tersebut, dan lebih ditekankan hal tersebut termasuk tujuan kemanusiaan bukan komersial. Sehingga dari pendonor benar-benar murni/ikhlas untuk membantu sesama bukan untuk komersial.
Menurut UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Tindakan penyembuhan penyakit dengan transplantasi yang berkaitan dengan antara pihak pendonor dan pasien diatur dalam pasal 64 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3. Berdasarkan bunyi pasal diatas maka dapat diketahui bahwa sebenarnya tindakan transplantasi bertujuan murni untuk mengobati penyakit. Hal tersebut terletak dalam kata” tujuan kemanusiaan” yang terdapat dalam ayat 2.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa tujuan transplantasi harusnya untuk kepentingan pihak membutuhkan, persamaan derajat hak dan kewajiban antara pasien dan pendonor yang memberi organ tubuh, adanya sikap tenggang rasa antara pasien dan pendonor, dan kerelaan dalam memberikan organ dari pendonor ke pasien, serta tidak ada keinginan untuk mencari keuntungan pribadi dalam keterlibatan antara pasien dan pendonor. Komersial dalam kegiatan transplantasi organ tubuh tentunya sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi fokus tujuan utama dalam melakukan tindakan transplantasi organ tubuh terutama bagi donor hidup.
Info tambahan: jika ingin mengetahui perkiraan biaya transplantasi ginjal bagi pasien dapat dilihat pada Undang-Undang Peraturan Menteri Kesehatan No. 59 tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Atau pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
Terima kasih.
Sumber:
- Uu No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
- Peraturan Menterl Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
Artikel ini sangat menarik dan membuka wawasan saya tentang perdonoran ginjal. Saya ingin bertanya, bagaimana seharusnya peran dokter dalam kejadian seperti ini? Kira-kira bagaimana cara membedakan antara jual beli dan murni donor ginjal? Ada kemungkinan pendonor tidak terus terang dalam mengemukakan alasan sebenarnya dibalik keinginan untuk mendonorkan ginjal (seperti pada artikel, pendonor mempunyai motif untuk mendapatkan uang lantaran terlilit hutang). Terima kasih, sukses selalu.
BalasHapusNatasha Vanya Michelia H. - 41170196
HapusTerimakasih kak anonim :)
Saya ijin menjawab ya.. mengenai pertanyaan kakak diatas pada dasarnya sudah terdapat regulasi yang berhubungan dengan kasus tersebut. Dengan tegas telah dijelaskan pada UU No. 36 Tahun 2009
Di samping itu, terdapat pula aturan internal yang ditetapkan oleh tiap rumah sakit yang diatur dalam suatu SOP yang yang sangat terstruktur dan ketat. Yaitu dalam suatu proses transplantasi ginjal, terdapat beberapa prosedur yang harus dijalankan. Pertama, harus diverifikasi dahulu apakah penderita penyakit ginjal tersebut membutuhkan donor. Tahap kedua, adalah pemeriksaan oleh tim advokasi transplantasi, yang meliputi pemeriksaan medis berupa tes untuk mengetahui apakah pendonor mempunyai riwayat penyakit kronis tertentu, apakah ginjal antara calon pendonor dan calon resipien cocok, serta tahap ketiga yang kakak tanyakan diatas untuk menghindari hal tersebut dari pihak rumah sakit sudah mengantisipasi dengan dilakukannya wawancara mendalam yang dilakukan oleh psikolog terkait kesiapan pendonor, apakah pendonor ikhlas mendonorkan ginjalnya, ataukah mungkin terdapat unsur paksaan,atau motif tertentu seperti mendapatkan uang secara instan dan beberapa pertanyaan lainnya. apabila pemeriksaan tim advokasi memberikan hasil yang baik, maka operasi dapat segera dilakukan. Namun, apabila terdapat sedikit saja kecurigaan dalam pemeriksaan tersebut, maka proses segera dihentikan dan tidak dilanjutkan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Terimakasih
Insightful sekali!
BalasHapusTerimakasih atas tanggapannya:)
HapusWah keren sekali! Brian yg buat ya?!
BalasHapusTerimakasih kak atas perhatiannya, semoga sehat selalu !!
HapusArtikel yang menarik untuk dibahas. Saya ingin bertanya, kira2 tindakan apa yang sebaiknya dilakukan baik oleh para dokter maupun para penegak hukum agar kasus demikian tidak terulang kembali, mengingat banyaknya masyarakat yang menganggap wajar praktik jual beli ginjal demi mendapatkan uang secara instan?
BalasHapusTerima kasih
Maxima aditya (41170148)
HapusSalah satu tindakan yang tepat agar kejadian tersebut tidak terulang adalah tindakan preventif. Contoh tindakan preventif dapat dimulai dari pihak rumah sakit, seperti pasien harus tercatat secara lengkap dalam rekam medis tentang kondisi medisnya (keluhan, riwayat pengobatan,dll). Selain itu, dapat juga diberikan informed consent oleh dokter sebagaimana sesuai Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) bahwa donor organ harus didasari kesukarelaan dan atas dasar perikemanusiaan, bukan karena motif ekonomi maupun motif lainnya. Dapat juga ditekankan bahwa organ tubuh manusia merupakan anugerah Tuhan sehingga apabila diperjualbelikan akan melawan prinsip hakikat manusia dan perikemanusiaan akan menjadi hilang. Tindakan preventif dari penegak hukum dapat dilakukan dengan cara implementasi undang-undang yang mengatur masalah terkait secara lebih tegas, misalnya seperti pada UU nomor 21 tahun 2007 Pasal 192 tentang Tindak Pidana Perdagangan Manusia yang berisi "Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selain itu, penegak hukum juga dapat melakukan tindakan preventif melalui sosialisasi perundang-undangan terkait misalnya pengaturan tentang transplantasi organ di Indonesia yang diatur dalam Undang- undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 64-65 mengenai tranplantasi organ. Mengenai perjual-belian organ diatur dalam undang-undang yang sama dalam Pasal 64 ayat (3) yang berisi :
“organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belikan dengan dalih apapun”.
Tindakan preventif ini bukan hanya tugas dari pihak dokter dan penegak hukum, tetapi juga pemerintah serta masyarakat luas.
Sumber:
- Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Manusia dalam Pasal 192
-Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam Pasal 64 dan Pasal 65
Mantap, terima kasih atas jawabannya
HapusArtikel yang menarik, ku suka. Bahasanya masih mudah dimengerti!
BalasHapusBaik, terima kasih atas tanggapannya ��semoga bermanfaat!
HapusTerima kasih telah membagikan sedikit ilmu mengenai donor ginjal. Dalam medis sendiri apakah memungkinkan bagi kita untuk bisa melakukan transplantasi tanpa pengunaan obat bius? misalnya dihadapkan pada situasi dengan medan yang berupa pedalaman hutan sehingga tidak memungkinkan untuk mendapatkan alat dan bahan yang digunakan untuk operasi pada umumnya. Terima kasih :))
BalasHapusDixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Anonim untuk pertanyaannya, saya mewakili kelompok akan membantu menjawabnya
Untuk hal tersebut sangat tidak boleh dilakukan, mengapa ? Melihat KODEKI 2012 Pasal 5 tentang Perbuatan Melemahkan Psikis maupun Fisik yaitu "Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut". Disisi lain juga dalam hal transplantasi organ disini juga harus memperhatikan bahwa tindakan ini tidak boleh merugikan atau mencelakai pihak pendonor itu sendiri, sehingga jika memang alat dan bahan tidak tersedia dengan baik di daerah pedalaman yg dimaksud, alangkah baiknya melakukan prosedur transplantasi organ di Rumah Sakit yang memang memiliki fasilitas tersebut.
Terimakasih semoga membantu
Sumber
KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) 2012
Kak... Aku mau nanya, kalo dia bilang "tdk boleh memperjualbelikan anggota tubuh mana pun", trs kenapa kok transfusi darah bayar yah... Kan kita berarti jual beli tuh sama rs/pmi. pendonor sendiri engga di bayar.
BalasHapusAntonia Deta 41170177
HapusTerimakasih kak Anonim atas pertanyaannya. Pengelolaan darah dari para pendonor baik di PMI atau rumah sakit membutuhkan biaya. Mulai dari proses awal seperti ketersediaan formulir calon donor, kapas, dan alat untuk mengecek Hb donor, jarum, selang dan kantong yang digunakan untuk proses donor dan menyimpan darah. Selain itu terdapat berbagai komponen yang diperlukan untuk memeriksa darah di laboratorium, menyimpan darah di tempat khusus dengan suhu dan kondisi tertentu hingga proses pengecekan kecocokan darah yang tersedia dengan donor darah sampai dengan proses transfuse. Semua hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meskipun sudah disubsidi dari pemerintah maupun PMI, sisanya tetap dibebankan kepada pasien.
