TUGAS ETIKA KELOMPOK 1 - ABORSI
Nama Anggota Kelompok 1
BAB I
Valaenthina C. Bemey / 41160061
Cynthia Gabriella Nugroho / 41170103
Tillandsia Filli
Folia P. / 41170105
Stefan Prayoga Yukari Ujan / 41170108
Arike Trivena / 41170109
Anasthasia Audi Wibowo / 41170112
Thomas Carel Aditya / 41170113
Dewianti Paluta Pongarrang / 41170114
Vanessa Angelin / 41170115
Ceny Gloria Larope / 41170149
Gusti Ayu Agung
Indra Sari Putri / 41170152
Youlla Anjelina /
41170153
Ade Novita P. / 41170156
Muhammad Fikri Mujtahid / 41170157
Claudius P.Y.S.M / 41170159
Ginti Lintang Sinkyatri / 41170160
Nunki Puspita Utomo / 41170161
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aborsi merupakan suatu kondisi dimana
hasil konsepsi (embryo atau fetus) terekspulsi secara prematur dari uterus. Kriteria
aborsi yang aman (Safe Abortion)
berdasarkan guideline yang di publikasikan oleh WHO adalah: aborsi
dilakukan oleh tenaga medis professional, prosedur yang dipilih adalah sesuai
dengan kondisi kesehatan ibu dan usia kehamilan, dan prosedur tersebut
dilakukan secara steril. Bila tidak menemui kriteria tersebut, tindakan yang
dilakukan adalah contoh dari aborsi yang tidak aman (Unsafe Abortion).
Menurut WHO dan The Guttmacher
Institute, pada tahun 2010-2014, dalam rata-rata terjadi 56 juta kasus
aborsi diseluruh dunia setiap tahunnya, 25 juta atau 45% diantaranya merupakan
aborsi yang tidak aman. WHO dan The Guttmacher Institute juga
menyertakan data mengenai tingkat mortalitas dan morbiditas pada ibu hamil yang
melakukan aborsi. 4,7%-13,2% dari kasus kematian ibu diseluruh dunia disebabkan
oleh aborsi yang tidak aman. Selain itu, telah ditemukan 7 juta perempuan
dibawa ke rumah sakit karena kegagalan aborsi yang tidak aman.
Prosedur aborsi
ini dilakukan pada klinik kecil, rumah kontrakan (pribadi) atau hotel yang
disewa oleh pelanggan. Sebagian besar kasus aborsi yang tidak aman (97%)
ditemukan pada negara berkembang di benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Masalah ini telah menjadi perhatian setelah data yang disediakan WHO
menunjukkan bahwa 50% kasus aborsi yang tidak aman ditemukan dan dilakukan di
Asia. Indonesia menjadi salah satu negara yang marak melakukan praktik ini.
Pertumbuhan dan
penemuan klinik aborsi ilegal dalam dekade ini berkembang pesat. Kasus-kasus
yang ditemukan umumnya berupa aborsi yang dilakukan secara paksa dan tidak aman,
terkadang dengan teknik yang tidak cocok dengan usia kehamilan serta dengan
peralatan yang tidak steril. Pada kasus terbaru, telah ditemukan
adanya keterlibatan tenaga medis dalam jasa aborsi ilegal. Kontroversi ini
memunculkan adanya konflik dengan etika kerja tenaga medis. Dimana semestinya,
tenaga medis berdiri di “sisi kehidupan” (Pro-life) dan bertugas dalam
upaya mengurangi rasa sakit maupun tingkat mortalitas dan morbiditas
pasien. Beberapa oknum ini memilih untuk mengaborsi sesuai
permintaan pasien dibandingkan dengan membantu mengembangkan dan merawat janin
yang masih berada di dalam kandungan. Tidak hanya mengesampingkan kode
etik pekerjaan, tetapi juga melanggar hukum aborsi di Indonesia, seperti
halnya Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
BAB II
RINGKASAN KASUS
Kejadian tersebut berawal dari seorang
gadis RA (17) dan kekasihnya MZ (32) yang datang untuk berkonsul kehamilannya
kepada Bidan SM (31). Perbincangan yang dilakukan selama konsultasi sudah
mengarah ke program aborsi dimana janin berusia 5 bulan saat itu. RA dan MZ
menyetujui akan melakukan aborsi pada tanggal 12 Maret 2020 di sebuah kamar
hotel di Jalan Sambikerep. Surabaya dengan biaya 1,5 juta. Biaya tersebut untuk
anistesi, infus, dan obat pendorong janin agar keluar. Namun tindakan aborsi
tersebut gagal dan hanya darah yang banyak keluar.
Pada tanggal 15 Maret 2020 janin
dalam Rahim RA keluar dalam kondisi meninggal sekitar pukul 04.30 yang
bertempat di kamar kos RA dan MZ. Bayi dibungkus dengan tas plastik hitam oleh
MZ dan dibuang ke Sungai Mer.
Pada tanggal 19 Maret 2020 RA datang
ke dokter di salah satu rumah sakit Surabaya dengan keluhan perdarahan yang tak
kunjung berhenti. Dari hasil pemeriksaan, dokter tersebut melihat ada
persalinan tidak normal dan membuat laporan kepada polisi. Kemudian pihak
berwajib segera menyelidiki kasus tersebut dan menemukan alasan SM melakukan
aborsi kepada RA karena landasan kasihan dan kemanusiaan. SM juga tidak
memiliki tempat khusus untuk praktik aborsi sehingga hal tersebut dilakukan di
kamar hotel yang telah disepakati oleh pasien.
Tersangka SM, RA,
dan MZ terjerat pasal berlapis Pasal 77 A jo,
pasal 45 A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan atau pasal
346 KUHP, pasal 299 KUHP, dan atau Pasal 348 KUHP.
BAB III
ANALISIS
A. Kronologi
·
Aborsi berawal saat MZ (32) dan RA (17) bertemu oknum Bidan SM (31)
untuk konsultasi kehamilan
·
MZ bercerita kekasihnya hamil 20 minggu atau 5 bulan dan pembicaraan
menjurus ke rencana aborsi
·
Mereka sepakat melakukan aborsi di hotel jalan Sambikerep, Surabaya 12
Maret 2020 dengan biaya 1,5 jt untuk biaya anestesi, infus, obat pendorong
janin.
·
Praktik aborsi dilakukan di kamar sebuah hotel di
jalan Sambikerep, Surabaya pada 12 Maret 2020.
·
Aborsi gagal karena obat pendorong janin tidak bekerja optimal dan hanya
keluar darah. Janin berusia 20 minggu itu masih menempel di rahim
gadis 17 tahun itu. Mereka pun pulang.
·
15 Maret 2020, janin RA keluar dalam kondisi meninggal pukul 04.30 WIB
di kamar kosnya
·
Janin dibungkus oleh MZ dengan tas plastik hitam dan dibuang ke Sungai
Mer
·
RA mengalami pendarahan dan dibawa ke salah satu RS di Surabaya
·
Dokter curiga saat melihat ada tanda persalinan tidak normal pada RA
·
Dokter menghubungi kepolisian dan melaporkan kejadian 19 Maret 2020
·
Polisi melakukan interogasi kepada tersangka dan memang didapatkan
keterangan memang keduanya menggugurkan janin atas bantuan SM.
·
RA mengaku melakukan aborsi dibantu seorang bidan disebuah hotel
ditemani kekasihnya
·
Polisi menangkap SM oknum bidan di Kec. Sambikerep Surabaya dan MZ
kekasih RA
·
Ketiga oknum diinterograsi dan SM mengaku melakukannya karena merasa iba
kepada ibu janin
·
Selain itu SM juga mengaku sudah menerima permintaan aborsi sejak
setahun terakhir, tetapi karena tidak memiliki tempat khusus praktik tersebut
dilakukan di kamar hotel yang telah disepakati dengan pasien
·
Pada tanggal 6 April 2020 ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dan
dijerat pasal berlapis, yakni pasal 77 A, pasal 45 A UU RI No 35 tahun 2014 tentang
Anak, dan atau pasal 346 KUHP, pasal 299 KUHP, dan atau pasal 348 KUHP
B. Pelanggaran Etika dan
Norma
1.
Pelanggaran Etika yang terjadi dari aspek :
Beneficence and non-maleficence
Prinsip ini menitik beratkan pada segala tindakan keuntungan (benefit)
dan menghindari kerugian (harm) pada pasien. Melihat hasil aborsi yang
dilakukan yaitu janin dapat dikeluarkan dalam keadaan meninggal yang berarti
tidakan berhasil tetapi, kondisi RA yang berujung perdarahan yang tak kunjung
berhenti menunjukan bahwa lebih dominan potensi kerugian dibandingkan
keuntungan yang didapatkan oleh RA.
2.
Menurut KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) Pasal 11 tentang
Perlindungan Kehidupan. Dikatakan bahwaa “Setiap Dokter wajib senantiasa
mengingat kewajiban dan melindungi hidup makhluk insani”. Dan ditinjau dari
Undang Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75
ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :
(1) “Setiap orang dilarang melakukan aborsi
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan
berdasarkan:
a.
indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak
usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b.
kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.”
Dalam kedua peraturan
tersebut menjelaskan bahwa, Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan (abortus
provocatus) tanpa indikasi tindakan aborsi legal yang tercantum pada UU
Kesehatan.
Dilihat dari kasus
yang ada, tenaga kesehatan di Indonesia yang melakukan tindakan aborsi dengan
alasan karena kasihan dan kemanusiaan saja, namun hal ini sudah
melanggar kode etik dan peraturan undang-undang yang harusnya digunakan sebagai
acuan dalam penyelenggaraan pratik profesinya.
3.
Saat ini di masih terjadi pro dan kontra maupun mengenai aborsi di
berbagai negara. Terdapat kelompok yang menentang aborsi (pro-life) dan ada pula
kelompok yang menginginkan aborsi boleh dilakukan disebabkan perempuan
mempunyai hak untuk memelihara kesehatannya dalam menentukan hak kesehatan
reproduksinya (pro-choice). Namun hingga saat ini, sebagian besar
perundang-undangan di Indonesia masih menentang dilakukannya aborsi kecuali
terdapat kegawatdaruratan medis yang membutuhkan tindakan aborsi. Bila dilihat
dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) pun, tindakan aborsi merupakan suatu
pelanggaran HAM hal ini tercantum pada UUD 1945 Pasal 28 A yang berbunyi : “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Karena janin yang berada dalam kandungan seorang ibu juga memiliki hak untuk
hidup.
4.
Berdasarkan pada penuturan pasien dan tersangka, mereka melakukan praktik
aborsi di sebuah hotel, ini merupakan pelanggaran pada etika praktik yang baik,
dimana proses persalinan yang tidak darurat seharusnya dapat dilakukan di kamar
bersalin atau tempat yang sesuai peruntukan, peralatan yang digunakan juga peralatan yang minim dan
tidak sesuai standar pelayanan kesehatan atau dapat masuk ke malpraktik karena
merupakan sebuah kelalaian berat (culpa lata) karena dilakukan dengan
sengaja.
C.
Konsekuensi Etika, Medis, dan Hukum
I. Konsekuensi Medis
a. Pada pasien :
· Aborsi yang dilakukan
oleh pelaku termasuk dalam abortus buatan kriminal (Abortus provocatus
criminalis) : pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh
orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum.
· Bahaya abortus
provocatus criminalis secara umum adalah : infeksi, infertilitas, kematian.
· Penyulit yang
disebabkan oleh abortus kriminalis berupa :
1. Pendarahan yang hebat
2.
Kerusakan serviks
3.
Infeksi kadang-kadang sampai terjadi sepsis, infeksi pada tuba juga dapat
menyebabkan kemandulan.
4.
Perforasi
5.
Faal ginjal rusak karena infeksi dan syok.
6.
Syok bakterial : terjadi jika syok berat karena toksin (obat-obatan)
yang dikonsumsi
b.
Pada bidan/petugas medis yang berperan :
·
Bidan/petugas
medis yang
membantu proses aborsi dapat mengalami depresi (ringan, sedang, berat) karena,
secara tidak langsung membantu proses pengguguran dengan mematikan janin. Dari perbuatannya
tersebut dapat menimbulkan rasa bersalah yang menimbulkan depresi.
II. Konsekuensi Etika :
1. Konsekuensi etika
yang diterima oleh bidan/petugas medis
yang berperan:
· Bidan/petugas
medis dapat dicabut izin praktiknya karena ia telah melanggar sumpah dan
janji bidan yang berbunyi “akan menghormati kehidupan manusia sejak pembuahan”.
· Bidan/petugas
medis telah melakukan pelanggaran HAM terhadap janin karena telah
membantu proses pengguguran kandungan yang direncanakan sehingga dapat
dilaporkan ke pihak yang berwajib.
· Bidan/petugas
medis telah melakukan pencemaran nama baik terhadap profesinya sehingga
dapat memudarkan kepercayaan yang telah diberikan masyarakat terhadap profesi
ini.
· Bidan/petugas
medis ditangkap dan diinterogasi oleh pihak kepolisian terkait tindakan membantu
proses aborsi yang dilakukannya (harus
menjalani proses hukum terkait tindakan yang telah dilakukan).
2. Konsekuensi etika
yang diterima oleh pasien :
· Pasien telah
melakukan pelanggaran HAM terhadap janin yang dikandungnya dengan merencanakan
pengguguran kandungan sehingga dapat dilaporkan ke pihak yang berwajib.
· Pasien telah
ditangkap dan diinterogasi oleh pihak kepolisian terkait tindakannya yang melakukan
percobaan aborsi pada janin yang dikandungnya.
· Pasien dapat menjadi bahan
perbincangan masyarakat sekitarnya yang dapat menimbulkan gangguan psikologis.
· Pasien terhambat
dalam melanjutkan pendidikannya dikarenakan terkena hukuman dari pihak
berwajib.
III. Konsekuensi Hukum :
Dalam beberapa kasus,
seperti yang tertera pada pasal 75 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua kondisi dimana
tindakan aborsi dapat diperbolehkan, yaitu:
· Indikasi kedaruratan
medis pada usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa nyawa ibu dan/ atau
janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang
tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan.
· Akibat dari
pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis pada korban.
Kondisi RA pada saat
mengandung tidak ada indikasi darurat kesehatan dan tidak ada bukti bahwa RA
adalah korban dari pemerkosaan. Tindakan aborsi yang telah dilakukan oleh RA,
MZ, dan SM juga melanggar Pasal 45 A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Sesuai pada Pasal 77 A dalam Undang-Undang yang sama, pelaku
tindakan aborsi mendapat hukuman kurungan penjara paling lama 10 tahun dan
dikenakan denda paling banyak sebesar satu miliar rupiah.
BAB IV
KESIMPULAN
Sebagai seorang tenaga kesehatan,
sangatlah perlu untuk menjunjung tinggi etika dan hendaknya menjalankan tugas
sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Berbicara tentang praktik
aborsi, saat ini masih marak dilakukan di Indonesia meski sudah ada hukum yang
mengatur tentang aborsi. Selain hukum, praktik aborsi juga menentang etika
kedokteran, pada kasus diatas etika yang dilanggar adalah lebih cenderung
membahayakan daripada memberi keuntungan, proses aborsi dilakukan tanpa
indikasi tindakan aborsi legal, melanggar Hak Asasi Manusia, serta melanggar
etika praktik yang baik. Tindakan aborsi tidak saja harus dipertanggungjawabkan
secara hukum oleh orang yang terlibat tetapi juga mengancam nyawa bagi ibu yang
melakukan aborsi.
Berdasarkan kasus diatas, terdapat
pelanggaran etika dengan resiko serius yang diakibatkan, yaitu perdarahan pada
wanita berinisial RA yang menjadi pasien dari SM dan dilakukan nya tindak
pidana pada SM, RA dan MZ, sehingga dapat disimpulkan bahwa menjalankan dan
melakukan aborsi secara ilegal tanpa adanya indikasi yang jelas dan tanpa
prosedur yang aman adalah tindakan yang tidak etis.
REFLEKSI KELOMPOK
Valaenthina C. Bemey / 41160061
Kasus aborsi ini merupakan salah satu
dari sekian banyak kasus aborsi yang terjadi di kalangan remaja di Indonesia.
Seks bebas, terlebih jika tanpa pengaman, merupakan salah satu alasan yang
mengakibatkan maraknya tindakan aborsi saat ini. Hal ini merupakan
salah satu bukti dari betapa pentingnya sex education. Sayangnya,
masih banyak orang di Indonesia yang menganggap bahwa sex education hanya
akan membuat anak-anak/remaja melakukan hubungan seksual di luar nikah,
maupun menganggap pembahasan mengenai seks adalah sesuatu yang tabu.
Selain itu, masih banyak yang menganggap bahwa sex education hanya
membahas hal-hal seputar hubungan seksual. Jika kita melihat dari sudut pandang
yang lebih luas, seseorang yang memahami baik buruknya hubungan seksual akan
dapat lebih berhati-hati. Pemahaman akan bahayanya hubungan seks tanpa
pengaman/seks bebas, seperti hamil di luar nikah, akan membuat seseorang lebih
bertindak hati-hati dalam mengambil keputusan.
Cynthia Gabriella Nugroho / 41170103
Aborsi ilegal masih menjadi kasus yang
marak di Indonesia. Berbagai alasan dapat menjadi pemicu dari aborsi ilegal
ini, baik dari segi petugas medis, serta pasien yang memutuskan untuk melakukan
aborsi sendiri. Masyarakat perlu tahu bahwa aborsi ilegal bukan sebuah jalan
yang aman atau jalan pintas ketika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
Artikel yang dibuat oleh kelompok kami diharapkan menjadi wadah untuk membantu
membuka pandangan terkait salah satu kasus aborsi yang masih cukup baru di
Indonesia, terutama dari segi etika dalam profesi kedokteran maupun secara
hukum. Saya sendiri sebagai salah satu mahasiswa yang terlibat dalam pembuatan
artikel ini mendapatkan banyak pandangan baru terkait kasus ini dan bagaimana
pandangan dunia terhadap kasus ini.
