TUGAS MALPRAKTIK KELOMPOK 3 - HARAPAN MENGHILANGKAN TUMOR BERUJUNG KEHILANGAN INDUNG TELUR


source image: stuff.co.nz


Disusun Oleh:

Fehren Kurnia Brilian / 41160044
Patrick Kurniawan Latumahina / 41170104
Meliana Julistiani / 41170117
Carolina Devi Santi M / 41170122
Neysa Bella H / 41170126
Nathania Dhestia Putri / 41170132
Elsa Wijaya Prayoga / 41170135
Krisentia Yahya / 41170141
I Gusti Ngurah Bagus S. P / 41170142
Cornelia Rivanda Berliani / 41170146
Diana Teresa / 41170147
Lucia Vini Puspita Rodja / 41170158
Gabriel Btara Y. Pramono / 41170163
Brenda Miriane Rustam / 41170167
Jonathan Dave / 41170168
Videl Christin Dijayani K / 41170169
Daniel Eka Raenata / 41170170



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Perkembangan zaman semakin membuat manusia mengerti apa yang menjadi kekurangan di masa lampau dan yang perlu diperbarui di masa mendatang. Dalam praktek kedokteran, banyak hal dapat terjadi salah satunya adalah malpraktik. Malpraktik medik merupakan suatu tindakan dokter berupa kelalaian, kurang terampil, atau salah tindakan yang dapat menyebabkan kegagalan dalam memberikan pelayanan dan penanganan profesional kepada pasien. Terjadinya malpraktik dalam praktek kedokteran dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal tersebut dapat menyebabkan pelanggaran terhadap undang-undang dan kode etik yang diterapkan untuk seorang dokter dalam menjalankan praktiknya.

Seperti yang diketahui seorang dokter dalam menjalankan praktiknya diatur oleh Undang-undang Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan serta Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kewajiban dokter dalam melaksanakan praktiknya diatur dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 yang berbunyi: Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
a.     Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
b.     Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
c.     Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
d.     Melakukan pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
e.     Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

 Malpraktik kedokteran dipertegas dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang berbunyi : Ayat (1) : dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :
a.     Melalaikan kewajibannya
b.     Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan
c.     Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan
d.     Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.

Dalam menjalankan praktik kedokteran, setiap dokter wajib memberikan persetujuan tindakan kedokteran sesuai yang dimaksud dalam Permenkes 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran

SINGAPORE MEDICAL COUNCIL: Ethical Code & Ethical Guidelines, 2002.
Dalam Singapore Medical Council tahun 2002 dijelaskan bahwa inform Consent yang dijelaskan oleh dokter harus  mengenai kondisi pasien, pilihan terapi, keuntungan, resiko, dan kemungkinan komplikasi dari prosedur yang diambilnya sehingga pasien dapat memutuskan terapi yang akan diambilnya. Dokter harus menghargai setiap pilihan yang dibuat pasiennya atas pemberian informasi yang jelas yang telah diberikan oleh dokter. 

  1. Tujuan
    1. Mengetahui berbagai tindakan yang dapat berujung malpraktik
    2. Mengetahui batasan-batasan hukum yang mengatur praktik kedokteran
    3. Mengetahui dampak-dampak yang terjadi ketika melakukan pelanggaran dalam praktek kedokteran.
    4. Mengetahui pengaturan tindak pidana malpraktik
    5. Mempelajari hal apa saja yang seharusnya dilakukan oleh dokter agar terhindar dari kejadian malpraktik.



BAB II
RINGKASAN KASUS

Dokter Jen Shek Wei merupakan seorang dokter yang menjalankan praktiknya di Klinik Wanita Singapura yang berlokasi di Ang Mo Kio Avenue 8. Beliau adalah seorang dokter ginekologis yang pada tahun 2010 terkena kasus malpraktik akibat dilaporkan oleh pasiennya dan ditetapkan bersalah oleh SMC (Singapore Medical Council) dan Court of Three Judges pada bulan Juli 2017. Kasus tuduhan pertama sendiri pada 31 Agustus 2010 dimana dr. Jen menyarankan pasien untuk menjalani pembedahan untuk mengangkat massa pada pelvis atau panggul yang ditemukan melalui pemindaian MRI tanpa evaluasi lebih lanjut pada pasien. Selanjutnya tuduhan kedua menyatakan bahwa dr. Jen telah melakukan prosedur ooforektomi kiri ( pembedahan pelepasan ovarium ) tanpa persetujuan dari pasien.

