TUGAS MALPRAKTIK KELOMPOK 4 - SUNTIK BERUJUNG MAUT DI RS CUT NYAK DHIEN
source image : idahonews.com
Disusun
oleh :
Donnie
Leonardo 41170123
Iannugrah
P Wibowo 41170124
Irene
Melati Wicaksana 41170127
Pande
Komang Wahyu 41170130
Aureliya
Stefani Perangin 41170133
Yeheskiel
Matthew Axel 41170140
Mary
Rose Angelina B. 41170145
Virgina
Glory Brillianti 41170151
Mesakh
Malvin Wardhana 41170192
Hendrikus
Fajar Kesuma 41170193
Brigita
Suci Putri P. 41170197
Jessica
Chandra Santoso 41170198
Yofani
Wahyu Perdana 41170199
Anastasia
Aprilia Tumbol 41170202
Stanley
Lovell Hanson 41170207
Trystan
Josef Ticoalu 41170210
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada keadaan
saat ini dakwaan kepada dokter ataupun tenaga medis makin meningkat termasuk di
negara Indonesia sendiri, hal tersebut bisa terjadi karena meningkatnya
kesadaran hukum dan kesadaran akan hak sebagai pasien, atau masyarakat yang
beranggapan bahwa tenaga medis gagal dalam melakukan penyembuhan yang dilakukan
dokter terhadap pasien dan identik dengan kegagalan tindakan medik. Namun,
tenaga medis pun juga merupakan manusia yang bisa mengalami human
error yang dituntut untuk dapat bekerja dalam berbagai situasi yang
ada. Malpraktik terdiri dari suku kata Mal dan praktik, mal berasal dari kata
Yunani yang berarti buruk. Praktik (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Purwadarminta,
1976) memiliki arti berarti menjalankan perbuatan yang tersebut dalam teori
atau menjalankan pekerjaan (profesi). Jadi, malpraktik berarti menjalankan
pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Malpraktik
tidak hanya terdapat dalam bidang kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain
seperti perbankan, pengacara, akuntan publik, dan wartawan. Dengan tidak
mengurangi ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lain,
terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif dalam
hal sebagai berikut :
a. Melalaikan kewajiban
b. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan,
baik mengingat sumpah jabatannya, maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.
Kasus yang diangkat kali ini yaitu berasal dari RS Cut Nyak Dhien di
Aceh Barat, kasus ini diangkat karena terjadi pelemparan tanggung jawab dan
kewajiban yang berujung kematian, dimana hal ini dapat dihindari dengan
profesionalisme dokter yang baik dan administrasi rumah sakit yang baik,
sebab malpraktik bukan hanya kesalahan dalam melakukan tindakan, tetapi juga
ketidakmampuan dalam bersikap profesional, dimana profesionalisme dalam dunia
kedokteran merupakan hal yang mempertaruhkan keselamatan pasien.
B.
Tujuan
Tujuan dibuatnya artikel ini agar pembaca dapat mengerti dan memahami :
- Dapat
mengetahui pengertian dari malpraktik
- Dapat
mengetahui gambaran kasus mengenai malpraktik di Indonesia
- Dapat
mengetahui pelanggaran norma hukum terkait dengan kasus malpraktik
di Indonesia
- Dapat mengetahui gambaran hukum yang mengatur malpraktik di Indonesia
BAB II
RINGKASAN KASUS
Pasien bernama Alfa Reza usia 11 tahun dilarikan ke Instalasi Gawat
Darurat (IGD) RSUD Cut Nyak Dien di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh pada hari Jumat,
19 Oktober 2018, pukul 14.00 WIB. Korban mengalami cedera tertusuk kayu dari
paha kiri sampai ke bokong. Korban menjalani operasi yang dipimpin oleh dr.
Samson, kemudian korban dipindahkan ke Ruang Perawatan Anak. Setelah operasi,
beberapa perawat yang berjaga, termasuk Erwanty dan Desri diminta oleh dokter
yang bertugas untuk memberikan obat kepada pasien termasuk satu korban lagi
yang sedang berada di ruang rawat tersebut. Pada malam harinya, Desri melihat
buku rekam medis korban untuk mengetahui obat apa yang perlu diberikan pada
korban, dan ternyata persediaan yang tersisa hanya tinggal satu obat. Desri kemudian
memberitahu Erwanty bahwa ada beberapa obat yang perlu diberikan pada korban,
lalu Erwanty memerintahkan Desri untuk meresepkan obat ke dalam Kartu Obat
Pasien (KOP) untuk pengambilan obat. Desri kemudian meminta orang tua korban
untuk mengambil obat di depo, petugas di depo sempat menanyakan bagaimana
kondisi korban, akan tetapi ayah dari korban tidak dapat berbicara sehingga
petugas memberikan obat setelah melihat data dari korban dan mengira bahwa
korban masih berada di ruang operasi. Setelah mendapatkan obat yang dibutuhkan,
Desri menyuntikan obat tersebut pada korban sebanyak 4 kali dalam waktu singkat
yaitu hanya dalam beberapa menit. Pada pukul 00.05 WIB, Desri memberi tahu
Erwanty bahwa keadaan korban melemah. Erwanty pun segera melakukan pemeriksaan
dan mendapati bahwa nadi dan pernapasan korban sudah melemah. Seorang perawat
yang berada di ruangan tersebut memberitahu kedua perawat tersebut bahwa mereka
telah menyuntikkan obat yang salah yang pada akhirnya menyebabkan korban
meninggal dunia.
Keluarga korban yang
mencurigai kematian korban disebabkan oleh malpraktik pun melaporkan kejadian
tersebut kepada Polres Aceh Barat. Kepala Seksi (kasi) Pelayanan Medis RSUD Cut
Nyak Dien, Muhammad Asmirudin pun berjanji akan menyelidiki kasus tersebut lebih
lanjut. Setelah dilakukan penyelidikan dan pengumpulan barang bukti berupa tiga alat suntik dan satu botol obat Atracurium
Besylate 10 miligram yang sudah tidak berisi, Erwanty(EW) berusia 29
tahun dan Desri(DA) berusia 23 tahun ditetapkan sebagai tersangka oleh
kepolisian pada tanggal 17 Januari 2019 dan divonis hukuman penjara selama 2
tahun 6 bulan. Kepala Kepolisian Resor
(Kapolres) Aceh Barat, AKBP Bobby Aria Prakasa, SIK, melalui perwakilannya
menyampaikan bahwa penetapan tersebut dilakukan setelah dilakukan penyelidikan
dan penyidikan oleh penyidik dari Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres
setempat kepada tersangka. Setelah penetapan tersangka, kedua tersangka
dijemput oleh anggota kepolisian dari rumah masing masing untuk dimintai keterangan
lebih lanjut. Polisi juga memeriksa enam saksi dari pihak RSUD dan tiga orang
saksi ahli yakni ahli Farmakologi dan Pidana, serta dokter anestesi dan bedah.
Kedua tersangka dinyatakan
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 359 KUHP dan Pasal 84 ayat 2 UU RI No. 36
Tahun 2014 terkait perkara salah suntik oleh tenaga kesehatan dengan ancaman
hukuman lima tahun penjara. Pada
persidangan di PN Meulaboh, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut kedua tersangka
dengan hukuman masing-masing 2 tahun 6 bulan penjara. Namun Majelis Hakim yang
diketuai oleh Zulfadly beserta hakim anggota, Muhammad Al-Qudri dan Irwanto
memberikan keringanan hukuman kepada kedua tersangka, yaitu menjadi hukuman 2
tahun penjara. Keringanan hukuman diberikan berdasarkan bahan pleidoi yang
disampaikan oleh penasihat hukum terdakwa, yaitu tidak adanya proses autopsi
sebagai scientific evidence dan juga surat penjanjian (perdamaian) antara
terdakwa dengan keluarga korban sebagai bahan pertimbangan yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 36 Tahun 2014 mengenai dugaan kelalaian Tenaga Kesehatan maka
dalam penyelesaiannya harus diselesaikan melalui upaya penyelesaian sengketa di
luar pengadilan. Berdasarkan keputusan yang sudah ditetapkan, Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) Pusat berusaha mengajukan banding terkait vonis yang
telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Aceh Barat yang didasari
oleh rasa kecewa mereka. Selain itu, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Banda Aceh Pos Meulaboh, Fela Anggraeni juga menyatakan bahwa kasus yang
terjadi cukup ganjil, mengingat kedua perawat adalah petugas medis honorer yang
seharusnya tidak berwenang untuk memberi perintah dan melakukan tindakan
penyuntikkan serta hanya bersifat membantu. Menurut beliau, yang seharusnya
bertanggung jawab dalam prosedur terhadap korban malam itu adalah petugas medis
setingkat dokter, kepala ruang anak, atau pihak manajemen rumah sakit. Dapat
disimpulkan bahwa kejadian malam itu bukan sepenuhnya tanggung jawab kedua
tersangka dan atas kejadian ini, manajemen rumah sakit diminta untuk
bertanggung jawab secara hukum atas kerugian akibat kelalaian dalam melakukan pengawasan
terhadap pelayanan medis yang diberikan kepada pasien yang diatur dalam Pasal
46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
BAB III
ANALISA
A. Pencermatan / Deliberasi Fakta Berupa Kronologi Kasus
- Erwanty memerintahkan Desri untuk meresepkan obat ke dalam Kartu Obat Pasien (KOP) dimana obat yang diresepkan berlogo "K" dengan lingkaran merah yang menandakan obat keras.
- Desri menyuntikan obat tersebut pada pasien, 4 kali dalam waktu singkat. Pada pukul 00.05, lalu laju pernapasan pasien menurun dan nadi melemah, seorang perawat memberitahu mereka berdua bahwa mereka berdua telah salah menyuntikkan obat hingga akhirnya pasien tersebut meninggal dunia.
- Perawat Desri kemudian meminta orangtua korban untuk mengambil obat di depo, petugas di depo sempat menanyakan bagaimana kondisi korban, akan tetapi ayah dari korban tidak dapat berbicara tentang kondisi pasien sehingga petugas memberikan obat setelah melihat data dari korban dan mengira bahwa korban masih berada di ruang operasi.
- Petugas di depo langsung memberikan obat tersebut tanpa mengetahui secara pasti kondisi korban dan hanya mengira-ngira kalau korban masih berada di ruang operasi. Petugas depo juga tidak memastikan resep obat tersebut berasal dari siapa.
- Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulfadly dan hakim anggota, Muhammad Al-Qudri dan Irwanto memberikan keringanan hukuman bagi kedua perawat yang sebelumnya diberikan hukuman 2 tahun 6 bulan menjadi hukuman 2 tahun penjara.
- Pendisiplinan terhadap tenaga kesehatan perawat tersebut langsung dilakukan oleh petugas kepolisian dimana kedua tersangka dijemput oleh anggota kepolisian dari rumah masing-masing untuk diminta keterangan lebih lanjut.
- Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Pos Meulaboh, Fela Anggraeni juga menyatakan bahwa kasus yang terjadi cukup ganjil, mengingat kedua perawat bersifat hanya membantu, dan yang seharusnya bertanggung jawab adalah pihak tenaga kesehatan lain dan rumah sakit.
B. Pencermatan Norma Hukum yang Dilanggar
1. Erwanty memerintahkan Desri untuk meresepkan obat ke dalam Kartu Obat Pasien (KOP) dimana obat yang berlogo "K" dengan lingkaran merah yang menandakan obat keras.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Bab IX Pasal 1 Ayat 1 membahas tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan : "Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan".
- UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Yakni pada BAB V Pasal 30 ayat 1 huruf j yang berbunyi "Perawat dapat melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas." Pada pasal ini tercatat hanya obat bebas dan obat bebas terbatas, sedangkan obat keras berlogo "K" dalam lingkaran merah, bukanlah kewenangan Perawat.
2. Desri menyuntikkan obat tersebut pada pasien, 4 kali dalam waktu singkat. Pada pukul 00.05, lalu laju pernapasan pasien menurun dan nadi melemah, seorang perawat memberi tahu mereka berdua bahwa mereka berdua telah salah menyuntikkan obat hingga akhirnya pasien tersebut meninggal dunia.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Bab I Pasal 1 Ayat 5 yang berbunyi "Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seorang Tenaga Kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat menjalankan praktik."
- Pasal 359 KUHP dan pasal 84 ayat 2 UU RI No. 36 Tahun 2014 terkait perkara salah suntik oleh tenaga kesehatan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
3. Perawat Desri kemudian meminta orangtua korban untuk mengambil obat di depo, petugas di depo sempat menanyakan bagaimana kondisi korban, akan tetapi ayah dari korban tidak dapat berbicara tentang kondisi pasien sehingga petugas memberikan obat setelah melihat data dari korban dan mengira bahwa korban masih berada di ruang operasi.
- Perawat atau tenaga medis tidak menjelaskan kondisi dari pasien maupun tindakan medis yang akan dilakukan serta risiko dari penggunaan obat suntik Atracuricum Besylate 10 mg, bahkan tidak mengatakan bahwa korban sudah berada di ruang rawat inap, tidak lagi di ruang operasi yang membuat salah perkiraan dari petugas di depo.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Bab I Pasal I ayat 4 "Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan / atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan bekesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan atau masyarakat".
- UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Pasal 37 e berbunyi "Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan / atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya".
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 32 tertulis bahwa "hak pasien untuk mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan".
4. Petugas di depo langsung memberikan obat tersebut tanpa mengetahui secara pasti kondisi korban dan hanya mengira-ira kalau korban masih berada di ruang operasi. Petugas depo juga tidak memastikan resep obat tersebut berasal dari siapa.
- Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 24 huruf c menyebutkan bahwa dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika, dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit pasal 1 ayat 4 dikatakan bahwa "Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku."
5. Majelis Hakim yang diketuai oleh Zulfadly dan hakim anggota, Muhammad Al-Qudri dan Irwanto memberikan keringanan hukuman bagi kedua perawat yang sebelumnya diberikan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan menjadi hukuman 2 tahun penjara.
- Pasal 78 UU No. 36 Tahun 2014 mengenai dugaan kelalaian Tenaga Kesehatan membahas bahwa penyelesaian kasus seperti itu harus diselesaikan melalui upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dan karena pada kasus ini tidak adanya proses autopsi serta surat perjanjian (perdamaian) antara terdakwa dengan keluarga korban.
6. Pendisiplinan terhadap tenaga kesehatan perawat tersebut langsung dilakukan oleh petugas kepolisian dimana kedua tersangka dijemput oleh anggota kepolisian dari rumah masing-masing untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Bagian Keempat yaitu Penegakan Disiplin Tenaga Kesehatan Pasal 49 Ayat 1 yaitu "Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan praktik, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin Tenaga Kesehatan".
7. Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Pos Meulaboh, Fela Anggraeni juga menyatakan bahwa kasus yang terjadi cukup ganjil, mengingat kedua perawat bersifat hanya membantu, dan yang seharusnya bertanggung jawab adalah pihak tenaga kesehatan lain dan rumah sakit.
- UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yakni pada Bagian Kedua yaitu tentang Tugas dan Wewenang Perawat, Pasal 29 ayat 1 berbunyi " Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu".
- Pasal 29 Ayat 2 " Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama ataupun sendiri-sendiri
- Pasal 29 Ayat 3 "Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel".
Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran di Indonesia masih dalam pengembangan. Pengaturan profesi dokter selama ini masih didominasi oleh perangkat hukum formal dan peraturan perundangan pemerintah. Meski begitu, untuk saat ini, sudah terdapat perangkat hukum yang mengatur profesi dokter, yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang mengatur pelanggaran profesi yang dilakukan dokter dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) yang mengatur pelanggaran etika yang dilakukan dokter.
Ketentuan dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa rumah sakit harus bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang berpraktik di rumah sakit merupakan beban yang ditanggung oleh pemilik dan manajemen rumah sakit. Kemungkinan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tersebut dibuat berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi: “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Dokter yang berpraktik di rumah sakit dianggap sebagai “orang yang berada di bawah pengawasan manajemen dan pemilik rumah sakit”. Sebenarnya anggapan ini benar pada dokter yang bekerja sebagai karyawan rumah sakit, meskipun dokter bukan karyawan biasa, karena dokter memiliki otonomi profesi yang berada di luar kendali rumah sakit. Bahkan tidak semua dokter yang berpraktik di rumah sakit berstatus sebagai karyawan rumah sakit. Selain dokter yang berstatus sebagai karyawan rumah sakit (sering disebut sebagai dokter organik, dokter tetap dll), juga terdapat dokter yang berstatus sebagai mitra kerja rumah sakit, dokter tamu, dan dokter konsultan. Bahkan kadang-kadang di suatu rumah sakit ada dokter yang berstatus sebagai tenaga relawan. Dokter mitra kerja rumah sakit adalah dokter yang merawat pasiennya (pada umumnya rawat inap) di suatu rumah sakit, tetapi dokter tersebut bukan karyawan rumah sakit. Dalam kasus ini pasien adalah pasien pribadi dokter tersebut yang dirawat di rumah sakit karena membutuhkan rawat inap atau membutuhkan suatu tindakan yang dilakukan oleh dokter itu sendiri di rumah sakit. Dokter mitra kerja ini secara hukum berkedudukan sejajar dengan rumah sakit, bertanggung jawab secara mandiri, bertanggung gugat secara proporsional sesuai dengan ketentuan di rumah sakit, serta terikat dengan suatu perjanjian kerja dengan rumah sakit tersebut. Apakah rumah sakit juga harus menanggung semua kerugian yang timbul akibat kelalaian yang dilakukan oleh dokter ini?