Tillandsia Filli
Folia P. / 41170105
Berdasarkan kasus
yang telah kami analisis, saya dapat memahami bahwa untuk menjadi tenaga
kesehatan diperlukan sikap hati-hati, profesional, dan bertanggungjawab dalam
melakukan tindakan medis terhadap setiap pasiennya. Apabila ada sedikit saja
kesalahan yang tidak sesuai dengan standar prosedur maka tidak menutup
kemungkinan bagi tenaga kesehatan untuk dilirik dan dilaporkan kepada pihak
berwajib, hal ini membuat saya semakin berfikir untuk terus menanamkan sikap
jujur, percaya diri, adil dan berperikemanusiaan terhadap pasien yang akan saya
obati nantinya karena setiap tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan berkaitan
erat dengan nyawa seseorang. Mungkin bagi kebanyakan orang, tindakan aborsi
masih menjadi hal yang tidak selayaknya dilakukan namun sejauh yang saya
pelajari, tindakan aborsi mungkin saja boleh dilakukan dengan memperhatikan
indikasi dan jenis aborsi yang legal.
Stefan Prayoga Yukari Ujan / 41170108
Yang saya dapatkan dari kasus ini ialah
sebagai tenaga kesehatan memang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam segala
tindakan yang dilakukan serta mengetahui plus minus dari tiap keptusan yang
dibuat tetapi, walaupun begitu sebagai tenaga kesehatan juga diatur melalui
kode etik yang berlaku sehingga segala keputusan yang dibuat memiliki landasan
etika sehingga pada akhirnya keputusan yang dipilih dapat menjadi keputusan
yang terbaik tanpa merugikan pihak manapun.
Arike Trivena / 41170109
Kasus aborsi terus saja berkembang
meski sudah ada hukum yang mengatur tentang praktik aborsi. Melalui kasus ini,
saya belajar banyak hal, salah satunya ialah, meski menjadi pro dan kontra,
saya rasa bahwa praktik aborsi yang dilakukan tanpa alasan yang legal tidak
dapat dibenarkan, begitu juga dengan alasan “kemanusiaan” yang digunakan dalam
kasus ini. Saya sebagai mahasiwa kedokteran juga merasa prihatin dengan proses
aborsi yang tidak aman yang dapat mengakibatkan berbagai komplikasi bahkan
kematian ibu, meski bagitu masih banyak orang menggunakan praktik aborsi ilegal
ini. Sebagai tenaga kesehatan kita seharusnya menjunjung tinggi hukum dan etika
yang berlaku, dalam kasus ini saya belajar bahwa apabila kedua hal ini
dilanggar akan berakibat fatal, kita tidak hanya harus bertanggung jawab secara
hukum, namun juga melibatkan keberlangsungan hidup seseorang.
Anasthasia Audi Wibowo / 41170112
Topik mengenai aborsi merupakan topic
yang sedang marak di diskusikan oleh warga dunia. Dengan maraknya paham “Pro-choice”
terdapat beberapa pihak yang berargumen bahwa aborsi dapat dilakukan oleh
perempuan hamil manapun apabila mereka meminta dan memenuhi consent-nya.
Namun, paham ini bertolakan dengan etika kedokteran. Aborsi dapat menimbulkan
berbagai dampak kepada perempuan hamil yang bersangkutan. Apabila teknik yang
dilakukan tidak tepat, maka dapat berisiko terhadap morbiditas maupun
mortalitas pasien, mental maupun fisik. Seharusnya, seorang dokter maupun
tenaga medis lainnya bertugas untuk mengurangi derita pasiennya, bukan
sebaliknya.
Artikel ini mampu mengajarkan saya
untuk melihat di segi netral aborsi dan memperluas pengetahuan saya mengenai
bahayanya aborsi. Argumen mengenai Etika Kedokteran dapat bertemu dengan paham
kebebasan pribadi, menurut saya, menjadi landasan dari segi netral yang ada.
Pada kenyataannya, aborsi yang tidak aman atau aborsi yang di praktikkan secara
ilegal dapat dicegah dengan cara-cara yang tepat. Contohnya adalah dengan
memberikan Sex education sesuai dengan umur dan penggunaan
kontrasepsi.
Melalui artikel ini, saya harap
pemerintah dan tenaga medis mulai peka terhadap maraknya kasus aborsi. Menurut
saya, manusia memiliki hak otoritas atas tubuh mereka masing-masing. Maka dari
itu, dengan edukasi dan informasi yang tepat, para perempuan yang hendak
melakukan aborsi dapat diarahkan menuju jalan yang lebih baik. Apabila
memungkinkan, pemerintah baiknya mulai membangun suatu fasilitas tersendiri
untuk melayani para perempuan yang hendak melakukan aborsi. Tindakan prevensi
dapat dilakukan sejah dini dengan memberikan Sex education sesuai
pada umurnya agar mampu menghindari terjadinya kehamilan diluar pernikahan atau
meminimalisir kegagalan dari kontrasepsi pada PASUTRI.
Thomas Carel Aditya / 41170113
Etika yang baik merupakan sebuah nilai
penting yang harus dimiliki oleh setiap insan manusia terlebih untuk seorang
dokter yang keputusannya sering berkaitan dengan nyawa seseorang. Dokter dalam
pengambilan keputusan juga perlu memperhatikan sisi etika yang ada karena
berkaitan dengan sisi baik dan buruk dalam penilaian di masyarakat dan sumpah
profesi. Dalam kasus pada praktikum ini, saya belajar banyak dalam implementasi
nilai etika tidaklah mudah, terdapat keputusan yang dilakukan tidak berdasarkan
nilai etika yang baik, dimana keputusan yang diambil hanya berdasar rasa
kasihan terhadap orang lain. Nilai etika seharusnya bisa menjadi sebuah pedoman
perilaku yang baik dimana keputusan yang diambil harus berdasarkan keilmuan
yang baik dan bisa mempertimbangkan baik buruknya keputusan yang diambil. Saya
juga belajar tentang menjadi seorang dokter harus dapat mempunyai sisi keilmuan
dan sisi etika yang baik agar pelayanan profesi terhadap pasien nantinya dapat
berjalan dengan baik dan dapat diterima dimasyarakat yang plural.
Dewianti Paluta Pongarrang / 41170114
Melalui kasus ini menyadarkan saya
bahwa dalam merawat pasien, seorang dokter tidak hanya membutuhkan kemampuan
intelektual ataupun keterampilan klinis semata tetapi juga membutuhkan
pemahaman yang baik mengenai etika profesinya. Karena dengan pemahaman etika
yang baik, dokter dapat menentukan keputusan atau bertindak dengan lebih bijak.
Minimnya pemahaman mengenai etika dapat menjerumuskan kita kedalam
tindakan-tindakan ceroboh yang dapat merugikan diri sendiri maupun pasien yang
kita rawat, contohnya seperti keputusan yang dilakukan bidan SM dengan
melakukan tindakan aborsi kepada remaja berinisial RA ini. Selain membahayakan
nyawa RA, keduanya pun akhirnya dijatuhi hukuman atas perbuatan yang mereka
lakukan.
Vanessa Angelin / 41170115
Pada praktikum ini kelompok saya
mengambil kasus tentang aborsi. Sebenarnya aborsi sendiri memiliki
jenis-jenisnya namun pada berita yang di ulas oleh kelompok kami, aborsi yang
dilakukan oleh gadis RA dan kekasihnya MZ dengan bantuan tenaga medis berupa
bidan ini telah melakukan aborsi kriminalis, aborsi kriminalis sendiri
merupakan pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh
orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum/ dilakukan yang tidak
berwenang. Refleksi yang dapat saya ambil dari kasus tersebut sangat lah
banyak, terkhusus jika membandingkannya dengan etika kedokteran yang berlaku.
Karena aborsi yang dilakukan secara sengaja merupakan suatu bentuk kriminal,
maka proses tersebut telah melanggar etika kedokteran dan sekaligus.
Ceny Gloria Larope / 41170149
Menurut saya, persoalan aborsi tidak
hanya terbatas melihat individu terkait sebagai perempuan, ibu, maupun tenaga
kesehatan, tetapi sebagai manusia itu sendiri dalam mengambil pilihan-pilihan
sesuai kompas moralnya. Hal ini menjadi refleksi bagi saya untuk melihat suatu
masalah dari berbagai sudut pandang.
Gusti Ayu Agung
Indra Sari Putri / 41170152
Melalui kasus
aborsi yang dilakukan oleh RA, MZ, dan SM, saya dapat mengetahui bahwa tindakan
pelanggaran etika di bidang kesehatan dapat dilakukan pada semua profesi. Pada
kasus ini contohnya tidak dilakukan oleh dokter tetapi Bidan yang umumnya membantu
dalam proses persalinan. Setelah mempelajari kasus ini, saya juga menjadi tahu
jika aborsi boleh dilakuakn dalam keadaan tertentu seperti kegawatdaruratan
kesehatan yang mengancam keselamatan baik ibu maupun janin dan kehamilan karena
pemerkosaan. Tetapi tidak disebutkan adanya kondisi medis dan bukti pemerkosaan
yang dialami RA sehingga harus melakukan aborsi pada kasus ini, maka tindakan
aborsi tidak dibenarkan secara hukum. Pada kasus ini pelaku aborsi sudah
mendapat hukuman yang sesuai atas perbuatannya. Alasan dari bidan untuk
menyetujui melakukan aborsi adalah kasihan dan kemanusian, tetapi menurut saya
hal tersbut tidak dapat dijadikan untuk melalukan tindakan aborsi karena
seorang bidan telah bersumpah untuk menghormati manusia dari mulai terjadinya
pembuahan dan juga telah merampas hak dari bayi yang digugurkan untuk menjalani
kehidupan. Dengan melakukan tindakan aborsi maka sumpah tersebut telah
dilanggar dan bidan yang melakukannya tidak dapat lagi untuk melanjutkan
profesinya sebagai bidan.
Youlla Anjelina /
41170153
Sebagai seorang tenaga
medis khususnya sebagai seorang dokter yang bertugas melayani manusia,
seharusnya mengerti bagaimana melayani dan bertugas yang etis dan tidak
melanggar hukum. Dalam blok 3.11 khususnya tentang bioetika dan medikolegal
membuka pikiran saya bahwa menjadi seorang tenaga medis tidak hanya
membicarakan pelayanan dan juga tugas, tapi harus tetap memegang teguh prinsip
etika dan hukum yang berjalan di Indonesia. Topik yang kami bahas dalam
mengerjakan tugas ini adalah tentang aborsi, dimana aborsi sendiri dilarang
dilakukan di Indonesia kecuali dengan beberapa kondisi ( UU Kesehatan pasal
75). Namun, masih ada tenaga medis yang melakukan tindakan aborsi kepada
beberapa orang dengan indikasi yang tidak sesuai dengan UU, sama seperti kasus
yang kami bahas. Hal ini tentu sangat tidak etis, dimana dari sisi hukum sudah
melanggar dan juga tidak rasional dari sisi budaya. Hal tersebut membuka
pikiran saya untuk terus belajar dan mengerti bagaimana etika dan hukum dalam
kesehatan di Indonesia, sehingga bisa menjadi dokter yang berkualitas dan juga
ber etika.
Ade Novita P. / 41170156
Sebagai tenaga medis kita memiliki
tanggung jawab untuk menaati etika professional yang telah ditetapkan oleh UU
di Indonesia. Secara manusiawi Aborsi selain dalam keadaan khusu yang ditetapkan
UU Kesehatan pasal 75, dianggap tindakan tidak manusiawi. Secara pribadi
setelah membaca kasus ini, saya mereka pertimbangan terkait sudut pandang pada
masalah sangatlah penting sebelum mengambil keputusan, dan juga
bagaimana memandang manusia sebagai manusia itu juga penting.
Muhammad Fikri Mujtahid / 41170157
Pelajaran yang saya dapatkan dari kasus
tersebut bahwa memang etika bermoral dalam suatu profesi harus dibutuhkan,
khususnya untuk semua tenaga medis harus dapat mengerti etika, tanggung jawab,
dan mengikuti aturan dalam pekerjaan mereka karena seorang tenaga medis harus
menaati kode etik yang berlaku agar menjadi orang yang bermoral. Jangan sampai
tenaga medis merugikan diri sendiri maupun orang lain atas tindakan yang tidak
sesuai aturan yang berlaku. Seperti tindakan diatas seorang bidan yang menerima
untuk melakukan aborsi yang memang sudah melanggar aturan etik pemerintah yang
juga merugikan orang lain, dari kasus ini saya belajar bagaimana agar bisa
menjadi dokter yang bermoral khususnya, yang memiliki jiwa tanggung jawab atas
pekerjaan kita dan mentaati semua aturan yang berlaku agar tidak menimbulkan
permasalahan yang lebih besar lagi dan juga untuk kepentingan bersama. Setiap
tenaga medis harus bisa melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin tidak
mengurangi kemampuannya untuk menolong orang banyak dengan menyertakan
aturan-aturan pemerintah agar menjadi dokter yang berintregitas agar dapat
menghasilkan tujuan yang baik bagi orang banyak.
Claudius P.Y.S.M / 41170159
Dari kasus ini saya mengerti bahwa
sebagai seorang tenaga medis kita harus benar-benar memperhatikan dan mengerti
mengenai etika medis dalam pekerjaan kita. Sebagai seorang tenaga medis kita
memiliki tanggung jawab yang besar terhadap seseorang karena akan mempengaruhi
kehidupan seseorang baik secara ekonomi, social, mental maupun fisik. Kita
tidak boleh mengutamakan perasaan kita terhadap seseorang karena apa yang kita
rasakan belum tentu benar secara etika. Etika bagi seorang tenaga medis merupakan
suatu pedoman dalam bertindak dan bertujuan untuk meminimalisir kesalahan.
Seperti pada kasus ini dimana seorang bidan yang mengutamakan perasaannya yang
merasa iba sehingga melakukan aborsi kepada wanita berumur 17 tahun disebuah
hotel yang telah disepakati. Dalam hal ini seorang tenaga medis harus hati-hati
dalam melaksanakan tugasnya, karena harus memperhatikan setiap tindakannya
dalam segi etika agar tidak menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, pasien
maupun masyarakat sekitar. Penting bagi kita bukan hanya menjadi seorang dokter
yang baik dan memiliki wawasan yang luas tetapi juga harus bisa menjadi seorang
dokter yang bermoral
Ginti Lintang Sinkyatri / 41170160
Pada dasarnya menjadi seorang tenaga
medis selalu berikatan dengan kode etik dan moral. Namun pada berita
yang dipilih bidan tersebut berkedok rasa iba dan kemanusiaan sehingga
melakukan tindakan ilegal. Seperti yang sudah disebutkan pada bab III yaitu
analisis, terdapat beberapa pencemaran etika yang terjadi sesuai dengan kasus ini.
Hal tersebut sangat disayangkan karena sebagai bidan, beliau mengesampingkan
hal yang krusial tersebut. Pro choice atau pro life masih menjadi perdebatan
yang cukup sensitive di Indonesia dan sampai sekarang masih banyak orang yang
menganggap aborsi itu tabu. Melalui kasus ini, saya belajar untuk selalu
memperhitungkan setiap tindakan yang nanti akan saya lakukan tanpa
mengesampingkan nilai moral dan etik sebagai seorang tenaga medis.
Nunki Utomo / 41170161
Menilik masih banyaknya kasus aborsi di
Indonesia, bisa disimpulkan bahwa masih banyak pula kehamilan tidak diinginkan
yang penyebabnya tidak dapat digeneralisir pada setiap individu. Faktor sosial,
ekonomi, kesehatan, paksaan, ketidak siapan menjadi orang tua bahkan takut
menjadi aib keluarga (dan masih banyak lagi) merupakan contoh – contoh penyebab
aborsi. Namun terlepas dari tiap alasan, aborsi itulah yang masih menjadi
perdebatan antara kaum pro-life dengan pro-choice. Ketika
ditanya “Bagaimana tanggapan Anda mengenai aborsi?” saya bisa saja mengatakan
“Saya pro-choice”. Tetapi setelah itu saya akan termenung dan dihantui oleh
pikiran bahwa saya bukan Tuhan yang dapat memutuskan antara hidup atau mati
seorang manusia. Bagi saya masih sulit untuk menentukan apakah saya termasuk
dalam bagian pro-life atau pro-choice. “Bagaimana
jika kelak Anda sebagai dokter tiba – tiba dihadapkan dengan kasus ini?”
sebagai dokter saya akan menentang tindak aborsi di luar alasan medis. Setelah
itu? Tidak ada yang tau.
DAFTAR PUSTAKA
Gillon, R. (1994). Medical Ethics: four principles plus attention to
scope. British Medical Journal,
184-188.
IKATAN DOKTER INDONESIA. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta:
IDI.
Sastrawinata,
Sulaiman dkk. Obstetri Patologi, Ilmu Kesehatan Reproduksi edisi 2 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Jakarta : EGC dengan Padjadjaran Medical Press.
Surat Edaran No.1734/E/PPIBI/III/2015 tentang Pengambilan Sumpah dan
Janji Bidan yang diakses pada 21 Mei
2020 pada https://lldikti12.ristekdikti.go.id/2011/09/17/seputar angkat-sumpah-bidan.html
UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945 yang telah di Amandemen
UU. No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang diakses 21 Mei 2020
pada https://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-republik-indonesia-nomor-35-tahun-2014-tentang-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak
Undang Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009. KESEHATAN.
13 Oktober 2009. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. Jakarta
Terimakasih telah mengangkat topik ini. Artikel ini sangatlah baik.
BalasHapusIzin bertanya mengenai peraturan tentang aborsi terdapat ketidaksinkronan antara Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 75 UU No.36 Tahun 2009 dan Undang Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) dimana pada KUHP diperbolehkan untuk melakukan aborsi dalam keadaan tertentu dan pada UU RI aborsi tidak diperbolehkan. Dalam menanggapi hal ini apa jalan tengah yang dapat diambil?
Terimakasih
Halo kak Dennis terima kasih untuk pertanyaannya, disini saya akan mencoba menjawab.
HapusPada pasal 349 KUHP berbunyi :
“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”
, sedangkan pada UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75 ayat (2) :“Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a.) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b.) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.”
memang terlihat bertentangan tetapi setelah melihat pasal 63 ayat (2) KUHP:
“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan disini termasuk kedalam aturan khusus yang dimaksud dalam pasal 63 ayat (2) KUHP sehingga untuk penerapan tindakan aborsi sebagaimana yang dilakukan oleh dokter dengan alasan medis yang bermakna akan mengikuti peraturan pada UU Kesehatan.