Demikian jawaban dari kami. Terimakasih semoga membantu
Sumber:
www.pmi.or.id/index.php/aktivitas/pelayanan/donor-darah/pelayanan-donor-darah.html?showall=&start=4
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusBeltsazar Onne P - 41170179
HapusTerima kasih atas pertanyaannya Sodara Anonim...
Disini saya ingin menambahkan penjelasan nya kak Deta, bahwa biaya yang dikeluarkan untuk transfusi darah adalah biaya untuk sarana dan prasarana seperti kantong penyimpanan darah, jarum suntik, termasuk prosedur pengambilan darah serta pengolahan darahnya seperti yang dimana harus melewati prosedur tertentu agar dapat digunakan untuk transfusi darah. Kemudian, biaya itu juga digunakan untuk alur pelayanan dari tranfusi darah yang dimana alur tersebut diatur dalam Permenkes No. 91 Tahun 2015.
Jadi, singkatnya biaya yang dibayarkan itu bukan untuk "darah" nya melainkan untuk seluruh proses yang dibutuhkan untuk membuat darah yang siap ditransfusikan.
Seperti itu penjelasannya Sodara Anonim,
Terima kasih :)
Sumber : Permenkes No. 91 Tahun 2015
Artikelnya sngt menginspirasi, banyak sekali ilmu yg kita bisa ambil dari bacaan ini. Tetapi saya sbg orang awam yg tidak mengerti mengenai kode etik kedokteran pastilah lngsung berpikir bahwa yg salah hanyalah ibu ita, mengapa beliau dgn mudahnya memberikan organ nya hanya demi uang saja tanpa adanya persetujuan dari keluarga maupun kerabatnya. Padahal kita tau pemberiaan dari YME adalah suatu hal yg patut kita jaga dan rawat benar benar :)
BalasHapusTerimakasih kakak anonim, iyaa benar semua kembali lagi atas kesadaran diri sendiri bagaimana harus bersyukur dengan anugerah yang Tuhan berikan. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi dan diharapkan semua Dokter dan penegak hukum lebih jeli dalam memperhatikan :)
HapusFlorentina Aira S-41170116
HapusTerimakasih sudah berkunjung di halaman kami dan memberikan feedbacknya, semoga bermanfaat.
Benar, bagaimanapun juga semua yang ada di tubuh kita merupakan pemberian dari YME dan sudah selayaknya sebagai manusia yang memiliki tetap menjaga dan merawat pemberian-Nya bila masih dalam kondisi baik dan memungkinkan untuk hidup dalam jangka yang panjang.
Sedangkan dalam pemberian/donor organ pun untuk yang membutuhkan tetap ada peraturan yang tertera dan memang seharusnya untuk disesuaikan dengan hukum dan kode etik yang ada.
Artikel ini sangat bagus. Pembahasan tentang jual beli organ memang patut untuk dibahas.
BalasHapusUntuk jaman sekarang ini, minat jual beli organ apakah semakin meningkat? Apa yang seharusnya diberitahukan kepada masyarakat tentang jual beli organ tersebut? Apakah sama dengan mendonorkan organ nya sebelum kematian? Thx
Kezia Devina Deodatis - 41170137
HapusTerimakasih Santi atas pertanyaannya, saya akan coba menjawab.
Menurut WHO atau Badan Kesehatan Dunia, angka perdagangan organ tubuh manusia memang terus meningkat dan menurut kelompok has asasi manusia Amerika Serikat untuk pengawasan perdagangan organ manusia mengatakan bahwa sebanyak 15-20 ribu buah ginjal dijual secara ilegal di seluruh dunia setiap tahunnya. Hal ini jelas menunjukkan minat masyarakat untuk jual beli organ tubuh manusia juga terus meningkat.
Menurut saya, penting sekali untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai hal ini, dimana jual beli organ manusia tentu tidak diperbolehkan. Transaksi jual beli organ tidak hanya melanggar Undang-Undang, tetapi juga melanggar martabat pribadi manusia.
Perlu dibedakan antara donor organ dari pendonor yang masih hidup dengan pendonor yang sudah meninggal dunia. Berdasarkan pernyataan dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia), seseorang dinyatakan mati bila fungsi spontan nafas dan sirkulasi telah berhenti secara pasti (irreversible). Selain itu, dikatakan mati bila telah terbukti adanya kematian batang otak.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa donor organ pada orang yang sudah meninggal, harus benar-benar telah ditetapkan kematiannya. Untuk kasus pendonor yang sudah meninggal, orang yang bersangkutan dapat tidak saling mengenal (dirahasiakan). Apabila organ-organ tubuh dari seseorang yang telah meninggal dunia dapat menolong/ menyelamatkan hidup seseorang lainnya yang masih hidup, maka tindakan donor tersebut baik secara moral dan patut dipuji. Akan tetapi, pendonor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas dan penuh kesadaran sebelum wafat, atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada saat kematiannya. Perlu dicatat bahwa keberhasilan transplantasi organ tubuh sangat bergantung pada kesegaran organ, artinya prosedur transplantasi harus dilakukan sesegera mungkin begitu donor meninggal dunia. Namun donor tidak boleh dinyatakan meninggal dunia dengan terburu-buru atau kematiannya dipercepat hanya untuk menggunakan organ tubuhnya dengan segera. Kriteria moral menuntut bahwa donor harus meninggal dunia sebelum organ-organ tubuhnya digunakan untuk kepentingan transplantasi.
Sumber :
- Bintoro, Ady. 2016. Memahami Etika dan Moral Donasi Organ. Jurnal Orientasi Baru. 25(1), 93-110
- Gani, Ruslan. 2016. Penegakan Hukum Kasus Jual Beli Organ Tubuh di Indonesia. Jurnal Fenomena. 8(2), 160-161
Semoga jawaban ini dapat bermanfaat ya:)
Info yang sangat baik dan bagus, terdapat penjelasan terkait informasinya juga.
BalasHapusSemoga tetap dapat dikembangkan lagi informasinya terkait bu Ita sendiri.
Terimakasih atas tanggapannya, semoga bermanfaat🙏🏻
HapusTerima kasih artikelnya baik dalam memberikan info terkait transplantasi ginjal.. untuk kasus ini, ditinjau dari kalian mahasiswa kedokteran, apa makna yang kalian dapat dan harapan kalian kedepannya setelah membuat tulisan ini?
BalasHapusNi Kadek Ayu Divia P (41170131)
HapusHallo Chandra, terima kasih atas pertanyaannya :)
Setelah membuat makalah ini dan memahami kasus tersebut, pembelajaran yang bisa kami dapatkan adalah bahwa masih banyak terdapat pelanggaran etika di dunia medis saat ini, dan hal itu dapat dilakukan oleh banyak oknum, bukan hanya oleh dokter atau penyedia layanan kesehatan, akan tetapi juga dapat dilakukan oleh pasien itu sendiri, selain itu dari kasus tersebut didapatkan pembelajaran bahwa ketika kita nanti bekerja di dunia medis, sangatlah penting untuk selalu melakukan informed consent (meminta persetujuan) kepada pihak yang bersangkutan sebelum melakukan sebuah tindakan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Harapan kami ke depannya adalah agar mampu menjadi dokter yang jujur dan memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada pasien berdasarkan atas kode etik kedokteran indonesia.
Semoga informasinya bermanfaat :) Sehat selalu..
Untuk lanjutan kasus ini, apakah semua dokter yang melanggar aturan selalu dipecat dari pekerjaannya? atau ada kompensasinya? Sebenarnya apa yang benar2 menjadi pegangan kode etik kedokteran sendiri, terkait kalian masih mahasiswa.
BalasHapusAntonius Adhymas P_41170173
HapusTerima kasih atas pertanyaan yang menarik ini. izinkan saya Adhymas menjawab. Untuk kasus ini dokter tidak dipecat. Karena pada akhirnya kasus ini berujung kekeluargaan atau damai. Akan tetapi jika terjadi pemberian sanksi. Sanksi tersebut dapat berupa ringan s.d berat tergantung kasus dan keputusan sidang.