Rumah sakit dapat terlepas dari tanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang bekerja di rumah sakit dengan adanya paragraph terakhir Pasal 1367 KUH Perdata ayat (5) yang berbunyi: “Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir jika orang tua-orang tua, wali-wali, guru-guru sekolah, dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu”. Hal tersebut dapat diartikan bahwa rumah sakit dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya atas kesalahan atau kelalaian dokter bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pasien. Usaha untuk membuktikan bahwa rumah sakit tidak dapat mencegah terjadinya kelalaian tersebut dapat memakan waktu dan setelah melalui proses hukum yang panjang dan rumit. Penentuan tanggung jawab atas kejadian di dalam Rumah Sakit masih menjadi perdebatan hingga sekarang, oleh karena itu, dalam hal ini, lebih baik mencegah terjadinya masalah atau kerugian yang dapat mempengaruhi Rumah Sakit maupun dokter dan tenaga medis yang bekerja di Rumah Sakit, dibentuklah suatu badan Komite Medik untuk mengatur tata kelola klinis (clinical governence) agar staf medik di Rumah Sakit terjaga profesionalismenya melalui mekanisme Kredensial, Penjagaan mutu Profesi Medik dan Pemeliharaan Etika dan Disiplin Profesi Medik.
Menurut PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik Rumah Sakit Pasal 1, dikatakan bahwa “Komite medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) agar staf medis di rumah sakit terjaga profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis.” dan Pasal 4 “Menyelenggarakan tata kelola klinis (clinical governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien terjamin dan terlindungi”. Komite Medik dibuat untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien dengan menjamin profesionalitas & meningkatkan kredibilitas yang dimiliki oleh para petugas medis.
Kredensial merupakan upaya rumah sakit untuk menurunkan risiko litigasi (gugatan hukum di pengadilan) terhadap rumah sakit maupun dokter / tenaga medis yang bekerja di dalamnya. Dengan beracuan pada standar kompetensi tenaga kesehatan dan etika profesi (hal apa saja yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan di rumah sakit pada saat tertentu). Oleh karena itu komite medis (khususnya subkomite kredensial) berperan untuk meyakinkan dan menyatakan bahwa seorang tenaga kesehatan kompeten dan layak dalam menjalankan pelayanan yang diminta oleh rumah sakit tersebut.
Komite medik melaksanakan tugasnya melalui tiga hal utama :
- Rekomendasi pemberian izi untuk melakukan pelayanan medis (entering to the professionalism). Melalui subkomite kredensial.
- Memelihara kompetensi dan perilaku staf medis yang telah mendapatkan izin (maintaning professionalism) dan pengembangan profesi berkelanjutan (continuing professional development). Melalui subkomite mutu profesi.
- Rekomendasi penangguhan kewenangan klinis tertentu hingga pencabutan izin melakukan pelayanan medis (expelling from the profession). Melalui subkomite etika dan disiplin profesi.
Adapun wewenang dari Komite Medik adalah :
- Memberikan rekomendasi kewenangan klinis (delineation of clinical privilege).
- Memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis (clinical appointment).
- Memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis (clinical privilege) tertentu.
- Memberikan rekomendasi perubahan / modifikasi rincian kewenangan klinis (delineation of clinical privilege).
- Memberikan rekomendasi tindak lanjut audit medis.
- Memberikan rekomendasi pendidikan kedokteran berkelanjutan
- Memberikan rekomendasi pendampingan (proctoring).
- Memberikan rekomendasi pemberian tindakan disiplin.
Dalam menjamin profesionalitas dari tenaga kesehatan komite medik mengacu pada kode etik profesi yang dimiliki oleh tenaga kesehatan ( Dokter = Kode Etik Kedokteran Indonesia, Perawat = Kode Etik Keperawatan Indonesia, dll ). Sedangkan untuk meningkatkan kredibilitas, komite medik mengacu pada standar kompetensi yang dimiliki oleh setiap profesi tenaga kesehatan ( contoh : dokter = SKDI ). Komite medik memiliki kewajiban untuk mengembangkan skill yang dimiliki oleh tenaga medis dengan melakukan pembinaan.
Meskipun tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya harus sesuai dengan standar etik dan kompetensi yang dimiliki, tenaga kesehatan tetap diberikan hak istimewa / privilege yaitu melakukan praktik kedokteran secara eksklusif tanpa campur tangan pihak lain sehingga mendapatkan manfaat secara ekonomis. Hak inilah yang akan ditangguhkan ketika seorang tenaga kesehatan melakukan suatu prosedur medis / keputusan medis / tindakan medis yang tidak sesuai dengan etika & kompetensi yang dimilikinya. Status penangguhan hak istimewa tersebut dinamakan suspension of clinical privilege.
Dalam pelaksanaannya, terdapat kesepakatan / kontrak sosial antara petugas medis dengan pasien / masyarakat yang tertuang dalam dokumen peraturan internal staff medis (medical staff by laws). Kemudian dilakukan pengendalian profesi melalui tata kelola klinis yang diselenggarakan oleh komite medik rumah sakit, dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien dan menjaga mutu pelayanan kesehatan.
Pada kasus ini, bila dihubungkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh komite medik rumah sakit, komite medik memiliki wewenang untuk memberikan rekomendasi penangguhan kewenangan klinis (clinical privilege) hingga ijin pencabutan melakukan pelayanan medis atas pelanggaran profesi yang dilakukan oleh petugas medis. Rekomendasi tersebut kemudian diteruskan ke konsil profesi terkait (dokter = Konsil Kedokteran Indonesia, KTKI = Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia).
Menurut Undang - Undang Keperawatan Pasal 29 ayat (1) menyebutkan dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:
a. Pemberi asuhan keperawatan;
b. Penyuluh dan konselor bagi klien;
c. Pengelola Pelayanan keperawatan;
d. Peneliti Keperawatan;
e. Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau
f. Pelaksana tugas dalam keadaan terbatas tertentu
Didalamnya tidak termasuk menentukan keputusan atas tindakan medis / peresepan obat yang diberikan kepada pasien kecuali dalam keadaan darurat dan tidak ada dokter yang tersedia sehingga dapat dikatakan bahwa perawat yang ada dalam kasus tersebut sudah melanggar standar kompetensi dan etika profesi keperawatan yang dimilikinya. Maka komite medik berhak merekomendasikan penangguhan kewenangan klinis atas pelanggaran pemberian obat yang diresepkan oleh perawat tersebut.
BAB IV
Malpraktik adalah menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis dan tidak tepat. Hal ini terlihat dari kasus salah suntik yang dilakukan oleh dua perawat dan perbuatan mereka sudah ditindaklanjuti dengan jalur hukum. Peran komite medik sendiri sangat penting dimana tetap menjaga mutu profesi dari setiap tenaga medis yang ada di rumah sakit serta apabila terdapat pelanggaran terkait dengan kewenangan klinis baik dokter, perawat atau tenaga medis yang lain maka hak kewenangan klinisnya dapat dicabut, dengan harapan kasus-kasus malpraktik di Indonesia ini dapat berkurang dan mutu profesi setiap tenaga medis dapat dipertahankan.
B. Refleksi Pribadi
41170123_Donnie Leonardo
Dari Kasus ini saya mempelajari tentang pentingnya etika dalam berprofesi dan etika ditempat kerja. Kasus ini menyadarkan saya bahwa malpraktik tidak hanya terjadi saat tindakan medis seperti operasi saja, tetapi juga bisa terjadi pada hal yang kesannya sepele seperti menyuntikkan obat. Maka dari itu saya berharap agar saya dan teman-teman yang ikut membuat atau membaca artikel ini dapat memahami pentingnya etika dan selalu bertindak profesional sebab pasien berhak mendapatkan yang terbaik.
41170124_Iannugrah Pandung Wibowo
Setelah mengerjakan tugas praktikum ini, saya mempelajari bahwa kasus malpraktik masih cukup sering terjadi, dan dari kasus yang kelompok saya ini bahas malpraktik ini terjadi karena adanya salah paham dan kecerobohan, sehingga nanti jika sudah terjun ke lapangan kerja saya harus lebih berhati-hati dalam bekerja dan mengikuti etika dan aturan yang sudah berlaku, dan kasus ini dapat menjadi gambaran agar saya harus bersikap profesional dan lebih teliti dalam bekerja.
41170127_Irene Melati Wicaksana
Melalui kasus ini saya belajar bahwa dalam menjalani suatu profesi harus memahami betul SOP, pedoman etik, dan standar kompetensi yang ada. Sehingga dalam mengambil keputusan dapat terhindar dari terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan / tindakan yang dapat merugikan diri sendiri , orang lain dan bahkan mengancam keselamatan orang lain. Dalam menjalani suatu profesi juga harus berbekal ilmu yang cukup dan keterampilan supaya segala keputusan / tindakan yang diambil rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
41170130_Pande Komang Wahyu P
Berdasarkan kasus malpraktik yang telah kami telaah, saya dapat mengambil beberapa poin penting, kode etik dari tenaga kesehatan baik perawat, dokter, farmasi, dan lain-lain, harus tersinkronisasu dengan kode etik tempat mereka bekerja yaitu kode etik Rumah Sakit. Saya juga harus belajar lagi mengenai kode etik khususnya kode etik kedokteran, karena kode etik dapat kita jadikan pedoman dalam menjalani profesi yang kita geluti.
41170133_Aureliya Stefani P
Melalui praktikum ini saya belajar kelak setelah menjadi dokter harus bekerja secara profesional dan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Disamping itu sebagai tenaga medis juga harus bekerja dengan penuh tanggung jawab dalam mengerjakan tugas sebagai pelayan pasien. Melalui kasus di atas saya juga belajar untuk tidak mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan risiko yang akan diterima, tanpa koordinasi dengan sesama tenaga medis, serta saya harus bekerja secara teliti. Hal tersebut harus dilakukan karena setiap hal atau keputusan yang kita berikan kepada pasien akan dipertanggung jawabkan apabila terjadi kejadian yang tidak diinginkan.
41170140_Yeheskiel Matthew Axel
Dari kasus yang telah dibahas dari kelompok, hal penting yang perlu diambil adalah bahwa pentingnya penekanan etika dalam suatu instansi pekerjaan. Alasannya adalah agar dengan diterapkannya etika, setiap pekerjaan maupun tindakan, dapat terarah dan sesuai dengan etika yang ada. Hasil dari ketidak patuhan dalam penerapan etika dalam rumah sakit maupun etika kesehatan dapat dilihat pada kasus diatas yang dimana, akibat dari kecerobohan perawat, membawa kematian bagi pasien. Maka dari itu penegasan ber-etika dari pihak rumah sakit maupun perawat perlu di gencarkan lagi agar semua keputusaan yang diambil bisa sejalan dengan etika yang ada, bisa terlaksana dengan baik, sehingga pasien mendapatkan hasil yang memuaskan dalam pelayanan oleh rumah sakit serta tenaga medis yang memberikan pelayanan kesehatan.
41170145_Mary Rose A.
Saya dapat mempelajari banyak hal dari kasus ini, yaitu bahwa SOP yang sudah dibuat oleh pemerintahan atau perusahaan harus ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga apapun yang kita lakukan dapat sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Dari kasus ini, saya juga dapat mempelajari bahwa komunikasi yang baik dan benar itu sangat penting dalam pelaksanaan berbagai tindakan. Setiap orang juga memiliki hak dan tanggung jawabnya masing-masing dan sebaiknya bekerja dengan sebaik mungkin sesuai dengan bidangnya. Saya juga mempelajari bahwa untuk menjadi seseorang yang profesional, maka harus bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebaik mungkin serta mempertimbangkan segala risiko agar dapat siap menghadapi segala hambatan yang ada.
41170151_Virgina Glory Brillianti
Setelah dilakukan telaah lebih dalam mengenai kasus ini, saya diingat kembali, ketika menjadi dokter nanti harus menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan mengedepankan profesionalisme profesi, mengikuti SOP yang ada, dan bekerja sebaik mungkin sesuai dengan kompetensi saya. Agar pelayanan kesehatan yang saya lakukan dapat bermanfaat penuh kepada masyarakat, bukan menjadi malapetaka bagi mereka maupun diri saya.
41170192_Mesakh Malvin Wardhana
Dari kasus di atas di sini saya menjadi tahu dan paham ketika kelak saya akan menjadi dokter yagn profesional harus sesuai dengan SOP dan kode etik yang berlaku seperti kode etik kedokteran ataupun kode etik rumah sakit itu sendiri.Hal ini perlu agar tidak terjadi kekeliriuan,kesalahpahaman dan kecerobohan dalam menangani pasien itu sendiri.Jika kelak saya sudah berada di lapangan saya akan meningkatkan kemampuan koordinasi antar sesama tenaga medis agar tidak terjadi hal hal yang tidak di inginkan seperti malpraktik sesuai kasus diatas yang mana di sebabkan oleh miskomunikasi anatara sesama tenaga medis itu sendiri.
41170193_H. Fajar Kesuma
Kasus malpraktek memang masih marak di Indonesia seperti kasus diatas jika dilihat dari sisi profesionalisme kedua perawat tersebut sangat ceroboh tidak melihat dulu obat yang akan disuntikan sehingga menyebabkan pasien meninggal hal ini menandakan kedua perawat tersebut gagal dalam memberikan perawatan pasien, kurangnya keterampilan dan kecakapan dalam bekerja sehingga kesannya kedua perawat tersebut tampak terburu-buru dalam memutuskan sesuatu. Menurut saya, tenaga medis harus memahami nilai yang terkandung dalam kode etik profesi yang nantinya akan menentukan bagaimana ia harus berbuat dan bersikap. Nilai etik senantiasa memberikan pertimbangan kepada petugas medis terhadap penentuan sikap dan perilaku yang akan dilakukan, serta menjadi pedoman mana yang dianggap baik atau buruk.
41170197_Brigita Suci Putri Primadona
Menjadi seorang tenaga Kesehatan bukanlah hal yang mudah, banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Mempunyai prinsip dalam menjalankan kewajiban sebagai tenaga Kesehatan adalah hal penting, sebab jika kita mempunyai prinsip yang baik maka ketika menjalankan tugas ini akan lebih mudah dijalani dan menghindarkan kita dari hal yang tidak diinginkan seperti kelalaian. Kelalaian jika terjadi pada seorang tenaga medis bukanlah hal yang kecil, sebab tenaga medis berhadapan dengan nyawa. Kembali lagi betapa pentingnya mempunyai prinsip dan sadar betul akan tanggung jawab yang dimiliki, karena apa yang kita lakukan dihari ini akan menggambarkan diri kita di masa depan.
41170198_Jessica Chandra Santoso
Pandangan saya mengenai kasus ini ialah semua tenaga kesehatan memiliki kompetensi dan tugasnya masing-masing. Diperlukan SOP dari pihak rumah sakit sehingga setiap tenaga medis menjalankan peran sesuai bidangnya. Dalam kasus ini kesalahan tidak sepenuhnya berpihak pada perawat namun melibatkan dokter dan rumah sakit. Apabila perawat memang terpaksa harus menyuntikkan obat kepada pasien maka seharusnya perawat mengonfirmasikan terlebih dahulu kepada dokter mengenai obat dan dosis yang akan diberikan sehingga tidak sampai menimbulkan kematian pada pasien. Diperlukan sikap profesionalisme baik dokter maupun semua tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya karena hal ini menyangkut nyawa pasien.