Untuk penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada sumber yang kami cantumkan.
Terima kasih
Sumber: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5a152c3faed27/ketentuan-aborsi-bagi-korban-pemerkosaan/
Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)
Izin bertanya, apakah benar jika ingin menggugurkan kandungan bisa mengkonsumsi soda? Jika benar resiko apa yg dapat diterima org tersebut?
BalasHapusTerimakasih
Terima kasih untuk pertanyaannya, saya Ginti Lintang Sinkyatri mencoba menjawab pertanyaan. Menurut dr. David Elmer, seorang dokter kandungan di Nantucket Cottage Hospital di Massachusetts, Amerika Serikat tidak ada penelitian yang membuktikan soda bisa menyebabkan keguguran. Namun, mengkonsumsi soda dalam jumlah banyak tentu dapat mengakibatkan masalah kandungan. soda mengandung pemanis buatan seperti aspartam yang bisa berdampak buruk untuk tumbuh kembang janin. selain itu soda juga mengandung zat yang berdampak kurang baik pada janin seperti kafein, asam karbonat, dan zat aditif lainnya. beliau juga menyampaikan bahwa sebaiknya tidak mengonsumsi soda lebih dari satu kaleng per hari. American College of Obstetricians and Gynecologists menyarankan ibu hamil tidak minum kafein lebih dari 200 mg per hari demi kesehatan ibu dan janin.
HapusAda beberapa hal yang ingin saya tanyakan, mengenai bagaimana penanganan & pandangannya pada korban pelecehan seksual yang hamil dan dia ingin melakukan aborsi? . Apakah benar nanas muda dapat menggugurkan janin?
BalasHapusTerima kasih untuk pertanyaannya, saya Ginti Lintang Sinkyatri mencoba menjawab bahwa nanas mengandung senyawa yaitu bromelain. bromelain adalah enzim yang bekerja dengan memecah protein dalam tubuh. kandungan bromelain pada nanas lah yang diduga dapat menyebabkan keguguran dikarenakan sel protein pada janin merupakan sel protein sederhana dan masih tahap maturisasi. Namun, ibu hamil masih diperbolehkan mengonsumsi nanas satu hingga dua porsi nanas dalam seminggu, jumlah yang terlalu banyak lah yang dapat menyebabkan keguguran.
HapusUntuk informasi lebih lanjut dapat diakses pada https://www.healthline.com/health/pregnancy/pineapple#eat-more-pineapple
Halo, Terima kasih untuk pertanyaannya :) saya Ceny akan mencoba menjawab pertanyaan yang pertama yaa.
HapusDalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, membahas tentang aborsi dengan indikasi kedaruratan medis dan alasan perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban juga dalam Pasal 75. Pasal 76 juga membahas tentang ketentuan aborsi pada Pasal 75 termasuk bagi korban perkosaan yang melakukan aborsi. Selain itu untuk mendukung UU No.36 Tahun 2009, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang memberikan pengecualian atas larangan aborsi dengan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan yang diatur dalam Pasal 2 huruf (b) dalam PP terkait. Tindakan aborsi dapat dilakukan bila korban telah melalui konseling, dilakukan sebelum kehamilan 6 minggu, dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai keterampilan terkait dan berwenang, telah mendapat persetujuan ibu hamil bersangkutan, dan dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat (Pasal 76).
Bentuk perlindungan hukum yang diberikan adalah:
1) dengan tidak menghukum korban perkosaan yang melakukan aborsi sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
2) pemberian jaminan keselamatan dan keamanan terhadap korban perkosaan, pemberian pendampingan psikologis terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi.
3) serta pemberian pelayanan media kepada korban pemerkosaan yang melakukan aborsi.
Yang seringkali menjadi hambatan salah satunya adalah terbatasnya pemahaman dan informasi yang menyebabkan korban melakukan aborsi yang tidak aman.
Terima kasih, semoga membantu :)
*Ralat typo yaa. Pada poin 3 adalah pelayanan medis, bukan pelayanan media.
HapusApakah setelah melakukan aborsi kemungkinan hamil bisa sangat kecil sekali? Mengapa demikian?
BalasHapusVanessa Angelin (41170115)
HapusTerima kasih sudah bertanya :)
Disini seorang dokter tidak bisa semata-mata mengatakan kemungkinan hamil sangat kecil tanpa melakukan pemeriksaan kandungan terlebih dahulu. Tetapi, berdasarkan beberapa sumber bacaan dan textbook aborsi provocatus kriminalis faktor risikonya bisa sampai kemandulan. Jadi tergantung alasan aborsi dan apakah aborsi yang dilakukan itu berdasarkan alasan medis atau karena tindakan kriminal ibu.
Saya Ginti Lintang Sinkyatri akan menambah penjelasan yang sudah diberikan oleh teman saya. Aborsi sendiri ada 2 metode yaitu, metode menggunakan obat dan metode operasi. Metode yang dipilih tentunya berdasarkan usia kehamilan dan pilihan pasien.
HapusBanyak kejadian, wanita post aborsi dapat mendapatkan kehamilan sehat kembali. Menurut sumber yang saya baca (https://www.medicalnewstoday.com/articles/327287#future-pregnancies) aborsi yang aman tidak akan mengganggu proses kehamilan selanjutnya. Resiko aborsi menggunakan obat leih rendah daripada aborsi operasi, yang biasanya dipilih oleh seorang ibu pada trimester pertama. Aborsi dengan obat juga memiliki resiko lebih rendah terhadap preterm birth, berat bayi lahir rendah, keguguran, dan kehamilan ektopik.
Aborsi dengan operasi dikenal juga dengan dilation dan kuretase dimana menghilangkan fetus dengan alat penghisap dan alat bernama kuret. Pada beberapa kasus, aborsi operasi dapat menyebabkan luka pada dinding rahim, disebut Asherman’s syndrome. Apabila perlukaan dinding Rahim tersebut terbentuk maka dikhawatirkan akan mengalami kesulitan untuk kehamilan berikutnya.
Saya ingin bertanya mengenai penjelasan tentang aborsi yang legal itu bagaimana dan apa saja alasannya?
BalasHapusThomas Carel (41170113)
HapusTerima kasih atas pertanyaannya saya coba jawab yaaa 😊😊, Aborsi yang legal dilakukan dengan cara tindakan operatif (kuretase, aspirasi vakum) atau cara medikal. dalam prakteknya terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang aborsi legal, sebagai berikut.
A. abortus legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik yang keputusannya disetujui secara tertulis oleh 2 orang dokter yang terpilih berkat kompetensi profesional mereka dan prosedur operasionalnya dilakukan oleh dokter yang kompeten di instalasi yang sudah diakui otoritas sah, dengan syarat tindakan ini sudah disetujui oleh ibu yang bersangkutan, suami, atau keluarga.
B. bila seorang dokter yang melaksanakan tugas merasa tindakan tersebut tidak sesuai hati nurani nya, maka ia berhak untuk mengundurkan diri dan menyerahkan tugas tersebut kepada teman sejawat lain yang berkompeten.
C. terdapat indikasi medis yang mendasari diperlukannya tindakan tersebut, yang dimaksud indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan tersebut sebab tanpa tindakan tersebut dapat membahayakan jiwa ibu atau adanya ancaman gangguan fisik, mental, dan psikososial bila kehamilan dilanjutkan, atau resiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat mental atau fisik yang berat.
D. hak utama dalam persetujuan tindakan ini adalah ibu hamil yang bersangkutan, namun bila ibu dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuan maka dapat diminta pada suami atau wali yang sah.
Apa resiko, terutama bagi kesehatan setelah melakukan aborsi?
BalasHapusThomas Carel (41170113)
HapusTerima Kasih atas pertanyaannya saya coba jawab yaaa 😊😊 jadi aborsi yang ilegal tentu saja berbahaya sekali bagi ibu hamil, aborsi ilegal biasanya menggunakan cara seperti memijit mijit perut bagian bawah, memasukan benda asing kedalam rahim, dan pemakaian bahan kimia. dari beberapa cara tersebut tujuannya adalah agar rahim dapat berkontraksi dan bayi dapat dikeluarkan dengan paksa hal ini tentu saja sangat berbahaya terutama dapat memicu perdarahan hebat, infeksi, dan dapat menyebabkan kematian bagi keduanya.
selain aborsi ilegal dengan praktik langsung. aborsi ilegal lainnya juga bisa menggunakan obat misoprostol. nah obat tersebut sebenarnya murah di apotik namun menjadi mahal ketika beredar di internet dan dipasarkan sebgai obat aborsi. setahu saya misoprostol dapat beredar hanya dengan resep dokter. namun diinternet smpai saat ini masih banyak pedagang misprosotol dan sepertinya mereka tidak kehabisan stock. pertanyaan saya apabila ketauan bahwa pedagang tersebut bekerjasama dengan seorang dokter untuk memperdagangkan misoprostol secara ilegal, UU/kode etik mana yang dilanggar? berdasarkan pelanggarannya putusan hukum seperti apa yang dapat menjeratnya?
BalasHapusThomas Carel (41170113)
HapusTerima Kasih atas pertanyaannya saya coba jawab yaaa 😊😊, pada KUHP diatur secara rinci tentang hukuman bagi pelaku atau orang yang membantu tindakan aborsi ilegal, contoh sebagai berikut.
A. Pasal 346 KUHP: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun.”
B. Pasal 348 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
C. Pasal 349 KUHP: “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”
D. Pasal 299 KUHP : “1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.” 2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.” “3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu”
Pada kode etik (KODEKI) sendiri salah satu pasal yakni Pasal 7d. “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani”, dari sini dapat dilihat bahwa seorang dokter seharusnya dapat menjaga keberlangsungan hidup seseorang baik dewasa bahkan seorang bayi, bila kita melakukan aborsi sama saja kita telah melanggar kode etik profesi kita
Saya mau betanya, setelah melakukan aborsi tersebut apakah memilik resiko ? Mengomsunsi makanan apa saja yang bisa terjadi sebuah aborsi/keguguran tersebut ?
BalasHapusSaya Ginti Lintang Sinkyatri, terima kasih untuk pertanyaannya. Setelah aborsi biasanya wanita akan mengeluhkan nyeri atau kram perut, mual, lemas, pendarahan ringan selama beberapa hari. namun, pada kondisi tertentu tindakan aborsi dapat menimbulkan masalah serius untuk beberapa hari hingga kurang lebih empat minggu. selain itu juga aborsi dapat menyebabkan perdarahan hebat, infeksi, kerusakan pada rahim dan vagina, masalah psikologis, masalah kesuburan wanita tersebut.
Hapusdari beberapa sumber yang saya baca, tidak ada penelitian yang mengatakan makanan tersebut menyebabkan keguguran secara 100% namun kandungan yang ada di makanan tersebutlah yang menyebabkan terancamnya perkembangan janin dan jumlah konsumsi yang banyaklah yang mempengaruhi terjadinya keguguran.
Terima kasih sudah membahas tentang materi ini. Cukup menarik ya karena memang ini yang marak terjadi akhir-akhir ini dan sebagai seorang dokter nantinya tidak bisa kita pungkiri kita akaj diperhadapkan dengan situasi seperti ini. Dari kasus diatas sudah sangat jelas ya kasus ini membawa dampak yang buruk dari segi etika, medis dan hukum.
BalasHapusNah saya ingin bertanya kepada teman-teman penulis, seumpama teman-teman yang ada di posisi SM, kira-kira tindakan apa yang akan teman-teman ambil dengan mempertimbangkan posisi teman-teman sebagai seorang tenaga kesehatan yang bekerja dibawah kode etik kedokteran dan diperhadapkan dengan kasus tersebut.
Terima kasih sebelumnya🙏
Ade Novita P. (41170156)
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya, kami akan mencoba untuk mejawab.
Sebagai tenaga kesehatan yang profesional dan bertanggung jawab, kami harus tetap berpegang pada aturan yang berlaku di Indonesia.
Ada banyak aturan yang mengatur tentang Kode Etik profesi tenaga medis, UU, KUHP, dan sebagainya.
Tindakan yang akan kami ambil jika kami ada di posisi SM, adalah dengan tidak melalukan aborsi ilegal kepada pasien tersebut. Hal ini dikarenakan tidak ditemukan adanya indikasi yang mengharuskan adanya aborsi/penguguran janin.
Dan jika memungkinkan kami akan mencoba untuk memberi pandangan kami kepada pasien dan keluarga pasien untuk mencari jalan tengah yang terbaik.
Terima kasih untuk pertanyaannya yaa. Saya termasuk salah satu anggota kelompok 1. Terima kasih untuk pertanyaan ini. Sebagai seorang tenaga kesehatan tentunya telah mengambil sumpah dokter dengan isi yang berkaitan dengan kasus ini adalah menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Selain itu, pekerjaan sebagai tenaga medis juga berdasarkan pada kode etik kedokteran dan hukum di Indonesia. Langkah yang dapat diambil adalah dengan memberikan layanan konseling bagi perempuan yang hamil dengan memberikan pilihan-pilhan terbuka, memaparkan efek samping dan konsekuensi melakukan aborsi dalam sisi kesehatan. Dengan menghormati keputusan pasien mengenai pilihannya (hak otonomi pasien), tetapi tidak akan melakukan tindak aborsi kepada pasien terkecuali bagi pasien dengan kedaruratan medis dan korban perkosaan yang tercantum pada UU No.36 Tahun 2009. Semoga membantu ya :)
HapusBagaimana legalitas aborsi akibat pemerkosaan? Apa saja hak wanita korban pemerkosaan yang melakukan aborsi itu?
BalasHapusTerima kasih atas pertanyaanya, disini saya Dewianty Paluta akan coba membantu menjawab pertanyaan saudara. Aborsi yang dilakukan terhadap korban pemerkosaan hanya dapat apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU no 36 tahun 2009 pada pasal 75 ayat (3) yang menjelaskan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan pada kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologi bagi korban perkosaan dan tindakan ini pun dapat dilakukan setelah melalui konseling yang dilakukan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang. Selain daripada itu pada pasal 76 pun dijelaskan lagi bahwa “ aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan apabila, 1). sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; 2). oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; 3). dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; 4). dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan 5). penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.“ Kehamilan akibat perkosaan memang melanggar hak-hak reproduksi korban perkosaan, oleh karenanya terdapat pengecualian aborsi pada korban pemerkosaan guna memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak reproduksi korban perkosaan sebagai perwujudan Hak Asasi Manusia.
HapusSemoga membantu :)
Halo, terimakasih untuk pertanyaannya :) Saya Ceny dan saya akan menambahkan jawaban teman saya diatas. Halo, Terima kasih untuk pertanyaannya :) saya Ceny akan mencoba menjawab pertanyaan yang pertama yaa.
HapusUntuk mendukung UU No.36 Tahun 2009 juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang memberikan pengecualian atas larangan aborsi dengan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan yang diatur dalam Pasal 2 huruf (b) dalam PP terkait. Tindakan aborsi dapat dilakukan bila korban telah melalui konseling, dilakukan sebelum kehamilan 6 minggu, dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai keterampilan terkait dan berwenang, telah mendapat persetujuan ibu hamil bersangkutan, dan dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat (Pasal 76).
Bentuk perlindungan hukum yang diberikan (hak korban) adalah:
1) Dengan tidak menghukum korban perkosaan yang melakukan aborsi sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
2) Pemberian jaminan keselamatan dan keamanan terhadap korban perkosaan, pemberian pendampingan psikologis terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi.
3) Serta pemberian pelayanan medis kepada korban pemerkosaan yang melakukan aborsi.
Yang seringkali menjadi hambatan salah satunya adalah terbatasnya pemahaman dan informasi yang menyebabkan korban melakukan aborsi yang tidak aman.
Terima kasih, semoga membantu :)
Dikatakan bahwa menurut KODEKI pasal 11 tentang perlindungan kehidupan, bahwa setiap dokter wajib mengingat kewajiban dan melindungi hidup makhluk insani. Bagaimana kaitan pasal tersebur dengan UU no 36 pasal 75 ayat 2 tentang beberapa pengecualian larantan aborsi ? Dan apa jalan tengah yg dapat di ambil
BalasHapusHalo kak, saya mencoba menjawab untuk tindakan yang diambil bisa kita tinjau pada UU Kesehatan pasal 75 ayat (3) :
Hapus“Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.”
Dengan dilakukannya konseling, keputusan dilakukannya aborsi tidak hanya berdasarkan permintaan pasien semata tetapi dengan konseling yang dimana dalam sesi konseling ini pastinya akan dipertimbangkan segala keuntungan dan kerugian yang dapat muncul dari tiap keputusan yang akan diambil oleh pasien dan/atau keluarga pasien sehingga dapat menentukan keputusan terbaik tanpa arahan dari pihak konselor. Untuk rincian kegiatan konseling yang dilakukan bisa membaca Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pasal 37
Terima Kasih
Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)
Sya pernah membaca PP RI No 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduktif, dmna disana dikatakan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk mencapi hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas ( pasal 8 ). Berdasarkan peraturan ini, bagaimana dengan perempuan yang "sangat mengingini menggugurkan kandunhan nya", sedangka diperaturan tersebut dikatakan bahwa semua perempuan memiliki hak dalam kesehatan reproduktifnya
BalasHapusThomas Carel (41170113)
HapusTerima Kasih atas pertanyaannya saya coba jawab yaaa 😊😊, didalam PP RI No 61 tahun 2014 khusus nya pasal 8 (pelayanan kesehatan ibu), pemerintah sangat menjamin bahwa setiap ibu hamil berhak atas segala fasilitas kesehatan yang menunjang perkembangan dan kesehatan kehamilannya, namun bila seorang ibu hamil menginginkan aborsi pada kandungannya kita harus bisa kembali kepada aturan bahwa tindakan aborsi yang legal adalah tindakan yang berdasarkan indikasi medis bila tindakan aborsi dilakukan secara ilegal dapat dikenai hukuman pidana atau terancam nya jiwa ibu dan bayinya.
Artikel yang disampaikan informatif dan lengkap.
BalasHapusApakah pembentukan UU di Indonesia mengacu pada peraturan yang berlaku di dunia internasional ? Jika iya, mungkin bisa dipaparkan hukum internasionalnya
Jika tidak, bagaimana tanggapan pemerintah khususnya Kementrian Kesehatan terkait banyaknya aborsi ilegal yang terjadi di Indonesia ?