Perihal pertanyaan yang benar-benar menjadi pegangan kode etik kedokteran sendiri, terkait saya sebagai mahasiswa adalah: kode etik itu sendiri menjadi patokan atau standar etika, moral saya selama kuliah menempuh S1 ini dan pedoman saya ketika berinteraksi, melakukan tindakan/ prosedur medis terhadap pasien saya, ketika saya sudah menjadi dokter. Supaya saya dapat melakukan tindakan yang benar dan tidak merugikan orang lain. Peran kode etik lainnya adalah:
(1) Sebagai sarana kontrol social. (2) Sebagai pencegah campur tangan pihak lain. (3)Sebagai pencegah kesalah pahaman dan konflik. (4)Sebagai standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab kepada klien, lembaga (institusi) dan masyarakat pada umumnya. (5) Sebagai standar etika menetapkan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi. (6)Menghargai otonom. (7)Melakukan tindakan yang benar. (8) Mencegah tindakan yang dapat merugikan. (9)Memberlakukan manusia dengan adil.
Terima kasih. semogga jawaban ini membantu.
Sumber:
- Amin. Y. 2017. Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
- Rozaliyani A, Meilia PDI, Libritany N. Prinsip Penetapan Sanksi bagi Pelanggaran Etik Kedokteran. ISSN 2598-179X (cetak) JEKI. 2018;2(1)
Kasus jual beli ginjal memang sangat banyak sekali dibahas terutama sering dijadikan bahan bercandaan. Menurut kalian mahasiswa kedokteran ya.. apakah patut seseorang yang memang membutuhkan uang seperti Ita sendiri, sudah tidak memiliki apa-apa dan hanya memiliki organ tubuhnya, menjual organ tersebut ke orang yang membutuhkan, karena Ita jg lebih membutuhkan uang daripada organ tubuhnya?
BalasHapusEdward Kurniawan-41170121
HapusTerima kasih atas pertanyaannya. saya disini mewakili kelompok saya untuk menjawab. Menjual organ dengan maksud mendapat untung sangatlah tidak patut dilakukan. Memang banyak sekali candaan tentang menjual organ bisa mendapatkan untung yang besar. Hal ini yang perlu menjadi perhatian dikarenakan masih banyak informasi yang beredar dimasyarakat tentang keuntungan dari menjual organnya. Stigma tersebutlah yang harus di ubah dari masyarakat untuk menurunkan terjadinya kasus jual beli organ. Perlu di ingat dan di syukuri tentang pemberian Tuhan kepada kita dengan keadaan tubuh dan organ yang sehat yang masih bisa mencari rejeki dibandingkan jika setelah menjual organnya. Sebagai mahasiswa kedokteran, kami akan selalu memberikan promosikan dan mengedukasi tentang larangan dan aturan yang berlaku di indonesia tentang jual beli organ.
Antonia Deta 41170177
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya. Saya izin menambahkan jawaban dari saudara Edward.
Saya setuju dengan Edward. Masyarakat tidak seharusnya masih melakukan penjualan organ dengan alasan apapun, karena hal ini sudah ada hukumnya di UU no 36 tahun 2009pasal 64. Permasalahannya tidak semua kalangan masyarakat memahami adanya peraturan tentang transplantasi seperti ini. Selain tugas dari tenaga medis untuk mengedukasi, peran dari komite transplantasi nasional juga penting. Mereka bertugas untuk mempersiapkan segala dokumen, tes untuk benar-benar memastikan pendonor dan resipien sudah cocok untuk melakukan prosedur transplantasi. Motivasi calon pendonor juga perlu dipertimbangkan apakah sudah sesuai hukum atau belum, sehingga meminimalisir kasus serupa terjadi.
Terimakasih semoga membantu
Thx infonya, semoga sukses..
BalasHapusTerima kasih :) Amin, semoga sukses dan sehat selalu
HapusNgefans sama mas dixie lala po, pasti menang di acara Indonesia Mencari Bakatnini
BalasHapusSemoga artikelnya bermanfaat dan stay healthy !
HapusTerimakasih artikel ini sangat membantu dan sangat baik dalam pembahasannya 🙏🏻
BalasHapusTerimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat🙏🏻
HapusTerima kasih artikel sangat menarik. Saya punya 2 pertanyaan untuk kelompok
BalasHapus1. Dari kasus yang saya baca disini, saya menemukan bahwa seorang dokter melakukan transplantasi sudah sesuai dengan persetujuan pendonor dan yang menerima donor. Namun dokter tersebut tidak meminta persetujuan kepada wali pendonor. Menurut kelompok apakah ini termasuk pelanggaran etik ? bila ya tolong jelaskan sanksi seperti apa yang akan diberikan oleh IDI kepada dokter tersebut ?
2. Jika anda menjadi seorang dokter kelak, kemudian anda dihadapkan dalam kasus bahwa seorang pendonor dan yang menerima donor sudah saling setuju untuk melakukan transplantasi ginjal. Akan tetapi disisi lain wali/keluarga dari pendonor tidak setuju bila pendonor memberikan organnya kepada yang menerima donor. Nah sebagai seorang dokter apa tindakan yang anda akan ambil ? apakah tetap melakukan tindakan tranplantasi atau tidak ? Bila anda tidak melakukannya, bagaimana cara anda menjelaskan kepada pendonor dan yang menerima donor bahwa operasi tranplantasi tidak bisa dilakukan ?
Terima Kasih. Tuhan Memberkati
Setywanty Layuklinggi-41170171
HapusTerimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya. Menurut kelompok kami, tindakan tidak meminta persetujuan kepada wali pendonor sudah merupakan tindakan pelanggaran etik. Meskipun sudah didapatkan persetujuan dari yang bersangkutan (dalam hal ini Ibu Ita sebagai pendonor) tatapi lebih baik juga perlu persetujuan dari pihak wali pendonor untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang keberatan akan tindakan transplantasi organ ini. Dan juga untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti keluarga pasien menuntut pihak RS jika terdapat kesalahan dalam transplantasi ini
Untuk jawaban nomor 2: jika mendapatkan kasus dimana pendonor dan resipien sudah setuju namun wali/keluarga tidak setuju, sebaiknya kita harus tetap mendapatkan persetujuan dari keluarga sebelum tindakan transplantasi dilakukan. Mungkin bisa dengan meminta pasien bagaimana meyakinkan keluarganya terlebih dahulu. Jika sudah mendapat persetujuan dari keluarga pasien barulah tindakan transplantasi boleh dilakukan
Menyambung jawaban diatas mengenai sanksi yang diberikan atas pelanggaran kode etik. Seperti yang telah dijelaskan pada artikel, konsekuensi yang didapatkan :
Hapus1. Dokter yang terlibat dalam jual beli ginjal dapat dipecat dari rumah sakit dan kehilangan izin prakteknya atau dibekukan karena melanggar kode etik yang ada.
2. Rumah sakit/dokter akan kehilangan reputasi dari masyarakat khususnya pasien dari rumah sakit/dokter tersebut
Namun, karena pada kasus ini diselesaikan dengan mengambil jalan damai sehingga konsekuensi diatas tidak diberlakukan untuk dokter/rumah sakit yang terlibat
Ni Kadek Ayu Divia P (41170131)
HapusTerima kasih Vita atas pertanyaan yang diberikan :)
Saya ingin menambahkan jawaban Setywanty mengenai pertanyaan no. 1
Jika dilihat dari pasal 5 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang berbunyi "Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingandan kebaikan pasien tersebut" maka dapat disimpulkan bahwa alangkah baiknya ketika seorang dokter mampu meminta persetujuan dari pasien itu sendiri dan juga dari pihak keluarganya untuk menghindari adanya kesalahpahaman saat melakukan tindakan medis, karena beberapa orang dapat berpikir bahwa segala sesuatu harus meminta persetujuan terlebih dahulu sebelum bertindak, apalagi jika hal itu menyangkut nyawa manusia.
Jika seandainya seorang dokter tidak melakukan informed consent dengan baik kepada pasien/keluarganya, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenai sanki administrasi, dan merupakan salah satu keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya tuntukan malpraktek pidana karena dianggap ceroboh dan gegabah. Apabila dokter tidak mendapatkan persetujuan tindakan yang sah, maka dampaknya antara lain :
1. Hukum Pidana, dimana menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpda persetujuan dikategorikan sebagai tindakan "penyerangan" (assault), sehingga pasien dapat mengadukan dokter kepada pihak yang berwajib.
2. Hukum Perdata, jika dokter tidak melakukan informed consent dengan baik, maka pasien dapat menuntut ganti rugi kepada dokter tersebut, akan tetapi dalam hal ini seorang pasien harus mampu menunjukkan bukti bahwa Ia tidak dimintai persetujuan oleh dokter.
3. Pendisiplinan oleh MKDKI, apabila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter yang melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan menyidangkannya dan dapat memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang dapat berupa teguran hingga rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi.
Sumber :
- Pakendek, Adriana. 2010. Informed Consent dalam Pelayanan Kesehatan . 2 (2), 309-328.