41170199_Yofani Wahyu Perdana
Melalui praktikum ini dapat dipelajari bahwa malpraktik tidak hanya dapat dialami oleh dokter saja tetapi tenaga medis yang lain yang bekerja bersama dengan dokter juga. Seperti kasus yang dibahas pada artikel ini dimana dua perawat salah melalukan penyuntikan obat yang berujung kematian pada seorang anak kecil, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam penanganan pasien tidak hanya merupakan tanggung jawab dokter saja tetapi tanggung jawab bersama semua tenaga medis, sesuai dengan kasus juga, dikatakan bukan merupakan kesalahan sepenuhnya dari seorang perawat, untuk dokter dan rumah sakit dimintai pertanggungjawaban oleh pengadilan. Jika terdapat keseimbangan antara hak dan tanggung jawab setiap tenaga medis dan mengetahui setiap tugasnya maka kasus-kasus malpraktik dapat berkurang di Indonesia.
41170202_Anastasia Aprilia Tumbol
Dari kasus ini saya belajar bahwa walaupun seorang tenaga kesehatan memiliki badan pengurus profesi masing-masing dan kode etik profesi, namun hukum yang berlaku untuk seluruh masyarakat juga tetap harus diperhatikan dan dipatuhi guna menjadi dasar dan acuan untuk berperilaku agar terhindar dari hal-hal yang bisa merugikan pasien, masyarakat maupun tenaga kesehatan itu sendiri. Saya juga memahami bahwa hukum sangat diperlukan untuk bisa membawa keadilan antar manusia yang memiliki banyak perbedaan baik dari segi profesi/pekerjaan, latar belakang budaya dan ekonomi.
41170207_Stanley Lovell H
Setelah mengamati dan menelaah kasus malpratik tersebut, menyadarkan saya bahwa masi banyak celah dimana seseorang dapat secara sengaja atau tidak sengaja melakukan malpraktik. Kasus tersebut dapat terjadi apabila seseorang yang bertanggung jawab tidak menguasai profesinya dan tidak paham hukum yang berlaku. Kasus malpraktik dapat dihindari apa bila setiap pelayan kesehatan mengerjakan tugasnya sesuai kompetensinya masing-masing dan menguasai profesinya tersebut. Komunikasi juga menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan, karena jika melihat kasus diatas alangkah sangat baiknya apabila perawat mengkonfirmasi terlebih dahulu kepada dokter tentang obat yang akan diberikan. Sikap menghormati dan menghargai nyawa seseorang lebih lagi akan membuat segala tindakan dipikirkan dahulu dengan matang.
41170210_Trystan Josef Ticoalu
Dari kasus ini saya belajar banyak hal, mulai dari bahwa setiap tenaga kesehatan mempunyai kompetensi dan pengetahuan, kewajiban, dan tugas yang berbeda beda. Jadi setiap dokter, perawat, dan apoteker mempunya tugas tugas tersendiri yang harus dipenuhi dan saling melengkapi untuk memberikan pelayan yang terbaik kepada pasien sehingga dapat menjaminkan kesehatan dan keselamatan pasien. Jadi sekarang saya tahu bahwa saya sebagai mahasiswa calon dokter mempunyai kewajiban dan tugas yang harus saya capai dan penuhi.
DAFTAR PUSTAKA
2 Perawat Dibui 2 Tahun karena Salah Suntik Pasien hingga Mati, PPNI Banding. (2020, Februari 2). AnteroAceh. Diakses dari https://anteroaceh.com/news/2-perawat-dibui-2-tahun-karena-salah-suntik-pasien-hingga-mati-ppni-banding/amp.html
Abonita, R. (2019, Januari 23). Misteri Titah Jarum Maut
yang Tewaskan Bocah Alfa di Aceh. Liputan 6. Diakses dari https://m.liputan6.com/regional/read/3877371/misteri-titah-jarum-maut-yang-tewaskan-bocah-alfa-di-aceh
Aliansyah, M. A.
(2018, Oktober 21). Diduga Korban Malpraktek, Dua Bocah Tewas Usai Disuntik
Dokter di RSUD Meulaboh. Merdeka.
Firmanda, D. 2011. Peran dan Fungsi Komite Medik di Rumah Sakit.
RSUP Fatmawati, pp. 1–16. (Available at:http://docshare01.docshare.tips/files/6031/60314756.pdf. diakses 29 Mei 2020)
Herkutanto. 2009. Profil Komite Medis di Indonesia dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kinerjanya Dalam Menjamin Keselamatan Pasien. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 41-47
In Garner, B. A., & Black, H. C. (2019). Black's law dictionary.
Kemenkes RI. 2011. Permenkes No 889 Tahun 2011 Tentang Registrasi,
Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. 322.
Kemenkes RI. 2014. Undang-Undang No. 36 Tentang Tenaga Kesehatan. Kementerian
Kesehatan RI, 1, 2.
Kemenkes RI. 2018. Permenkes No 4 Tahun 2018 Tentang Kewajiban Rumah
Sakit Dan Kewajiban Pasien.
Njoto, H. 2011. Pertanggungjawaban Dokter dan Rumah Sakit Akibat
Tindakan Medis Yang Merugikan Dalam Perspektif UU No 44 Th 2009 Tentang Rumah
Sakit. Fakultas Hukum Universitas 14 Agustus 1945. Surabaya
Olivia, T, Agustina, R. 2014. Pembatasan Pertanggungjawaban Perdata
Majikan Terhadap Kesalahan Yang Dilakukan Oleh Bawahannya Berdasarkan Pasal
1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1696 K/PDT/2012). Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia. Indonesia
Pemerintah Indonesia. 2011. PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011. Indonesia
Rahayu, R.
(2019, Januari 17). Kasus salah suntik di RSUD Cut Nyak Dhien, polisi tetapkan
dua tersangka. KBAOne. Diakses dari https://www.kba.one/news/kasus-salah-suntik-di-rsud-cut-nyak-dhien-polisi-tetapkan-dua-tersangka/index.html
Salah suntik, 2 perawat di Aceh dibui 2 tahun. (2020, Februari 3).
Harian Andalas. Diakses dari http://hariandalas.com/aceh/salah-suntik-2perawat-di-aceh-dibui-2-tahun
Pembahasan yg cukup menarik
BalasHapusDari kejadian diatas, menurut kalian peran dari dpjp seperti apa? Apakah perlu memberikan informasi lebih terkait pasien thp perawat yang berjaga?
Terimakasih
Terima kasih sudah bertanya , saya mau menjawab pertanyaannya
HapusJadi peran dari DPJP ada 4 yaitu:
1. Membuat rencana pelayanan pasien dalam berkas rekam medis yang memuat segala aspek asuhan medis yang akan dilakukan, termasuk konsultasi, rehabilitasi dll.
2. Memberikan penjelasan secara rinci kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan baik tentang pengobatan, prosedur maupun kemungkinan hasil yang tidak diharapkan.
3. Memberikan pendidikan/edukasi kepada pasien tentang kewajibannya terhadap dokter dan rumah sakit, yang dicatat dalam berkas rekam medis.
4. DPJP berkewajiban memberikan kesempatan kepada pasien atau keluarganya untuk bertanya atas hal-hal yang tidak/belum dimengerti.
Jadi DPJP memang harus memberikan informasi kepada perawat tentang pasien yang sedang dirawat, tapi hanya informasi yang sesuai dengan kompetensi perawat.
Sumber:
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2013, Panduan Pelaksanaan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)
Trystan Josef Ticoalu-41170210
Terimakasih atas artikel yang cukup menarik ini. Saya ingin bertanya, di artikel tertulis "Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Pos Meulaboh, Fela Anggraeni juga menyatakan bahwa kasus yang terjadi cukup ganjil, mengingat kedua perawat bersifat hanya membantu, dan yang seharusnya bertanggung jawab adalah pihak tenaga kesehatan lain dan rumah sakit"
BalasHapusMenurut sejawat apakah menyetujui pendapat dari LBH? Dan dalam kasus ini apakah juga terdapat unsur kelalaian dari dokter penanggung jawab pasien?
Terima kasihi atas tanggapannya
HapusTerkait pendapat LBH tersebut menurut penulis tidak sepenuhnya benar karena seperti yang tertulis pada UU no. 38 tahun 2004 tentang keperawatan, bahwa sudah menjadi wewenang perawat sebagai pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang, disini berarti pendapat mengenai “kedua perawat hanya bersifat membantu” tidak dapat diterima karena hal itu memang sudah menjadi tugas dan wewenang perawat sebagai tenaga kesehatan.
Terkait tanggapan tentang “yang seharusnya bertanggung jawab adalah pihak tenaga kesehatan lain dan RS” penulis menilai berdasarkan hukum UU no.38 tahun 2014 pasal 29 ayat 3 yang berbunyi “Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel" dari pasal ini dapat dilihat bahwa memang seorang perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan juga tetap harus bertanggung jawab atas apapun yang dilakukannya, namun karena pelayanan kesehatan yang diberikan bukan bersifat perorangan melainkan berupa kerjasama antara dokter, perawat dan pihak rumah sakit maka pertanggung jawaban juga dibutuhkan dari pihak dokter dan rumah sakit tempat pasien dirawat.
Terkait unsur kelalaian dari dokter, penulis belum bisa memastikan ada atau tidak karena memang pada bagian skenario terlihat bahwa dokter penanggung jawab sudah mengoperasi pasien dan memindahkan pasien di ruang rawat inap dimana prosedur ini sudah sesuai dengan Standar Pelayanan Kedokteran yang diatur dalam Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER IX/2010. Ditinjau dari kasus diatas yang menjadi perhatian penulis tentang tanggung jawab dokter adalah bagian komunikasi antar dokter-perawat yang harus lebih efektif agar terhindar dari kelalaian yang bisa membahayakan pasien ataupun pihak tenaga kesehatan itu sendiri.
Semoga bermanfaat, terima kasih..
Anastasia Aprilia T - 41170202
Sumber :
UU no. 38 tahun 2004 tentang Keperawatan.
Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor 1438/MENKES/PER IX/2010.
Artikel yang menarik, tetapi saya penasaran kenapa dokter penanggung jawab terkesan tidak "diapa apakan" oleh hukum? Bagaimana tanggapan teman teman??
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapushai unknown,terimakasih telah membaca artikel kami dan sudah memberi tanggapan berupa pertanyaan ya. Disini kami mencoba menjawab,semoga puas dengan jawaban kami.
Hapusmenurut UU tahnun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 65 ayat 1 berbunyi "Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis.”:Adapun yang dimaksud dengan tenaga medis dalam Pasal 11 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis
jadi dalam kasus pidana yang paling di cari ialah masalah hukum. Nah dari kronologi diatas di ceritakan adalah Desri melihat buku rekam medis korban untuk mengetahui obat apa yang perlu diberikan pada korban, dan ternyata persediaan yang tersisa hanya tinggal satu obat. Desri kemudian memberitahu Erwanty bahwa ada beberapa obat yang perlu diberikan pada korban, lalu Erwanty memerintahkan Desri untuk meresepkan obat ke dalam Kartu Obat Pasien (KOP) untuk pengambilan obat. Desri kemudian meminta orang tua korban untuk mengambil obat di depo, petugas di depo sempat menanyakan bagaimana kondisi korban, akan tetapi ayah dari korban tidak dapat berbicara sehingga petugas memberikan obat setelah melihat data dari korban dan mengira bahwa korban masih berada di ruang operasi. Setelah mendapatkan obat yang dibutuhkan, Desri menyuntikan obat tersebut pada korban sebanyak 4 kali dalam waktu singkat yaitu hanya dalam beberapa menit. Pada pukul 00.05 WIB, Desri memberi tahu Erwanty bahwa keadaan korban melemah.
dari sini terlihat beberapa kesalahan perawat yang sangat jelas,
1.Kesalahan pertama ialah dia tau persediaan obat tinggal 1 tapi meresepkan obat lain,obat lain pun itu bersifat obat keras yaitu atracurium Besylate 10 mg yang mana harus dengan resep dokter
2.kesalahan yang kedua ialah,ia menyuntikan obat tersebut tanpa berkonsultasi dengan dokter terkait,yang mana wewenang menyuntik ialah wewenang dokter. jadi jika perawat mau menyuntik pasien harus dengan persetujuan dokter sesua pasa 65 ayat 1 UU tenaga kesehatan 2014.
3.kesalahan yang ketiga ialah ia tidak menjelaskan kondisi pasien kepada keluarga sehingga ketika keluarga mengambil obat ia tidak tahu kondisi pasien yang sesungguhnya yang mana ini melanggar UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, pasal 37 e berbunyi “Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya”.
sekian dan terimakasih
salam hangat Mesakh Malvin Wardhana_41170192
sumber:https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54375d5815b16/wewenang-bidan-dan-perawat-dalam-memberikan-suntikan-kepada-pasien/
Kasus ini dapat menjadi bagi teman teman sekalian mahasiswa FK agar lebih teliti dan tidak ceroboh dalam melaksanan tugasnya. Artikel yang edukatif dan enak bacanya
BalasHapusTerima kasih Setina atas tanggapannya, semoga bermanfaat..
Hapustrimakasih atas pembahasannya, semoga semuanya lebih hati2 bertindak kedepannya.
BalasHapusTerima kasih atas tanggapannya..
HapusSelamat sore, saya Maria Grace. Saya ingin bertanya. Hal apa yang menarik dari kasus ini sehingga kalian analisa?
BalasHapusTerimakasih kak Maria atas pertanyaanya, mohon izin untuk menjawab
HapusSeperti yang kita tahu bahwa masi banyak kasus malprakti dalam dunia medis, salah satunya di negara kita Indonesia. Salah satu kasus malpraktik yang terjadi adalah seperti kasus diatas, dimana perawat salah memberikan obat kepada pasien dan akhirnya berujung pada kematian pasien. Apabila melihat runtutan kejadian pada kasus tersebut maka akan menimbulkan beberapa pertanyaan, mungkin menurut beberapa pandangan akan menyalahkan perawat, tetapi apakah kasus tersebut sepenuhnya kesalahan dari perawat ? apakah dokter yang bertanggung jawab ikut salah ? apa tugas rumah sakit apabila terjadi kasus malpraktik? hukum-hukum apa saja yang dilanggar ? untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami mencoba menganalisa kasus diatas untuk memberikan informasi dan membuka wawasan kepada pembaca.
seperti itu kak Maria, semoga terjawab dan membantu. Terimakasih
-Stanley Lovell H (41170207)
Terima kasih atas artikelnya kak
BalasHapusSaya ingin bertanya
1. Apakah seorang perawat diijinkan untuk meresepkan sebuah obat? Kenapa?
2. Bagaimana bisa seorang perawat salah memberikan jenis maupun dosis obat?
3. Apakah seharusnya sebelum memberikan obat lanjutan (setelah operasi) perlu berkoordinasi dengan dokter yang bertanggung jawab?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus41170123_Donnie Leonardo
Hapusterima kasih karena sudah mau bertanya, pertama saya akan menjawab pertanyaan yang pertama.
jawabannya adalah tidak, perawat tidak diizinkan untuk meresepkan obat. hal ini dibahas di :
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
Pasal 1 ayat ke 4
“Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku”
dan
Pasal 78 UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 0.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)."
sehingga yang boleh meresepkan obat ialah dokter atau dokter gigi, dimana dokter yang dimaksud diatur dalam :
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KEWAJIBAN MENGGUNAKAN OBAT GENERIK DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 ayat ke 7
Dokter adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis.
Iannugrah Pandung Wibowo/41170124
HapusHalo Licia, makasih banyak karena udah mau baca artikel kami, aku coba jawab pertanyaan kamu yang nomor dua ya
Seseorang perawat bisa salah memberikan jenis dan dosis obat karena tentu saja itu bukan kompetensi mereka, seperti yang tertuang dalam Permenkes RI No 73 tahun 2016 pasal satu ayat empat yang berbunyi
“Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku”
nah dari ayat tersebut jelas perawat tidak boleh ya menentukan jenis maupus dosis obat.
nah kalau sudah diinstruksikan oleh Dokter yang bertanggung jawab untuk memberikan obbat tertentu, Perawat masih bisa saja salah dalam memberikannya, kalau sudah begini berarti masuk kategori human error, seperti tidak teliti, adanya miskomunikasi saat diberi instruksi ataupun ceroboh dan lain lain.
Sumber: PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
Terimakasih atas pertanyaannya, disini saya akan menjawab soal nomor 3
HapusMenurut Undang-Undang Keperawatan Pasal 29 ayat (1) menyebutkan dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:
a. Pemberi asuhan keperawatan;
b. Penyuluh dan konselor bagi klien;
c. Pengelola Pelayanan keperawatan;
d. Peneliti Keperawatan;
e. Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau
f. Pelaksana tugas dalam keadaan terbatas tertentu
Berdasarkan Undang-Undang RI No. 29 Tentang Praktik Kedokteran Tahun 2004 Pasal 35 ayat 1 menyebutkan bahwa dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, salah satunya adalah menulis resep obat.