Ade Novita P. ( 41170156)
HapusTerimakasih atas pertanyaan nya, kami mencoba menjawab ya :)
Setahu kami, proses dalam pembentukan sebuah peraturan itu diatur oleh DPR dan Presiden dalam mencapai kesepakatan bersama dan dengan pertimbangan yang matang. UU dibuat berdasarkan pertimbangan yang terjadi di wilayah itu sendiri, dengan artian UU di Indonesia disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
Tanggapan Pemerintah terkait aborsi ilegal di Indonesia tentunya tidak menyetujui, itu bisa dibuktikan dengan adanya UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dimana mengatakan bahwa ibu hamil harus memeriksa kandungannya, dan pada KUHP pasal 282 ayat 1 dan 3, 299, 345, 347, dan 348 Secara tegas menentang aborsi ilegal. Pada tahun 2019, DPR membentuk RKUHP tentang Pengguguran Kandungan atau aborsi yang tercantum dalam Pasal 251, 470, 471, dan 472 dengan jelas menegaskan bahwa aborsi ilegal akan ditindak pidana sesuai dengan syarat dalam pasal diatas.
Hal ini jelas bahwa pemerintah sangat memperhatikan masalah terkait aborsi ilegal di Indonesia dengan menghukum pelaku , tenaga kesehatan yang membantu, dan pihak ke-3 yang terlibat.
Berkaitan dengan hukum internasional, setahu kami belum ada acuan resmi mengenai itu, jadi tergantung Negara itu sendiri melihat kepentingan peraturan tentang UU Aborsi ini.
Terimakasih sebelumnya karena telah mengulas tentang Topik yang sangat menarik..
BalasHapusSaya setuju dengan pendapat teman” semua dimana sebagai tenaga medis teman” semua harus menjunjung tinggi moral dan kode etik dalam menjalankan Tugas. Namun, dengan melihat peraturan yang ada dan dijalankan di zaman saat ini yang penuh pro dan kontra mengenai aborsi yang semakin marak terjadi saya rasa perlu dibantu dengan banyak upaya. Salah satunya yaitu dengan memberikan pembelajaran seks edukasi kepada para remaja dan juga pemerintah dapat kembali meninjau peraturan yang ada. Agar antara pro dan kontra setidaknya mendapatkan jalan tengahnya. Karena sebagai manusia kita tetap memiliki rasa simpati empati yang sewaktu” dapat muncul walaupun didalam diri kita teguh untuk menjadi profesional sesuai dengan apa yg kita tekuni.
Terima kasih kembali karena sudah berkenan membaca artikel kami. Saya setuju dengan pendapat Anda bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan menanggapi angka aborsi yang tidak sedikit khususnya di Indonesia adalah Edukasi Seks. Apalagi angka aborsi provokatus yang masih tinggi dan kenyataan bahwa pendidikan seks masih tabu. Perlu diberikan Edukasi Seks yang sesuai dengan kebutuhan umur remaja dan dewasa. Bahkan saya pribadi ingin agar Edukasi Seks mempunyai kurikulumnya sendiri, karena apa yang didapatkan pada pelajaran Sains belum menutup kebutuhan pembelajaran seks bagi remaja. Peninjauan ulang terhadap peraturan yang ada juga perlu dilakukan. Profesionalitas kerja yang dilakukan juga tentunya tidak mengesampingkan simpati dan empati. Terima kasih telah bersedia membaca artikel kami dan berdiskusi tentang topik ini :)
HapusMenurut saya artikel ini sudah cukup lengkap, diringkas dengan padat, jelas & informatif.
BalasHapushay watii
HapusTerimakasih atas kunjungan ke artikel kami.
Hapussemoga bermanfaat
saya mau nanya sebut dan jelas kan kode etik seorang medis jika membantu dalam melakukan aborsi dan adakah UU yang menyatakan aborsi dilarang di agama tolong jelaskan😊😊
BalasHapusSaya Muhammad Fikri Mujtahid, terima kasih atas pertanyaannya. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Pasal 75 disebutkan bahwa: Setiap orang dilarang melakukan aborsi dan hal ini dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, dan aturan tersebut diperkuat dalam Pasal 77, di mana disebutkan bahwa: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75. Mengenai tindakan aborsi pada prinsipnya yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan dalam bentuk apapun. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa perempuan tidak diperkenankan melakukan tindakan aborsi. Dengan demikian KUHP dengan tegas mempertahankan kehidupan janin dari seorang ibu yang hamil. Peraturan perundang undangan yang antara lain mengatur mengenai aborsi lebih melindungi dan mengutamakam kehidupan janin (pro-life). Larangan tersebut dikecualikan berdasarkan pasal 75 ayat 2 UU kesehatan yaitu bila adanya indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, dan kehamilan akibat pemerkosaan.
HapusTentang UU kesehatan yang mengatur apakah melakukan aborsi dilarang agama atau tidak dari artikel yang saya baca, pemerintah mengesahkan dilakukan aborsi dengan alasan untuk keselamatan ibu dan janin dan juga karena korban pemerkosaan. Para pemuka agama menolak keras karena tokoh agama berpendapat terdapat pasal-pasal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, para pemuka agama menyatakan semua agama menjunjung tinggi kehidupan sejak awal pembuahan, hidup janin dalam kandungan harus dilindungi. Untuk contoh kasus korban pemerkosaan. Agama tetap tidak menyetujui untuk dilakukan aborsi, solusinya dengan menempatkan ke layanan pendampingan, komunitas yang isinya adalah perempuan-perempuan yang hamil karena tidak dikehendaki.
Setelah melakukan aborsi apakah akan ada gangguan pada rahim?
BalasHapusSetelah melakukan aborsi, apakah dikehamilan selanjutnya tdk ada masalah atau bagaimana?
Saya Ginti Lintang Sinkyatri, terima kasih untuk pertanyaannya. Setelah aborsi biasanya wanita akan mengeluhkan nyeri atau kram perut, mual, lemas, pendarahan ringan selama beberapa hari. namun, pada kondisi tertentu tindakan aborsi dapat menimbulkan masalah serius untuk beberapa hari hingga kurang lebih empat minggu. selain itu juga aborsi dapat menyebabkan perdarahan hebat, infeksi, kerusakan pada rahim dan vagina, masalah psikologis, masalah kesuburan wanita tersebut.
HapusDisini saya membahas mengenai safe abortion yaa atau aborsi yang aman. Aborsi sendiri ada 2 metode yaitu, metode menggunakan obat dan metode operasi. Metode yang dipilih tentunya berdasarkan usia kehamilan dan pilihan pasien.
Banyak kejadian, wanita post aborsi dapat mendapatkan kehamilan sehat kembali. Menurut sumber yang saya baca (https://www.medicalnewstoday.com/articles/327287#future-pregnancies) aborsi yang aman tidak akan mengganggu proses kehamilan selanjutnya. Resiko aborsi menggunakan obat leih rendah daripada aborsi operasi, yang biasanya dipilih oleh seorang ibu pada trimester pertama. Aborsi dengan obat juga memiliki resiko lebih rendah terhadap preterm birth, berat bayi lahir rendah, keguguran, dan kehamilan ektopik.
Aborsi dengan operasi dikenal juga dengan dilation dan kuretase dimana menghilangkan fetus dengan alat penghisap dan alat bernama kuret. Pada beberapa kasus, aborsi operasi dapat menyebabkan luka pada dinding rahim, disebut Asherman’s syndrome. Apabila perlukaan dinding Rahim tersebut terbentuk maka dikhawatirkan akan mengalami kesulitan untuk kehamilan berikutnya.
Terimakasih informasinya, artikel ini menarik!!
BalasHapusSaya ingin bertanya,
Apakah semua aborsi dilarang atau adakah usia kandungan tertentu atau kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk dilakukan aborsi??
Terimakasih
HapusGusti Ayu A. Indra Sari P. (41170152)
Terima kasih atas pertanyaannya. Saya akan mencba menjawab. menurut Pasal 76 UU. No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, aborsi dapat dilakukan sebelum kehamilan berusia 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dala kedaruratan medis. Kondisi yang diperbolehkan untuk melakukan tindakan aborsi tertera pada pasl 75 dalam undang- undang yang sama, yaitu Indikasi kedaruratan medis pada usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa nyawa ibu dan/ atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan dan akibat dari pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis pada korban.
Halo Kak, terima kasih untuk pertanyaanya. Saya Ceny dan saya akan menambahkan jawaban dari teman saya diatas.
Hapus1. Pertanyaan pertama, jika yang dimaksud adalah dari jenis abortusnya, terdapat abortus spontaneous yaitu aborsi yang terjadi tanpa faktor mekanis maupun medicinalis, dan semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah. Abortus yang dilarang adalah abortus provokatus atau aborsi yang disengaja dengan obat-obatan maupun alat.
2. Kondisi tertentu yang menjadi pengecualian sesuai dengan UU No.36 Tahun 2009 melalui Pasal 75 adalah: a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Aborsi akibat perkosaan menurut PP No. 61 Tahun 2014 juga memiliki aturannya sendiri yaitu hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Jika menurut dari Pasal 76 pada UU No.36 Tahun 2009 adalah sebelum 6 minggu.
Terima kasih untuk pertanyaannya. Semoga membantu :)
Apa saja penyebab seseorang memilih untuk menggugurkan janinnya secara illegal?
BalasHapusSaya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusTentunya penyebab seseorang dengan sengaja menggugurkan janinnya bervariasi dan bersifat personal. Menurut Hasto Wardoyo (Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) salah satu penyebab pengguguran janin secara illegal adalah kehamilan yang terjadi di luar pernikahan ataupun jika kehamilan itu terjadi di dalam pernikahan, tetapi salah satu pihak tak menginginkan karena alasan tertentu.
Saya Ginti Lintang Sinkyatri akan menambah penjelasan yang sudah disampaikan oleh teman saya, terima kasih untuk pertanyaan yang sudah diberikan.
HapusApabila dikaji dari Abortion in Indonesia Guttmacher Institute banyak aspek yang harus dipertimbangkan ketika menginginkan momongan termasuk program kehamilan. Pada sumber tersebut, banyak sekali aspek mengapa orang memilih unsafe abortion, salah satunya adalah dari bidang finansial dan prosedur yang harus dijalani pada safe abortion cukup ribet. Dari data yang disampaikan pada sumber tersebut aborsi paling banyak dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah, berpendidikan setara SMA/K, dan minim menggunakan kontrasepsi. Tentu saja tanpa mengesampingkan kesiapan para pasangan untuk memiliki momongan, karena banyak kehamilan yang tidak diinginkan terjadi. Untuk informasi selanjutnya bisa diakses pada sumber terkait.
Setelah membaca artikelnya saya menjadi ingat bunyi pasal 75 ayat (2).
BalasHapusPada pasal 75 ayat (2) terdapat butir sebagai berikut, "kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan." Jika hal ini dilakukan, apakah hal ini tetap melanggar nilai-nilai kemanusiaan ataukah malah membantu korban pemerkosaan mengurangi trauma psikologisnya? Jika teman-teman berada pada posisi seperti ini, apa yang akan teman-teman lakukan? Apakah tetap tidak melakukan aborsi atau akan melakukannya?
Untuk artikelnya sendiri sudah lengkap dan informatif, kasusnya pun menarik untuk dibahas.
Terima kasih atas pertanyaanya,saya Dewianty Paluta akan membantu pertanyaan saudara. Bila kita lihat lebih lanjut pada ayat (3) disebutkan bahwa “tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang”, Bila kita membuka Peraturan Pemerintah no 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi pasal 37 ayat (3), disana dijelaskan apa saja cakupan tujuan dari konseling pra tindakan. Salah satunya ialah “membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi”, secara ringkas tujuan dari konseling ini menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak wanita korban pemerkosaan, disini korban perkosaan akan diberikan hak untuk memutuskan apakah aborsi akan tetap dilakukan atau dibatalkan. Bila ternyata korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi, maka korban perkosaan pun tetap diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, bisa kita lihat dalam Pasal 38 ayat (1) PP no 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi.
HapusSemoga membantu :)
Seharusnya sebagai tenaga kesehatan, ia harus bisa memutuskan untuk melakukan tindakan yang benar. Alasan nya melakukan aborsi karena kasihan dan kemanusiaan. Tapi, tindakannya tidak menunjukkan rasa kemanusiaan. Ia melanggar hak hidup janin tersebut. Semoga calon2 tenaga kesehatan dapat mematuhi kode etik profesi dengan baik dan benar, sehingga dapat menghindari hal-hal seperti ini terjadi kembali di kemudian hari. Lakukan setiap tindakan berlandasakan etika dan moral. Good bless you all
BalasHapusGod*
HapusTrimakasih banyak sudah membaca artikel kami :)
HapusTerimakasih untuk artikel yang menarik ini.
BalasHapusSebelumnya perkenalkan saya Maha Reihani dari Palembang dan salam kenal.
Izin bertanya kepada teman-teman, apakah setelah melakukan aborsi akan menyebabkan susah untuk hamil lagi untuk beberapa orang?
Dan jika ada yang seseorang dapat hamil lagi dengan mudah dan orang itu juga melakukan aborsi lebih dari 2 kali (seperti berita yang sempat viral kemarin) apakah akan menyebabkan gangguan pada rahim dan organ lainnya?
Itu saja, terimakasih
Vanessa Angelin (41170115)
HapusTerima kasih sudah bertanya :) Sebenarnya seseorang yang melakukan aborsi kok bisa hamil lagi itu kondisinya perlu diperiksakan. Terutama kondisi rahimnya, dan tergantung cara aborsinya seperti apa, jika ia aborsi dan kemudian mengalami pendarahan atau hal lain kemungkinan akan mengganggu kehamilan selanjutnya. Bahkan bisa menyebabkan kemandulan. Tapi setelah melakukan aborsi kemudian masih bisa hamil lagi bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Mungkin tidak terjadi efek secara langsung pada si ibu, tetapi efeknya bisa jangka panjang. Aborsi yang dilakukan secara sengaja tanpa ada indikasi lain itu sangat berbahaya. Sekalipun pasien tidak langsung mengalami dampaknya secara langsung, tapi bukan berarti tidak ada dampak. Berita viral hanya salah satu dari banyak kasus, karena dampak aborsi itu bisa mempengaruhi kandungan ibu. Untuk pertanyaan apakah aborsi bisa menyebabkan susah hamil. Yap! bisa menyebabkan kemandulan, itu merupakan faktor risiko aborsi yang dilakukan secara tidak steril, dan merusak kandungan ibu.
Saya Ginti Lintang S akan menambah penjelasan yang sudah disampaikan oleh teman saya. (Safe abortion) Aborsi sendiri ada 2 metode yaitu, metode menggunakan obat dan metode operasi. Metode yang dipilih tentunya berdasarkan usia kehamilan dan pilihan pasien.
HapusBanyak kejadian, wanita post aborsi dapat mendapatkan kehamilan sehat kembali. Menurut sumber yang saya baca (https://www.medicalnewstoday.com/articles/327287#future-pregnancies) aborsi yang aman tidak akan mengganggu proses kehamilan selanjutnya. Resiko aborsi menggunakan obat leih rendah daripada aborsi operasi, yang biasanya dipilih oleh seorang ibu pada trimester pertama. Aborsi dengan obat juga memiliki resiko lebih rendah terhadap preterm birth, berat bayi lahir rendah, keguguran, dan kehamilan ektopik.
Aborsi dengan operasi dikenal juga dengan dilation dan kuretase dimana menghilangkan fetus dengan alat penghisap dan alat bernama kuret. Pada beberapa kasus, aborsi operasi dapat menyebabkan luka pada dinding rahim, disebut Asherman’s syndrome. Apabila perlukaan dinding Rahim tersebut terbentuk maka dikhawatirkan akan mengalami kesulitan untuk kehamilan berikutnya.
Tentu saja bisa untuk hamil kembali, dengan adanya monitoring berkala akan memberikan data kesehatan rahim dan mental status calon ibu. pada sumber yang saya sebut dijelaskan bahwa wanita bisa hamil kembali bahkan kurang dari 2 minggu post aborsi. Namun dokter akan menganjurkan untuk memulai program kehamilan setelah menstruasi pertama selesai (menstruasi setelah aborsi).
Kalau mumifikasi Fetus tu bisa dilakukan aborsi dengan tindakan penyuntikan hormon atau di lakukan pembedahan
BalasHapusAde Novita P. ( 41170156)
HapusHai Arif, terimakasih untuk pertanyaannya ya...
Saya mencoba menjawab ya.
Dari sumber yang saya dapat proses mumifikasi fetus ini terjadi pada hewan yang terserang virus atau bisa pada kelemahan kandungan.
untuk prosesnya dilakukan pembedahan diarea perut untuk mengeluarkan fetus.
Pada manusia sendiri mohon maaf, saya belum menemukan sumber yang valid untuk menjawab pertanyaanmu rif.
terimakasih...
sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6067784/
https://www.researchgate.net/publication/322222331_Management_of_Fetal_MummificationMaceration_Through_Left_Flank_Caesarean_Section_in_Cows_-_Study_of_Four_Cases
https://www.researchgate.net/publication/279251768_Fetal_mummification_in_the_major_domestic_species_current_perspectives_on_causes_and_management
Halo, terima kasih atas pertanyaannya! Ini pertanyaan yang unik karena kasus ini jarang ditemukan. Kalau menurut sumber saya, ini ditemukan pada 1:12.000 kehamilan, 1:184 and 1:200 kehamilan kembar.
HapusIjin mencoba menjawab, setelah membaca sumber saya, Mumifikasi Fetus (Papyraceus Fetus) bukan merupakan suatu kondisi yang memerlukan aborsi (suntik hormon, penggunaan obat atau pembedahan). Walaupun menurut deskripsi kasusnya, dalam kehamilan kembar, terjadi kematian salah satu janin intra uteri. Sehingga janin yang tidak bisa berkembang akan terdesark dan "termumifikasi".