Kisah terjadi pada saat seorang wanita mengalami nyeri punggung yang begitu hebat, sehingga membuat ia pergi ke dokter spesialis orthopaedi. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dokter spesialis orthopaedi tersebut melakukan rujukan pasien kepada dr. Jen. dr. Jen melakukan pemeriksaan transvaginal, dan ditemukan adanya benjolan pada masing-masing ovarium. dr. Jen menyarankan untuk menghilangkan benjolan tersebut dengan menjelaskan pilihan prosedur bedah : laparoskopi atau open laparotomi. Pasien memutuskan untuk melakukan open laparotomi dengan kesepakatan bahwa sel tumor yang diangkat akan dilakukan pemeriksaan histologi jaringan.

Pada saat hari operasi tiba, didapatkan beberapa kejanggalan yang terjadi. Form informed consent tidak dicantumkan nama prosedur operasi (misal, open laparotomi - open oophorectomy sinistra). dr. Jen pun tidak ada di tempat pasien melakukan penandatanganan informed consent, bahkan dr. Jen baru sampai di Rumah Sakit pada saat pasien sudah berada di ruang operasi. Pada saat proses open laparotomi, dr. Jen mengamati bahwa terdapat struktur yang rusak pada ovarium dan tuba fallopi, sehingga atas pikiran yang mencurigakan tersebut beliau memutuskan untuk mengangkat ovarium dan tuba fallopi. dr. Jen mengirimkan preparat ovarium beserta tuba fallopi ke laboratorium untuk memeriksa jaringan organ tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium histologis, didapatkan hasil bahwa jaringan ovarium beserta tuba fallopi tersebut dalam keadaan jinak. Pasien ini baru menyadari apabila ovarium kiri telah diambil setelah 8 bulan pasca operasi. Dimana pada saat itu, pasien sedang mengkonsultasikan kehamilannya pada dokter obstetri dan ginekologis. Setelah itu, pasien melakukan komplain kepada SMC (Singapore Medical Council) atas perbuatan yang telah dilakukan oleh dr. Jen.

SMC menilai bahwasannya apa yang sudah dilakukan oleh dr. Jen merupakan sebuah kelalaian serius secara obyektif. Melakukan pengangkatan ovarium beserta tuba falopi tanpa melakukan informed consent terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan termasuk pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Etika SMC. SMC DT (Singapore Medical Council Disciplinary Tribunal) memerintahkan agar dr. Jen membayar denda $ 10.000 dan ditangguhkan selama 8 bulan, selain itu dr. Jen juga harus membuat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa ia tidak akan mengulang perbuatan serupa.

Karena tidak terima atas hukuman yang sudah ditetapkan dr. Jen juga mengajukan banding atas keputusan DT ke Pengadilan pada bulan Juli. pengacara dr Jen  yang dipimpin oleh Penasihat senior N. Sreenivasan dan Mr Charles Lin berpendapat bahwa temuan DT ini keliru karena hanya mempercayai versi peristiwa tersebut dari sisi pasien saja. Pengadilan kemudian menemukan bukti bahwa tidak ada informed consent terkait  dengan operasi pengangkatan ovarium yang dilakukan oleh dr. Jen. Memang didapatkan bukti bahwa pasien telah menandatangani formulir persetujuan, namun saat menandatangani formulir tersebut, pasien belum memperoleh informasi yang cukup. Menurut pengadilan The Court of Three Judges "selembar kertas yang ditandatangani" tidak cukup untuk menunjukkan adanya persetujuan berdasarkan informasi dari seorang pasien yang dijadwalkan menjalani operasi.


BAB III
ANALISIS

  1. KRONOLOGI KASUS

  1. Pada tahun 2010, ada seorang pasien berusia 34 tahun datang berobat ke dr.Jen dikarenakan sakit punggung yang parah tetapi sebelumnya pasien ini sudah berobat ke dokter ahli bedah ortopedi, kemudian dirujuk ke dr Jen Shek Wei

  2. Saat menjalankan pemeriksaan, dr Jen melakukan pemindaian transvaginal pada pasien dan menemukan ada benjolan di masing-masing ovarium

  3. Setelah mengetahui adanya benjolan pada ovarium, dr.Jen langsung menganjurkan pasien untuk menjalani operasi pengangkatan massa panggul tanpa melakukan evaluasi dan investigasi lebih lanjut tentang kondisi pasien.