Dari penjelasan diatas menurut saya seharusnya ada koordinasi antara perawat dan dokter penanggung jawab. Hal tersebut harus dilakukan karena yang memiliki kewenangan menulis resep adalah dokter, sedangkan perawat adalah sebagai pelaksana tugas berdasarkan weweanag dari dokter untuk memberikan obat kepada pasien. Dalam hal ini perawat dapat mengonfirmasi kepada dokter tentang jenis obat atau dosis yang akan diberikan kepada pasien untuk menurunkan risiko terjadinya kejadian yang tidak diinginkan.
Terimakasih, semoga jawaban ini dapat membantu dan bermanfaat.
Aureliya Stefani .P. (41170133)
Sumber :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2004/uu29-2004.pdf
Kasusnya menarik sekali untuk di bahas, semoga bisa menjadi pembelajaran untuk semua kalangan.
BalasHapusTerima kasih atas tanggapannya..
HapusArtikel yang sangat menarik. Yang menjadi masalah pada kasus tersebut salah satu nya adalah perawat tidak melakukan konfirmasi resep ulang saat pemberian obat. Sehingga tidak diketahui siapa penulis resep.
BalasHapusBagaimana alur peresepan dan pemberian obat yang baik dalam rumah sakit?
Terimakasih kak Dennis atas tanggapannya terhadap artikel kami. Saya ingin sedikit menjelaskan mengenai alur peresepan dan pemberian obat di rumah sakit yang baik. Pertama, resep yang baik dan benar dituliskan oleh dokter dan kemudian diberikan kepada loket farmasi. Selanjutnya, apoteker farmasi rumah sakit atau pelayananan farmasi klinis adalah pihak yang bertanggungjawab selanjutnya. Pelayanan yang dilakukan meliputi:
Hapus1. Pengkajian dan pelayanan resep (alur peresepan obat)
Apoteker bertugas mulai dari penerimaan resep, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, persiapan farmasi termasuk untuk peracikan obat, pemeriksaan ulang, penyerahan obat, dan pemberian informasi mengenai cara minum, dosis, efek samping obat, serta informasi lainnya kepada dokter, perawat, atau pasien.
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat
Dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang seluruh obat yang pernah, sedang, atau sering digunakan. Informasi dapat diperoleh dari wawancara dengan pasien atau data rekam medis penggunaan obat oleh pasien.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Bagian farmasi bertugas untuk memberikan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang akurat dan tidak bias. Pemberian informasi dapat dilakukan kepada dokter, apoteker, perawat, tenaga medis lain, serta kepada pasien.
4. Konseling
5. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
6. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
7. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
8. Dispensing kesediaan khusus
Semoga penjelasan yang saya berikan dapat menjawab pertanyaan yang sudah diberikan. Terimakasih.
Sumber:
Drs. Rusli. Sp., F. A. (2016). Farmasi Rumah Sakit dan Klinik. Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Terimakasih kelompok 4 atas artikelnya, saya Dixie Bramantya S nim 41170236 ingin bertanya
BalasHapusDisinikan dijelaskan bahwa perawat tersebut sifatnya sebagai pembantu, apakah perawat tersebut memiliki hak dan wewenang untuk melakukan suntikan tersebut ? Dan apakah hukuman 2 tahun penjara tersebut sudah tepat untuk diberikan ? Mengingat disini korban mengalami kerugian meninggal dunia
Terimakasih sukses terus leukosit
Maaf nim saya 41170136 yg benar hehehehe
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHai !! Terimakasih sudah bertanya.
HapusPerkenalkan sy Irene Melati / 41170127 ijinkan saya menjawab pertanyaan anda.
Berdasarkan Pasal 32 UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan dijelaskan bahwa perawat memiliki beberapa tugas yang merupakan pelimpahan wewenang dari dokter penanggung jawab kepada perawat yang bersifat delegatif dan mandat.
Pasal 32 ayat 3 UU No. 38 Tahun 2014 berbunyi "Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab" contoh tindakan : menyuntik , memberikan imunisasi sesuai program pemerintah, memasang kateter, dll
Pasal 32 ayat 5 UU No. 38 Tahun 2014 berbunyi "Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah pengawasan." contoh tindakan : penjahitan luka
Dalam melaksanakan tugas - tugas tersebut harus disertai dengan permintaan lisan / tertulis dari dokter . Instruksi yang diberikan hendaknya memperhatikan kompetensi yang dimiliki oleh perawat. Dalam menerima mandat / tugas delegasi, perawat tidak memiliki hak untuk mengganti instruksi atau mengubah instruksi yang diberikan. Dalam kasus ini perawat mengambil keputusan untuk meresepkan obat dalam kartu obat pasien dengan alasan persediaan obat yang harus diberikan habis. Namun tidak melakukan konfirmasi dengan dokter penanggung jawab, dan tidak disertai informasi yang jelas mengenai kondisi pasien sehingga menyebabkan obat yang diberikan oleh petugas depo tidak sesuai dengan kondisi pasien. Hal tersebut dapat dikatakan terjadi penyelewengan terhadap pelimpahan wewenang yang diberikan oleh dokter. Selain itu tugas yang diberikan kepada perawat tersebut masuk kedalam tugas delegasi yang mana ketika dilakukan pelimpahan wewenang suatu tindakan medis, disertai pula dengan pelimpahan tanggung jawab. Dalam artian segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan tersebut menjadi tanggung jawab penerima wewenang.
Atas tindakan tersebut, perawat dituntut karena penyelewengan Pasal 359 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”
dan Pasal 84 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang berbunyi :
(1)Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2)Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
terkait putusan hakim yang akhirnya memutuskan kedua perawat tersebut menerima hukuman 2 tahun penjara, seperti yang tertulis bahwa keputusan tersebut karena pertimbangan tidak adanya autopsi dan adanya surat perjanjian perdamaian antara terdakwa dan pihak keluarga sehingga terdakwa mendapatkan keringanan hukuman.
Sumber :
UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
Pasal 356 KUHP
UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Terimakasih artikelnya
BalasHapusIzin bertanya seputaran pembahasan kasusnya bilamana peresepan obat dilakukan oleh perawat namun kondisi pasien tidak memburuk apakah LSM tetap bisa menuntut perawat tersebut? Bila Iya jelaskan, bila tidak mengapa....
Terimakasih sebelumnya
Hai kak terima kasih sebelumnya sudah menyempatkan membaca artikel kami. Baik kami akan mencoba pertanyaan kk.
Hapus- LSM/LBH dan lembaga bantuan hukum sejenisnya tetap bisa menuntut petugas medis dikarenakan hal ini termasuk didalam kelalaian medis yaitu Kejadian Tidak Cedera merupakan kejadian yang sudah dipaparkan ke pasien namun tidak menimbulkan cedera kepada pasien contoh nya salah pemberian obat seperti kasus diatas. Kejadian ini sudah sangat membahayakan keselamatan pasien dan hal ini sudah termasuk tindakan melawan hukum sesuai dengan KHUP PERDATA 1365 yang berbunyi "Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain mewajibkan mengganti kerugian tersebut", berdasarkan KHUP tersebut pelaku bisa dituntut ganti rugi materi jika tidak bisa membayar bisa diberikan hukum pidana .
Sumber :
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10919/hakimi-pasal-1365-dan-1372-kuh-perdata-tidak-bisa-digabungkan/
Nama : H Fajar Kesuma Nim : 41170193
Saya Hansen Evandore (41170154). Kasus yang diberikan sangat menarik.
BalasHapusSaya ingin bertanya :
1. apakah petugas di depo tidak memiliki wewenang untuk menunda pemberian obat karena informasi yang masih belum jelas ? karena dikatakan di ringkasan kasus bahwa petugas di depo masih mengira-ngira keadaan pasien itu sendiri.
2. Apakah dokter yang bertanggung jawab memiliki kewajiban untuk memeriksa kembali obat-obatan yang akan diberikan kepada pasien ?
3. Bagaimana kebijakan yang seharusnya dilakukan untuk rumah sakit agar kasus seperti ini tidak terluang lagi ?
4. Apa yang seharusnya diperbuat oleh perawat jika kondisi obat itu habis ?
Terima kasih Kelompok 4
baik terimakasih hansen, saya Pande Komang W P (41170130) akan menjawab pertanyaan no 3
Hapus3. Komite Medik sebagai pengatur tata kelola klinis rumah sakit terkait agar tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat tetap melakukan tugasnya sesuai etika profesinya masing-masing, sangat berperan penting dalam hal ini, kasus ini pun bisa menjadi pelajaran terhadap rumah sakit terkait, sehingga tidak perlu terulang lagi, namun adanya timbal balik baik itu sosialisasi,sinkronisasi dari pihak Komite Medik terhadap dokter, perawat, maupun tenaga medis lainnya sangat penting, agar setiap tenaga kesehatan tidak melanggar kode etiknya masing-masing, terimakasih.
Selamat pagi, saya yeheskiel matthew axel (41170140) izin menjawab pertanyaan hansen nomor 1. Tugas utama dari petugas depo farmasi yang paling utama adalah memberikan pelayanan informasi tentang obat, penyediaan pembekalan farmasi, serta memberikan pelayanan farmasi klinis dan memberikan obat dan alat kesehatan yang meliputi skrining resep. Maka dari itu tidak adanya wewenang dari seorang petugas depo untuk menunda pemberian obat terhadap pasien walaupun kondisi pasien masih samar-samar atau belum jelas kondisinya. Yang berhak untuk menentukan hal tersebut hanya dokter yang menangani pasien tersebut. Seperti itu, terimakasih
HapusSumber saya : http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/FArmasi-RS-dan-Klinik-Komprehensif.pdf
Halo Hansen, saya akan menjawab pertanyaan nomor 2. Apakah dokter bertanggungjawab untuk memeriksa kembali obat-obat yang akan diberikan ke pasien?
HapusMenurut UU No 38 tahun 2014 tentang Keperawatan khususnya Tugas dan Wewenang Perawat, dalam menjalankan tugas dirumah sakit seorang dokter memang mempunyai kewenangan untuk memberi wewenang kepada perawat dalam memberikan obat-obatan untuk pasien berdasarkan rekam medis yang sudah dituliskan oleh dokter. Jadi memang terkadang dokter tidak melakukan pegecekan kembali untuk melihat obat apa yang akan diberikan dan biasanya yang menggantikan peran ini adalah perawat yang sudah mempunyai wewenang tersendiri untuk mengecek obat-obatan (perawat setingkat kepala ruang/bangsal), NAMUN tetap ada batasan yang dimiliki oleh seorang perawat walaupun dia diberikan wewenang tersebut.
Kesalahan yang terjadi pada kasus ini adalah obat yang diberikan adalah OBAT KERAS (berlogo "K"), dimana dalam UU No 38 tahun 2014 tentang keperawatan khususnya pada BAB V Pasal 30 ayat 1 huruf j, pada pasal ini mengatakan hanya obat bebas dan obat bebas terbatas yang boleh diberikan oleh seorang perawat, sedangkan obat keras berlogo "K" dalam lingkaran merah, bukanlah kewenangan Perawat melainkan kewenangan tenaga medis setingkat dokter.
Semoga membantu, terimakasih.
Brigita Suci/41170197
Terimakasih Hansen atas tanggapan dan pertanyaannya, disini saya akan menjawab pertanyaan nomor 4 terkait hal yang harus dilakukan perawat apabila persediaan obat habis. Menurut PERMENKES RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dijelaskan terutama pada pasal 1 ayat 4 "Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku". Dari peraturan ini menandakan bahwa yang berhak menentukan dan memberikan "resep baru" dalam hal ini karena persediaan obat habis ialah dokter, sehingga seharusnya perawat memberitahukan dan mengonfirmasikan kepada dokter apabila persediaan obat habis sehingga bisa diresepkan obat yang mungkin mekanisme kerja sama dengan obat yang habis. Sehingga apabila dikaitkan dengan UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, pada Bab V Pasal 30 ayat 1 huruf j "Perawat dapat melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas." dimana dalam hal ini perawat tidak berhak untuk meresepkan obat sendiri melainkan hanya memberikan suatu perawatan sesuai dengan tugas dan perintah melalui resep yang dibuat oleh dokter.
HapusSemoga menjawab. Terimakasih
Jessica Chandra S_41170198
Sumber :
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
2. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
Terima kasih atas artikelnya. Izin bertanya, sesuai dengan kasus seharusnya apa yang dilakukan oleh komite medik terhadap kasus yang terjadi tersebut terutama untuk perawat dan dokter? Terima kasih
BalasHapusTerima kasih untuk pertanyaannya, disini saya akan mencoba untuk menjawab, Komite Medik sendiri adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata Kelola klinis (clinical governance) agar staf medis terjada profesionalitasnya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis di rumah dan pemeliharaaan etika dan disiplin profesi medis. Sesuai yang dikatakan dengan adanya kredensial tadi maka mutu tenaga medis sesuai profesi akan tetap dijaga mutunya dimana hal-hal seperti kasus diatas terkait dengan salah suntik yang dilakukan oleh perawat, maupun terkait pembagian kewenangan dimana disini yang seharusnya berwenang dikatakan setingkat dokter bukannya perawat, hal ini dilihat yang harus dilakukan oleh komite medis agar kasus tersebut tidak terjadi. Kemudian, bagaimana jika kasus tersebut sudah terjadi , komite medis sendiri juga memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangguhan kewenangan klinis (clinical privilege) hingga ijin pencabutan melakukan pelayanan medis atas pelanggaran profesi yang dilakukan oleh perugas medis, rekomendasi ini kemudian diteruskan ke konsil profesi, jadi kewenangan klinis yang dimiliki oleh dokter maupun perawat yang sebelumnya diberikan oleh komite medik pun juga dapat dicabut kembali jika menggunakan kewenangan klinisnya tidak sebagaimana mestinya.
HapusYofani Wahyu Perdana_41170199
Sumber :
PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite
Medik Rumah Sakit
Artikel yang sangat menarik.
BalasHapusIzin bertanya
1. Bagaimana alur pelaporan kasus malpraktik yang benar ?
2. Sebagai dokter penanggung jawab , seharusnya apa saja yang harus diperhatikan sebelum meminta perawat untuk memberi obat pada pasien ?
Terimakasih Teman
Lucia Vini P Rodja_41170158
Terima kasih atas pertanyaannya. Berikut akan saya jawab.
Hapus1. Ketika terjadi kasus yang merupakan malpraktik dokter atau kelalaian dokter, penyelesaian kasus dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu melalui non jalur hukum dan melalui jalur hukum. Sesuai dengan pasal 29 UU 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, yang menyatakan bahwa: “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”, jalur non hukum dapat dilakukan dengan musyawarah atau mediasi antar kedua belah pihak (pasien dan dokter) yang dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan atau Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Penyelesaian melalui jalur hukum lebih rumit dibanding jalur non hukum. Penyelesaian melalui jalur ini melibatkan aparat penegak hukum seperti kepolisian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), bahkan sampai ke tingat pengadilan, baik secara hukum perdata atau pidana. Jalur tersebut dapat dilakukan dengan cara:
a. Melaporkan kepada MKEKI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia) atau MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sesuai dengan permasalahan yang ada. Dimana pelaporan kepada MKEKI berkaitan dengan etika dokter, misalnya pasien mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan atau sopan dari dokter. Sedangkan pelaporan kepada MKDKI berkaitan dengan disiplin dokter, seperti penanganan operasi yang dirasa kurang tepat, kegagalan operasi, atau dugaan malpraktik. Pengaduan yang disampaikan harus memuat identitas pengadu, nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan, dan alasan pengaduan (sesuai dengan Pasal 66 UU No. 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
b. Menggugat secara perdata
c. Menggugat secara pidana, jika ditemukan kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut
2. Meminta perawat untuk memberikan obat kepada pasien merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang oleh dokter kepada perawat. Dalam UU No. 38 Tahun 2014 Pasal 32, menyatakan bahwa pelimpahan wewenang kepada perawat dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu tugas delegati dan tugas mandat. Tugas delegatif adalah tugas yang dilimpahkan kepada perawat beserta pelimpahan tanggung jawab, artinya tanggung jawab ada pa perawat yang melakukan tugas tersebut, seperti pemeriksaan tanda-tanda vital, mengambil darah, memberi informasi tentang penyakit dan penjelasan tentang obat-obatan yang dikonsumsi pasien, dan memberikan imunisai dasar sesuai program pemerintah. Sedangkan tugas mandat adalah tugas yang dilimpahkan dengan tanggung jawab tetap dipegang oleh dokter. Dengan kata lain, tugas tersebut baru bisa dilakukan oleh perawat jika ada pernyataan lisan ataupun tertulis dari dokter yang bertanggung jawab, sehingga perawat tidak berhak mengganti instruksi tanpa persetujuan dokter, seperti pemberian obat injeksi atau meresepkan obat. Sehingga, sebagai seorang dokter, sebelum meminta perawat dalam mengurus obat pasien, atau bahkan tugas lainnya, harus memperhatikan dengan baik perintah atau tugas yang diberikan, jangan sampai dokter yang memberi perintah atau tugas yang salah kepada perawat.