Sumber saya menyarankan dilakukannya manajemen konservasi untuk Ibu dengan kasus mumifikasi fetus (dalam kehamilan trimester ketiganya) Tujuannya adalah untuk memantau dan menjaga kesehatan kehamilan sang Ibu maupun bayinya yang masih hidup. Manajemen konservasi berupa USG tiap 3 minggu dan monitoring profil koagulasi darah setiap minggu. Mengenai kelahirannya, bisa normal (pervaginam) maupun CS (Caesarian section), tergantung dengan kondisi Ibu seperti apa.
sumber:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3976727/
https://www.clinicalkey.com/#!/content/book/3-s2.0-B978032347910300005X?scrollTo=%23hl0000574
-Anasthasia Audi W. (41170112)
Terimakasih sudah membahas tentang aborsi. Artikel ini menambah wawasan pengetahuan saya tentang aborsi.
BalasHapusTerimakasih.
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca makalah kami��
Hapusng berada dalam kandungan seorang ibu juga memiliki hak untuk hidup.
BalasHapusNah dalam hal ini kan si ibu juga memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Bagaimana jika memang pilihan aborsi ini adalah langkah yang memang dia rasa terbaik untuk mempertahankan kehidupan si ibu ? Mungkin secara moral dinilai tabu. Namun mempertahankan hidup itu justru hak setiap orang bukan. Bagaimana pendapat Anda ?
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusPerlu diperjelas pengertian “mempertahankan kehidupan” yang dimaksud bermakna seperti apa. Jika yang dimaksud adalah kehidupan Ibu tanpa beban sosial/ aib dari pihak lain, perlu dipikirkan tentang dukungan moral dan/ atau materi dari keluarga kepada Ibu dan janin yang dikandungnya, sehingga tidak terjadi gangguan/ kendala yang dapat menghindarkan Ibu untuk melahirkan dan membesarkan janinya.
Pengertian dan interpretasi dari kalimat “mempertahankan hidup merupakan hak setiap orang” cukup dapat menjawab keseluruhan dilema apakah aborsi merupakan langkah yang benar - benar terbaik atau tidak.
Izin bertanya jika meminum obat yang bisa menggugurkan bayi di dalam kandungan , apakah efek samping untuk sang ibu ?
BalasHapusVanessa Angelin (41170115)
HapusTerima kasih sudah bertanya :) Jika ditanya tentang, minum obat. pada dasarnya obat tentu memiliki efek samping. Efek samping obat aborsi yang digunakan tanpa pengawasan dokter/ilegal yang paling sering adalah demam tinggi dan pendarahan. buruknya lagi, demam tinggi tersebut dapat menyebabkan syok berat pada ibu dan syok berat tersebut efek paling buruknya bisa sampai kematian ibu. Pendarahan juga efek paling buruknya bisa sampai kematian.
saya Muhamad Fikri Mujtahid mau menambahkan sedikit terkait pertanyaan ini. Efek samping lainnya adalah mual, muntah, kram perut, diare, sembelit, sakit kepala, atau perut terasa begah. Sementara itu, overdosis obat aborsi biasanya ditunjukkan dengan bentuk gejala kejang, pusing, tekanan darah rendah, tremor, denyut jantung melambat, dan sulit bernapas.
Hapuspenggunaan obat-obatan tidak menjamin pengguguran janin secara sempurna. Jika janin tidak digugurkan dengan sempurna, Anda berisiko mengalami infeksi. Janin juga mungkin tetap tumbuh dengan kecacatan atau kelainan.
Kasus kematian karena obat aborsi biasanya diakibatkan oleh perdarahan hebat yang tidak segera ditangani.
Halo, slm kenal sya Elvira.
BalasHapusSya mau bertanya skdkit tntng aborsi.
Brdasarkan beberapa kasus, aborsi kebanyakan trjdi karena Unwanted Pregnancy (Kehamilan yang tidak diinginkan). Bisa saja karena ketidaksiapan wanita, atau pria sebagai pasangan baik dibidang biaya ekonomi keluarga, sosial masyarakat yg tdak mendukung ataupun gangguan Sikologis karena kehamilan yg dialami korban pemerkosaan. Adapun juga kehamilan yg melebihi batas program KB. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah aborsi dapat dilegalkan untuk beberapa alasan diatas?
Jika bisa, bgaimanakan pndpt tmn2 tntng pelegalan aborsi dgn HAM,? jika tidak bagaimana upaya mengatasi permaslahan diatas agar aborsi tidak dilakukan?
Terimakasih ☺
Halo kak Elvira, saya mencoba menjawab, untuk alasan dilakukan aborsi seperti pernyataan diatas tidak diperbolehkan kecuali bagi kondisi yang telah ditetapkan dalam UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi, tidak ada indikasi lain yang memperbolehkan dilakukannya aborsi selain yang diatur dalam UU Kesehatan pasal 75 ayat (2) dan untuk tambahan ditinjau dari UU Kesehatan pasal 76 poin (a) :
Hapus“Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;”
Oleh karena itu untuk tindakan pencegahan aborsi pastinya dari pencegahan terjadinya kehamilan terlebih dahulu. Pencegahan ini dapat dimulai dari sex education yang baik kepada anak/remaja yang sudah mulai memasuki usia reproduktif yang dapat diberikan dari sistem sosial terkecil yaitu keluarga maupun diselipkan sex education dalam kurikulum sekolah serta pada pasutri disarankan mendapatkan edukasi dan ikut serta dalam program KB, pastinya semua didasarkan pada konseling antara pasutri dan dokter yang berkompeten sehingga program KB dapat berjalan efektif mencegah kehamilan.
Untuk pelegalan aborsi dengan HAM sendiri menurut penulis sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 53 ayat (1) :
"Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya."
tetapi dengan segala pertimbangan yang tercantum dalam UU Kesehatan pasal 75 ayat (2) dengan indikasi medis berupa kelainan genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan sehingga tindakan aborsi mungkin dapat disetujui tetapi melalui proses konseling dengan konselor yang tercantum pada UU Kesehatan pasal 75 ayat (3) dan PP Kesehatan Reproduksi pasal 37.
Terima kasih
Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)
Gusti Ayu Agung Indra Sari Putri (41170152)
HapusTerima kasih, Elvira atas pertanyaannya. Saya akan mencoba menjawab. Sepengetahuan saya menurut UU. No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, hanya ada dua kondisi dimana aborsi dapat diperbolehkan yaitu jika ada kedaruratan medis yang mengancam keselamatan ibu dan /atau janin dan kehamilan pada korban pemerkosaan yang mengalami trauma, jika mengacu pada undang- undang tersebut maka aborsi untuk alasan sosial ekonomi tidak dilegalkan.
Untuk hal ini menurut saya cara mengatasinya adalah dengan memberikan sex education yang sesuai untuk usia dan keadaan individu. Tidak hanya dijelaskan risikonya yang berupa kehamilan saja tetapi juga risiko lain seperti permasalahan sosial dan ekonomi.
Terima kasih atas artikelnya. Izin bertanya, apakah ada usia kandungan tertentu untuk janin agar dikatakan 'hidup' dan sudah memiliki hak untuk hidup? Terima kasih
BalasHapusSaya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusUndang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 53 menyatakan tentang “Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya” yang berarti berapapun usia janin dalam kandungan harus tetap dipertahankan untuk hidup sepanjang tidak ada indikasi untuk melakukan abortus provokatus baik secara medis maupun hukum. Hidup manusia baru merupakan “potential human in being” yang juga memiliki hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan.
Terlebih harus diingat kembali mengenai landasan profesi dokter yaitu:
“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan” -Sumpah dokter, dan
“Saya akan menghormati setiap hidup insani” - KODEKI.
Terkait penjelasan mengenai Undang Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan aborsi dan pada ayat (2) yaitu larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
BalasHapusberdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki. Apakah yang dimaksudkan diatas memperbolehkan menggugurkan jika janin memiliki cacat? Bukankah mengugurkan janin yang cacat akan menggeser nilai kemanusiaan? Terima kasih.
Saya Ginti Lintang Sinkyatri, terima kasih atas pertanyaan yang sudah diajukan. Menurut UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana sudah disebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan apabila terdapat kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Dengan highlight, cacat yang dimiliki oleh janin tersebut akan menyulitkan / tidak memungkinkan bayi untuk hidup mandiri di luar kandungan, maka aborsi tidak akan menyalahi nilai kemanusiaan apabila dilakukan berdasarkan alasan tersebut. Karena dirasa tidak manusiawi apabila kita tetap mempertahankan kondisi bayi tersebut yang tidak memungkinkan untuk hidup mandiri ditambah tidak adanya cara untuk memperbaiki cacat yang ia miliki.
HapusTerima kasih atas artikelnya, sangat bermanfaat dan menambah wawasan. Jika berkaitan dengan etika dari profesi dokter, apakah sebelum menjadi dokter ada pembekalan tersendiri yang diberikan kepada teman-teman untuk menghadapi pasien-pasien yang memiliki alasan seperti kasus di atas? Misalnya berupa tindakan yang tepat untuk menghadapi pasien-pasien tersebut
BalasHapusTerima kasih
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusSebelum kami menjalani profesi sebagai dokter, kami akan mengucapkan Sumpah Dokter dan wajib mengamalkannya. Salah satu sumpahnya berbunyi “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan”. KODEKI 2012 pasal 11 mengenai Perlindungan Kehidupan juga menjadi dasar kami sebagai dokter untuk menghadapi kasus seperti ini.
Terima kasih untuk artikelnya yang sangat informatif. Saya ingin bertanya, pada kasus aborsi ini, tentu terdapat dilema etik.Berdasarkan kode etik Non-maleficence, tenaga medis tidak boleh melakukan tindakan yang menyakiti pasien / do no harm (dalam kasus ini: ibu & janin). Akan tetapi berdasarkan kode etik Autonomi, tenaga medis wajib menghargai hak pasien dalam menentukan keputusan terkait tindakan medis.
BalasHapusPertanyaan saya adalah, dengan mempertimbangkan dilema etik ini, jika misalnya operasi tersebut tidak menyebabkan pendarahan/gangguan lain pada ibu, apakah tetap melanggar kode etik ? Terima kasih
-kinoe
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusSesuai dengan KODEKI 2012 pasal 11 mengenai Perlindungan Kehidupan yang berbunyi “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani” dimana cakupan pasalnya yang ke-2 berbunyi “Seorang dokter dilarang terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus…” dan cakupan pasalnya yang ke-5 berbunyi “Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan (abortus provocatus) tanpa indikasi medis yang membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin…”, maka dalam konteks operasi tidak/ menyebabkan pendarahan tetapi masih bertujuan untuk melakukan tindak abortus provocatus makan hal tersebut melanggar kode etik.
Berkenaan dengan kode etik, pasti tidak lepas dari dilema etika. Dalam peraturan disebutkan bahwa aborsi dinyatakan legal bagi :
BalasHapus"Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.”
Apabila seorang wanita menderita gangguan psikologis akibat pemerkosaan, apakah terapinya hanya dengan dilakukan aborsi? Mengapa tidak dilakukan treatment secara psikologis di psikiater terlebih dahulu? Apakah dokter memberi jaminan bahwa dengan pengaborsian akan menyembuhkan luka psikis dan trauma wanita tersebut?
Gusti Ayu Agung Indra Sari Putri (41170152)
HapusTerima kasih atas pertanyaanya. saya akan mencoba menjawab. Untuk gangguan piskologis akibat pemerkosaan tetua terapinya bukan hanya merupakan aborsi. pada pasal 75 ayat 3 UU No.36 Tahun 2009 disebuatkan bahwa “tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang.' Jadi tindakan aborsi yang dilakukan pada korban tidak langsung diputuskan tetapi sebelumnya korban sudah melaukan konseling dengan ahlinya untuk mennetukan tindakan selanjutnya, apakah korban akan mempertahankan kehamilannya atau mengugurkan bergantung dari pilihan korban juga.
Terima kasih untuk pertanyaannya. Saya Ceny sebagai perwakilan kelompok akan membantu menjawab pertanyaan Anda :)
Hapusa. Aborsi bukan merupakan terapi bagi seorang wanita yang mengalami trauma psikologis akibat perkosaan. Pelayanan konseling dan terapi dilakukan dengan psikolog dan/atau psikiater sesuai dengan wawancara pasien serta memperhatikan kebutuhan dari pasien sendiri.
b. Tindakan aborsi yang dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dijelaskan pada ayat (3) yaitu bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Disini jelas tertulis bahwa ada pendampingan psikologis bagi korban perkosaan sebelum adanya tindakan. Tidak serta merta seluruh korban perkosaan akan dilakukan aborsi. Tentunya pengambilan tindakan aborsi telah mendapat persetujuan dari pasien dan merupakan pilihan pasien, serta telah melewati konseling. Tatalaksana psikologis yang dimaksud dapat dilakukan sebelum, selama, dan sesudah tindakan aborsi yang telah disetujui oleh pasien.
c. Dokter sebagai tenaga kesehatan tidak memaksa dan tidak memberi jaminan bahwa aborsi akan menyembuhkan trauma. Sekali lagi, aborsi bukan merupakan terapi bagi seorang wanita yang mengalami trauma psikologis akibat perkosaan. Sehingga, jangan menganggap bahwa aborsi merupakan “solusi” yang diberikan bagi korban perkosaan. Pendampingan dan tatalaksana psikologis yang dilakukan oleh psikolog dan psikiater, dukungan dari keluarga, teman dan lingkungan akan berpengaruh pada kondisi pasien.
Terima kasihh semoga membantu :)
Terima kasih atas pertanyaannya! Saya Audi (41170112), ijin menambahkan yang sudah dijawab oleh teman-teman diatas. Sumber saya dari WHO, saya harap dapat menambah perspektif Anda selain dari pandangan hukum Indonesia.
HapusKalau menurut WHO (https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/97415/9789241548717_eng.pdf?sequence=1) konseling sudah merupakan hal wajib untuk dilakukan pada tahap pre-aborsi. Konseling ini bertujuan untuk men-support sang ibu, menambahkan informasi dan pengetahuan ibu seputar aborsi, dan memberikan pendampingan dan lingkungan aman bagi ibu. Melalui konseling juga, Ibu dapat dibimbing dengan baik dalam pembuatan keputusannya sebelum aborsi. Ibu bisa saja dirujuk ke dokter umum, psikiater atau psikolog untuk mendapatkan konseling, diantara lain untuk mempersiapkan diri menuju aborsi yang legal dan untuk mengantisipasi munculnya gejala gangguan mental, contohnya PTSD.
Konseling juga dapat diberikan pada post-aborsi, apabila dibutuhkan dan Ibu yang baru saja aborsi bersedia. konseling post-aborsi biasanya dilakukan dengan follow-up rutin.
(selain untuk konseling kesehatan mental ibu, melalui follow up rutin ibu juga bisa mengkonsultasikan mengenai kontrasepsi maupun ada/tidaknya keluhan setelah aborsi)
Menurut kelompok, apa yang membuat orang tersebut (dalam ringkasan kasus di bab 2) ingin melakukan tindakan aborsi?
BalasHapusSaya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusMengingat bahwa RA adalah remaja berumur 17 tahun, bisa jadi RA tidak menginginkan kehamilan tersebut dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah belum siap menjadi ibu, takut kehamilannya menjadi aib keluarga, dan karena RA dan MZ tidak dalam status penikahan. Sementara itu, Bidan SM membantu tindak aborsi tersebut dengan atas dasar merasa iba terhadap ibu janin sesuai dengan pernyataan yang tertera di kronologi kejadian Bab 3.
Saya ingin bertanyaa, apakah ada batasan usia bagi seseorang yg ingin melakukan aborsi,?? Bagaimana akibat yang ditimbulkan jika aborsi dilakukan oleh orang yg belum cukup usia??
BalasHapusAde Novita P. ( 41170156)
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya, saya akan mencoba menjawab.
Aborsi sendiri dilakukan ketika terdapat masalah kesehatan yang mengharuskan dilakukannya aborsi ( misal mengancam keselamatan ibu).
Usia untuk melakukan aborsi sudah ditentukan oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi , dimana bisa dilihat dalam pasal 31 mengatakan syarat aborsi dan batas usia aborsi adalah umur kehamilan paling lama 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir.
Pengaturan tentang penyelenggaraan pelayanan aborsi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
Untuk umur ibu yang ingin aborsi tidak ditentukan dalam aturan , tetapi kehamilan akan semakin baik jika organ reproduksi ibu sudah matang ( Perempuan yang hamil di usia remaja, beresiko tinggi melahirkan bayi prematur. Hal ini terjadi karena rahim masih belum sepenuhnya siap mengalami proses kehamilan).
akibat dari aborsi terdapat efek samping psikologis, kehamilan mendatang (misalnya, infertilitas sekunder; kehamilan ektopik; aborsi spontan dan lahir mati; komplikasi kehamilan; kelahiran prematur, kecil untuk usia kehamilan, dan berat lahir rendah), resiko kanker payudara, dan resiko kematian dini, seperti eklampsia dan perdarahan postpartum,
sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3395931/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507237/
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1049386715001589
terima kasih untuk artikelnya, saya ingin bertanya. diatas disebutkan "Melihat hasil aborsi yang dilakukan yaitu janin dapat dikeluarkan dalam keadaan meninggal yang berarti tidakan berhasil tetapi, kondisi RA yang berujung perdarahan yang tak kunjung berhenti menunjukan bahwa lebih dominan potensi kerugian dibandingkan keuntungan yang didapatkan oleh RA"
BalasHapusapakah benefit yang didapat pada kasus diatas sesuai dengan etika yang ada? atau karena kerugian yang didapat memicu pelanggaran pada etika yang ada ?
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusBaik ditemukan komplikasi maupun tidak, jika tujuan utamanya adalah untuk melakukan tindak aborsi maka hal tersebut melanggar kode etik.
Trimakasih atas pertanyaan nya, saya Youlla Anjelina (41170153) ingin mencoba menjawab dan menambahkan dari jawaban teman saya diatas.
HapusMenurut UU No 36 Pasal 75 sudah jelas dikatakan bahwa dilarang melakukan aborsi bagi semua orang, kecuali ada beberapa indikasi seperti yang dijelaskan pada ayat yang kedua (2). Pada kasus ini, tujuan melakukan aborsi bukan berlandaskan indikasi yang sudah tertera pada UU No 36 pasal 75 ayat 2, sehingga benefit yang didapatkan tidak sesuai dengan kode etik.