  4. Dari pernyataan pasien terkait kasus ini yakni dr. Jen memang langsung menyarankan tindakan untuk menghilangkan  benjolan yang diperkirakan “cukup besar” dan kemungkinan benjolan tersebut  bersifat ganas (kanker) sehingga harus diangkat untuk pemeriksaan histologis.

  5. Penjelasan dr.Jen terkait operasi ini terdapat 2 pilihan prosedur bedah, yakni laparoskopi atau laparotomi terbuka, namun setelah dr.Jen menjelaskan bahwa bila dilakukan prosedur laparoskopi maka resiko tinggi sel kanker akan menyebar ke daerah lain.

  6. Pada akhirnya prosedur bedah yang dipilih oleh pasien adalah Laparotomi terbuka dan pasien juga menyetujui untuk mengirim massa ke laboratorium untuk pengujian setelah operasi yang nantinya hasil lab ini akan menjadi pertimbangan pasien untuk melakukan perawatan lanjutan.

  7. Lalu pada hari operasi tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2010, pasien datang ke kantor admisi rumah sakit untuk menandatangani formulir persetujuan. Dari pernyataan pasien, jenis prosedur yang akan dijalankan (open left oophorectomy / operasi pengangkatan ovarium kiri) tidak diisi, pada saat penandatanganan.dr Jen juga tidak hadir ketika pasien menandatangani formulir persetujuan. dr Jen hanya menandatangani surat persetujuan tersebut sebelum operasi dimulai.

  8. Selama operasi berlangsung, dr. Jen memutuskan mengangkat ovarium kiri pasien. dikarenakan berdasarkan pengamatan dr.Jen, tuba fallopi sebelah kiri pasien dalam keadaan rusak parah sehingga harus diangkat bersamaan dengan ovarium kiri pasien.

  9. Akan tetapi saat hasil pemeriksaan histologis ini diterima, diketahui bahwa jaringan ovarium tersebut bersifat jinak sehingga tidak diperlukan prosedur khusus yakni pengangkatan ovarium.

  10. Pasien baru menyadari bahwa ovarium kirinya telah diangkat sekitar delapan bulan kemudian ketika pasien tersebut berkonsultasi dengan dokter kandungan lain untuk kehamilannya, lalu mengajukan pengaduan ke SMC (Singapore Medical Council) terhadap dokter Jen.

  11. Kemudian dr.Jen dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Kedisiplinan Dewan Medis Singapore atas 2 dakwaan yakni dr Jen menganjurkan pasien untuk melakukan operasi pengangkatan massa panggul tanpa melakukan evaluasi dan investigasi lebih lanjut terkait kondisi pasien dan dr. Jen juga melakukan tindakan Ooforektomi kiri pada pasien tanpa memperoleh persetujuan pasien.

  12. Kemudian SMC DT (Singapore Medical Council Disciplinary Tribunal) memerintahkan agar dr. Jen membayar denda $ 10.000 dan ditangguhkan selama 8 bulan, selain itu dr. Jen juga harus membuat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa ia tidak akan mengulang perbuatan serupa.

  13. Karena tidak menerima hukuman yang sudah ditetapkan dr. Jen juga mengajukan banding atas keputusan DT ke Pengadilan pada bulan Juli. pengacara dr Jen  yang dipimpin oleh Penasihat senior N.Sreenivasan dan Mr Charles Lin berpendapat bahwa temuan DT ini keliru karena hanya mempercayai versi peristiwa tersebut dari sisi pasien saja.

  14. Pengadilan kemudian menemukan bukti bahwa tidak ada informed consent terkait  dengan operasi pengangkatan ovarium yang dilakukan oleh dr. Jen. Memang didapatkan bukti bahwa pasien telah menandatangani formulir persetujuan, namun saat menandatangani formulir tersebut, pasien belum memperoleh informasi yang cukup mengenai risiko, manfaat serta komplikasi dari operasi pengangkatan ovarium tersebut. Informasi yang pasien dapat hanya diperoleh dari formulir yang ada di rumah sakit dan bukan melalui penjelasan secara langsung oleh dr. Jen.