Sumber:
Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
Rahmawati, YLP. 2009. Pola Penyelesaian Kasus Malpraktek Terhadap Pasien di Rumah Sakit (Studi Kasus di Kabupaten Malang). Universitas Negeri Malang. Malang
-Virgina Glory B (41170151)
Menurut saya untuk kasus tersebut seorang perawat tiidak boleh membuat resep .perawat itu melaknakan instruksi dokter ,dalam menjalankn tugasny kurang teliti,kalau kita mau bertindak harus selalu baca aturan dan nama obatny dan nama pasien ny ,lihat kondisi pasien. Pesan: hati-hati dalam menjalamkan tugas untuk manusia.
BalasHapusTerimakasih, artikelnya sangat menarik dan menambah wawasan 😊
BalasHapusTerimaksih atas tanggapan nya dan kesediaanya membaca artikel kami .Semoga puas dengan artikel kami di atas.
HapusLumayan membantu, buat lebih kritis ketika jadi pasien juga
BalasHapusTerima kasih atas tanggapannya Alvin, senang bisa membantu..
HapusArtikelnya sangat menarik dan menambah wawasan, saya ingin menanyakan terkait kasus tersebut, kira kira untuk sanksi yang di kenakan apa ya dan bagaimana untuk mengukur pemberian sanksi tersebut ?? Terimakasih
BalasHapusTerimakasih kak Sinta untuk pertanyaannya.
HapusUntuk pengukuran pemberian sanksi bukan standar kami untuk berbicara, namun sejauh yang kami tau, pengukuran akan tergantung dari hukum perundang-undangan yang dilanggar karena kembali lagi bahwa semua sudah diatur didalam undang undang.
Dalam kasus ini, sanksi yang diberikan adalah 2 tahun 6 bulan penjara atas dasar pelanggaran terhadap Pasal 359 KUHP dan Pasal 84 ayat 2 UU RI No. 36 Tahun 2014.
Namun, dari hasil akhir persidangan kedua tersangka diberi keringanan menjadi 2 tahun penjara, dikarenakan adanya pengajuan banding oleh kuasa hukum tersangka dimana letak kesalahan tidak sepenuhnya menjadi kesalahan kedua tersangka, namun juga ada pihak lain yang seharusnya bertanggungjawab pula atas kelalaian ini dan ada faktor lain yang dipertimbangkan yaitu adanya surat perdamaian yang awalnya dibuat oleh kedua belah pihak (pihak keluarga dan pihak tersangka).
Semoga membantu, terimakasih.
Brigita Suci/41170197
Terima kasih, artikel yang sangat menarik.
BalasHapusSaya ingin bertanya. Disitu tertulis bahwa perawat melihat resep yg tertulis di rekam medis.
Siapa yang membuat rekam medis ?
Kenapa bisa salah padahal sudah tertulis di rekam medis ?
Lalu menurut teman2 apa yg seharusnya diperbaiki/sikap RS dan petugas medis jika ada kasus seperti ini agar tidak terulang kembali ?
Terima kasih, sukses selalu ��
Terimakasih Ferren saya Pande Komang Wahyu Pradana (41170130) akan menjawab, mungkin bisa dibaca lagi ringkasan kasus yang sudah berada pada postingan diatas obat yang tertulis pada rekam medis sudah benar, namun perawat terkait meresepkan obat lain yaitu Atracurium Besylate 10 mg yang seharusnya obat tersebut harus diresepkan dokter sehingga telah melanggar kode etik keperawatan. Sikap petugas medis yang perlu diberbaiki adalah komunikasi antara petugas medis baik itu dokter, perawat, maupun farmasi agar tidak terjadinya hal yang serupa, dan perlu ditekankan lagi bahwa kode etik yang dimiliki tiap profesi itu berbeda sehingga setiap profesi memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya masing-masing. Terimakasih.
HapusTerima kasih untuk artikel yang cukup menarik. Saya ingin bertanya, dikatakan sebelumnya bahwa kejadian ini tidak sepenuhnya kesalahan kedua perawat tetapi juga menjadi tanggungjawab dokter yang bertugas dan rumah sakit. Pada kasus hukuman apa saja yang dapat diterima oleh dokter yang bertanggung jawab dan rumah sakit? Terima kasih
BalasHapusTerimakasih untuk tanggapannya mengenai artikel kami.
HapusBerdasarkan beberapa laporan yang sudah ditulis, rumah sakit diwajibkan untuk bertanggung jawab secara hukum karena sudah mengakibatkan kerugian akibat kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit yang sebagaimana diatur di Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Sedangkan untuk hukuman yang harus diterima oleh rumah sakit, dasar hukum berada pada pasal 80 UU Praktik Kedokteran, dimana rumah sakit dikenai denda paling banyak sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta ruoiah) ditambah sepertiga dari denda atau dijatuhi hukuman berupa pencabutan izin operasi. Sedangkan untuk dokter, apabila dapat dibuktikan bahwa dokter tersebut melakukan malpraktek maka dapat dikenai pasal yang sama dengan hukuman paling banyak RP 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan pencabutan surat ijin praktek.
Semoga penjelasan yang saya berikan dapat menjawab pertanyaan anda. Terimakasih.
Sumber :
1. Pasal 80 UU Praktik Kedokteran
2. Indonesia, J. (2019). Kelalaian Tenaga Kesehatan & Tanggung Jawab Rumah Sakit. Jakarta: Jamsos Indonesia.
Antonia Deta 41170177
BalasHapusTerimakasih atas pembahasannya yang menarik ini. Saya mau bertanya, dari pandangan kalian sendiri melihat keluarga pasien yang tidak bisa memberikan penjelasan pasti tentang kondisi korban(seperti kasus diatas), bagaimana cara kaliakalian sebagai tenaga medis untuk tetap bisa memastikan diagnosa yang tepat? Sehingga pemberian obat pun tidak salah
Terimakasih
Halo, terima kasih Deta atas kesempatan nya membaca artikel kami. Mohon izin menjawab :
HapusMenurut saya, tenaga medis harus meningkatkan komunikasi dan kerja sama antar sesama tenaga medis supaya tidak terjadi miss komunikasi dan alangkah baiknya sebelum melakukan tindakan juga harus crosscek ulang terlebih dahulu apakah obat ini sudah benar, suntik nya sudah tepat pada posisi, check up lagi kondisi pasien. Hal dimaksudkan agar tenaga medis jangan terburu-terburu dalam mengambil tindakan sehingga hasil akhirnya nanti yang dilakukan tepat dan tidak terjadi kesalahan. Menurut WHO, dalam pelayanan kesehatan terjadi kesalahan medis 70-80% yang disebabkan oleh buruknya komunikasi dan pemahaman dalam tim sehingga dengan kerja sama tim yang baik bisa mengurangi masalah "patient safety".
Sumber :
- Jurnal " Komunikasi Efektif Dalam Praktek Kolaborasi Inter Profesi Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pelayanan" oleh Noor Ariyani Rokhmah, UNDIP
H FAJAR KESUMA/41170193
Terimakasih atas artikelnya, perkenalkan nama saya Kezia Adya dan Nim saya 41170107 saya ijin bertanya apakah jika ayah pasien memberitau informasi tentang keadaan pasien, apakah pasien bisa diselamatkan? Terimakasih
BalasHapusTerimakasih kezia atas pertanyaanya, mohon izin untuk menjawab
Hapusjika pada saat itu orang tua pasien dapat memberi tahu informasi tentang keadaan anaknya, sangat mungkin mengubah alur cerita diatas atau bahkan berujung pasien selamat. Komunikasi menjadi satu hal yang sangat penting dalam perkerjaan apapun termasuk dalam dunia medis. Karena bagaimana pun komunikasi membuat segala sesuatu menjadi lebih jelas dan tidak menimbulkan perkiraan-perkiraan bias seperti petugas obat diatas. Tanpa mengurangi rasa hormat dari pihak korban, namun disini kita sama-sama belajar bahwa segala sesuatu diperlukan komunikasi yang jelas agar menjauhkan kita dari sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan.
Seperti itu kezia, semoga menjawab dan membantu. Terimakasih
-Stanley Lovell H (41170207)
Terimakasih, artikel yang sangat menarik!
BalasHapusTerima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat :)
HapusDiana Teresa (41170147)
BalasHapusTerima kasih kelompok 4 artikelnya sangat menarik. Disini saya ingin bertanya 2 hal:
1. Apakah dokter penanggung jawab pada kasus tsb ikut bersalah karena meminta bantuan perawat honorer untuk melakukan hal yang bukan kewenangannya?
2. Lalu apabila dokter penanggung jawab sedang tidak ada di lokasi dan menginstruksikan petugas medis lain untuk memberi tindakan/ obat pada pasien, apakah selalu dalam kasus apapun itu, tanggung jawab penuh dalam melakukan tindakan tersebut akan diambil alih oleh petugas medis yang diberi instruksi?
Terima kasih, semangat terus..
hai tesa terimakasih atas kesediaan kamu membaca artikel ini dan memberi sebuat komentar berupa pertanyaan. disini kami mencoba menjawab ya. untuk nomor 1 nanti akan di jawab anggota lain sementara saya nomor 2
Hapus2.menurut UU tahnun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 65 ayat 1 berbunyi "Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis.”:Adapun yang dimaksud dengan tenaga medis dalam Pasal 11 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis
jadi petugas medis yang di tunjuk medis seperti dokter maka petugas medis tersebut memiliki tanggung jawab penuh terhadap tindakan medis akan tetapi,jika setelah pemberian perawatan pasien mengalami gejala2 yang negatif atau semakin parah maka itu tanggung jawab sepenuhnya oleh dokter terkait. jadi petugas medis ex perawat hanya merawat dan menjalankan tugas pemberian terapi jika sudah di beri wewenang oleh dokter terkait
sekian dan terimakasih
salam Mesakh Malvin Wardhana_41170192
sumber:https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54375d5815b16/wewenang-bidan-dan-perawat-dalam-memberikan-suntikan-kepada-pasien/
Terimakasih Tesa atas tanggapan dan pertanyaanya, disini saya akan menjawab pertanyaan nomor 1 terkait dengan keputusan dokter penanggung jawab atau DPJP. Menurut UU No. 38 Tahun 2014 tentang Tugas dan Wewenang Perawat, pada ayat 1 e dikatakan bahwa perawat berhak melaksanakan tindakan medis berdasarkan pelimpahan wewenang. Selain itu dikatakan pula pada Pasal 32 dimana pelimpahan wewenang dilakukan secara delegatif atau mandat. Pelimpahan wewenang secara delegatif yaitu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada perawat disertai pelimpahan tanggung jawab, dimana pelimpahan wewenang ini hanya dapat diberikan kepada perawat profesi atau perawat vokasi terlatih. Pelimpahan wewenang dalam hal ini termasuk tindakan medis meliputi menyuntik, memasang infus, dan imunisasi dasar sesuai dengan program pemerintah, serta tindakan medis lainnya yang dilakukan sesuai dengan kompetensi perawat. Dalam kasus ini dokter tidak bersalah apabila meminta bantuan perawat honorer dalam melakukan tindakan medis karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun yang menjadi kesalahan dokter pada kasus ini ialah terkait dengan pemberian informasi dan arahan yang kurang kepada perawat mengenai jenis obat, dosis, serta cara pemberian obat. Kurangnya koordinasi dan kerja sama antara dokter dan perawat sehingga terjadi kesalahpahaman dan berakhir dengan kematian pasien.
HapusSemoga menjawab. Terimakasih
Jessica Chandra S_41170198
Sumber :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Ni Kadek Ayu Divia P - 41170131
BalasHapusTerima kasih kelompok 4, artikel kalian sangat menarik :) Saya izin bertanya..
Pada kasus diatas dinyatakan bahwa kedua perawat tersebut mendapatkan hukuman berupa 2 tahun penjara. Menurut kalian apakah dokter yang memberikan instruksi pada kedua perawat tersebut juga bersalah dalam kasus ini ? Jika iya, apakah dasar hukum yang dilanggar oleh dokter tersebut, dan apakah sanksi yang harus diterima ?
Terima kasih :)
Terima kasih untuk pertanyaannya, saya akan mencoba menjawab disini. Memang dalam kasus ini perawat memiliki kesalahan tertentu dimana secara inisiatif menuliskan resep ke KOP dimana seharusnya bukan kewenangan dari kedua perawat tersebut, kemudian bagaimana dengan dokter. Dokter disini berperan sebagai DPJP ( Dokter Penanggung Jawab Pelayanan), dimana beberapa tugas penting seorang DPJP ini adalah membuat rencana pelayanan pasien dalam berkas rekam medis yang memuat segala aspek asuhan medis yang akan dilakukan, termasuk, konsultasi, rehabilitasi, dll. Selain itu DPJP berkewajiban memberikan kesempatan kepada pasien atau keluarganya untuk bertanya atas hal-hal yang tidak/belum dimengerti. Disinilah letak kesalahan dokter tesebut juga yang sebelumnya tidak menginstruksikan secara benar ke perawat, yang menyebabkan kedua perawat honorer tersebut melakukan inisiatif juga karena rekam medis yang sudah dibuat oleh dokter tersebut, walaupun apa yang dilakukan dokter secara tidak langsung juga menyebabkan kematian anak kecil tersebut salah satu sanksi yang dapat diberikan yaitu sanksi dari komite medik berupa penangguhan kewenangan klinis (clinical privilege) hingga ijin pencabutan melakukan pelayanan medis atas pelanggaran profesi yang dilakukan oleh petugas medis, rekomendasi ini kemudian diteruskan ke konsil profesi, yang kemudian kewenangan dokter tersebut akan benar-benar dicabut, hal ini dilakukan untuk memperkecil risiko terjadi kejadian serupa di rumah sakit tersebut. Semoga jawaban ini bisa membantu. Terima kasih 😊
HapusYofani Wahyu Perdana_41170199
Sumber :
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2013, Panduan Pelaksanaan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)
PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite
Medik Rumah Sakit
BalasHapuspertama” artikel nya sangat bagus. dan menambah wawasan. terimakasih
saya ingin bertanya, ada di tulis dalam artikel ini,
Ketentuan dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa rumah sakit
harus bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang berpraktik di rumah sakit merupakan beban
yang ditanggung oleh pemilik dan manajemen rumah sakit.
saya mau bertanya pihak” mana saja yg bertanggung jawab secara spesifik dalam hal ini selain dokter yg memegang kasus ?? terimakasih
Terima kasih Veren atas pertanyaan. Berikut akan saya jawab.
HapusSesuai dengan Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menyatakan bahwa: “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”, dapat diketahui bahwa, ketika terjadi kasus yang merugikan pasien, baik dilakukan dokter atau tenaga medis, penangunggjawaban tidak hanya diberikan kepada dokter atau tenaga medis yang bersangkutan, tetapi Rumah Sakit tempat dokter atau tenaga medis bekerja, turut mengambil tanggung jawab atas kasus tersebut. Selain itu, menurut PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/ 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik Rumah Sakit pasal 1, menyatakan bahwa: “Komite Medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) agar staf medis di rumah sakit terjaga profesionalismenya melalui kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis”, dapat disimpulkan pula, Komite Medik di Rumah Sakit tersebut ikut mengambil tanggung jawab dalam hal kredensial seperti proses evaluasi terhadap staf medis untuk menentukan kelayakan diberikan kewenangan klinis, dalam hal menjaga mutu pelayanan dan profesionalisme dokter seperti mempertahankan kompetensi dan profesionalisme medis, dan dalam hal pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis, seperti pembinaan etika dan disiplin profesi, pemeriksaan staf medis yang diduga melakukan pelanggaran disiplin, rekomendasi pendisiplinan pelaku profesional rumah sakit, dan pemberian nasehat/pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis pada asuhan medis pasien
Sumber:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Nasution, SA. Fungsi Komite Medik Dalam Pengawalan Kewenangan Klinis dan Disiplin Profesi. PDGI Sumut. Sumatera Utara
-Virgina Glory B (41170151)
Terimakasih atas artikelnya. izin bertanya,apakah salah mendiagnosa pasien dapat dikatakan sebagai Malpraktik?