Jika kita lihat dari kasus ini, kerugian yang didapatkan karena melakukan tindakan aborsi ini adalah perdarahan. Kerugian tersebut didapat karena melakukan aborsi dengan prosedur yang tidak sesuai standar, dan tidak ada kaitan nya dengan pelanggaran Etik. Pelanggaran etik timbul karena melakukan aborsi secara ilegal, dan melakukannya tidak dengan indikasi yang sesuai dengan UU No. 36 Pasal 75 ayat 2
terima kasih banyak untuk jawabannya Nunki dan Youlla. sudah jelas.
HapusBRENDA M RUSTAM (41170167)
Di sini saya banyak akan pengetahuan maksih sangat bermafaat
BalasHapusHai, Terimakasih sebelumnya karena telah mengunjungi artikel kami.
HapusSemoga harimu menyenangkan :)
Terima kasih artikelnya sangat menarik dan mudah saya pahami
BalasHapusSaya ingin bertanya, adakah langkah-langkah edukasi yg dilakukan tenaga medis (dalam hal ini bidan, dokter kandungan) untuk mencegah aborsi, dimana masyarakat luas masih menganggap tabu akan pendidikan seks? bisa diberikan contoh nyatanya?
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusTenaga medis dapat membantu menyampaikan edukasi mengenai alat kontrasepsi, kesehatan reproduksi dan bahaya aborsi ilegal pada remaja baik yang masih duduk di bangku SMA maupun yang putus sekolah. Edukasi dapat dilakukan dengan cara kegiatan di lapangan agar lebih santai dan mudah dipahami siswa. Untuk pasangan suami istri dapat dilakukan kerjasama dengan konselor pre-nikah terutama mengenai jumlah anak yang diinginkan untuk mencegah kehamilan tidak diinginkan yang dapat berujung aborsi ilegal (BKKBN).
WHO menyatakan tindakan abortus legal jika dilakukan oleh tenaga medis professional, prosedyr sesuai kondisi kesehatan ibu, dilajukan secara steril
BalasHapusJika di suatu keadaan sangat darurat dan mengharuskan abortus krn mengancam nyawa ibu tetapi dilakukan dgn peralatan seadanya (mungkin saja non steril) dan dengan teknologi yg sangat minimal sehingga tidak minghiraukan etik "beneficience non maleficience", setelahnya proses abortus selesai dan ibu itu selamat, namun setelahnya mengalami infertil krn tindakan ini.
Yang saya tanyakan yaitu
1. Apakah hal ini dapat di jerat hukum, krn mengakibatkan infertil dan dalam prosesnya mengabaikan etik "beneficience non maleficience" serta dgn tempat dan peralatan non steril ?
2. Bagaimana sikap kita ketika suatu saat ibu ini mengadu ke pengadilan karena adanya infertile ?
~DBD~
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusSetahu kami tidak terdapat kondisi yang memperbolehkan adanya “unsafe abortion” dilakukan. Silahkan baca situs di bawah ini yang juga bersumber pada WHO :
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/44529/9789241501118_eng.pdf?sequence=1
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/70914/9789241548434_eng.pdf;j
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/173586/WHO_RHR_15.04_eng.pdf?sequence=1
Terima kasih kelompok 1, informasinya sangat menarik !
BalasHapusPerkenalkan saya Ni Kadek Ayu Divia (41170131), saya ingin bertanya mengenai tindakan aborsi. Jika ada pasien hamil yang datang bersama dengan pihak keluarganya untuk melakukan aborsi karena suatu alasan tertentu, dan hal tersebut sudah disetujui oleh semua anggota keluarga baik dari pihak wanita maupun pria, akan tetapi jika dilihat dari kondisi pasien seharusnya tidak perlu dilakukan tindakan aborsi. Apakah seorang tenaga medis dapat melakukan tindakan aborsi pada pasien tersebut ? Jika dapat, alasannya apa ? Jika tidak, mengapa dan bagaimana cara memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai hal itu agar pasien bersedia untuk tidak menggugurkan kandungannya ?
Terima kasih.
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusPerlu digali kembali alasan serta apakah terdapat indikasi untuk dilakukan aborsi. Dengan begitu, ibu dan keluarga dapat dipaparkan kembali bahwa tidak ada alasan untuk dilakukannya tindak tersebut. Tenaga medis tetap tidak boleh melakukan tindak aborsi jika tidak terdapat indikasi. Edukasi oleh tenaga medis dapat ditekankan pada kode etik yang dianut dan kaitannya dengan hukum negara mengenai pengguguran janin dengan sengaja tanpa indikasi. Dapat juga dilakukan konseling mengenai rencana apa yang dapat diambil setelah janin dilahirkan yang berkaitan dengan alasan awal ingin dilakukannya aborsi serta dukungan moral.
Terimakasih kepasa penyaji yang telah membuat artikel ini. Saya ingin bertanya kepada penyaji, berdasarkan artikel terdapat 2 peraturan dan Kode etik yang diangkat yaitu UURI no 36 tahun 2009 pasal 75, UUD 1945 pasal 28, dan KODEKI pasal 11.
BalasHapusPertanyaan pertama , bagaimana korelasi dari 2 peraturan tersebut dan KODEKIKODEKI menurut saudara?
Pertanyaan kedua , berdasarkan pertanyaan pertama , manakah yang dijadikan titik berat Dokter untuk melakukan aborsi?
Pertanyaan ketiga , menurut saudara, UURI No. 36 tahun 2009 pasal 75 pada bagian ayat 2 tersebut merupakan suatu tindakan preventif atau persuasif? Terimakasih
Halo kak terima kasih untuk pertanyaannya, saya coba membantu menjawab yang akan saya bagi dengan nomor 1,2 dan 3
Hapus1. UUD 1945 merupakan dasar hukum dari NKRI
UU Kesehatan adalah perwujudan dari UUD 1945 mengingat pada pendahuluan UU Kesehatan tertulis :
"a.) bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;"
KODEKI merupakan merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standar kegiatan anggota suatu profesi dokter yang menghasilkan etika yang harus dipatuhi oleh profesi dokter. Dalam pendahuluan KODEKI terdapat kutipan sebagai berikut :
“Perumusan norma dan penerapan nyata etika kedokteran kepada perseorangan pasien/klien atau kepada komunitas/masyarakat di segala bentuk fasilitas pelayanan kesehatan/kedokteran juga didasarkan atas azas-azas ideologi bangsa dan negara yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945."
2. Titik berat dokter melaksanakan aborsi bisa melihat terlebih dahulu pada KODEKI pasal 11 ayat (5) :
"Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan (abortus provocatus) tanpa indikasi medis yang membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin atau mengakhiri kehidupan seseorang yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh (euthanasia)"
dimana indikasi medis yang dimaksud pada ayat tersebut merujuk pada peraturan yang tercantum dalam Undang Undang RI No. 36 tahun 2004 tentang Kesehatan pasal 75 ayat (2) dan dirincikan lagi pada Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pasal 32
3. Menurut penulis peraturan yang tercantum pada UU Kesehatan pasal 75 ayat (2) tersebut bersifat preventif untuk keselamatan nyawa ibu dan kondisi yang dialami oleh bayi yang menyebabkan sulit hidup mandiri diluar kandungan ibunya
Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)
Tambahan untuk nomor 3
HapusTindakan prevensi gangguan jiwa bagi korban perkosaan
Artikel menarik dan sangat sangat informatif.
BalasHapusizin bertannya, jika seorang anak wanita hamil karna seks diluar nikah ingin mengaborsi kandungannya dengan pertimbangan ingin melanjutkan pendidikan formal selayaknya anak di usianya dibenarkan dalam undang undang? kita tau bahwa pendidikan formal di Indonesia sangat tidak memperkenankan siswi yang mengandung melanjutkan pendidikannya. Pedahal bunyi dari pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yaitu :
"Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan"
Terimakasih.
Terima kasih untuk pertanyaanya. Perkenalkan nama saya Valaenthina C. Bemey, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda.
HapusBerdasarkan UU No. 36 tahun 2009, tepatnya pada pasal 75 ayat (2), dikatakan bahwa seseorang hanya dapat diperbolehkan melakukan aborsi pada 2 kondisi, yaitu pada keadaan kedaruratan medis dan pada korban pemerkosaan. Aborsi dilakukan setelah melalui konseling pra tindakan dan konseling pasca tindakan (dilakukan setelah melakukan aborsi).
Jika merujuk pada pasal dalam UU tersebut, maka sudah tentu tindakan aborsi pada kondisi yang ditanyakan pada pertanyaan di atas tidak diperbolehkan.
Kita perlu melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Alasan siswa yang ingin aborsi agar dapat melanjutkan pendidikan tentu berhubungan dengan aturan yang ada di sekolah siswa tersebut, maupun akibat sanksi sosial yang dihadapi oleh siswa tersebut dan keluarganya (merasa nama baik keluarga tercoreng). Seringnya, pihak sekolah mengeluarkan siswanya karena menganggap siswa tersebut telah melakukan tindakan amoral yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang siswa, yang mengakibatkan kehamilan. Namun, ada juga sekolah yang tetap memperbolehkan siswanya yang sedang hamil untuk dapat melanjutkan pendidikannya. Mengapa demikian? Karena aturan mengeluarkan siswa yang hamil adalah peraturan yang dibuat oleh sekolah tersebut. Sehingga lembaga pendidikan di Indonesia perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang ada di setiap sekolah, tentunya akan memerlukan kerjasama pihak lain yang terkait (Kemendikbud).
Selain itu, salah satu hal yang dapat membantu mencegah terjadinya aborsi di kalangan remaja adalah sex education. Tentunya dibutuhkan keterlibatan seluruh komponen masyarakat, baik pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, hingga keluarga untuk dapat mewujudkannya.
Semoga jawaban ini bisa menjawab pertanyaan Anda, terima kasih.
Artikel yang bagus menambah pengetahuan saya secara pribadi tentang aborsi dalam hal apa saja aborsi untuk dilakukan, Terima kasih buat artikelnya ��
BalasHapusTerimakasih atas pertanyaannya, Maikel. Perkenalkan saya Valaenthina C. Bemey, saya akan mencoba menjawab.
HapusBerdasarkan pasl 75 ayat 2 pada UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, abosri diperbolehkan pada kondisi kegawatdaruratan medis dan pada korban pemerkosaan. Kegawatdarutan medis yang dimaksud adalah pada saat kondisi kehamilan dapat membahayakan ibu maupun janin janin, contohnya adalah kehamilan ektopik (janin tumbuh di luar rahim).
Semoga dapat menjawab, terima kasih.
Izin bentanya
BalasHapusSebelumnya dijelaskaan di dalam artikel bahwa tingam aborsi ilegal di Indonesia amsib sangat tinggi. Dengan begitu apakah di perlukan adanya edukasi plterhadap masyarakat tentang aborsi dan bagaimana bentuk serta cara mengesukasi masyarakat?
Apabila kita mengehtahui teman kita yang berprodlfesi sebagai tenaga mendis dan melakukan aborsi ilegal, langkah apa yang haru kita lalukan?
Terimakasih
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab
HapusMenurut BKKBN, edukasi mengenai kesehatan reproduksi & aborsi perlu diberikan kepada remaja baik yang duduk di bangku SMA maupun yang putus sekolah, serta pasangan suami istri. Hal yang perlu disampaikan adalah mengenai pencegahan aborsi, risiko yang dapat membahayakan diri akibat hubungan seksual di luar pernikahan/ aborsi ilegal, dan konseling mengenai jumlah anak yang diinginkan bagi pasangan yang sudah menikah untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.
Terlepas dari pilihan individu masing - masing, perlu diingat sebagai tenaga medis kita perlu menjunjung tinggi kode etik sebagai pertanggung jawaban atas komitmen kita terhadap profesi.
TALALU ENAK NA E
BalasHapusHai, Terimakasih telah berkunjung diartikel kami.
HapusSemoga artikel kami bisa bermanfaat.
Selamat siang. Artikel yang sangat menarik. Untuk kasus aborsi ilegal di Indonesia sudah banyak dilakukan oleh anak remaja yang hamil di luar nikah. Yang ingin saya tanyakan :
BalasHapus1. Bagaimana cara atau peran dokter baik tenaga medis lainnya untuk mengurangi kasus terjadinya aborsi ilegal di Indonesia?
2. Sebenarnya aborsi sangat bertentangan dengan sumpah Hipocrates. Menurut anda pribadi sebagai calon dokter jika dihadapkan dengan kasus anak remaja hamil yang bukan diperkosa dan ingin mengaborsi kandungan,, bagaimana upaya anda untuk mencegah hal tersebut terjadi?
3. Untuk pendirian klinik aborsi ilegal sendiri apakah tuntutannya sama seperti saat seorang tenaga medis melakukan aborsi ilegal?
Saya Nunki (41170161) sebagai perwakilan kelompok mencoba menjawab untuk pertanyaan 1 dan 2
Hapus1. Dapat dimulai dengan edukasi mengenai alat kontrasepsi dan risiko pengguguran janin yang disengaja dalam konteks ilegal. Kemudian, dokter dan tenaga medis lain dapat ambil andil langsung dengan cara menolak melakukan tindak aborsi ilegal tersebut jika memang tidak terdapat indikasi untuk dilakukannya aborsi.
2. KODEKI 2012 Pasal 11 tentang Perlindungan Kehidupan berbunyi “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani” dimana cakupan pasalnya yang ke-2 berbunyi “Seorang dokter dilarang terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus…” dan cakupan pasalnya yang ke-5 berbunyi “Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan (abortus provocatus) tanpa indikasi medis yang membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin…”.
Hal ini berarti jika tidak ingin melanggar kode etik, seorang dokter seharusnya mengindahkan dan mengamalkan pernyataan - pernyataan tersebut.
Selamat pagi Meca, terima kasih atas pertanyaannya! Saya sebagai perwakilan kelompok 1 (Cynthia Gabriella - 41170103) izin menjawab untuk pertanyaan nomor 3 yaa:
HapusAda hukum tuntutan untuk pelaku aborsi ilegal, dalam hal ini termasuk dengan klinik yang mengadakan aborsi ilegal. Hukum ini diatur dalam Undang-Undang Kesehatan pasal 194.
UU Kesehatan pasal 194 berbunyi:
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.”
Selain itu hal ini juga diatur dalam KUHP pasal 299 ayat (1),(2), dan (3), 346, 347 ayat (1), 348 ayat (1), dan 349 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 299
Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 348
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Terima kasih atas kelompok, karena menurut saya artikel pembahasan ini sangat menambah informasi bagi saya. Sebagai orang awam yang kurang mengetahui dunia kesehatan maupu kedokteran, saya ingin bertanya dalam kondisi kesehatan seperti apakah seorang ibu harus melakukan aborsi pada janin yang dikandungnya jika dilihat dari sisi medisnya?
BalasHapusPertanyaan kedua apakah ada kemungkinan terjadinya infeksi yang akan dialami oleh sang ibu jika proses aborsi dilakukan di tempat yang sebenernya tidak diperuntukkan untuk aborsi seperti di hotel, kamar kos dll.
Pertanyaan ketiga apakah ada kemungkinan sang ibu akan mengalami kemandulan setelah melakukan tindakan aborsi yang bersifat legal maupun ilegal?
Terima kasih☺️
Trimakasih atas pertanyaan nya, saya Youlla Anjelina ( 41170153 ) mencoba menjawab ya
HapusPada dasarnya, Aborsi/Pengguguran(ProceduredAbortion/AbortusProvocatus/Incuded Abortion) Secara medis, aborsi ialah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup diluar kandungan (viability).
Proses abortus dapat berlangsung dengan cara :
a. Spontan/alamiah (terjadi secara alami, tanpa tindakan apapun);
b. Buatan/sengaja (aborsi yang dilakukan secara sengaja);
c. Terapeutik/medis (aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena
terdapatnya suatu permasalahan/komplikasi)
1. Jadi berdasarkan pertanyaan pertama, kondisi medis yang mengharuskan seorang ibu melakukan aborsi adalah jika terdapat suatu permasalahan atau komplikasi yang menurut UU No 36 pasal 75 ayat 2 Nomor 1 dikatakan bahwa Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
2. Pada dasarnya, infeksi dapat muncul jika peralatan medis yang digunakan tidak steril. Jika berkaitan dengan ruangan yang digunakan, apabila di atur sedemikian rupa sama persis dengan ruangan di rumah sakit yang sesuai dengan standard dan tetap menggunakan peralatan steril, maka kemungkinan infeksi kecil. Tapi, sebaiknya hal tersebut tidak dilakukan, jadi untuk mencegah terjadinya infeksi pada ibu, seharusnya dan selayaknya dilakukan aborsi dengan cara yang sesuai dengan prosedur.
3. Dalam medis, mandul dinamakan infertilitas. Kemungkinan sang ibu akan mengalami kemandulan sangat mungkin terjadi jika dijalankan dalam proses yang tidak sesuai prosedur ( tidak steril). Kemungkinan tersebut bukan karena aborsi yang ilegal, namun karena aborsi yang tidak steril sehingga dapat menyebabkan infeksi, dimana infeksi ini lah yang dapat menyebabkan kemandulan. Kebanyakan aborsi ilegal dilakukan secara tidak prosedural ( tidak steril ) dan aborsi legal dilakukan secara steril. Jadi, bisa disimpulkan bahwa aborsi ilegal jika dilakukan secara tidak steril, maka bisa kemungkinan menimbulkan kemandulan pada pasien.
Trimakasih, semoga menjawab ya :)
Bagus Made Arisudana WPS (41170110)
BalasHapusartikel yang menarik dan bermanfaat.
saya ingin bertanya, dalam kasus tersebut tindakan dilakukan oleh seorang bidan dan pada analisis pelanggaran etika/norma salah satu sumber yg dikutip penulis yaitu dari kodeki (kode etik kedokteran indonesia), yang ingin saya tanyakan apakah kasus bidan ini juga memiliki kode etik yang sama dan bisa mengambil dasar dari kodeki kalau seorang bidan melanggar etika, seperti yang dikutip penulis (apakah alasannya hanya karena, seorang bidan masuk ke dalam kategori tenaga medis, sehingga mengutip kode etik dari KODEKI)?
juga, apakah bidan memiliki kode etik tersendiri yang berbeda dengan seorang dokter?
jika memiliki kode etik yang berbeda, poin kode etik yang mana saja yang membedakan antara seorang dokter dan bidan?