  15. Selain itu, dr Jen juga gagal memastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup terkait kondisi medis dan pilihan untuk perawatan pasien. Secara signifikan, dr.Jen tidak mendokumentasikan rincian operasi yang disarankan dan pengambilan persetujuan sehingga dalam situasi ini dokter Jen dapat dinyatakan bersalah atas kesalahan profesional jika tidak menyimpan dokumentasi persetujuan meskipun sudah mendapat suatu persetujuan untuk melakukan suatu prosedur.

B. NORMA HUKUM YANG DILANGGAR
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 53 Tentang Kesehatan
2)    Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
Jika kasus dr. Jen terjadi di Indonesia, maka pasal ini berkaitan dengan seluruh permasalahan yang terjadi. Contoh kaitannya adalah dr. Jen tidak menghormati pilihan pasien dan melakukan prosedur pembedahan diluar informed consent. Selain itu dr. Jen tidak mematuhi standar profesinya sebagai dokter kandungan karena ia belum benar-benar menegakkan diagnosis yang tepat dengan tidak mengobservasi lebih lanjut massa yang terdapat pada rahim pasien.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf  2 Pasal 45, yang menyatakan bahwa: 
1)    Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2)    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3)    Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a)     diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b)    tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c)     alternatif tindakan lain dan risikonya;
d)    risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e)     prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4)    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. 
5)    Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
6)    Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Jika kasus dr. Jen terjadi di Indonesia, maka dr. Jen hanya mengamalkan pada ayat 1 dengan melakukan perjanjian tertulis (informed consent), ayat 2 dengan memberikan alternatif tatalaksana dan juga penjelasan mengenai penyakit kepada pasien walaupun tidak mengarah ke diagnosis yang tepat, dan ayat 5 dengan perjanjian tindakan risiko tinggi yang sudah tertulis sah. Namun, pada ayat 3 dr. Jen melakukan kesalahan fatal yang berdampak pada seluruh poin. Diagnosis yang ditegakkan oleh dr.Jen sudah salah sejak awal yang akhirnya berdampak bagi pilihan yang dipilih oleh pasien. Penjelasan mengenai tujuan tindakan, risiko, komplikasi, dan prognosis yang dipahami oleh pasien tidak sama dengan tindakan yang akhirnya dilakukan oleh dr. Jen.
PMK No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
Pasal 2
1)    Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan
2)    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan
3)    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan
Pasal 7
1)    Penjelasan  tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
2)    Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar
3)    Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:
a)     Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b)    Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c)     Alternatif tindakan lain, dan risikonya;
d)    Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e)     Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f)     Perkiraan pembiayaan.
Pernyataan pada pasal ini kurang lebih tidak jauh berbeda dari pasal lainnya, namun yang bisa di highlight disini adalah tidak diberitahukannya keputusan tindakan dokter kepada keluarga bahkan saat operasi pasien berlangsung (pasien sedang tidak sadar). Keadaan yang lebih parah terjadi pada kasus dr.Jen yang bukan lagi tidak melakukan persetujuan dan informed consent bahkan justru melakukan tindakan yang di luar surat perjanjian yang sudah disetujui. 
Perkonsil Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi
Poin 8 - Tidak Memberikan Penjelasan yang Jujur, Etis, dan Memadai (Adequate Information) kepada Pasien atau Keluarganya dalam Melakukan Praktik Kedokteran
Penjelasan
a)     Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to information), dan oleh karenanya, Dokter dan Dokter Gigi wajib memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh pasien atau penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat membahayakan kesehatan pasien.
b)    Informasi yang berkaitan dengan tindakan/asuhan medis yang akan dilakukan meliputi diagnosis medis, tata cara tindakan/asuhan medis, tujuan tindakan/asuhan medis, alternatif tindakan/asuhan medis lain, risiko tindakan/asuhan medis, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan/asuhan yang dilakukan.
c)     Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan dijalaninya.
d)    Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab kematian pasien, kecuali bila sebelum meninggal pasien menyatakan agar penyakitnya tetap dirahasiakan.
Pelanggaran terhadap peraturan Perkonsil nomor 4 tahun 2011 poin ke 8 ini dicantumkan pada kronologi kasus poin ke 14 yang menyebutkan bahwa saat menandatangani formulir tersebut, pasien belum memperoleh informasi yang cukup mengenai risiko, manfaat serta komplikasi dari operasi pengangkatan ovarium tersebut. Dimana pada peraturan ini, hal-hal tersebut merupakan bagian dari informasi yang wajib disampaikan pada pasien.
Poin 10 - Tidak membuat atau menyimpan rekam medis dengan sengaja.
Penjelasan
a)     Dalam melaksanakan Praktik Kedokteran, Dokter dan Dokter Gigi wajib membuat rekam medis secara benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kasus ini juga melanggar Perkonsil nomor 4 tahun 2011 poin 10 karena pada kronologi kasus poin 15 disebutkan bahwa dr. Jen tidak mendokumentasikan rincian operasi dan juga tidak menyimpan dokumentasi informed consent. Yang mana berarti dr. Jane tidak membuat secara benar dan lengkap serta tidak menyimpan rekam medis sesuai yang dicantumkan pada  peraturan ini.