- Purwadianto, Agus dkk. 2015. Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Semoga bermanfaat Vita :) Tuhan memberkati..
Ntaps
BalasHapusTerimakasih sudah berkunjung di halaman kami.
HapusArtikel yang sangat menarik. Saya mau bertanya
BalasHapusPada artikel dikatakan bahwa Erwin sudah menyerahkan uang sebesar Rp. 70.000.000 kepada Ita dengan rincian Rp. 45.000.000 sebagai biaya hidup selama tiga bulan, Rp5.000.000 untuk BPJS, dan Rp20.000.000 sebagai tali asih. Sedangkan menurut hukum tidak boleh memperjual belikan organ tubuh atas alasan komersial. Nah apakah tindakan diatas dibenarkan secara hukum atau tidak melanggar hukum karena masih ada pembarian uang sejumlah 70jt?
Ivon Widiastuti - 41170178
HapusSelamat malam. Terimakasih atas pertanyaannya kak Wieri, saya mewakili kelompok akan membantu menjawabnya. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan oleh Erwin tidak melanggar hukum karena dalam kesepakatan yang telah ditanda tangani 70 juta tersebut bukan sebagai kesepakatan jual beli. Tindakan jual beli organ juga dilarang dimana dalam Undang- undang Nomor 36 tahun 2009 mengatur tentang Kesehatan dalam Pasal 64 ayat (3) dijelaskan bahwa “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belikan dengan dalih apapun” Dan pada Permenkes No. 38 tahun 2016 pasal 13 ayat 1 dijelaskan bahwa “Setiap orang dapat menjadi Pendonor secara sukarela tanpa meminta imbalan”. Jadi dalam kasus ini apa yang di berikan Erwin tidak melanggar hukum.
Sumber:
-Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38/Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ
-Undang – Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
terimakasih artikelnya, kelompok 2..
BalasHapusSaya patrick - 41170104 ijin bertanya..
Misalkan pada kasus tertentu terdapat pasien yg dalan keadaan kritis dan memerlukan transplantasi organ yg penting, tetapi transplantasi ini hanya bisa dilakukan ketika si pendonor telah meninggal contoh pada transplantasi jantung. Disini keluarga atau kerabat pasien ada yang ingin mendonorkan organ tersebut dan memaksa dokter untuk menerimanya walaupun dengan konsekuensi dia mungkin akan membunuh diri atau melakukan tindakan lainnya yg membahayakan. Ataupun si pendonor ini meminta dokter untuk disuntik mati. Menurut pandangan kalian bagaimana sikap dokter yang baik dan sesuai dengan etika kedokteran Indonesia menanggapi kasus seperti ini dimana pendonor sudah memaksa dan pasien perlu mendapat transplantasi secepatnya namun belum ada pendonor selain keluarganya ini
Terimakasih.. semangat
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Patrick untuk pertanyaan supernya, saya mewakili kelompok akan membantu menjawabnya. Dalam hal ini, kembali peran Dokter dalam mengedukasi kepada pasien dibutuhkan, dalam Pendidikan Dokter kita dilatih bagaimana untuk bisa terampil berkomunikasi. Pertama mengedukasi pasien terlebih dahulu bahwa "Tidak boleh menyelamatkan orang lain dengan cara membunuh dirinya sendiri". Dalam penelitian kami juga membahas bagaimana transplantasi ginjal, beda halnya denga donor organ vital yang lain dimana kondisi seseorang harus dalam keadaan meninggal. Orang yang hidup dengan satu ginjal pun masih bisa bertahan hidup, walaupun merusak interaksi biologis dalam tubuhnya, tetapi tidak merugikan secara keseluruhan apalagi harus dilakukan dalam kondisi sudah meninggal. Dan kembali mengacu kepada peraturan mengenai transplantasi organ bahwa transplantasi organ tubuh dari donor yang masih hidup diperkenenankan bila pemberian itu tidak akan mengurbankan atau secara serius merusak fungsi - fungsi tubuh yang esensial dan bisa diperkirakan bahwa si penerima akan mendapatkan keuntungan yang proporisonal dibandingkan dengan kerugian si pendonor. Lebih lanjut harus diperhatikan supaya orang yang akan mendonorkan itu tetap merasa bebas untuk melakukannya. Jadi pada intinya keterampilan Dokter dalam hal komunikasi untuk mengedukasi pasien sangat dibutuhkan untuk mencegah suatu hal yang merugikan.
Artikel yang menarik tentang transplantasi, kalau boleh tanya
BalasHapus1.apakah diindonesia transplantasi organ itu dilegalkan? Kemudian jika iya, peraturan apa yang mendasari hal itu ?
2. Menurut kalian apakah transplantasi organ bisa dilakukan dengan mengambil organ orang yang sudah meninggal?
Terimakasih
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih mas Ormy atas pertanyaan supernya, saya mewakili kelompok akan membantu menjawabnya.
1. Untuk transplantasi organ sendiri sangat dilegalkan di negara Indonesia, mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981 pasal 1c dijelaskan bahwa “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik” . Yang dilarang atau ilegal disini adalah apabila terjadi transaksi jual beli organ tersebut karena akan melanggar UU dan kode etik dari Kesehatan itu sendiri
2. Mengacu kepada Permenkes no 37 tahun 2014 di pasal 17 ayat (1) dijeaskan bahwa "Organ yang berasal dari mayat dapat diperoleh atas persetujuan calon donor sewaktu masih hidup". Dalam praktiknya juga harus mendapatkan izin dari pihak keluarga pendonor yang terkait, apabila memang diizinkan dan pendonor sudah memberikan wasiat maka hal itu bisa dilakukan. Namun sekali lagi ditekankan tidak boleh ada unsur jual beli organ
Terimakasih mas Ormy, semoga jawaban ini membantu :))
Jika kasus darurat sekali, boleh tidak dilakukan transaksi seperti yang diberita?
BalasHapusI Made Wahyu Adi P – 41170203
HapusTerimakasih atas pertanyaannya, saya mewakili kelompok akan membantu menjawabnya. Dalam hal ini,Tidak boleh dilakukan transaksi seperti berita diatas karena sudah tertulis dalam Undang- undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 64 ayat (3) dijelaskan bahwa “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belikan dengan dalih apapun” Dan pada Permenkes No. 38 tahun 2016 pasal 13 ayat 1 dijelaskan bahwa “Setiap orang dapat menjadi Pendonor secara sukarela tanpa meminta imbalan”. Jadi bagaimanapun keadaan pasien tetap tidak boleh ada unsur paksaan dalam mencari orang yang mau mendonorkan ginjal. Sambl menunggu pendonor yang mau mendonorkan secara sukarela dapat dilakukan penanganan konservatif. Penanganan gagal ginjal secara konservatif terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya gagal ginjal, menstabilkan keadaan pasien, dan mengobati setiap faktor yang reversible.
Topik yang bagus kak. Apa ada peraturan rumah sakit sendiri yg mengatur terkait penjualan organ? atau memang rumah sakit tertentu saja?
BalasHapusAloysius Gonzaga P.B-41170164
HapusMengenai peraturan Rumah Sakit sendiri itu kembali lagi kepada kebijakannya, karena tiap Rumah Saskit pasti memiliki kebijakan sendiri. Yang jelas pada intinya semua peraturan Rumah Sakit harus mengacu atau berpedoman pada Peraturan Pemerintah, Undang - Undang, dan Kode Etik di negaranya. Dan jika memang sudah mengacu kepada hal tersebut maka kasus jual beli organ atau kasus ilegal lainnya pun tidak akan terjadi dan pihak Rumah Sakit diharapakan lebih jeli dalam menangani hal yang sangat sensitif tersebut.
Terimakasih.
Antonia Deta 41170177
HapusTerimakasih atas pertanyaannya. Saya izin menambahkam jawaban dari saudara Aga.
Di Indonesia tidak semua rumah sakit memenuhi persyaratan untuk dilakukan prosedur transplantasi organ. Namun semua rumah sakit dalam kasjs penjulan organ tetap mengacu pada Undang Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 pasal 64. Pada ayat 3 berbunyi”Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.” Bagi warga yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai UU no 36 tahun 2009 pasal 192. Sanksi tersebut berlaku untuk rumah sakit Indonesia dimanapun, jadi pihak RS tidak dapat main hakim sendiri meskipun memiliki kebijakan tertentu , karena pada dasarnya tetap berpedoman pada Undang-Undang.