Halo Ari, terimakasih sudah bertanya. Perkenalkan saya Claudius akan mencoba menjawab pertanyaan anda. Pertama dari sumber yang saya baca bahwa seorang bidan dan dokter memiliki kode etik tersendiri dan berikut isinya secara garis besar :
HapusKode etik kedokteran memuat tentang :
1. Kewajiban umum
2. Kewajiban dokter terhadap pasien
3. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat
4. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri
Kode etik profesi kebidanan :
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya
3. Kewajiban Bidan terhadap sejawab dan tenaga kesehatan lainnya
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air
7. Penutup
Dalam hal ini kami mengangkat KODEKI karena seorang bidan masuk ke dalam kategori tenaga medis dan kita sebagai calon dokter juga harus mengetahui akan hal tersebut. Tetapi jika seseorang yang sudah bekerja melakukan pelanggaran terhadap kode etik profesi maka diberikan sanksi sesuai yang telah diatur oleh organisasi profesi. Sedikitnya ada 2 jenis sanksi, yaitu sanksi moral dan sanksi dikeluarkan dari organisasi. Selain itu hukuman yang diberikan juga disesuaikan dengan tindakan yang dilanggar dalam konteks ini mereka dijerat dengan pasal 77 A, pasal 45 A UU RI No 35 tahun 2014 tentang Anak, dan atau pasal 346 KUHP, pasal 299 KUHP, dan atau pasal 348 KUHP.
terimakasih kak... artikelnya menarik ..
BalasHapus.
.
izin bertanya kak apakah ketika seorang pasien datang kepada dokter untuk hal seperti ini apakah dokter memiliki hak khusus yang memperbolehkan untuk membuka data klinis pasien ini ke kepolisian misalnya ? dengan tanpa persetujuan pasien terhadap kondisinya ?
Ade Novita P. ( 41170156)
HapusHai Valen, terimakasih untuk pertanyaannya.
Saya mencoba untuk menjawab ya...
Ditinjau dari PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 269/MENKES/PER/III/2008 TENTANG REKAM MEDIS. Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa Rekam Medis dapat serahkan kepada penegak hukum apabila memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan, dan alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran, dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi (pada pasal 10 ayat 2 dan pasan 13 ayat 1)
Jika pasien didapati melanggar hukum dalam bentuk apapun yang tercatat dalam rekam medis, maka rekam medis tersebut bisa diberikan kepada penegak hukum untuk dilakukan peradilan.
Ini tambahan ya..
HapusRekam Medis juga bisa digunakan untuk penyelidikan terhadap suatu kasus, yang tidak harus dilakukan oleh pemilik Rekam Medis.
Terimakasih teman-teman atas artikelnya. Artikel yang sangat menarik!
BalasHapusSaya Danny. Saya sangat setuju dengan pemaparan yang disampaikan mengenai sex education.
mohon izin bertanya
Berdasarkan data dari SDKI, "Persentase wanita dan pria yang mempengaruhi teman atau seseorang untuk tidak melakukan aborsi
menurun yaitu 30 persen pada SDKI 2012 menjadi 24 persen pada SDKI 2017. Meskipun demikian angka
wanita dan pria yang mengetahui teman atau seseorang untuk melakukan aborsi persentasenya cenderung
tetap pada SDKI 2012 dan 2017"
Data di atas menunjukkan bahwa sex education sangat penting dilakukan.
Mengingat keadaan masyarakat Indonesia yang masih menganggap tabu hal tersebut, menurut teman-teman
-Bagaimana sex education yang efektif?
-Sektor apa saja yang perlu dilibatkan dalam upaya sex education yang komprehensif?
-Pada umur berapa yang tepat bagi seorang anak untuk mulai diajarkan sex education?
Terimakasih banyak dan semangat selalu, semoga artikelnya makin bermanfaat bagi banyak orang!
Trimakasih sudah membaca artikel kami dan atas pertanyaan nya, saya Youlla Anjelina ( 41170153 ) mencoba menjawab salah satu pertanyaan nya kaka ya..
Hapus1. Pendidikan seks yang efektif trutama pada anak - anak menurut seorang Psikolog Anak Universitas Indonesia, mengatakan bahwa penerapan pendidikan seks pada anak sejak usia dini oleh orang tua disarankan menggunakan media berupa video animasi untuk mempermudah penyampaian. Sedangkan untuk remaja, menurut UNICEF keluarga sangat memegang peranan penting dalam hal sex education, sehingga sebaiknya pendidikan seks bisa tersampaikan dengan baik kepada seseorang melalui keluarga yang selalu memberikan penjelasan tentang hal seksual.
Terima kasih atas pertanyaannya, Danny. Perkenalkan saya Valaenthina C. Bemey, saya akan mencoba menambahkan jawaban atas pertanyaan Anda.
HapusSex education akan menjadi efektif bila dilakukan sejak usia dini, di mulai dari dalam keluarga. Contohnya ketika seorang anak berusia balita mulai menunjukan rasa penasaran pada alat kelaminnya, orang tua dapat mulai mengenalkan alat kelamin kepada anaknya dengan tidak mengganti nama alat kelamin dengan sebutan yang lain. Pada saat anak telah berada di usia sekolah, terlebih ketika menginjak masa pubertas, orang tua dapat mengenalkan tentang perubahan-perubahan apa saja yang dapat terjadi pada anak. Jika anak berjenis kelamin laki-laki, maka si ayah dapat mengambil peran, sebaliknya jika si anak adalah perempuan maka si ibulah yang mengambil peran dalam mengenalkan pada anak.
Selain di dalam keluarga, pihak lain yang perlu terlibat adalah lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, dan masyarakat luas. Pemerintah, dalam hal ini merujuk pada Kemendikbud, dapat menyisipkan pendidikan kesehatan reproduksi pada kurikulum yang ada pada setiap jenjang pendidikan. Sekolah dapat memfasilitasi murid-muridnya dengan guru yang berkompeten dalam mengenalkan pendidikan kesehatan reproduksi, atau dapat juga bekerja sama dengan tenaga kesehatan. Lembaga kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit diharapkan mampu memberikan konseling terkait kesehatan reproduksi pada setiap orang yang membutuhkan. Masyarakat yang lebih paham dapat menolong orang lain yang belum memahami atau menyarankan orang yang meminta saran terkait kesehatan reproduksi untuk mencari saran dari tenaga profesional.
Semoga dapat menjawab pertanyaan Anda, terima kasih.
Permisi, Saya ingin bertanya...Perempuan sebagai pelaku aborsi yang memiliki alasan yang mungkin membuat mereka mengambil keputusan tersebut, apakah mereka masih memiliki sebuah pilihan yang lebih baik untuk tidak melakukan hal tersebut dan tetap mempertahankan calon bayi mereka? Mungkin dari badan pelayanan masyarakat atau perempuan dan anak atau yang lainnya yang bisa membantu mereka? Terima Kasih sebelumnya
BalasHapusTerimakasih sudah bertanya, perkenalkan saya Claudius yang akan mencoba menjawab pertanyaan anda. Pertama, perlu disadari bahwa aborsi bukanlah merupakan pilihan ideal yang sedapat mungkin dihindari. Perlu diambil langkah-langkah preventif agar kondisi yang menimbulkan terjadinya kehamilan tidak dikehendaki dapat dikurangi sehingga perempuan terhindar dari dorongan untuk melakukan aborsi. Disinilah pentingnya lembaga advokasi yang sedapat mungkin melibatkan ahli kandungan, ahli jiwa, dan ahli agama. Klinik-klinik kesehatan yang sering didatangi pasien yang meminta pelayanan aborsi perlu pula dilengkapi dengan pelayanan advokasi, yang secara sungguh-sungguh memberikan bimbingan kepada klien yang mengalami kehamilan tak dikehendaki untuk tidak melakukan aborsi. Dari sisi pasien, keputusan melakukan aborsi sesungguhnya bukan merupakan keputusan yang mudah. Aborsi adalah tindakan medis yang banyak menimbulkan komplikasi medis (pendarahan,infeksi, infertilitas, kanker rahim, bahkan kematian), dan proses pertolongan aborsi adalah proses yang secara fisik menyakitkan. Selain itu, aborsi menimbulkan konsekuensi kejiwaan dan sosial yang besar bagi pelakunya. Risiko seperti itu tentu diketahui oleh mereka yang melakukan aborsi. Oleh karena itu, keputusan aborsi selalu merupakan pilihan terakhir yang bersifat darurat. Tetapi terkadang tidak jarang pula seorang perempuan tetap bersikeras ingin melakukan aborsi tanpa menghiraukan risiko tersebut dengan alasan tertentu. Mungkin jika seperti itu salah satu pilihan yang dilakukan agar perempuan itu tetap mempertahankan janinnya adalah dengan memberikan (mendonasikan) bayinya kepada orangtua yang menginginkannya dan menurutnya sanggup menjaga bayinya atau bisa juga kepada panti sosial.
HapusMempertimbangkan aborsi masih dianggap tabu oleh kultur masyarakat sekitar, menurut kalian apakah pemerintah masih perlu meninjau ulang kebijakan mengenai aborsi? Terima kasih perhatiannya.
BalasHapusTerima kasih untuk pertanyaan Saudara/i. Aborsi mempunyai stigma di kalangan masyarakat kita. Tidak dipungkiri bahwa aborsi masih dianggap suatu hal yang tabu. Aborsi provokatus (yang dilakukan dengan sengaja menggunakan obat atau alat), mempunyai pengecualian bagi perempuan dengan indikasi kegawatdaruratan medis dan korban perkosaan yang diatur dalam UU No.36 Tahun 2009. Menurut saya, peninjauan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah mengenai kejelasan hak dan perlindungan hukum yang didapatkan bagi korban perkosaan yang memilih aborsi. Lain daripada itu, melihat angka aborsi yang masih tinggi di Indonesia, salah satu langkah pencegahan yang dapat diambil adalah pemberian Edukasi Seks bagi remaja, karena pemberian edukasi seks yang masih kurang membuat remaja mencari tahu sendiri dengan sumber yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Terima kasih semoga membantu.
HapusPertama, terima kasih kepada para penulis yang sudah bersedia membahas topik, sensitif namun diperlukan, ini.
BalasHapusDi Indonesia, terdapat pengecualian tindakan aborsi bagi pasien beralasan medis dan korban pemerkosaan. Namun, pada realitanya sendiri, korban pemerkosaan ditekan dan dipaksa untuk mempertahankan janin yang tidak diinginkan tersebut. Trauma dan tekanan batin yang dialami korban sering dianggap remeh dan tidak diperhatikan, hingga akhirnya trauma tersebut menjadi luka batin yang lebih dalam; dimana hal itu dapat menimbulkan suicidal tendencies dan PTSD. Kemungkinan korban pemerkosaan nekad melakukan bunuh diri atau aborsi mandiri (menggunakan obat-obatan tanpa dokter) sangat besar.
Pertanyaan saya yang pertama, anda sekalian sebagai manusia dan calon dokter, apakah anda dapat memilih antara kesehatan fisik atau kesehatan psikis calon ibu korban pemerkosaan tersebut? Serta apa konsekuensi dari masing-masing pilihan tersebut?
Pertanyaan kedua saya, janin tersebut memang memiliki hak hidup, tapi tidakkah perempuan tersebut juga memiliki hak hidup?
Sekian dan terima kasih.
Halo Humblebug, Terima kasih untuk pertanyaannya, sebelumnya saya meminta maaf terlebih dahulu jika jawaban saya mungkin kurang memuaskan saudara.
HapusUntuk pertanyaan pertama kita bisa tinjau dari UU Kesehatan pasal 1 ayat (1) :
"Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis."
Kesehatan tiap individu memliki 4 aspek yaitu fisik, mental/psikis, spiritual dan sosial yang dimana keempat aspek tersebut berhubungan bagaikan pilar bangunan, jika salah satu aspek terganggu/rusak maka akan terjadi ketidakseimbangan dan apabila ketidakseimbangan tersebut terus berlangsung tanpa ada perbaikan maka akan berakhir dengan sakit. Keempat aspek sehat tersebut juga dapat mempengaruhi satu sama lain sehingga kesehatan tiap orang harus dilihat secara menyeluruh.
Untuk pertanyaan kedua, tindakan abortus yang dilakukan pada korban pemerkosaan sendiri sebelum diputuskan akan dilakukan konseling terlebih dahulu dengan korban pemerkosaan yang memenuhi syarat layak abortus yang tercantum pada PP RI Kesehatan Reproduksi pasal 32 dan pada pasal 37 ayat (1) berisi :
"Tindakan aborsi berdasarkan indikasi darurat medis dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling."
Perlu diingat dalam konseling bukan sebagai sesi mendengarkan nasihat dan saran dari dokter tetapi sesi konseling segala keputusan dilimpahkan kepada korban dan/atau keluarga korban perkosaan dan dokter disini hanya sebagai pihak yang menjelaskan dampak dari keputusan baik segi positif maupun negatif dari setiap keputusan yang akan dibuat oleh korban dan/atau keluarga korban.
Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)
Halo, Humblebug! Terima kasih pertanyaannya. Saya Anasthasia Audi (41170112) ijin menambahkan jawaban teman saya, ya.
HapusPada kenyataannya, kami tidak dapat memilih untuk menyelamatkan salah satu. Kesehatan merupakan keadaan yang utuh dan komponennya (sehati fisik maupun sehat jiwa) sama-sama berhubungan satu sama lain. Karena kita memilih balance, konsekuensi yang dapat muncul adalah timbulnya sequelae (sisa trauma yang membekas) yang lebih berat dari salah satu sisi (Jiwa atau Fisiknya). Maka dari itu, tetap disaranakan konseling pre dan pasca aborsi, yang harapannya mampu mengurangi sequelae aborsi pada kesehatan mental dan penggunaan alat steril oleh tenaga medis profesional untuk meminimalisir sequelae aborsi pada kesehatan fisik. (https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/97415/9789241548717_eng.pdf?sequence=1)
Betul bahwa Ibu maupun Anak sama-sama memiliki hak untuk hidup. Maka bila di lihat di sisi Pro-life nya, aborsi dibatasi hanya pada kasus-kasus yang mendesak (emergency) dan apabila Ibu hamil karena pemerkosaan. (UU no. 26 Tahun 2009)
Terimakasih atas artikelnya yang mendidik.
BalasHapusSaya mau bertanya, sebelumnya telah tertulis bahwa tindakan aborsi yang illegal, memiliki kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya, lalu bagaimana dengan tidak aborsi yang dilakukan atas petunjuk dokter (karena penyakit / gangguan tertentu), apakah kerugian akibat tindakan aborsi tersebut masih memiliki lebih banyak kerugian daripada keuntungannya?
Terimakasih sebelumnya.
Ade Novita P. (41170156)
HapusHai Putra, Terimakasih untuk pertanyaannya. Saya mencoba menjawab ya.
Aborsi yang dilakukan oleh dokter secara legal tentu sudah melalui tahap pengkajian yang mendetail, dengan mempertimbangankan segala aspek yang bisa terjadi, termaksut dengan kerugian dan keuntungannya.
Sebagai seorang dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya, menjadi tanggung jawab untuk menyelamatkan hidup pasien dan menghargai setiap insan. Untuk itu, tentulah hasil pertimbangan untuk dilakukannya aborsi dinyatakan legal pasti telah mencapai kesepakatan bahwa jalan tersebut adalah jalan yang terbaik dari yang terburuk untuk di ambil.
Misal, dalam suatu keadaan seorang ibu harus diaborsi karena kondisi bayinya yang mengancam keselamatan ibunya, dan tingkat bayi lahir hidup rendah, maka jalan yang bisa diambil adalah dengan melakukan aborsi pada bayi.
Setiap tindakan aborsi pasti memiliki efek samping dan kerugian, tetapi tentu sudah dipertimbngankan keuntungan yang didapat melebihi kerugian yang ada.
Sebelum dilakukan aborsi, harus ada persetujuan dari keluarga, dan ibu dari bayi yang akan di aborsi dan keluarga harus diberi penjelasan secara rinci dan jelas tentang prosedur tindakan, setiap kemungkinan yang bisa terjadi baik mengambil prosedur ini atau jika menolak prosedur ini, risiko dan efek samping yang mungkin akan terjadi.
Saya Ginti Lintang Sinkyatri akan menambah penjelasan yang sudah disampaikan oleh teman saya. (Safe abortion) Aborsi sendiri ada 2 metode yaitu, metode menggunakan obat dan metode operasi. Metode yang dipilih tentunya berdasarkan usia kehamilan dan pilihan pasien.
HapusBanyak kejadian, wanita post aborsi dapat mendapatkan kehamilan sehat kembali. Menurut sumber yang saya baca (https://www.medicalnewstoday.com/articles/327287#future-pregnancies) aborsi yang aman tidak akan mengganggu proses kehamilan selanjutnya. Resiko aborsi menggunakan obat lebih rendah daripada aborsi operasi, yang biasanya dipilih oleh seorang ibu pada trimester pertama. Aborsi dengan obat juga memiliki resiko lebih rendah terhadap preterm birth, berat bayi lahir rendah, keguguran, dan kehamilan ektopik.
Aborsi dengan operasi dikenal juga dengan dilation dan kuretase dimana menghilangkan fetus dengan alat penghisap dan alat bernama kuret. Pada beberapa kasus, aborsi operasi dapat menyebabkan luka pada dinding rahim, disebut Asherman’s syndrome. Apabila perlukaan dinding Rahim tersebut terbentuk maka dikhawatirkan akan mengalami kesulitan untuk kehamilan berikutnya.
Hallo.saya Lisa.sy ingin bertanya.
BalasHapusApa ancaman pidana trhadap pelaku aborsi ilegal dan dari pihak kesehatan (dokter) yg telah mengizinkan mlakukan aborsi ? Selain itu banyak yg bilang bisa mengugurkan kandungn dgn mengkonsumsi sprite yang dicampurkan dengan garam .apakah ini fakta atau mitos ? Dan jika benar apa efek sampingnya terhadap tubuh wanita yang melakukan tindakan trsebut ?
Terimaksih.
Baik terimakasih atas pertanyaannya, saya Arike Trivena (41170109) akan mewakili kelompok untuk menjawab pertanyaan, sebelumnya terimakasih telah membaca artikel kami.