SINGAPORE MEDICAL COUNCIL: Ethical Code & Ethical Guidelines, 2002.
4.2.2 Informed Consent
Merupakan kewajiban dokter untuk memastikan bahwa pasien yang ditanganinya telah diinformasikan secara jelas dan rinci mengenai kondisi medis dan pilihan terapi, sehingga pasien dapat berpartisipasi dalam memutuskan terapi yang akan diambilnya. Apabila sebuah prosedur harus dilakukan, pasien berhak mengetahui keuntungan, resiko, dan kemungkinan komplikasi dari prosedur tersebut dan alternatif terapi lain yang tersedia. Jika pasien merupakan minoritas atau tidak dapat memberikan consent, maka informasi ini wajib dijelaskan kepada orang tua, wali, atau orang lain yang bertanggung jawab terhadap pasien, untuk tujuan persetujuannya atas nama pasien.
Penulisan prosedur yang tidak detail pada formulir persetujuan yang tercantum pada kronologi (7), ketidak hadiran dr. Jen saat penandatanganan formulir sebelum melakukan prosedur, dan tidak adanya penjelasan mengenai apa yang telah terjadi pada saat prosedur operasi sehingga pasien baru mengetahui fakta setelah delapan bulan kemudian berkonsultasi pada dokter lain di kronologi (8), merupakan bentuk pelanggaran pada poin di atas, SMC 4.2.2, yang mana menjelaskan bahwa dokter berkewajiban memberitahukan keuntungan, resiko, kemungkinan komplikasi pada pasien atau yang bertanggung jawab, sejelas-jelasnya untuk mendapat persetujuan.
4.2.4.1 Right to Information (hak untuk mendapatkan informasi)
Seorang dokter harus memberikan informasi yang memadai kepada pasiennya, sehingga dapat membuat pilihan berdasarkan informasi tentang manajemen medis selanjutnya. Dokter harus memberikan  informasi dengan kemampuan terbaiknya, berkomunikasi dengan jelas, dan dalam bahasa yang dipahami oleh pasien.
Seorang dokter harus menghormati pilihan pasiennya untuk menerima atau menolak saran dan perawatan yang ditawarkan, langkah selanjutnya adalah, memastikan bahwa tidak terdapat hambatan dalam berbahasa sehingga pasien dapat memahami informasi tersebut dan mengetahui konsekuensi dari pilihannya. Dokter juga harus memfasilitasi pasien dalam mendapatkan alternatif jika pasien menginginkannya.
Apabila pasien ingin memeriksakan terkait klinis pasien, informasi yang memadai harus diberikan kepada pasien dan persetujuan terkaitnya harus diperoleh. Dokter perlu mengetahui Pedoman Praktik Klinis terbaru, dan menginformasikannya kepada pasien sebelum pasien mengikuti pemeriksaan tersebut.
Pada kronologis kasus (14), dikatakan bahwa “pasien belum memperoleh informasi yang cukup mengenai risiko, manfaat serta komplikasi dari operasi pengangkatan ovarium tersebut” dan pada kronologi kasus (15) pun tertulis bahwa, bahwa “dr. Jen gagal memastikan pasien mendapatkan informasi yang cukup terkait kondisi medis dan pilihan untuk perawatan pasien”. Padahal, menurt SMC nomor 4.2.4.1 tentang right to information, merupakan sebuah kewajiban bagi dokter untuk memberikan informasi dengan kemampuan terbaiknya, dan memastikan bahwa tidak ada hambatan sehingga pasien secara jelas memahami keseluruhan dari informasi yang diberikan. Sehingga, kasus dr.Jen dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum etika yang berlaku di Singapura karena melanggar salah satu poin yang terlampir di atas.