BalasHapusIannnugrah Pandung Wibowo/41170124
HapusHalo terimakasih sudah mau bertanya, disini saya mencoba menjawab pertanyaan anda
Sebetunya terdapat "garis" yang tidak tegas yang membatasi apakah salah diagnosis merupakan Malpraktek apa bukan
menurut artikel yang ditulis berjudul "Kesalahan Diagnosis Dokter: tergolong malpraktek atau kelalaian medik-kah?" yang ditulis oleh M.Y.P Ardianingtyas SH. LLM dan Dr Charles M. Tampubolon, jika ditinjau dari sisi hukum, selama Dokter yang bersangkutan melakukan penanganan dan menegakkan diagnosis sesuai Kode Etik Kedokteran Indonesia(KODEKI), lebih jelas di Pasal 1,2,6,10 dan 11 dan UU yang berlaku, sekalipun diagnosisnya salah maka tidak bisa dikategorikan sebagai Malpraktek.
lebih jauh lagi Prof dr M. Jusuf Hanafiah Sp.OG(K) berpendapat bahwa apabila seorang dokter menggunakan ilmu dan keterampilan yang lazim, menurut lingkungan sekitar dan terjadi ketidakhatia hatian dalam penerapannya(yang dapat berujung menjadi salah diagnosis) maka hal itu akan disebut sebagai kelalaian. Jika hal ini tidak membawa kerugian atau cedera dan orang yang bersangkutan dapat menerima, maka tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan kejahatan, hal ini didasari pada prinsip De minimis noncurat lex yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele, akan tetapi jika timbul kerugian berat atau bahkan sampai menghilangkan nyawa, baru bisa dianggap pelanggaran berat.
memang dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) yang mengatakan bahwa dokter atau dokter gigi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. Salah satu praktik kedokteran yang dimaksud adalah menegakkan diagnosis sebagaimana yang disebut dalam Pasal 35 ayat (1) huruf d. akan tetapi sejauh ini hukum Indonesia, bahkan KODEKI sekalipun tidak dapat mengkategorikan Salah Diagnosis sebagi tindak Malpraktek. Kesimpulannya untuk dapat mengatakan salah diagnosa=Malpraktek, maka perlu dilakukan tinjauan mendalam atat situasi yang terjadi saat terjadi salah dignosis, dapat dicapai dengan meninjau
1. Apakah dokter tersebut teliti dan seksama dalam mendiagnosis, contoh apabila ia salah membaca hasil laboratorium, sehingga salah mendiagnosis, maka disini dapat dikatakan Malpraktek.
2. Dokter mendiagnosis sesuai ukuran ilmu medik, contoh apabila ia Dokter umum, dan ternyataia mendiagnosis penyakit yang sebenarnya masuk dalam ranah kompetensi dokter spesialis, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai Malpraktek.
3. melihat apakah dokter tersebut dalam kemampuan dan situasi yang sama, sebagai contoh terdapat situasi dimana dokter A dan B bekerja di klinik yang sama, karena tidak ada Laboratorium dan kekurangan alat, Dokter A merujuk pasiennya langsung ke RSUD, sedangkan Dokter B justru langsung mendiagnosis dan memberi pelayanan, maka disini Dokter B melakukan Malpraktek karena tidak merujuk pasien, padahal masih memungkinkan untuk dirujuk dan melakukan pemeriksaan Lab(dan ini menyalahi UU yang berlaku, dalam hal ini PMK no 01 tahun 2012 tentang sistem rujukan kesehatan).
sekian jawaban dari saya, Terimakasih. Sumber sudah tertera.
terima kasih untuk artikelnya, saya ingin bertanya, bagaimana alur peresepan obat yang benar apalagi jika obat tersebut masuk golongan obat keras supaya dokter dapat terhindar dari tuntutan hukum yang ada ?
BalasHapusbrenda M rustam (41170167)
Hai !! Terimakasih sudah bertanya.
HapusPerkenalkan sy Irene Melati / 41170127 ijinkan saya menjawab pertanyaan anda.
Berdasarkan Ordonansi Obat Keras (Staatsblad Nomor 419 Tahun 1949) obat obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pada Pasal 2.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 02396/A/SKA/III/1986 menyebutkan penandaan pada obat keras adalah sebagai berikut :
"lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi"
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 02396/A/SKA/III/1986 juga dijelaskan bahwa pemberian obat keras harus dengan resep dokter.
Peresepan obat keras harus sesuai dengan kondisi pasien , diagnosis yang tepat berdasarkan serangkaian pemeriksaan yang dilakukan , interaksi obat dan efek samping yang mungkin timbul. Pemberian obat keras sama seperti pemberian tatalaksana pada umumnya, dimana perlu dilakukan pemaparan informasi yang cukup meliputi diagnosis , tata cara tindakan medis ,tujuan, alternatif tindakan lain, resiko / komplikasi dan prognosis yang kemudian dicapainya persetujuan dengan pasien yang disebut dengan informed consent.
Seluruh informasi yang didiperoleh dari pemeriksaan hingga tatalaksana yang diberikan harus dituliskan oleh dokter dalam rekam medis. Rekam medis memiliki fungsi salah satu diantaranya adalah dalam aspek hukum, yang beperan sebagai jaminan kepastian hukum baik bagi pasien maupun dokter. Dimana rekam medis itu sendiri akan digunakan sebagai alat bukti dalam kasus hukum. seperti yang tertuang dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Sumber :
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 02396/A/SKA/III/1986
Staatsblad Nomor 419 Tahun 1949
UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Apakah jika salah beri obat namun tidak menimbulkan kematian dan hanya efek samping termasuk dalam keadaan malpraktik?
BalasHapusTerimakasih atas pertanyaannya, disini saya akan mencoba menjawab.
HapusTidak semua efek samping dapat dikatakan malpraktik.
Menurut American Board Of Professional Liability Attorneys (APBLA) malpraktik medis terjadi ketika rumah sakit, dokter, atau tenaga kesehatan profesional lainnya melakukan tindakan yang lalai sehingga menyebabkan cedera pada pasien akibat kesalahan dalam diagnosis, perawatan atau manajemen kesehatan.
Dalam sumber tersebut juga dijelaskan bahwa malpraktik merupakan hal yang mengakibatkan kecacatan, kehilangan pendapatan, rasa sakit yang tidak biasa, penderitaan, dan kesulitan atau peningkatan tagihan medis yang signifikan.
Tidak semua efek samping merupakan malpraktik karena efek samping dapat terjadi pada setiap orang yang sedang menjalani perawatan medis. Selain itu dokter juga harus menjelaskan informasi tentang efek samping yang akan didapat akibat dari obat atau prosedur medis yang telah atau akan dilakukan. Efek samping dapat dikatakan malpraktik jika bersifat berbahaya, menyebabkan kecacatan, penderitaan, serta rasa sakit yang tidak biasa.
Berikut beberapa contoh efek samping yang dapat menyebabkan tuntutan hukum :
- Penyakit fisik, nyeri fisik akibat obat sehingga menganggu kehidupan sehari-hari dan membuat seseorang tidak dapat melakukan tugas-tugasnya. Contohnya : Rasa sakit pada perut atau sendi, radang sendi, kejang otot.
- Masalah pada jantung, obat-obatan biasanya akan ditarik kembali setelah diberikan pada konsumen jika diketahui dapat menyebabkan masalah kardiovaskular. Contohnya : serangan jantung kongestif, tekanan darah tinggi dan lain-lain.
- Ide untuk bunuh diri, terdapat beberapa obat yang meningkatkan risiko bunuh diri.
- Kerusakan hati.
- Stroke.
- Kematian.
Semoga jawaban ini dapat membantu dan bermanfaat. Terimakasih.
Aureliya Stefani .P. (41170133)
Sumber :
Light, D.W. (2014, June 27). New prescription drugs: A major health risk with few offsetting advantages. Edmond J. Safra Center for Ethics at Harvard University. Retrieved from http://ethics.harvard.edu/blog/new-prescription-drugs-major-health-risk-few-offsetting-advantages
https://www.abpla.org/what-is-malpractice
https://www.hossleyembry.com/medication-side-effects-lawsuits/
analisis hukum yang disampaikan mudah dipahami. Dan sebelumnya saya membaca kalau putusan tersebut diajukan banding, bagaimana hasil upaya banding terhadap putusan tersebut?
BalasHapusTerima kasih atas tanggapan dan pertanyaannya..
HapusIya benar, PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) memang mengajukan banding terkait vonis Pengadilan Negri Meulaboh, Aceh Barat terhadap kedua perawat. Dari sumber berita terbaru yaitu detik news pada Minggu, 02 Februari 2020 yang lalu memberitakan bahwa belum ada hasil dari banding yang dilakukan PPNI tersebut dimana vonis penjara 2 tahun masih ditetapkan oleh Pengadilan Negri Meulaboh, padahal dalam keterangan Jasmen Nadeak (Tim Penasehat Hukum BBH DPP PPNI) mengatakan bahwa PPNI sudah mengungkap fakta-fakta baru di persidangan dan menyimpulkan pembelaan/pleiodi tentang kasus dugaan malapraktik tersebut bahkan PPNI sudah berupaya maksimal mendatangkan ahli hukum kesehatan khusus manajemen rumah sakit dan ahli manajemen keperawatan untuk memberikan pleiodi bahwa perlu adanya pertimbangan hakim yang komperhensif.
Jasmen Nadeak juga mengatakan bahwa “vonis Majelis Hakim PN Meulaboh sepertinya tidak mempertimbangkan dalil-dalil dalam pembelaan penasihat hukum terdakwa”. Demikian informasi yang bisa diakses penulis saat ini, semoga bermanfaat. Terima kasih..
Anastasia Aprilia T - 41170202
Sumber : Live Detik News pada Minggu, 02 Februari 2020.
Artikel yg brmanfaat. Di sini saya ingin bertanya
BalasHapus1. Dalam artikel ini sempat disinggung bahwa tenaga farmasi memberikan obat tanpa mengetahui pasti kondisi pasien padahal dalam pemberian obat terhadap pasien harus meliputi penilaian kondisi pasien, tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis dll. Apakah dalam hal ini tenaga farmasi dianggap melakukan kelalaian/malpraktik?? Tolong jelaskan
2. Obat yang diberikan kepada pasien termasuk obat keras dan dalam putusan perkara MA yang saya baca dokter penanggung jawab tidak menulis KOP sendiri melainkan hanya menuliskan obat di lembar operasi dan melalui sms ke perawat. Bagaimana etik hukum dokter DPJP tersebut? apakah dokter DPJP ini termasuk dalam kelalaian dan malpraktik karena resep merupakan kewenangan dokter sesuai SOP RS? Terima kasih
3. Dalam putusan MA yang saya baca pula ada kesalahan peresepan obat(KOP) karena perawat tidak bisa membaca tulisan obat "Transamin" dan malah menulis obat "Atracurium" karena ada persamaan huruf T. Menurut saya DPJP ini pun melakukan malpraktik karena tidak menuliskan obat pada KOP dan melanggar SOP RS yang mengharuskan DPJP menuliskan KOP.
Terima kasih
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusDonnie Leonardo_41170123
Hapusterima kasih atas pertanyaannya, saya akan mencoba menjawab pertanyaannya. saya akan mencoba menjawab pertanyaannya.
untuk nomor satu, hal ini diatur dalam :
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
ada BAB III PELAYANAN FARMASI KLINIK poin A. Pelayanan Farmasi Klinik
mengatur salah satunya ialah pengkajian dan pelayanan resep. agar dapat memberikan obat, pihak farmasi wajib memenuhi Persyaratan farmasetik meliputi:
a. nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
b. dosis dan Jumlah Obat;
c. stabilitas; dan
d. aturan dan cara penggunaan
dan persyaratan klinis, yaitu berupa :
a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat;
b. duplikasi pengobatan;
c. alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
sehingga dapat dikatakan bahwa pihak farmasi melakukan kelalaian dalam pemberian obat. karena tidak memenuhi kedua persyaratan diatas.
untuk nomor dua, kita perlu melihat tentang hukum yang mengatur hal tersebut, yaitu :
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2015
TENTANG
PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN
NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI
pasal 22 ayat ketiga :
"Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi
Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan
obat keras kepada pasien berdasarkan resep dokter."
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
Pasal 1 ayat ke 4
“Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.”
dalam hal ini, memang dokter sudah melakukan permintaan secara elektronik, tetapi bila dikaji dari :
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
pada BAB III PELAYANAN FARMASI KLINIK poin A. Pelayanan Farmasi Klinik
mengatur salah satunya ialah pengkajian dan pelayanan resep. untuk menjamin keselamatan pasien dan menjamin kualitas hidup pasien (quality of life) pasien, persyaratan administrasi pasien harus meliputi :
a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;
b. nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
c. tanggal Resep; dan
d. ruangan/unit asal Resep.
sehingga dalam kasus ini terjadi kesalahan dalam pihak dokter yang tidak memberikan informasi melalui media yang tepat dan administrasi yang kurang.
Perihal nomor 3 tentang kesalahan peresepan obat dari transamin (obat untuk menghentikan pendarahan) dan atracurium besylate (muscle relaxant), memang terjadi kesalahan oleh DPJP karena tidak menuliskan resep di KOP. akan tetapi ini bukanlah penyebab kematian dari korban. yang menjadi kesalahan fatal dari kasus ini ialah inisiatif perawat untuk menuliskan resep obat di KOP yang berujung kesalahan pemberian obat (menjadi Atracurium besylate) yang menyebabkan kematian dari korban. Dimana menurut PERMENKES yang sudah disebutkan sebelumnya, perawat tidak memiliki wewenang untuk menuliskan resep. Sehingga kesalahan DPJP bukanlah kesalahan pemberian obat, akan tetapi kesalahan dalam administrasi resep. Dalam kata lain dokter tidak bertanggung jawab akan pemberian Atracurium besylate, tetapi hanya pelanggaran kedisiplinan.
untuk pertimbangan hukum lainnya sudah terbahas diatas, mohon maaf bila ada yang kurang
referensi :
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2015
TENTANG
PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN
NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI
Terima kasih untuk informasinya. Malpraktik ini dapat dikatakan terjadi karena komunikasi yang tidak efektif yang dilakukan oleh tenaga medis di RS yang berdampak kepada keselamatan pasien. Untuk mengurangi kejadian ini apa yang sebaiknya dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit?
BalasHapusTerima kasih
Hai Frillia, terimakasih atas kesempatan nya membaca artikel kami. Mohon izin menjawab, untuk mengurangi masalah tersebut harus dibuat konsep kolaborasi antar tenaga medis kolaborasi ini terdiri dari dokter,perawat,ahli gizi, farmasi, dll. Kolaborasi ini harus terlaksana dengan sebaik mungkin apabila tidak dilakukan kerja sama tim yang baik dan tidak sejalan maka dalam menghadapi komplesitas permasalahan pasien akan berpotensi terjadinya fragmanted care yaitu pelayanan yang tumpang tindih hal ini menyebabkan konflik interprofesional, keterlambatan pemeriksaan dan tindakan yang akan mempengaruhi kualitas pelayanan. Menurut WHO, 70-80% kesalahan dalam pelayanan kesehatan kerap kali disebabkan karena buruknya komunikasi dan pemahaman dalam tim. Sehingga kerja sama tim yang baik ini akan mengurangi kesalahan dalam pelayanan kesehatan.
HapusSumber :
-KEMENKES.(2007).Keputusan Menteri Kesehatan RI No 432/MENKES/SK/IV/2007 Tentang Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit. Jakarta
H FAJAR KESUMA/41170193
Terima kasih kelompok 4 artikel yang sangat menarik.
BalasHapusSaya ingin bertanya, apakah ada hukuman tersendiri bagi petugas yang ada di depo obat karena memberikan obat dari resep yang bukan diberikan oleh dokter? Apakah yang seharusnya dilakukan oleh petugas di depo obat?
Terima kasih
Jonathan Dave - 41170168
Terima kasih untuk pertanyaannya
HapusJadi hukuman yang dapat diberikan kepada apoteker tersebut ada 2 yaitu hukuman disiplin dan sanksi hukum
Untuk sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan Peraturan per-
Undang- Undangan yang berlaku adalah:
1. Pemberian peringatan tertulis;
2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker; dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi Pendidikan apoteker.
Untuk sanksi Pidana dalam UU No.36 tahun 2014 Pasal 84
(1) Setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan penerima pelayanan kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Ayat (2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Trystan Josef Ticoalu-41170210
Terima kasih untuk artikel yang sangat menarik dan bermanfaat :)
BalasHapusSaya ingin bertanya terkait kasus diatas, dijelaskan bahwa pasien tersebut menjalani operasi yang dipimpin oleh dr. Samson dan setelah operasi dokter meminta perawat untuk memberikan obat untuk pasien tersebut. Jika persediaan obat yang diresepkan dokter tidak tersedia/habis apakah seorang perawat mempunyai hak untuk menuliskan resep obat yang lain terhadap pasien ini tanpa sepengetahuan dr. Samson ?