Demikian jawaban dari saya, semoga membantu. Terimakasih
Sumber: UU No 36 tahun 2009
Artikel yang sangat keren dan menambah wawasan sekali. Salam untuk mas Dixie yang belum lama putus cinta semoga semangat mengerjakan tugasnya hehehe
BalasHapusTerima kasih banyak atas apresiasinya, semoga informasinya juga bisa bermanfaat 🙏🏻🙏🏻
HapusTerimakasih kak Anonim semoga artikel ini berguna bagi semuanya, stay healthy !
HapusTema artikel yang memang banyak terjadi di sekarang ini.
BalasHapusJika peraturan demikian, mengapa masih banyak orang yang berani memperjual organnya di depan publik?
Bagaimana menurut pendapat kalian jika demikian?
Sepengetahuan saya, diluar indonesia keluarga pendonor dilarang bertemu dengan keluarga penerima, bagaimana jika diindonesia regulasinya?
Terimakasih
Kezia Devina Deodatis - 41170137
HapusPertanyaan yang baik Anonim, saya akan coba menjawab.
Salah saru penyebab mengapa orang memperjual-belikan organ tubuhnya dikarenakan faktor kemiskinan serta adanya celah dalam undang-undang yang turut berkontribusi. Kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang dapat dilihat dengan besarnya pasar gelap untuk jual beli organ tubuh manusia. Jika ditelusuri, faktor ekonomi sangat mempengaruhi penjual individu untuk menjual-beli organ tubuh melalui media sosial seperti facebook, twitter, dan sebagainya.
Di Indonesia, penyelenggaraan transplantasi organ sudah diatur dalam PERMENKES RI no. 38 tahun 2016. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan beberapa hak dan kewajiban pendonor dan resipien. Pendonor berhak mengetahui identitas resipien atas persetujuan resipien, namun pendonor wajib menjaga kerahasiaan resipien. Begitu pula dengan resipien, ia berhak mengetahui identitas pendonor dan informasi medis yang terkait dengan transplantasi organ, serta wajib menjaga kerahasiaan informasi medis pendonor.
Perlu diketahui bahwa transplantasi organ meliputi beberapa tahap yaitu pendaftaran pada Komite Transplantasi Nasional, pemeriksaan kecocokan resipien-pendonor, dan tindakan transplantasi organ & pascatransplantasi. Persyaratan sebagai calon pendonor meliputi persyaratan administratif dan persyaratan medis. Dan untuk pasien yang membutuhkan transplantasi, harus mendapatkan persetujuan dari tim transplantasi rumah sakit serta memenuhi beberapa kriteria.
Untuk regulasi yang lebih rinci, bisa dibaca dalam peraturan menteri kesehtan RI nomor 38 tahun 2016 tentang penyelenggaraan transplantasi organ.
sumber :
- Permenkes RI no. 38 tahun 2016
- Gani, Ruslan. 2016. Penegakan Hukum Kasus Jual Beli Organ Tubuh di Indonesia. Jurnal Fenomena. 8(2), 160-161
Terimakasih, semoga jawaban ini dapat membantu🙏🏻
Bagus Made Arisudana W.P.S (41170110)
BalasHapusartikel yang menarik dan bermanfaat.
mau bertanya berkaitan dengan transaksi jual beli organ yang terjadi. pada artkel disampaikan jika pihak rs tidak tau menahu berkaitan dengan kesepakatan pendonor yg melibatkan uang sekitar 350 juta. pada bagian pencermatan nilai/norma yang dilanggar terutama dibagian kode etik kedokteran yang mengankat pasal 9, penulis menyampaikan jika
"yang salah adalah dokter yang bertugas maka kesalahannya adalah tidak memastikan bahwa terdapat transaksi jual beli organ yang terjadi antara resipien dan pendonor, yaitu terlihat bahwa saat konferensi pers, dokter dari pihak RS menjelaskan tidak tahu menahu mengenai transaksi jual beli organ yang dilakukan, mereka hanya menjalankan prosedur atau protokol medis yang ada"
disini poin yang ingin saya tanyakan yaitu bagaimana dari pihak RS/dokter disalahkan berkaitan dg kode etik, karena mereka sudah melakukan prosedur pendonoran dengan dokumen yang ditandangani oleh kedua belah pihak baik itu pendonor ataupun penerima. apakah dokter/pihak rs berkewajiban mencari lebih dalam motif dari pasien dan semisal ini bukan kasus yang melanggar etik, dokumen apa saja yang dibutuhkan agar bisa dibilang pihak rs/dokter tidak melanggar kode etik?
dan juga jika dokter atau pihak rumah sakit sudah mencari tau, tapi pasien masih saja menyembunyikan motifnya, apakah itu tetap dianggap dokter/rs melanggar kode etik?
menurut kelompok kalian bagaimana asesmen yang tepat yang harus digunakan oleh pihak rs untuk mengetahui motif dari pendonor yang tidak berdasarkan alasan kemanusiaan, dan agar pihak rs/dokter tidak di tuntut di pengadilan dan dituduh melanggar kode etik ?
Ni Kadek Ayu Divia P (41170131)
HapusHallo Ari, terima kasih atas pertanyaanya.. Disini saya akan mencoba menjawab pertanyaan yang diberikan..
Jadi, menurut Permenkes RI No. 38, Tahun 2016 Bab IV, Pasal 11, dalam penyelenggaraan transplantasi organ di Indonesia ada beberapa tahapan yang harus dilalui, antara lain :
1. Pendaftaran
2. Pemeriksaan kecocokan Resipien-Pendonor, dan
3. Tindakan transplantasi organ dan pascatransplantasi organ
Kemudian, dalam Pasal 12 Ayat 1, dinyatakan bahwa “Setiap calon pendonor dan calon Resipien harus terdaftar di Komite Transplantasi Nasional, setelah memenuhi persyaratan”. Jadi dari pernyataan ini diketahui bahwa pihak Rumah Sakit harus melakukan pemeriksaan dan skrining awal terhadap calon pendonor dan memberikan persetujuan tertulis mengenai kelayakan pendonor, dimana pihak profesi yang ada harus melakukan kerjasama terlebih dahulu dengan pihak Komite Transplantasi Nasional. Lalu, pada Pasal 5 Permenkes RI, No. 38, 2016 disebutkan juga bahwa Komite Transplantasi Nasional ini bertugas untuk melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat untuk mendonorkan organ demi kepentingan tolong menolong dan amal kebaikan, melakukan penelusuran latar belakang Pendonor, serta mengkaji kelayakan pasangan Resipien-Pendonor berdasarkan hasil pemeriksaan oleh rumah sakit penyelenggara transplantasi organ dan hasil verifikasi latar belakang pendonor. Jika semua hal tersebut sudah terpenuhi dan tidak didapatkan adanya indikasi jual beli atau komersial, barulah tim transplantasi rumah sakit melakukan pemeriksaan kesiapan tindakan Transplantasi Organ. Prosedur itulah yang harus dilakukan oleh pihak Rumah Sakit sebelum melakukan Transplantasi Organ agar tidak dianggap melanggar etika dan tidak menyebabkan adanya kerugian pada pihak manapun.
Pihak rumah sakit khususnya tim transplantasi organ sesungguhnya secara tidak langsung juga bertugas untuk menggali motif dari pendonor organ, yaitu dengan cara membuat persetujuan dan keterangan tertulis mengenai kelayakan pendonor untuk mendonorkan organnya yang akan diserahkan oleh calon pendonor kepada Komite Transplantasi Nasional. Jadi sebelum itu, pihak Rumah Sakit harus melakukan pemeriksaan dan skrining awal kepada calon pendonor.
Dokumen yang dipersiapkan oleh pihak rumah sakit untuk transplantasi organ adalah dokumen persetujuan (informed consent) antara pendonor dan penerima dan/atau keluarganya serta persetujuan dan keterangan tertulis setelah melakukan skrining awal terhadap calon pendonor yang akan diserahkan oleh calon pendonor atau keluarganya kepada Komite Transplantasi Nasional untuk mendaftarkan diri sebagai calon pendonor.
Sumber :
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 38, Tahun 2016.
Terimakasih kelompok 2, atas diskusinya
BalasHapusSaya mau bertanya, bagaimana cara atau tahapan sehingga dari pihak Rumah Sakit dapat secara yakin bahwa tindakan transplantasi organ tubuh yang akan dilakukan di rumah sakit tersebut, bukan atas kebutuhan komersial ?