HapusMengenai hukum pidana bagi pelaku aborsi ilegal tercantum dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuannya sebagai berikut:
Pasal 299
1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 348
1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Sedangkan untuk tenaga kesehatan yang mengizinkan maupun melakukan aborsi, maka tindak pidananya tercantum sebagai berikut:
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Untuk penggunaan sprite maupun minuman bersoda lainnya, saat ini belum ada penelitian medis yang membuktikan hal tersebut. Namun benar bahwa minuman berkafein, salah satunya salah minuman bersoda dapat menyebabkan kontraksi pada rahim pada sebagian orang. Rahim yang berkontraksi karna hal inipun tidak selalu menyebabkan keguguran. Tambahan garam pada minuman inipun tidak bisa dipastikan akan menyebabkan keguguran pada kehamilan
Terimakasih ulasan bagus tentag aborsi.
BalasHapusYang mau sy tanyakan bagaimana mengenai efek kesehatan fisik dan mental bagi pasien yang telah menjalani aborsi.?
Adakah konseling yg bisa diberikan kpd pasien ?
Trimakasih atas pertanyaan nya,
HapusEfek fisik yang mungkin akan didapatkan pasien setelah melakukan aborsi adalah :
1. Keram perut : karena uterus (rahim) yang berkontraksi sebagai usaha pengeluaran janin maupun efek dari penggunaan obat saat melakukan aborsi.
2. Akan terjadi proses peradangan pada dindin rahim bahkan sampai menimbulkan bekas luka
3. Perdarahan : terjadi karena tubuh berusaha untuk mengeluarkan sisa jaringan dan meluruhkan dinding rahim yang tadinya tebal
4. Mual muntah, rasa lelah : hal ini karena terjadi karena sempat terjadi lonjakan hormon
Sumber : http://origin.searo.who.int/indonesia/topics/safe_abortion_technical_and_policy_guidance.pdf
Efek Mental
berkaitan dengan efek mental, banyak pasien aborsi yang merasa kehilangan, kecewa, dan merasa bersalah dan bisa berakhir menjadi depresi.
Sumber : American Pregnancy Association (2017). After A Miscarriage: Surviving Emotionally.
Trimakasih
Youlla Anjelina (41170153)
Trimakasih atas pertanyaan nya, saya mencoba menjawab berkaitan dengan konseling
HapusJika terkait dengan kesehatan reproduksi pasien, konseling yang dianjurkan adalah konseling tentang kontrasepsi ( KB ) yang cocok digunakan untuk pasien. Namun, jika pasien terlihat ada tanda - tanda depresi, maka konseling oleh dokter ataupun psikolog sangatlah membantu pasien.
Trimakasih
Youlla Anjelina (41170153)
Perkenalkan saya Arike Trivena (41170109) akan menambahkan jawaban mengenai pertanyaan anda tentang konseling.
HapusPada pasal 75 ayat (3) Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melakukan konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan aborsi harus dilakukan tindakan konsultasi baik sebelum dan sesudah melakukan tindakan. Pada ayat tersebut juga mejelaskan yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang memiliki minat dan keterampilan tentang itu. Konseling ini sangat penting karema sebagian besar wanita akan memiliki beban mental yang kuat setelah meakukan aborsi.
Terimakasih
Saya Ginti Lintang Sinkyatri akan menambah penjelasan yang sudah disampaikan oleh teman saya. Mengenai konseling yang dapat diberikan kepada wanita atau pasangan post aborsi di Indonesia terdapat Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang menyediakan program-program untuk konseling KTD, untuk lebih jelasnya silakan berkunjung ke https://pkbi.or.id/.
HapusDari buku Counselling for Maternal and Newborn Health Care: A Handbook for Building Skills, seorang konselor harus mampu mengembangkan kemampuan meningkatkan kepercayaan dengan wanita, active listening, refleksi diri, empati dan respek sebelum melakukan konseling dengan wanita subjek. Pada buku tersebut juga terdapat konten konseling yang berguna untuk membangkitkan semangat subjek. Fokus dari konseling yaitu, self care, family planning, dan danger signs.
Disini saya sertakan 1 penelitian mengenai konseling family planning tentang penggunaan konstrasepsi yang diberikan kepada pasangan post aborsi. Dari data yang diberikan oleh The Diyarbakir Office of Turkish Family Planning Association (DTFPA) terdapat peningkatan 75,9% penggunaan kontrasepsi setelah aborsi daripada yang belum pernah melakukan aborsi dan 52,3% wanita menggunakan IUD.
Konseling dilaksanakan di ruang tertutup dengan durasi 20-45 menit dan dijamin keaman dan kerahasiaannya oleh konselor. Mereka membantu klien untuk memahami hak reproduktif legal yang dimiliki klien, mengajarkan bagaimana mencapai tujuan (goals) mereka melalui edukasi yang bagus dan mudah tersampaikan.
Berbagai alasan para klien memilih aborsi ialah tidak stabilnya finansial, tidak mau memiliki dan memelihara anak, ingin menunda kehamilan, usia lanjut (kebobolan), resiko kesehatan janin dan ibu.
berikut sumber yang dapat saya berikan:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK304195/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2651169/
Terima kasih atas artikelnya, sangat informatif.
BalasHapusBerikut pertanyaan saya, terkait tenaga kesehatan yang telah dicabut surat izin prakteknya, apakah mungkin untuk didapatkan kembali? Apakah syarat-syaratnya? Atau selamanya tidak akan bisa praktik?
Terima kasih sebelumnya ��
Salam sejahtera, terimakasih atas pertanyaan yang telah diberikan oleh saudara/i, disini saya mencoba untuk menjawab.
HapusBerdasarkan UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan Permenkes RI No 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang izin praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran, setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran di Indonesia harus memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) dan SIP (Surat Ijin Praktik).
Menurut UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 29 ayat (3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a.memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b.mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
c.memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d.memiliki sertifikat kompetensi; dan
e.membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Sedangkan menurut UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 38 ayat (1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :
a)memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
b)mempunyai tempat praktik; dan
c)memiliki rekomendasi dari organisasi profesi
Dimana menurut Permenkes RI No 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang izin praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran pasal 32, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIP Dokter dan Dokter Gigi dalam hal:
a. atas dasar rekomendasi MKDKI;
b. STR Dokter dan Dokter Gigi dicabut oleh KKI;
c. tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPnya; dan/atau
d. dicabut rekomendasinya oleh organisasi profesi melalui sidang yang dilakukan khusus untuk itu
Dimana SIP berlaku untuk 5 tahun dan SIP berlaku sepanjang STR masik berlaku dan tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
Terima Kasih,
Tillandsia Filli Folia P (41170105)
Sebelum terimakasih, ulasan nya bagus sistematis dan berdasarkan fakta empirik di lapangan.pertama bicara soal aborsi merupakan tindakan yang melawan hukum , kedua ini tidak dibenarkan secara aspek agama. Inti nya ini soal kemanusiaan, tetapi memang orang melakukan aborsi karena memang jika dilihat dari aspek sosial ada rasa ketakutan dengan lingkungan,atau bahkan lingkup keluarga... Nah berangkat dari pernyataan saya di atas maka ada beberapa pernyataan yang kemudian saya ingin sampaikan kepada rekan rekan yang membuat artikel ini..
BalasHapus1. Jika teman yang bergelut pada bidang kesehatan terutama dokter itu kan ada 3 tangung jawab besar yakni tangung jawab moral,sososial dan profesional, nah tangung mana yang teman teman dahulukan jika menemukan kasus ini?
2. Apa langkah kongkrit sodara yang sodara akan lakukan jika berada di tengah tengah masyarakat, lingkup pendidikan agar semua orang paham bahwa aborsi itu bukan satu satunya cara?
Halo kak Cobas, Terimakasih sudah bertanya. Perkenalkan saya Claudius yang akan mencoba menjawab pertanyaan anda.
Hapus1. Untuk yang pertama, untuk menjadi seorang dokter 3 tanggung jawab yang anda sebutkan saya memilih Profesionalisme. Berangkat dari kode etik dan aturan aturan yang berlaku di indonesia, juga dalam sikap profesionalisme sudah termaksud moral dan sosial. Jadi dalam bidang kedokteran kita dituntut untuk memiliki sikap profesionalisme dimana dalam hal ini jika kita memilikinya maka kita akan bertindak sesuai dengan tanggung jawab moral dan sosial
2. Hal konkret yang bisa saya lakukan adalah melakukan Sex Education dimana ini sangat penting , dengan Sex Education diharapkan memperkecil angka kehamilan diluar pernikahan yang bisa berujung aborsi.
Disamping itu pentingnya edukasi pasca menikah tentang setiap kemungkinan yang mungkin bisa saja terjadi ( termasuk edukasi tentang aborsi itu sendiri).
Sebelumnya, perkenalkan nama saya Maryam Welmince Dakabesi.
BalasHapusTerimakasih untuk materi yang diberikan.
Sangat menarik dikalangan anak muda jaman sekarang.
Saya ingin bertanya, sesuai dengan RKUHP yang naru dimana korban pemerkosaan tidak boleh mengugurkan kandungannya karena akan dipidana.
Dilihat dari sisi kesehatan mental tentu korban akan mengalami gangguan mental. Jika dilihat dari sisi klinis yang lain, bisa saja ada trauma diarea vagina korban maupun area yang lain.
Bagaimna tanggapan kalian sebagai tenaga medis mengenai hal tersebut.
Apakah menurut kalian korban tidak boleh melakukan aborsi dengan alasan diatas?
Jika tidak, apa solusi terbaik yang bisa anda tawarkan sebagai tenaga medis.
Terima kasih
Terima kasih atas pertanyaannya! Saya Cynthia G (41170103) coba menjawab pertanyaan ini ya...
HapusTerkait RKUHP yang baru ada pasal kontroversional tentang aborsi yang saat ini sedang ditinjau ulang terkait isi pasalnya. Permasalahan ini terletak pada aturan pengecualian beberapa kasus aborsi yang tidak tertulis dalam RKUHP yang baru. Sejauh ini pendapat saya sebagai tenaga medis terkait aturan aborsi masih mengikuti aturan yang berlaku, yaitu sebagai berikut:
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75 ayat (2) :“Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancbm nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.”
Terkait kasus aborsi, maka yang dapat dilakukan sebagai tenaga medis adalah bertindak secara profesional sesuai dengan kode etik dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Terima kasih.
Selamat malam, topik yang menarik bagi saya.
BalasHapusSaya ijin bertanya, hukuman apa saja yang diterima bidan tersebut? Dan seandainya bidan tsb memiliki tempat praktik sendiri akankah hukumannya diperberat atau sama saja ya?
Sekian, terimakasih..
Oey, Yedida Stephanie S 41170190
Terima kasih atas pertanyaannya! Saya Cynthia G (41170103) izin menjawab yaa...
HapusHukuman bagi bidan maupun petugas medis terkait aborsi telah dijabarkan dalam UU Kesehatan pasal 194 berbunyi:
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.”
Selain itu ada referensi hukum lain yang juga membahas hal yang sama yaitu KUHP pasal 299 ayat (1),(2), dan (3), 346, 347 ayat (1), 348 ayat (1), dan 349 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 299
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya
diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan
itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan
perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib,
bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian,
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
Pasal 348
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Bila bidan tersebut memiliki tempat praktik ilegal saya belum menemukan referensi hukum tambahan terkait hukuman yang berlaku, mungkin akan ada teman saya yang dapat menambahkan. Terima kasih.
Makasih buat penulis untuk tulisannya. Aborsi ini isu sensitif dan menarik untuk dibahas. Kalau bicara dlm ranah etika secara umum, seperti yg termuat dalam tulisan ini, bahwa aspek kemanusiaan dan keberpihakan terhadap kehidupan harus diutamakan. Pertanyaannya, subjek dalam keberpihakan yg etis ini harus ditujukan kpd siapa? Kalau dalam kasus yg diangkat, ada pasangan dan juga janin (juga bidan yg melakukan praktik aborsi ilegal). Di Indonesia aborsi (yg legal atau ilegalpun) masih hal tabu untuk dibicarakan, tpi kasusnya terus terjadi. Kira2 menurut kalian, apakah ada hal yg harus dibenahi dari masyarakat kita dlm menanggapi aborsi?
BalasHapusTmbhn: materinya menarik. Sy sebagai org awam (tidak berkecimpung dalam dunia medis) mendapat pengetahuan dan kesadaran baru akan urgensi kasus aborsi. Semoga nnti kalian bisa menulis hal2 menarik lainnya. Thanks
Thomas Carel (41170113)
HapusTerima kasih atas pertanyaannya saya coba jawab yaaa 😊😊, jadi keberpihikan yang etis terhadap kehidupan tentu saja harus diberikan kepada sang ibu dan bayinya, karna sebagai seorang dokter kehidupan merupakan sebuah hal yang harus dijaga dengan baik. Oleh karena itu tindakan aborsi yang legal adalah tindakan yang atas dasar indikasi medis.
Hal yang bisa dibenahi dalam masyarakat bisa seperti sex education, hal ini mungkin masih sangat tabu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, namun pemberian sex education yang baik sejak dini sangat mungkin bisa meredam angka aborsi dikemudian hari karena sejak dini sudah dikenalkan dengan baik buruknya hal tersebut. Untuk yang sudah berkeluarga dapat diberikan konseling tentang berbagai jenis alat kontrasepsi untuk menghindari aborsi dengan alasan seperti “kebobolan” atau sudah terlalu banyak anak.
Ade Novita P (41170156)
HapusHai, Elsa Winda Pulamau. Terimakasih untuk pertanyaannya ya.
Saya ingin menambahkan penjelasan dari teman kelompok saya diatas.
Yanng harus dibenahi terkait dengan pengetahuan tentang aborsi itu sendiri. Perluasan pengetahuan tentang aborsi itu sendiri lebih dipaparkan kepada masyarakat, baik itu tentang jenis jenis aborsi yang diijinkan oleh pemerintah, efek samping setiap aborsi yang dilakukan, mengapa dilakukannya aborsi, dan juga tentang aborsi ilegal yang dilarang pemerintah.
Hal ini tentu menjadi tugas dari tenaga medis untuk menyampaikannya kepada masyarakat.
Pasangan yang telah menikah dianjurkan untuk melakukan konseling kepada dokter kandungannya terkait kesehatan janin, resiko yang bisa terjadi, dan juga pada ibu hamil dengan kehamilan beresiko mengancam keselamatan sang ibu bisa mencari solusi terbaik dengan berkosultasi dengan dokter kandungannya.
Disamping itu sebagai upaya pencegahan terhadap aborsi ilegal, perlu ditingkatkan Sex Education yang dilakukan oleh Oran tua ( sebagai lingkungan yang terdekat), Sekolah, dan juga lembaga yang memiliki kapasitas untuk hal tersebut.
Sex Education penting untuk membuka pemikiran tentang resiko sex sebelum menikah kepada anak, agar tidak berjung kepada aborsi ilegal.
Terimakasih atas pembahasan artikel yang sangat menarik, melihat aborsi masih jadi pro dan kontra dinegara kita tercinta ini.
BalasHapusmohon izin bertanya kepada teman-teman semua, menurut teman2 apakah boleh jika seorang ibu mengalami depresi berat atas kehamilan yang sangat tidak diinginkan dalam suatu pernikahan sah melakukan aborsi dengan usia janjn kurang dari 6 minggu?
Dengan pertimbangan bahwa apabila kehamilan ttp dipertahankan akan semakin memperparah gangguan jiwa dari ibu tersebut semakin berat dan akan membahayakan kesehatan ibu tsb.
terimakasih, sukses selalu teman-teman semuanya.
-Daniel Raenata 41170170 Kel 3-
Terimakasih sudah bertanya, perkenalkan saya Claudius yang akan mencoba menjawab pertanyaan anda. Disini kita perlu melihat kembali pada UU No 36 tahun 2009 pasal 75 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
Hapus(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Selain itu sebagaimana aborsi yang dilakukan pada pasal 75 harus diperhatikan lagi pada pasal 76 yang berbunyi :
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Jadi dalam konteks yang anda sebutkan maka aborsi boleh dilakukan pada usia janin kurang dari 6 minggu dan apabila dalam pemeriksaan didapatkan indikasi yang akan membahayakan kesehatan ibu tersebut.
Terima kasih sudah membuat artikel dengan baik. Terima kasih juga sudah mau telaten menjawab setiap pertanyaan yang diberikan.
BalasHapusTerimakasih banyak dokter.
HapusTerimakasih kelompok 1 atas artikel menarik mengenai aborsi. saya ingin bertanya, apakah ada kode etik khusus untuk profesi bidan, yang terkhusus mengatur tentang tindakan aborsi? dan menurut kelompok 1 apakah sudah pantas hukuman yang diberikan kepada RA, MZ, dan SM, apakah adil bila ketiganya di jerat hukuman pasal yang sama? terimakasih
BalasHapusintan saraswati / 41170194
Muhammad Fikri Mujtahid (41170157)
HapusKode etik bidan di Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 dan disahkan dalam kongres nasional IBI X tahun 1988, sedangkan petunjuk pelaksanaannya disahkan dalam rapat kerja nasional (RAKERNAS) IBI tahun 1991, kemudian disempurnakan dan disahkan pada kongres nasional IBI XII tahun 1998. Sebagai pedoman dalam berperilaku. terkait kode etik bidan yang mengatur tentang aborsi saya belum menemukan tetapi salah satu isi kode etik bidan Indonesia ada yang berbunyi bidan harus memiliki kewajiban terhadap pemerintah, nusa, bangsa dan tanah air. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga serta masyarakat. arti kata lain dalam hukum tindakan aborsi tidak diperbolehkan kecuali kondisi tertentu, jadi dari sepemahaman saya seorang bidan tetap mengikuti praturan pemerintah khususnya yang membahas etika tindakan aborsi.
untuk apakah pantas mereka dijerat hukuman pasal yang sama, kembali lagi pada kode etik yang berlaku yaitu melanggar Pasal 45 A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sesuai pada Pasal 77 A dalam Undang-Undang yang sama, pelaku tindakan aborsi mendapat hukuman kurungan penjara paling lama 10 tahun dan dikenakan denda paling banyak sebesar satu miliar rupiah.