SINGAPORE MEDICAL COUNCIL: Handbook of Medical Ethics, 2016.
C3.2 Membangun kepercayaan personal kepada pasien
Merupakan kewajiban dokter untuk dapat memberikan mereka informasi untuk membantu mereka menemukan perawatan alternatif, dengan tidak meninggalkan mereka selama perjanjian berlangsung (dokter standby di tempat saat melakukan perjanjian). Hindari memberi kesan pada pasien bahwa perawatan seperti itu tidak tersedia atau tidak ada dokter lain yang akan melakukannya. Pada kasus tersebut, pasien menandatangani informed consent operasi tanpa hadirnya seorang dokter yang bertanggung jawab dan itu tentunya melanggar hukum.
Pada kronologi kasus poin ke 7 disebutkan bahwa dr Jen tidak hadir ketika pasien menandatangani formulir persetujuan. dr Jen hanya menandatangani surat persetujuan tersebut sebelum operasi dimulai. Kemudian pada poin ke 14 disebutkan juga bahwa Informasi yang pasien dapat hanya diperoleh dari formulir yang ada di rumah sakit dan bukan melalui penjelasan secara langsung oleh dr. Jen. Hal tersebut melanggar SMC 2016 poin 3.2 yang mengatur bahwa pada saat melakukan informed consent, dokter berkewajiban untuk memberikan penjelasan dan tetap standby di tempat saat melakukan perjanjian.
B3. Medical Records/ Rekam Medis
Dokter berkewajiban untuk mempertahankan pencatatan rekam medis yang jelas, dapat dibaca, akurat, dan kontemporer dengan detail yang cukup untuk memastikan kesinambungan kualitas perawatan pasien. Kontemporer berarti rekam medis harus dibuat pada saat terdapat keterlibatan dengan pasien, atau sesegera mungkin setelahnya.
Rekam medis merupakan dasar dari manajemen dan komunikasi yang baik antara dokter dan profesional kesehatan lainnya dalam memastikan kualitas perawatan berkelanjutan. Rekam medis juga merupakan dokumen hukum dan akan dirujuk dalam prosedur pengadilan penyidik. Pada rekam medis perlu disertakan semua detail klinis tentang pasien, diskusi tentang pilihan investigasi, dan pilihan terapi, informed consent, hasil tes dan terapi, dan informasi lainnya.
Secara umum, rekam medis perlu mendokumentasikan elemen-elemen subjektif dari suatu konsultasi seperti gejala pasien dan riwayat penyakit, temuan objektif pada pemeriksaan klinis, data investigasi yang relevan, analisis dengan rencana diagnosis, dan perawatan. Juga harus mencakup ringkasan semua informasi yang diberikan kepada pasien, rincian proses pengambilan persetujuan dan persetujuan yang diterima dari pasien, Rekam medis juga termasuk laporan medis yang Anda tulis kepada dokter lain, profesional kesehatan lain, asuransi, atau pasien.
Pada kronologi kasus poin ke 15 disebutkan bahwa dr. Jen  tidak mendokumentasikan rincian operasi yang disarankan dan pengambilan persetujuan. Maka hal tersebut melanggar SMC 2016 poin B3 ini, karena disebutkan bahwa dokter bertanggung jawab untuk mempertahankan pencatatan rekam medis yang mencakup gejala pasien dan riwayat pasien, temuan objektif pada pemeriksaan klinis, data investigasi, analisis dengan rencana diagnosis dan perawatan, termasuk rincian informed consent yang diterima dari pasien.
B2. Medical Investigation
Pastikan bahwa pasien memiliki informasi yang cukup mengenai investigasi medis, sehingga pasien dapat memberikan persetujuan mereka. Dokter kemudian harus mengkomunikasikan dan menjelaskan hasil dan temuan signifikan yang didapat apapun hasilnya kepada pasien secara tepat waktu, sesuai dengan kepentingan dan kedaruratannya.
Investigasi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari manajemen medis pasien. Investigasi medis bersifat invasif dan mahal, sehingga penting untuk memerlukan kebijaksanaan dan persetujuan pasien. Jika investigasi atau tes dilakukan oleh lembaga di luar praktik atau lembaga milik dokter yang bersangkutan , memerlukan sistem untuk memastikan bahwa hasil diterima tepat waktu.
Pada kronologi kasus poin ke 3 menunjukkan bahwa dr. Jen langsung menganjurkan pasien untuk menjalani operasi pengangkatan massa panggul tanpa melakukan evaluasi dan investigasi lebih lanjut. Kemudian pada kronologi kasus poin 8 dan 9 dr Jane memutuskan mengangkat ovarium kiri pasien secara spontan pada saat dilakukannya operasi dan hanya didasarkan pada pengamatan dr. Jen tanpa didahului pemeriksaan investigasi terlebih dahulu untuk memastikan. Hingga terbukti setelahnya pada pemeriksaan histologis bahwa jaringan tersebut bersifat jinak dan tidak memerlukan prosedur pengangkatan. Hal tersebut melanggar SMC 2016 poin B2 ini dimana pemeriksaan investigasi perlu dilakukan, dan kemudian hasilnya harus dijelaskan kepada pasien untuk menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Pada kronologi kasus poin 11 juga dicantumkan bahwa hal inilah yang merupakan dakwaan atas kasus dr Jen.