Terimakasih
Aloysius Gonzaga P.B-41170164
HapusHalo Kak Dian, terimakasih telah menanggapi,
Jadi kak untuk pengelolaan data calon Resipien dan calon Pendonor sebelumnya dikelola terlebih dahulu oleh Komite Transplantasi Nasional. Tertulis pada Permenkes No. 38 Tahun 2016, Pasal 30 ayat 1, Berdasarkan hasil pemeriksaan awal dan skrining terhadap calon Pendonor oleh pihak tim transplantasi rumah sakit penyelenggara, serta urutan daftar tunggu calon Resipien, Komite Transplantasi Nasional memasangkan calon Resipien dan calon Pendonor untuk dilakukan pemeriksaan kecocokan ResipienPendonor. Pemeriksaan berupa wawancara, pemeriksaan fisik, kesehatan mental, dan pemeriksaan penunjang/lab. Hasil pemeriksaan tersebut dari pihak rumah sakit penyelenggara Transplantasi Organ akan melaporkan padah Komite Transplantasi Nasional.
Dan pada pasal 32, Berdasarkan pemeriksaan awal dan skrining, verifikasi dokumen, penelusuran latar belakang Pendonor, dan verifikasi lapangan, Komite Transplantasi Nasional mengeluarkan surat keterangan kelayakan pasangan Resipien-Pendonor dan tidak ditemukan indikasi jual beli dan/atau komersial.
Dan pada pasal 34, Setelah Komite Transplantasi Nasional mengeluarkan surat keterangan kelayakan pasangan ResipienPendonor dan tidak ditemukan indikasi jual beli dan/atau komersial, tim transplantasi rumah sakit melakukan Pemeriksaan kesiapan tindakan Transplantasi Organ.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSPLANTASI ORGAN
Artikel yang bagus dan menarik. Sekedar menanggapi terkait pelanggaran kode etik atau peraturan yg masih sering terjadi. Menurutku penerapan kode etik, UU, hukum ttg suatu pekerjaan dr sebuah profesi itu bagus di kertas tp masih banyak kecolongan di penerapan. Contohnya kek kasus Bu ita sm erwin td. Di sini pihak RS sm dokter tetep kecolongan apapun itu. Mau Bu ita sm erwin ada kesepakatan lain dll, tetep pihak RS hrs lebih jeli mengetahui detail semuanya dan benar2 memastikan kalo proses donor itu murni sukarela dan kemanusiaan dari awal sampai akhir. Walopun di kasus ini akhirnya mutusin damai biar ndak ribet, tapi kalau hal ini keulang lagi dan berakhir sama, lalu apa gunanya kode etik dan peraturan?
BalasHapusKembali lagi, semoga setiap profesi mempunyai kesadaran penuh utk mengamalkan kode etik dan peraturan yg sudah dibuat agar tidak terjadi celah2 yg tidak diharapkan. Karena jika terjadi celah, resiko dan imbasnya akan besar spt kasus ini.
Semangat, terima kasih.
Beltsazar Onne P - 41170179
HapusHalo Sodara Unknown, Terima kasih atas tanggapan yang sudah diberikan dan semoga apa yang sodara harapkan dapat terwujud dalam penerapannya :)
Halo, saya Diana Teresa (41170147) artikelnya sangat menarik.
BalasHapusDisini saya ingin bertanya, untuk prosedur donor hidup sudah cukup terjawab di beberapa pertanyaan. Mengenai pendonor yang sudah meninggal, sejauh yang saya ketahui di beberapa negara, setiap orang dapat mendaftarkan dirinya debagai pendonor dimana ketika orang tersebut dinyatakan mati otak, maka kartu donor yang dimilikinya dapat digunakan untuk mendonorkan organnya kepada pasien yang berada di antrian yang membutuhkan transplantasi. Apakah hal tersebut juga diterapkan di Indonesia? jika iya organ apa saja yang bisa didaftarkan untuk didonorkan dan jika hal tsb tidak diterapkan di Indonesia, bagaimana prosedur seorang pasien memperoleh donor apabila donor hidup dari keluarga tidak memungkinkan? Terima Kasih
Kezia Devina Deodatis - 41170137
HapusTerimakasih Tessa atas pertanyaannya, disini saya akan mencoba menjawab pertanyaan yang diberikan.
Di Indonesia memang diterapkan juga peraturan mengenai pendonor yang dinyatakan mati batang otak, dimana secara rinci sudah di atur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016
Pendonor mati batang otak akan diambil organ tubuhnya saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati batang otak (MBO) di rumah sakit. Pendonor MBO pada saat hidup harus telah terdaftar sebagai calon pendonor di Komite Transplantasi Nasional atau perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi. Yang menentukan mati batang otak pada pendonor, merupakan tim dokter dari RS yang bukan anggota tim transplantasi RS.
Organ yang solid yang dapat didonorkan antara lain ginjal, paru-paru, hati, jantung, pankreas, dan usus. Selain itu, kulit, kornea, dan sumsum tulang belakang juga dapat didonorkan dengan prosedur khusus.
Sumber :
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 38, Tahun 2016.
- Rachmawati. 2019. Kepastian Hukum Trasnsplantasi Organ yang Mencerminkan Nilai Kemanusiaan. Jurnal Hukum Media Bhakti. 3(1), 79-87
Terimakasih, semoga jawaban ini dapat membantu:)
Terimakasih atas artikelnya
BalasHapusSaya mau tanya lantas bagaimana anda sebagai seorang Dokter membantu bu Ita supaya tidak menjualkan organnya ? Padahal dia menjual ginjalnya untuk kebutuhan hidupnya
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Anonim atas pertanyaan supernya, saya mewakili kelompok akan membantu menjawab
Sekali lagi hal ini sangat ditekankan kepada keterampilan Dokter untuk mengedukasi, di era modern ini sangat banyak pasien yang mencari informasi sendiri mengenai kesehatan tanpa konsultasi ke Dokter dan hal itu yang bisa menjadi pemicu seseorang berani nekat untuk menjual organ tubuhnya demi keuntungan semata. Edukasi dari Dokter dapat dilakukan kepada bu Ita, misalnya diberi jalan keluar untuk meminta bantuan saudaranya, meminta bantuan teman dekatnya, bahkan tidak menutup kemungkinan sebagai Dokter bisa membantu kesusahan yang dialami pasien. Walaupun tujuan menjual organnya untuk kebutuhan hidupnya, hal itu sangat tidak diperbolehkan karena akan melanggar Kode Etik dan Hukum yang ada di Indonesia. Pada intinya keterampilan komunikasi seorang Dokter sangat diperlukan
Terimakasih semoga membantu :)
Terima kasih untuk diskusinya. Saya jadi tahu bahwa praktik jual beli organ memang benar adanya. Semangat selalu
BalasHapusTerimakasih sudah membaca, kak Angela. Semoga bermanfaat, salam sehat!
Hapushelo kak ... artikelnya sangat luarbiasa
BalasHapus.
izin bertanya kak banyak juga diluar sana kasus dimana seseorang memang secara terang terangan menjual organ tubuhnya, apakah hal ini dibenarkan dan bisa dilakukan bila mana menjadikan pihak rumah sakit dan tenaga medis didalammnya sebagai perantara dan badan hukum yang melandasi 2 belah pihak yang melakukan tindakan atau bisa disebut transaksi tersebut ?
Edward kurniawan-41170121
HapusTerima kasih atas pertanyaannya saudara vallen. Disini saya ingin membantu menjawab. Kembali lagi berdasarkan pertanyaannya, penjualan organ ialah hal yang dilarang sesuai dengan Undang- undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 64 ayat (3) dijelaskan bahwa “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belikan dengan dalih apapun” dan juga untuk mendonorkan organ harus sukarela sesuai dengan Permenkes No. 38 tahun 2016 pasal 13 ayat 1 dijelaskan bahwa “Setiap orang dapat menjadi Pendonor secara sukarela tanpa meminta imbalan”.
Apabila terdapat pihak tenaga kesehatan yang melakukan jual beli organ maka dikenakan Permenkes No. 38 tahun 2016 pasal 192 “Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)." Apabila dilakukan oleh rumah sakit atau korporasi maka berdasarkan Permenkes No.38 tahun 2016 pasal 201 ayat 1 “selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda “ dan ayat 2 “ Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: 1. pencabutan izin usaha; dan/atau , 2. pencabutan status badan hukum. “
Jadi dari peran pihak rumah sakit yang dilakukan dalam perantaran antara pendonor dan resipien ialah sebagai moderator komunikasi aktif agar terhindar dari hal-hal yang dilarang oleh hukum yang ada. Selain itu pihak rumah sakit juga harus melakukan inform consent terkait tujuan, prognosis, tata cara, resiko, dan prospek keberhasilan sebelum mendapat persetujuan dari pendonor.