Terima kasih :)
(Krisentia Yahya_41170141)
Hallo Krisen! Terima kasih atas tanggapan dan pertanyaannya..
HapusMenurut peraturan hukum yang ada, seorang perawat memang diperbolehkan menuliskan resep obat terhadap pasien, hal ini tertera dalam UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Yakni pada BAB V Pasal 30 ayat 1 huruf j yang berbunyi "Perawat dapat melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas." namun, dalam pasal ini bisa diketahui bahwa obat keras berlogo "K" dalam lingkaran merah, bukan merupakan kewenangan perawat melainkan seorang dokter.
Pada kasus diatas perawat tergolong melanggar hukum karena tidak berhak menuliskan resep obat keras untuk pasien dan tanpa sepengetahuan dokter pengawas pasien (dr. Samson). Perawat seharusnya mengkomunikasikan terlebih dahulu kepada dokter pengawas pasien bahwa persediaan obat habis dan perlu penulisan resep untuk pengambilan obat, agar dokter bisa mengetahui hal itu dan menuliskan resep untuk pasien.
Semoga bermanfaat, terima kasih..
Anastasia Aprilia T - 41170202
Sumber : Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Hallo saya Agnesia Karlina mau bertanya tentang kasus tersebut, saya membaca bahwa kedua perawat yang melakukan kelalaian tersebut dihukum dengan hukuman pidana, padahal jika kita merujuk pada UU no.29 tahun 2004 ttg Praktik Kedokteran, UU no. 36 Tahun 2009 ttg kesehatan dan UU no.44 tahun 2009 ttg rumah sakit tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan bahwa kelalaian dari tenaga medis dapat dipidana. Semua ketentuan dalam uu tersebut baru bisa dipidana jika ada unsur kesengajaan, namun dalam artikel tersebut tidak dijelaskan bahwa kedua perawat tersebut sengaja melakukan hal tersebut. Bagaimana tanggapan kelompok anda mengenai hal ini? Apakah penjatuhan pidana terhadap kedua perawat tetap dibenarkan atau ada proses lain yang sebenarnya dapat ditempuh selain penyelesaian lewat litigasi?
BalasHapusTerimakasih Agnesia atas pertanyaannya, disini saya akan menjawab pertanyaannya mengenai pemberian hukuman pidana bagi kedua tersangka. Benar bahwa kasus ini termasuk dalam tindakan kelalaian dimana memang tidak ditemukan unsur kesengajaan yang dilakukan oleh tersangka. Sebelumnya, saya akan memberikan penjelasaan mengenai kelalaian, dimana kelalaian bukan merupakan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan jika tidak membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya, namun apabila kelalaian yang dilakukan sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan bahkan merenggut nyawa orang lain maka kelalaian ini disebut sebagai kelalaian berat. Seperti yang sudah dijelaskan di artikel kami terutama di bagian ringkasan kasus, dimana pada Pasal 84 ayat 1 UU RI No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dikatakan bahwa "Setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun." dan pada pasal 2 "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun." Sehingga berdasarkan kedua pasal tersebut, kedua perawat dibenarkan dalam hal menerima hukuman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
HapusSemoga menjawab. Terimakasih
Jessica Chandra S_41170198
Sumber :
1. UU RI No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
2. Widodo. T. N. (2015) ‘Penafsiran Hukum Dalam Menentukan Unsur-Unsur Kelalaian Malpraktek Medik (Medical Malpractice)’, Yustisia Jurnal Hukum, 92(2), pp. 488–503. doi: 10.20961/yustisia.v92i0.3832.
Terima kasih untuk artikel yang telah dibuat, dituliskan dalam kasus bahwa dari KOP yang ditulis oleh perawat, petugas depo tidak bisa mengidentifikasi keadaan dari pasien (masih di ruang operasi/sudah pindah diruang perawatan) kesalahan seperti ini apakah termasuk dalam malpraktek? dan apakah ada hukum yang membahas kesalahan seperti ini.
BalasHapushai kak gianna,terimakasih telah membaca artikel kami dan memberikan komentar berupa pertanyaan. Disini kami mencoba menjawab pertanyaan dari kakak ya semoga puas.
Hapusjawaban: hal ini termasuk malpraktek karena menurut UU tahnun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 65 ayat 1 berbunyi "Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis.”:Adapun yang dimaksud dengan tenaga medis dalam Pasal 11 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis
jadi pada kasus di atas perawat tidak di beri kewenangan menyuntik oleh dokter terkait dan memberikan resep obat keras kepada pasien yang mana kalau obat keras harus dengan resep dokter.
Mengenai tenaga kesehatan (bidan dan perawat) dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya juga diatur dalam Pasal 63 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan:
"Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.”
Dalam penjelasan Pasal 63 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan dikatakan bahwa yang dimaksud "keadaan tertentu" yakni suatu kondisi tidak adanya tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan serta tidak dimungkinkan untuk dirujuk.
sekian dan terimakasih
salam hangat Mesakh Malvin Wardhana_41170192
sumber:https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54375d5815b16/wewenang-bidan-dan-perawat-dalam-memberikan-suntikan-kepada-pasien/
Artikel yabg sangat menarik, jd harus lebih berhati" lagi dalam melakukan tindakan prosedur yang dapat berakibat fatal
BalasHapusArtikel yang memarik, saya mau tanya peran MKDI serta IDI pada kasus ini bagaimana ya?
BalasHapusBaik saya yeheskiel matthew axel (41170140) izin menjawab pertanyaan. Sesuai dengan namanya, MKDKI adalah singkatan dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, sudah jelas bahwa melalui kelembagaan ini, MKDKI merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang kedisiplinan kerja serta ketertiban dalam praktik kedokteran. MKDKI sendiri berhak untuk menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter. Dalam UU tentang pasal 64 tentang praktik kedokteran berbunyi : “Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas : a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
Hapusb. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.
Adanya kesalahan dokter tersebut dikarenakan tidak memantau perawat tersebut dalam pemberian obat injeksi pada pasien. Akibatnya, kelalaian dokter tersebut pun menjadi pemicu dalam kegagalan penanganan pasien tersebut, sehingga MKDKI serta IDI disini berperan dalam memutuskan apakah dokter tersebut termasuk dalam melakukan pelanggaran hukum atau tidak, dan MKDKI maupun IDI-pun berhak memutuskan dokter tersebut bersalah dalam kasus ini.
Sumber : https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt546814ab747dc/tugas-majelis-kehormatan-etik-kedokteran-dan-majelis-kehormatan-disiplin-kedokteran-indonesia/
Sangat menarik kasus malpraktik yang disampaikan pada artikel ini, namun saya masih kurang paham apa fungsi dari Atracurium Besylate? Berapa dosis dan cara penggunaan yang tepat? Dan kenapa pada kasus ini malah menyebabkan nadi melemah hingga berujung kematian?
BalasHapusTerimakasih untuk tanggapan anda mengenai artikel kami. Atracurium Besylate berfungsi sebagai agen neuromuscular-blocker tipe non depolarizing yang memiliki onset cepat dan efek kardiovaskular yang tidak spesifik. Atracurium Besylate merupakan sintetis dari Dibenzensulfonate dan penggunaannya adalah untuk relaksasi otot rangka dan antagonis nikotinik, penggunannya biasanya ditambahkan ke pemberian obat lain. Obat ini biasanya digunakan saat prosedur operasi, ventilasi mekanik, dan pelaksanaan prosedur intubasi endotrakeal. Pemberian obat dilakukan melalui injeksi intravena (IV). Untuk dosis pemberian yang tepat, pada anak usia dibawah satu bulan adalah sebesar 300-600 mcg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 100-200 mcg/kgBB. Sedangkan untuk dosis umum adalah sebesar 0,4-0,5 mg/kgBB.
HapusAtracurium Besylate dalam administrasinya dapat menyebabkan beberapa efek samping atau efek yang dapat muncul akibat keracunan, yaitu pada cardiovascular (Jantung dan pembuluh darah), Bronchospasm (Penyempitan saluran bronkus), dan kejang. Administrasi Atracurium Besylate pada tubuh berhubungan dengan pelepasan histamin dalam tubuh, pengaruhnya terhadap cardiovascular adalah dapat menyebabkan hipotensi dan meningkatnya denyut jantung (takikardi), serta dapat menyebabkan penyempitan jalan napas (bronchospasm). Penyebab nadi melemah pada kasus ini dapat disebabkan oleh pengaruh obat terhadap sistem cardiovascular. Dimana tubuh gagal bereaksi atau memberikan kompensasi terhadap menurunnya tekanan darah yang dibawah normal (hipotensi) dengan meningkatkan denyut jantung (takikardi). Akan tetapi karena gagal melakukan kompensasi/ penanganan, denyut pasien akhirnya melemah dan bisa saja menjadi penyebab kematian pasien.
Semoga jawaban saya bisa menjawab pertanyaan yang diberikan. Terimakasih.
Sumber:
1. dr. I Made Subagiartha, S. A. (2016). Farmakologi Obat-Obat Pelemas Otot Rangka. Bali: RSUP Sanglah.
2. Information, N. C. (2020). Atracurium Besylate. National Library of Medicine.
3. POM Nasional (Atrakurium Besilat)
Hallo kelompok 4, saya ingin bertanya ya.
BalasHapusMenurut teman teman, setelah terjadi kasus seperti ini, apa hal yang harus di lakukan untuk mencegah hal serupa , agar tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang?
Apakah perlu dipersiapkan sejak pendidikan atau tidak ? Jika ya, apa contoh nyta tindakan nya ?
Trimakasih
Youlla Anjelina
41170153
Terimakasih Youlla atas pertanyaanya, mohon izin untuk menjawab
HapusMenurut kami beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian diatas adalah yang pertama, sebagai seseorang yang menjalani sebuah profesi baiknya untuk mengusai ilmu dalam bidang profesi tersebut agar meminimalisir kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dan dapat mengambil keputusan dengan tepat. Kedua, adapun untuk bekerja sesuai kompetensi masing-masing,namun apabila dalam keadaan mendesak atau terpaksa ada baiknya jika diawasi oleh pihak yang lebih bertanggung jawab, dan yang ketiga selalu berkomunikasi antar pihak satu dengan pihak yang lain agar tidak terjadi kesalah pahaman, disini juga menyangkut betapa penting nya untuk meng cross-check ulang setiap keadaan dan tindakan yang sudah diberikan.
Lalu apakah perlu dipersiapkan sejak pendidikan? sangat perlu, contoh sederhana yang dapat dilakukan adalah tetap rajin dan semangat dalam belajar agar dapat mengusai ilmu agar suatu saat dapat dipakai dengan baik, tidak menyepelekan komunikasi dalam hal apapun karena jika terbiasa untuk berkomunikasi maka semakin kecil kemungkinan kesalahan dapat terjadi, pentingnya untuk mulai memahami dan mengetahui apa saja kompetensi sebagai dokter dikemudian hari, dan tidak lupa juga untuk selalu belajar agar tidak memandang rendah nyawa seseorang karena seperti yang kita tahu salah satu kiblat utama dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan kedokteran adalah keselamatan pasien.
Seperti itu Youlla menurut kami, semoga terjawab dan membantu. Terimakasih
-Stanley Lovell H(41170207)
Terimakasih kelompok 4, artikelnya menarik dan bermanfaat.
BalasHapusSaya Clara Margareta(41170195), ingin bertanya apakah setelah terdakwa selesai menjalani hukumannya dapat kembali melakukan pekerjaannya? mengingat bahwa tindakan mereka merupakan malpraktik dan membahayakan pasien.
Terimakasih
Terimakasih Clara atas pertanyaannya, disini saya akan mencoba menjawab.
HapusMenurut Permenkes RI Nomor 1199/MENKES/PER/X/2004 pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan oleh pemberi kerja apabila tenaga kerja kesehatan :
- Tidak sehat jasmani dan/atau rohani.
- Melanggar disiplin berat.
- Malakukan tindakan pidana.
- Meninggal dunia.
- Selesai masa perjanjian kerja.
- Tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja.
Pada kasus, perawat tersebut telah melakukan tindakan pidana yaitu pelanggaran Pasal 359 KUHP dan Pasal 84 ayat 2 UU RI No. 36 Tahun 2014. Sesuai dengan poin yang disebutkan diatas, ketika tenaga kesehatan melakukan tindakan pidana maka dapat terjadi pemutusan hubungan kerja antara perawat tersebut dan rumah sakit yang bersangkutan dengan kata lain sudah tidak dapat bekerja kembali.
Semoga jawaban ini dapat membantu dan dapat bermanfaat. Terimakasih.
Aureliya Stefani .P (41170133)
Sumber :
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1199/MENKES/PER/X/2004 TENTANG PEDOMAN PENGADAAN TENAGA KESEHATAN DENGAN PERJANJIAN KERJA DI SARANA KESEHATAN MILIK PEMERINTAH
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/front/form/6334
Nindya Stephanie Christina_41170185
BalasHapusHalo, kelompok 4 terimakasih untuk pembahasan yang sangat informatif dan berita yang menarik.
Saya ingin bertanya.
a. Bagaimana dengan DPJP pada kasus tersebut? Apakah dikenai hukuman juga?
b. Karena merupakan obat keras, apakah perawat tersebut dapat memberikan resep untuk dituliskan pada KOP?
terimakasih
Terima kasih untuk pertanyaannya, saya akan mencoba untuk menjawab :
Hapus1. Jadi memang walaupun tidak dikatakan secara pasti apa yang didapatkan oleh DPJP dalam kasus ini tetapi tetap ada kesalahan pada DPJP tersebut, dikarenakan DPJP disini yang seharusnya berperan membuat rencana pelayanan pasien dalam berkas rekam medis, termasuk juga konsultasi, rehabilitasi, dll. Dari poin tersebut seharusnya dokter juga menginstruksikan secara rinci kepada perawat bahwa tidak melalukannya secara sendiri dikarenakan perawat tersebut pun tidak memiliki sebuah kewenangan klinis, yang menyebabkan perawat menjadi melakukan tindakan atas inisiatifnya sendiri, salah satu yang bisa didapatkan oleh dokter sebagai sanksi adalah sanksi yang didapatkan dari Komite Medik yang memang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan mencegah terjadinya peristiwa yang sama yaitu dengan pengangguhan kewenangan klinis hinggga ijin pencabutan melakukan pelayanan medis karena tidak melaksanakan kewajibannya kepada pasien dengan sebaik mungkin.
2. Untuk perawat sendiri tidak boleh melakukan peresepan obat dikarenakan tidak mempunyak kewenangan tersebut, tercantum juga pada UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, yakni pada BAB V Pasal 30 ayat 1 huruf j yang berbunyi "Perawat dapat melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas." Pada pasal ini tercatat hanya obat bebas dan obat bebas terbatas, sedangkan obat keras berlogo "K" dalam lingkaran merah, bukanlah kewenangan Perawat. Sehingga apa yang dilakukan oleh kedua perawat tersebut merupakan suatu kesalahan karena tidak masuk dalam kewenangan mereka.
Semoga jawaban ini membantu :)
Yofani Wahyu Perdana_41170199
Sumber :
Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2013, Panduan Pelaksanaan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)
PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite
Medik Rumah Sakit
UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Terimakasih artikel yg menarik untuk menambah wawasan pembaca.
BalasHapusSaya ingin bertanya adakah peran direktur bertanggung jawab atas kejadian ini?
kemudian, apa peran direktur rumah sakit terkait sebagai yang berwenang dan juga bertanggung jawab dalam menangani kasus yang terjadi ? sebab sudah memilih tenkes yg tidak berkompeten dalam menangani pasien.
Terimakasih atas pertanyaannya.
HapusDirektur tentu bertanggungjawab atas kejadian ini, menurut PERPRES Nomor 77 Tahun 2015 tentang pedoman organisasi rumah sakit, tercantum pada pasal 7 ayat 3, seorang direktur rumah sakit bertugas untuk pembinaan, pengawasan, dan pengendalian
pelaksanaan tugas dan fungsi rumah sakit serta melakukan segala koordinasi didalamnya.
Merujuk juga pada Ketentuan dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa rumah sakit harus bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang berpraktik di rumah sakit merupakan beban yang ditanggung oleh pemilik dan manajemen rumah sakit. Dokter yang bekerja di suatu rumah sakit akan berada dibawah pengawasan manajemen dan pemilik rumah sakit, sehingga rumah sakit bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi atas dokter tersebut.
Rumah sakit dapat terlepas dari tanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang bekerja di rumah sakit bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pasien.
Semoga membantu.
Brigita Suci/41170197
HapusTerima kasih kelompok 4 artikelnya menarik sekali dan mudah dipahami analisanya
BalasHapusSaya Nunki Utomo (41170161) ingin bertanya, adakah tanggung jawab institusi (rumah sakit) kepada dokter yang terduga melakukan tindak malpraktik? Jika ada, dalam bentuk apa saja?