C.    PERAN YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN KOMITE MEDIK
DI INDONESIA
Menurut PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit Pasal 1, Komite medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) agar staf medis di rumah sakit terjaga profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika serta disiplin profesi medis.

Fungsi komite medik diatur dalam PERMENKES Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011  dalam melaksanakan tugas kredensial diatur pada Pasal 11 Ayat 2, sebagai berikut:

1.     Penyusun dan pengkompilasian daftar kewenangan klinis sesuai masukan dari kelompok staf medis sesuai dengan norma keprofesian yang berlaku.
2.     Penyelenggaraan pemeriksaan dan pengkajian:
·       Kompetensi
·       Kesehatan fisik serta mental
·       Perilaku.
·       Etika profesi
3.     Evaluasi data pendidikan profesional kedokteran/kedokteran gigi berkelanjutan.
4.     Wawancara terhadap pemohon kewenangan klinis.
5.     Penilaian serta pemutusan kewenangan klinis yang adekuat.
6.     Pelaporan dari hasil penilaian kredensial serta menyampaikan rekomendasi kewenangan klinis kepada komite medik.
7.     Melakukan proses kredensial pada saat berakhirnya masa berlaku surat penugasan klinis serta adanya permintaan dari komite medik.
8.      Rekomendasi kewenangan klinis dan penerbitan surat penugasan klinis.

Pada Pasal 11 Ayat 3 dalam melaksanakan tugas memelihara mutu profesi medis, fungsi dari komite medis adalah:

1.     Pelaksanaan audit medis.
2.     Rekomendasi pertemuan ilmiah internal dalam rangka pendidikan berkelanjutan untuk staf medis.
3.     Rekomendasi kegiatan eksternal dalam rangka pendidikan untuk staf medis rumah sakit tersebut.
4.     Rekomendasi proses pendampingan untuk staf medis yang membutuhkan.