Ijin bertanya,
BalasHapusSaya Ade Novita P.(41170156)
Jika seseorang mengalami mati otak dan sebelumnya telah menyetujui untuk organnya didonorkan, tetapi pihak keluarga tidak mengetahui hal tersebut dan menuntut pihak rumah sakit. sesuai dengan aturan yang ada ( mohon di jelaskan) pihak mana yang akan dirugikan dan apakah prosedur pendonoran itu boleh dilakukan?
terimakasih.
I Made Wahyu Adi P – 41170203
HapusSaya ijin menjawab, dilihat dari permenkes RI No.38 tahun 2016 Pasal 15 ayat 1 dan 2 menyebutkan (1)Pendonor mati batang otak (MBO) sebagaimana orang yang Organ tubuhnya diambil pada saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati batang otak (MBO) di rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pendonor mati batang otak (MBO) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat hidup harus telah teregistrasi sebagai calon Pendonor di Komite Transplantasi Nasional atau perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi.
Pada permenkes RI No.37 tahun 2014 pasal 18 menyebutkan Pasal 18 (1) Mayat yang tidak dikenal atau tidak diurus keluarganya dapat langsung dimanfaatkan untuk donor organ, jaringan dan sel. (2) Pemanfaatan organ, jaringan, dan/atau sel dari mayat yang tidak dikenal atau tidak diurus keluarganya harus atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya, persetujuan tertulis keluarganya dan/atau persetujuan dari penyidik Kepolisian setempat. (3) Persetujuan dari penyidik Kepolisian setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam hal tidak diketahui adanya persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya/persetujuan tertulis keluarganya tidak dimungkinkan.
Jadi ketika pendonor sudah dinyatakan mati batang otak oleh dokter spesialis dan sudah teregistrasi sebagai calon Pendonor di Komite Transplantasi Nasional atau perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi dan adanya persetujuan tertulis pendonor semasa hidupnya/ persetujuan tertulis dari keluarga dapat langsung dilakukan donor organ karena sudah memenuhi peraturan. Jika orang tua tidak mengetahui atau tidak diurus keluarga dan pihak pendonor sudah membuat persetujuan tertulis semasa hidup dapat langsung dilakukan untuk donor organ sesuai permenkes RI No.37 tahun 2014 pasal 18 ayat 1.
Sumber:
- PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016
- PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014
Halo kelompok 2 terima kasih untuk pengetahuan yang dibagikan melalui artikel ini, saya ingin bertanya terkait mendonorkan organ kepada keluarga sendiri apakah ada peraturannya?
BalasHapusTerima kasih
Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)
Florentina Aira S - 41170116
HapusBaik trimakasih atas pertanyaannya.
Untuk peraturan donor organ keluarga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 38 Th 2016
Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ.
Disebutkan pada pasal 13 ayat 3 bagian Pendonor : yang dimaksud pendonor sukarela adalah "Pendonor yang memiliki hubungan darah atau suami/istri"
Dan dilanjutkan pada pasal 16 :
ayat 1 yaitu "Pendonor yang memiliki hubungan darah atau
suami/istri dengan Resipien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 yaitu dapat mendonorkan Organ tubuhnya hanya untuk Resipien tertentu."
dan ayat 2 yaitu "Hubungan darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ayah kandung, ibu kandung, anak kandung, dan saudara kandung Pendonor."
Serta untuk persyaratan pendonor harus terdaftar dahulu pd Komite Transplantasi Nasional dengan memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan medis.
Demikian, semoga bermanfaat.
Terima kasih kelompok 2 atas artikelnya yang informatif. Saya ingin betanya, apakah setiap organ di dalam tubuh manusia bisa di donorkan? Jika ada apakah ada peraturan mendetail mengenai transplantasi masing-masing organ?
BalasHapusHal apa yang seharusnya dilakukan oleh dokter dalam menghadapi kasus seperti ini yang bertentangan dengan norma-norma agama?
Terima kasih
Jonathan Dave 41170168
Maxima Aditya (41170148)
HapusTidak semua organ bisa didonorkan. Selain itu, tidak semua semua organ yang dapat didonorkan bisa didonorkan sewaktu hidup. Dengan kata lain, donor organ dibedakan menjadi 2, yaitu donor hidup dan donor mati. Donor hidup adalah donor organ yang diambil pendonor yang masih hidup. Sedangkan, donor mati adalah donor organ yang diambil dari pendonor yang sudah meninggal. Organ yang termasuk ke dalam donor mati adalah organ-organ yang apabila didonorkan dapat menyebabkan morbiditas dan/atau mortalitas pada pendonor.
Daftar organ :
1. Jantung ( donor mati )
2. Paru ( donor hidup dan mati )
3. Ginjal ( donor hidup dan mati )
4. Hati ( donor hidup dan mati )
5. pankreas ( donor mati )
6. Kornea ( donor mati )
7. Kulit ( donor hidup dan mati )
8. Islet langerhans ( donor hidup dan mati )
9. Sumsum tulang ( donor hidup )
10. Transfusi darah ( donor hidup )
11. Tulang ( donor hidup dan mati )
12. Usus ( donor hidup dan mati )
Untuk peraturan spesifik donor masing-masing organ tidak ada. Namun, donor organ dalam UU no 36 tahun 2009 pasal 64 ayat (2) dan (3) yang berisi donor organ hanya untuk tujuan kemanusiaan, bukan untuk dikomersialkan, dan dilarang diperjual-belikan atas dalih apapun.
Sumber :
- New York Organ Donor Network
- UU nomor 36 tahun 2009 pasal 64 ayat (2) dan (3)
Hai, ulasan kasus yang kalian buat sangat bermanfaat dan memang banyak kasus seperti ini, hanya saja tidak terungkap jika tidak terjadi sengketa. Namun, ada hal yang ingin saya tanyakan, apakah pantas seorang dokter yang sudah menjalankan prosedur sesuai dengan sop dipecat atau bahkan dibekukan izin praktiknya hanya berdasarkan pada keterangan satu pihak yang notabene merupakan pihak yang bersengketa? Bukankah ada kemungkinan pihak tersebut berbohong mengenai keterangannya sebagai bentuk pembelaan? Mengingat sengketa tersebut terjadi tanpa sepengetahuan pihak rs. Apabila kalian sebagai dokter nanti, bagaimana cara kalian untuk tau dan yakin kalau pendonor tidak ada motif ekonomi saat mendonorkan organnya? Terimakasih
BalasHapusSetywanty Layuklinggi-41170171
HapusTerimakasih atas tangggapan dan pertanyaannya.
Dokter dalam menjalankan tugasnya memiliki beberapa aturan yang mengaturnya termasuk kode etik kedokteran dan undang-undang yang berlaku. Jika dokter sudah menjalankan tugasnya berdasarkan SOP dan hal tersebut memang sudah dibuktikan dalam dokumen-dokumen yang ada, misalnya saja dalam kasus transplantasi dokumen inform consent dari pasien dan/atau wali pasien, dokumen yang menyatakan kecocokan resipien dan pendonor, dokumen tindakan transplantasi organ dan pascatransplantsi organ, dokumen yang menyatakan resipien dan pendonor sudah terdaftar di Komite Transplantasi Nasional dan tidak ada indikasi jual-beli organ; maka tidak seharusnya dokter tersebut dibekukan izin praktik atau dipecat dari profesinya. Dalam kasus seperti ini (transplantasi organ yang ada indikasi jual-beli organ) maka harus benar-benar diselidiki oleh pihak yang berwajib karena seperti yang anda katakan bisa saja pihak yang melaporkan adanya jual-beli organ berbohong mengenai keterangannya sebagai bentuk pembelaan. Oleh sebab itu harus benar-benar diperiksa hal-hal yang terkait dengan proses transplantsi seperti dokumen pratransplantasi sampai dokumen pasca transplantasi.
Dalam melakukan transplantasi, ada beberapa prosedur yang harus dilakukan, seperti:
Pendaftaran, pemeriksaan kecocokan resipien-pendonor, tindakan transplantasi organ dan pascatransplantasi organ. Dalam Permenkes RI nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ, Bab IV pasal 12 dikatakan bahwa "Setiap calon Pendonor dan calon Resipien harus terdaftar di Komite Transplantasi Nasional, setelah memenuhi persyaratan yang dapat dilakukan melalui perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi. Dimana salah satu tugas dari Komite Transplantasi Nasional yaitu menetapkan kelayakan pasangan Resipien-Pendonor berdasarkan hasil pemeriksaan oleh rumah sakit penyelenggara Transplantasi Organ dan hasil penelusuran latar belakang Pendonor, bahwa penyumbangan Organ dilakukan atas dasar sukarela dan tidak ditemukan indikasi jual beli dan/atau komersial. Jadi yang ingin saya tekankan dalam pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui latar belakang atau tujuan resipien-pendonor dalam transplantasi yang bermotif ekonomi, memang juga tujuan dari dokter tapi hal tersebut tidak sepenuhnya tugas dokter melainkan masih ada beberapa pihak yang berperan seperti halnya Komisi Transplantasi Nasional. Untuk mengetahui latar belakang resipien-pendonor, dokter bisa melakukan salah-satunya melalui wawancara mendalam dan memastikan bahwa tidak ada motif ekonomi dalam transplantasi tersebut.