Terima kasih
Baik saya Pande Komang W P (41170130) akan menjawab
HapusTanggung jawab manajemen rumah sakit kepada dokter yang mengalami dugaan malpraktik kedokteran dapat berupa:
a. Penerapan standar pelayanan kesehatan yang mengacu pada 16 wajib hukum bagi tenaga kesehatan yang meliputi pelayanan adequate information, informed consent, medical record, standart profession of care, second opinion, medical risk, medical emergency care, social insurance of health care, medical liability, negligent medical care, contributory negligence, assumption of risk, medical intervention, medicare medicaid program, medical committe dan acreditiation of health care.
b. Memberi bantuan advokasi serta menggiatkan peran biro konsultasi hukum kesehatan di lingkungan rumah sakit.
c. Sosialisasi hukum kesehatan bahwa medical practice dan medical malpractice sebagai pasangan dalam hukum kesehatan di luar pelayanan kesehatan.
Sumber :
K.I Nusye. (2009). Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik Kedokteran. Pustaka Yustisia.
Analisa kasus yang menarik, terima kasih untuk informasinya.
BalasHapusSaya ingin bertanya, bagaimana alur pemberian sanksi bagi tenaga medis di rumah sakit? Apakah melalui hukum terlebih dahulu kemudian ditindak secara etik profesi atau sebaliknya?
Terima kasih.
Haii :) Terimakasih sudah bertanya.
HapusPerkenankan sy Irene Melati Wicaksana / 41170127 untuk menjawab pertanyaan anda.
Alur pemberian sanksi atau upaya pendisiplinan perilaku profesional menurut Permenkes No. 755 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit adalah sebagai berikut :
1. Laporan : laporan diterima oleh komite medik (sub komite disiplin dan etik profesi ) . Laporan tersebut dapat bersumber dari perorangan ( manajemen rumah sakit, staf medis lain, tenaga medis/ non tenaga medis, pasien / keluarga pasien) atau non perorangan (hasil konferensi kematian & hasil konferensi klinis)
2. Dasar Dugaan Pelanggaran Disiplin Profesi : menurut Permenkes no. 755 Tahun 2011 disebutkan hal hal yang dapat digunakan sebagai dasar dugaan pelanggaran disiplin profesi adalah hal - hal yang menyangkut :
a. kompetensi klinis
b. penatalaksanaan kasus medis
c. pelanggaran disiplin profesi
d. penggunaan alat / obat yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
e. ketidakmampuan bekerja sama dengan staf rumah sakit yang mempu membahayakan pasien.
3. Pemeriksaan : dilakukan pemeriksaan oleh panel pendisiplinan profesi dengan pembuktian- pembuktian / keterangan ahli . pemeriksaan ini bersifat tertutup, dan pengambilan keputusan bersifat rahasia.
4. Tindakan Pendisiplinan Perilaku Profesioanl, pemberian tindakan oleh subkomite etika dan disiplin profesi dapat berupa :
a. peringatan tertulis
b. limitasi kewenangan klinis ( clinical privilege )
c. bekerja dibawah supervisi dalam waktu tertentu
d. pencabutan kewenangan klinis ( clinical privilege ) sementara / selamanya
5. Pelaksanaan keputusan. pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan oleh kepala / direktur rumah sakit atas rekomendasi subkomite etik dan disiplin profesi.
sumber :
Permenkes 755 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit
Artikel yang menarik dari kelompok 4. Saya Carolina, ingin bertanya apakah sebelum menyuntikkan obat tersebut pada pasien, perawat tersebut sudah memberikan informed consent atau belum? Dan apakah peran penting informed consent di mata hukum Indonesia? Terimakasih.
BalasHapusKelompok 3 : Carolina Devi Santi M_41170122
Halo Carolina, terima kasih atas pertanyaannya. Berikut akan saya jawab.
HapusDalam kasus ini, tidak diceritakan perawat meminta informed consent baik dari pasien maupun keluarga pasien. Informed consent dalam Undang-Undang Kesehatan di Indonesia diistilahkan sebagai persetujuan tindakan dokter, yang di dalam PERMENKES RI Nomor 290/MENKES/PER/III/2008, diartikan sebagai: “persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”. Informed consent mencakup peraturan yang mengatur perilaku dokter dalam berinteraksi dengan pasien. Interaksi tersebut membentuk suatu hubungan yang disebut dengan hubungan dokter-pasien. Meski begitu, setelah ditandatanginya persetujuan tindakan dokter oleh pasien atau keluarga terdekatnya, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Informed consent atau persetujuan tindakan dokter ini sangat penting diminta kepada pasien atau keluarga pasien karena tindakan medis yang dilakukan akan mempengaruhi kehidupan seseorang dan tindakan dokter tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Sumber:
Purnama, SG. 2016. Modul Etika dan Hukum Kesehatan: Infromed Consent. Program Studi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kedokteran. Universitas Udayana. Bali
PERMENKES RI Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
-Virgina Glory B (41170151)
Artikel yang menarik, terima kasih kelompok 4,
BalasHapusSaya ingin bertanya bagaimana jika kesalahan dalam tindakan oleh seorang dokter merupakan ketidak sengajaan, apakah terdapat hukuman yang dapat diterima oleh seorang dokter terkait tindakannya tersebut ?
Terima kasih
Mega Silvia I. C. B (41170175)
Halo silvi, disini Iannugrah 41170124 akan menjawab
HapusSelama ketidaksengajaan itu masih dalam SOP, Etika dan aturan yang berlaku maka Dokter tersebut tidak akan dihukum, dalam konteks tindak medis, akan tetapi jika timbul kerugian maka akan menjadi perkara lain.
sumber: Kesalahan Diagnosis Dokter: tergolong malpraktek atau kelalaian medik-kah?" yang ditulis oleh M.Y.P Ardianingtyas SH. LLM dan Dr Charles M. Tampubolon
Beltsazar Onne P - 41170179
BalasHapusArtikel yang sangat menarik :)
Saya ingin bertanya, apakah salah suntik termasuk malpraktek? Semisalnya salah suntik ini terjadi karena miskomunikasi, apa yang akan dilakukan pihak rumah sakit untuk mengurangi miskomunikasi ini?
Terima kasih
Halo, terimakasih pembahasannya sangat baik. Izin bertanya, apabila terjadi hal seperti di atas, dan pihak tenaga medis menyadari kesalahan yang telah mereka perbuat, apakah bisa mereka langsung mengakui nya kepada keluarga, ataukah harus melalui mediasi pihak ketiga, ataukah tetap diam saja? Terimakasih 🙏
BalasHapusHalo Theo, Iannugrah Pandung Wibowo 41170124 akan menjawab
HapusSejatinya jika baik dari pihak keluarga ataupun tenaga medis bisa saja langsung minta maaf atau diselesaikan dengan mediasi diluar lingkup pengadilan dasar hukumnya adalah Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Artikelnya sangat menarik, saya I Gusti Ngurah Bagus Sulaksana Putra - 41170142 ingin bertanya apakah dapat dibenarkan tindakan yang telah dilakukan oleh perawat dimana perawat tersebut menyuntik tanpa sepengetahuan dokter? Bagaimana seharusnya prosedur yg sesuai?
BalasHapusBaik saya yeheskiel matthew axel (41170140) izin menjawab. Untuk prosedur atau alur pemberian obat pada pasien, sesuai SOP, perawat harus terlebih dahulu memberitahukan kepada dokter untuk melakukan injeksi kepada pasien, obat apa yang digunakan, berapa banyak yang akan digunakan serta kapan harus kembali memberikan obat tersebut. Kemudian setelah mendapatkan izin atau dokter sudah meng-konfirmasi serta menyetujui, perawat kemudian boleh melakukan injeksi pada pasien. Sebelum perawat memberikan injeksi, harus diperhatikan terlebih dahulu nama pasien dan nama obat yang akan digunakan, kemudian perawat tersebut baru dapat memberikan injeksi apabila sudah jelas instruksi yang diberikan serta kecocokan antara nama pasien dengan obat yang akan dipakai saat injeksi.
HapusTerimakasih kelompok 4 untuk artikel yang sangat menarik :)
BalasHapusSaya Nathania Dhestia Putri (41170132) ingin bertanya. Berdasarkan kasus yang terjadi tindakan apa yang dilakukan oleh pihak rumah sakit terhadap pegawai yang salah memberikan obat tersebut? Apakah pihak rumah sakit juga memberikan sanksi tersendiri?Jika iya, bagaimana tindakan rumah sakit yang tepat pada kasus tersebut?
Terima kasih untuk tanggapan dan pertanyaannya, disini saya akan mencoba menjawab, memang terkait dengan kasus untuk dua perawat sudah mendapatkan hukum pidanah yang diputuskan dipengadilan, seharusnya dengan hukum pidana itu sudah lebih dari cukup untuk sanksi yang diterima oleh dua perawat tersebut. Tetapi dari pihak rumah sakit yaitu peran dari komite medik sendiri disini penting, dimana melakukan penangguhan kewenangan yang dimiliki oleh dua perawat tersebut serta bisa mengevaluasi kejadian ini menjadi salah satu kasus yang dibawa ke pengadilan, menjadikannya sebagai topik audit dan mengevaluasi jika terdapat kesalahan dalam sistem rumah sakit tersebut.
HapusYofani Wahyu Perdana_41170199
Sumber :
PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite
Medik Rumah Sakit
UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Aloysius Gonzaga P.B-41170164
BalasHapusArtikel yang sangat menarik,
saya mau bertanya, Sesuai hukum bagaimana cara ataupun syarat-syarat dan kapan dilakukan pemberian tugas delegasi dan tugas mandat, dan bagaimana cara mencegah tindakan tersebut agar tidak terulang?
Kasus yang diangkat pada artikel sangat menarik. Saya ingin bertanya, agar hal tersebut terulang lagi di masa depan, edukasi apa saja yang menurut kalian pantas diberikan kepada seluruh tenaga medis mengenai pemberian obat? Jadi tidak hanya dari segi dokter, tapi juga perawat dll.
BalasHapusCornelia Rivanda B. (41170146)
HapusTerimakasih Vanda atas pertanyaannya, disini saya akan menjawab pertanyaan mengenai edukasi yang diberikan pada perawat. Yang terutama yang harus dipegang teguh oleh tenaga medis terutama dalam hal ini ialah sikap profesionalisme, dimana diperlukan sikap kehati hatian karena upaya penyelamatan yang dilakukan berkaitan dengan nyawa pasien. Selain itu diperlukan komunikasi yang baik antar tenaga medis, sehingga tidak terjadi miskomunikasi serta taat pada aturan.
HapusSemoga membantu, terimakasih
Jessica Chandra Santoso
41170198
Terimakasih kawan atas artikel yang sangat informatif ini, saya Daniel Eka Raenata 41170170 mohon izin untuk bertanya ya.
BalasHapusdikatakan bahwa pada kasus diatas dokter, perawat serta rumah sakit memiliki kesalahan masing2, mungkin bisa dijelaskan, letak dari kesalahan rumah sakit sendiri disini apa? dan apa undang-undang yang dilanggar jika ada? Terima kasih
Dikatakan di artikel bahwa letak kesalahan rumah sakit ada pada sistemnya dan belum di katakan secara pasti kesalahan sistem yang dimaksud seperti apa, dalam kasus seperti ini peran komite medik sangatlah penting, untuk mengangkat kasus ini menjadi topik dalam pembahasan anggota komite medik, salah satunya sebagai audit medis, dengan audit medis ini topik yang digunakan yaitu sistem yang digunakan untuk mengatasi anak yang meninggal tersebut, dan tentunya bisa di spesifikan lagi ke dalam tenaga medis terkait dokter dan perawat. Sesampainya di bagian reaudit dapat dilihat, hasil yang sudah didapatkan pada kesimpulan apakah bisa mengurangi kejadian tersebut atau tidak. Pada kasus ini juga letak kesalahan bukan sepenuhnya ada di rumah sakit, dikarenakan perawat sendiri yang berinisiatif untuk meresepkan obat pada pasien. Jadi pentingnya audit medis untuk evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang kembali.
HapusYofani Wahyu Perdana_41170199
Sumber :
PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite
Medik Rumah Sakit
UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Ulasan kasus yang sangat menarik.
BalasHapusSaya ingin bertanya, bagaimana sanksi yang diberikan kepada perawat terkait sanksi etik perawat, mengingat artikel ini adalah tentang perawat yang melakukan malpraktik? Apakah jauh berbeda dengan sanksi etik kedokteran? Terimakasih sebelumnya.
Ivan Satrio Wicaksono (41170188)
Terimakasih Ivan atas tanggapannya mengenai artikel kami. Mengenai sanksi yang diberikan kepada perawat seperti yang disampaikan pada kasus, sanksi diatur di dalam Pasal 359 KUHP dan pasal 84 ayat 2 UU RI No.36. Kedua hukum tersebut berlaku bagi seluruh petugas medis yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, baik dokter maupun perawat. Jadi, sanksi etik yang berlaku pada perawat tidak jauh berbeda dengan sanksi etik kedokteran.
HapusSemoga jawaban yang saya berikan dapat memberi informasi yang diharapkan. Terimakasih.
Sumber:
1. Pasal 359 KUHP
2. UU RI No. 36 pasal 84 ayat 2
halo kelompok 4, terimakasih atas artikelnya sangat bermanfaat.
BalasHapusada beberapa hal yang ingin saya tanyakan :
1. mengenai perawat yang menangani pasien bernama alfa reza. apakah benar tindakan tersebut merupakan tanggung jawab perawat sepenuh nya dalam memberikan obat ? bagaimana peran dokter dalam kasus ini? jika dokter juga turut ambil bertanggung jawab di kasus ini, aspek mana dari dokter yang bisa terkena sanksi hukum? bagaimana pembagian tugas antara dokter dan perawat menurut peraturan hukum?
2. menurut kelompok kalian pada kasus ini, apakah yang bersalah hanya perorangan dari perawat ataupun dokter saja? bagaimana dengan manajemen rumah sakitnya? berdasarkan kasus ini, apakah ada peraturan atau standar yang tidak dilaksanakan oleh pihak rumah sakit sehingga terjadi malpraktik ini? di indonesia sendiri, bagaimana peraturan hukum manajemen rumah sakit?
3. menurut kelompok kalian, apakah keputusan akhir yang diberikan oleh hakim pada kasus ini sudah tepat? jika belum, dari aspek mana saja yang perlu dipertimbangkan dalam permasalahan kasus ini dalam menerapkan sanksi sesuai peraturan yang berlaku?
4. menurut kelompok kalian, bagaimana peraturan hukum di indonesia mengenai praktik kesehatan, apakah sudah cukup adil dan bisa diterapkan dalam menangani berbagai kasus yang terjadi? apakah ada aspek hukum tertentu yang perlu diperbaiki, dirubah, atau dipertahakan?
terima kasih.
salam
Bagus Made Arisudana WPS (41170110)
Terimakasih telah mengangkat artikel ini, artikel yang sangat menarik, saya ingin bertanya dalam kasus tersebut juga terdapat kesalahpahaman petugas depo dan pasien, dan kenapa hanya dua perawat tersebut yang dihukum, padahal terdapat serangkaian kesalahan yang terjadi sebelum penyuntikan obat ?
BalasHapusThomas Carel (41170113)
Halo Carel, terimakasih atas pertanyaannya.
HapusBenar sekali, kesalahpahaman terjadi dan ada serangkaian kekeliruan sebelum penyuntikan obat. Jika carel berkenan, bisa membaca kembali di bagian ringkasan kasus yang kami berikan. Solusi atas segala kekeliruan yang seharusnya tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada dua perawat tersangka adalah jaksa hukum pihak perawat tersangka mengajukan banding karena tidak hanya kedua perawat yang bertanggungjawab atas kejadian ini sehingga akhirnya kedua perawat diberi keringanan dari yang awalnya dijatuhkan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara menjadi 2 tahun penjara saja.
Selebihnya, belum ada info lebih lanjut apakah memang ada pihak lain yang menjadi tersangka dalam kasus ini, sebab sejauh ini banyak rumor beredar bahwa ada fakta yang disembunyikan dibalik kasus ini dimana polisi hanya menetapkan dua perawat sebagai tersangka dan mengabaikan pihak-pihak lain dibalik kasus ini.
Kita berharap yang terbaik, semoga keadilan dapat ditegakkan diatas ketimpangan ini.
Brigita Suci/41170197
Artikel yang sangat menarik dan bermanfaat ! Semangat terus untuk kelompok 4 yeayy❤️❤️❤️❤️
BalasHapusKamsahamnida, Noona/Hyung
Hapus