Terimakasih semoga informasinya bermanfaat :)
Sumber :
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 38, Tahun 2016.
Trimakasih atas artikel yang isinya sangat menarik :)
BalasHapusTerkait dengan ibu Ita yang mengatakan bahwa ia hanya menandatangani satu kali saja. Saya ingin bertanya, sebenarnya apa saja hal yang harus dipersiapkan dalam melakukan prosedur transplantasi organ ini ( terkait dengan dokumen - dokumen ) ?
Thankyouu
Youlla Anjelina ( 41170153 )
Dixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Youlla atas pertanyaan supernya, saya mewakili kelompok akan membantu menjawab
Untuk isi dokumen sendiri yang utama adalah adanya informed consent dari kedua belah pihak bahwa telah sepakat melakukan transpllantasi organ, untuk keterangan lainnya yaitu mengacu pada Pemenkes No 38 Tahun 2016 di Pasal 36 yaitu (1) Setiap Pendonor berhak:
a. mengetahui identitas Resipien atas persetujuan Resipien;
b. menolak menyumbangkan Organ tubuhnya kepada Resipien tertentu dengan alasan yang dapat diterima;
c. memperoleh asuransi kesehatan dan asuransi kematian;
d. dibebaskan dari seluruh biaya pelayanan kesehatan selama perawatan Transplantasi Organ;
e. memperoleh asuransi kematian dan penghargaan atas kehilangan penghasilan dari pekerjaan/pencaharian selama dalam perawatan dan pemulihan kesehatan
pasca transplantasi Organ yang ditetapkan oleh Menteri;
f. memperoleh prioritas sebagai Resipien apabila memerlukan Transplantasi Organ; dan
g. mencabut pendaftaran dirinya dalam data calon Pendonor sampai sebelum tindakan persiapan operasi Transplantasi Organ dimulai.
(2) Setiap Pendonor berkewajiban:
a. menjaga kerahasiaan Resipien;
b. tidak melakukan perjanjian khusus dengan Resipien terkait dengan Transplantasi Organ;
c. menjaga kesehatannya sesuai petunjuk dokter;
d. melakukan uji kesehatan sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun; dan
e. menjaga hubungan dengan Komite Transplantasi Nasional atau perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi.
(1) Setiap Resipien berhak:
a. mengetahui identitas Pendonor dan informasi medis yang terkait dengan Transplantasi Organ;
b. mengetahui urutan daftar tunggu calon Resipien untuk memperoleh Pendonor; dan
c. menolak memperoleh Organ dari Pendonor tertentu dengan alasan yang dapat diterima.
(2) Setiap Resipien berkewajiban:
a. menjaga kerahasiaan informasi medis Pendonor;
b. tidak melakukan perjanjian khusus dengan Pendonor terkait dengan Transplantasi Organ.
c. membayar seluruh biaya penyelenggaraan Transplantasi Organ, baik secara mandiri atau melalui asuransi penjaminnya;
d. menjaga kesehatan sesuai petunjuk dokter, pascatransplantasi Organ; dan
e. melakukan uji kesehatan sesuai petunjuk dokter;
(3) Resipien yang tidak patuh terhadap petunjuk dokter, pascatransplantasi Organ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d kehilangan haknya untuk menjalani pelayanan Transplantasi Organ yang sama.
Dan kemudian hal yang kembali ditekankan adalah tidak boleh adanya unsur jual beli organ disini, biaya yang dituliskan hanyalah sebagai asuransi kesehatan, biaya rumah sakit, dan kebutuhan hidup saja
Terimakasih semoga membantu menjawab
Terimakasih atas artikel yang menarik ini. Saya ingin bertanya, jika semisal tetap dilanjutkan ke jalur hukum mengenai kasus ibu Ita di atas, adakah kemungkinan ibu Ita mendapatkan haknya? mengingat perjanjian uang tersebut tidak ada bukti secara tertulis
BalasHapusDixie Bramantya S - 41170136
HapusTerimakasih kak Dita atas pertanyaan supernya, saya mewakili kelompok akan membantu menjawab
Jika hal tersebut dilanjutkan ke jalur hukum, maka hak bu Ita yang didapat diperoleh sesuai Pemenkes No 38 Tahun 2016 di Pasal 36 yaitu
(1) Setiap Pendonor berhak:
a. mengetahui identitas Resipien atas persetujuan Resipien;
b. menolak menyumbangkan Organ tubuhnya kepada Resipien tertentu dengan alasan yang dapat diterima;
c. memperoleh asuransi kesehatan dan asuransi kematian;
d. dibebaskan dari seluruh biaya pelayanan kesehatan selama perawatan Transplantasi Organ;
e. memperoleh asuransi kematian dan penghargaan atas kehilangan penghasilan dari pekerjaan/pencaharian selama dalam perawatan dan pemulihan kesehatan
Jadi untuk kesepakatan uang yang tidak terbukti secara tertulis tidak bisa diterima karena hal itu sudah melanggar kode etik dan peraturan pemerintah yang ada
Terimakasih semoga membantu
Wah penjelasan yang menarik,
BalasHapusSaya mau bertanya kepada Deta berkaitan transplantasi organ, utk jenis transplantasi organ terbanyak di Indonesia apa saja ya?
Terimakasih..
#muncak #merbabu
Antonia Deta 41170177
HapusTerimakasih sudah bertanya kak. Sejauh ini data yang kami dapatkan jenis transplantasi organ tersering di Indonesia adalah transplantasi ginjal. Dari data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) jumlah transplantasi ginjal hingga terakhir tahun 2016 didapatkan ada kurang lebih 600 operasi yang telah dilakukan.
Demikian jawaban dari saya, semoga membantu.
Terimakasih
Terima kasih sudah membuat makalah yang baik. Mohon dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dan merespon setiap apresiasi yang diberikan. Terima kasih.
BalasHapusTerimakasih dok untuk tanggapannya, siap laksanakan Dok :)
HapusTerimakasih atas artikelnya .
BalasHapusApabila bu ita mempunyai perjanjian resmi yang ditanda tangani langsung oleh pak erwin terkait penyerahan uang 350 juta setelah melakukan donor, Apakah bisa bu Ita mendapatkan uang sejumlah 350jt tersebut ? Jika ya , apa nantinya hal ini akan bermasalah secara hukum ? dan Apabila bermasalah secara hukum , apa saja sanksi yang bisa didapatkan bu ita sebagai penerima uang dan pak erwin sebagai pemberi uang tsb ?
Lucia Vini P Rodja_41170158
Natasha Vanya - 41170196
HapusTerimakasih mbak vini untuk pertanyaannya saya ijin menjawab ya, untuk perjanjian tertulis mengenai uang 350jt apabila memang ada itu merupakan tindakan ilegal karena jual beli organ dan bukan didasari sebagai tindakan kemanusiaan tetapi sebagai kormersil. Yang pastinya akan bermasalah secara hukum, sudah ada peraturan tertulis mengenai jual beli organ. Pasal 192 UU 36/2009. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Artikel yang baguss, saya ingin bertanya apakah dokter Rifai yang bertugas di rumah sakit tersebut salah ? dan dapat dituntut berdasarkan pasal-pasal KODEKI yang telah disebutkan diatas? terimakasih. Kalau boleh saya sarankan, lebih baik dikoreksi ulang untuk penulisannya, karena ada pengulangan kata, terimakasih kelompok 2
BalasHapusintan saraswati /41170194
Brian Ardya Indrajat-41170143.
HapusTerimakasih Saras atas pertanyaan dan masukannya 🙏🏻 menurut berita yang ada, dr. Rifai yang bertugas tidak melakukan kesalahan, namun menurut sudut pandang korban, dokter dan pihak rumah sakit melanggar Kode Etik Kedokteran pasal 5.
Menjawab pertanyaan kedua, menurut UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, sanksi bagi pelanggaran kode etik adalah tanggung jawab dari organisasi profesi yang bersangkutan, dimana sanksi tersebut bersifat pembinaan bagi pelanggar. Terima kasih, semoga menjawab 🙏🏻
Sumber :
UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Rozaliyani, Anna. 2018. Prinsip Penetapan Sanksi bagi Pelanggar Etik Kedokteran. 2(1), 19-22