Pada Pasal 11 Ayat 4 dalam melaksanakan tugas menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi, fungsi dari komite medik adalah:
1.     Pembinaan etika serta disiplin profesi kedokteran.
2.     Pemeriksaan staf medis yang diduga melakukan pelanggaran disiplin.
3.     Rekomendasi pendisiplinan pelaku profesional di rumah sakit.
4.     Pemberian nasehat/pertimbagan dalam pengambilan keputusan etis pada asuhan medis pasien.
Sesuai Peraturan Konsil Kedokteran No 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter sesuai dengan kasus diatas, dokter tersebut telah melanggar karena tidak melakukan tindakan atau asuhan medis sesuai dengan kebutuhan pasien dan tidak jujur dalam memberitahukan penanganan yang diberikan sehingga mengakibatkan kerugian pasien. Dari peraturan yang dilanggar, dapat menjadi acuan bagi Komite Medis sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit yang mempunyai wewenang untuk melakukan audit medis, apabila dari hasil audit medis tersebut dokter telah melakukan kesalahan disiplin ilmu kedokteran, maka memudahkan penegak hukum untuk menentukan kesalahan sesuai ajaran hukum pidana.
Pada pasal 39 dan UU Nomor 44 Tahun 2009, yang berhak melakukan audit medis adalah Komite Medis yang dibentuk Kepala/Direktur Rumah Sakit yang kedudukannya secara non struktural di Rumah Sakit sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medis, dan dokter yang  terbukti bersalah pada kasus akan menerima hukum pidana sebagai hukum publik dapat meminta pertanggung jawaban pidana.
Jika seorang dokter melakukan kesalahan berupa malpraktik, maka rumah sakit akan terkena imbasnya. Sebuah rumah sakit dapat terlepas dari tanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang bekerja di rumah sakit, apabila ia terbukti tidak dapat mencegah perbuatan tersebut. Sesuai dengan paragraf terakhir pada Pasal 1367 KUHPerdata, yang secara jelas menyebutkan bahwa; rumah sakit dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya atas kesalahan atau kelalaian dokter bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pasien.
Rumah Sakit juga terbebani hak dan kewajibannya menurut hukum atas tindakan yang dilakukan dokternya. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, sesuai dengan tingkat kesalahannya. Sanksi pidana terhadap rumah sakit, yang melakukan pelanggaran Undang-Undang Kesehatan ditetapkan pada Pasal 201 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu “ selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditetapkan terhadap perseorangan”. Selain pidana denda, termasuk rumah sakit, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum (Pasal 201 ayat (2))
Demi mencegah terjadinya pencabutan usaha Rumah sakit oleh hukum maka komite medik terpaksa menyeleksi dokter yang terlibat malpraktik/ kesalahan. Sesuai dengan tindak pidana praktik kedokteran yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berupa pelanggaran hukum administrasi
Hukum administrasi yang telah diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran menentukan sanksi administratif yang dapat dikenakan pada dokter adalah pencabutan surat izin praktik sementara atau tetap, dan pada pelanggaran berat berupa pencabutan surat tanda registrasi.
DI SINGAPURA
Dalam kasus malpraktik, yang dilakukan pertama kali adalah melakukan pengajuan Singapore Medical Council (SMC) merupakan badan hukum dibawah Kementrian Kesehatan, bertanggung jawab mengatur perilaku dokter di Singapura.
Complaints Committee SMC akan melakukan penyelidikan awal terhadap pengaduan, beberapa hal yang dapat dilakukan : memerintahkan bahwa praktisi medis tersebut agar diberi surat peringatan, serta memerintahkan praktisi medis menerima saran sehubungan dengan manajemen praktik medisnya dari orang-orang yang disebutkan oleh Complains Committee.
      Sebagai tambahan, mungkin merekomendasikan beberapa tindakan :
  1. Mediasi : Complains Committee diberi wewenang agar pengaduan diajukan ke Pusat Mediasi Singapura untuk dilakukan mediasi.
  2. Penyelidikan Formal : Jika Complains Committe berpendapat bahwa penyidikan formal itu perlu untuk pengaduan, komite tersebut akan memerintahkan masalah dibawa di hadapan sidang disipliner.
  3. Pemeriksaan Kesehatan : Jika diperlukan untuk memeriksa kesehatan dokter yang bersangkutan, maka Complains Committe akan memerintahkan masalah tersebut untuk dibawa ke hadapan Komite kesehatan.


BAB IV
KESIMPULAN
Dalam praktik kedokteran banyak hal yang dapat memicu kegagalan dalam memberikan pelayanan dan penanganan profesional kepada pasien. Hal-hal terkait dengan tindakan medis pada pasien harus dilakukan atas seizin pasien. Persetujuan atau penolakan akan diberikan pasien setelah mendapat penjelasan yang jelas terhadap tindakan yang akan dilakukan dan sebagai dokter yang profesional harus melakukan sesuai dengan apa yang telah disepakati di awal. Selama berjalannya proses tindakan medis, komite medis/ medical council berperan dalam mengatur dan mengawasi tindakan tenaga medis serta menentukan kesalahan yang dibuat seorang dokter dalam praktik medisnya. Sehingga dari kasus ini kita dapat memahami bahwa pentingnya persetujuan tindakan medis dengan penjelasan yang rinci, memutuskan tindakan  agar mencapai kesepakatan bersama antara dokter dengan pasien serta tindakan yang sesuai dengan persetujuan tersebut.

REFLEKSI KELOMPOK
FEHREN KURNIA BRYLIAN - 41160044
Melalui praktikum ini saya belajar bahwa sebagai seorang dokter sangat penting untuk memperhatikan etika dan bersikap profesional. Kelalaian dokter pada kasus ini seperti melupakan informed consent adalah tindakan yang fatal. Sebagai seorang dokter kita seharusnya tidak melupakan kepentingan profesi kita yaitu melakukan seluruh prosedur sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak melupakan hak pasien yaitu mendapat kejelasan yang perlu diketahui oleh pasien tersebut dan sebagai seorang dokter kita juga tidak boleh mementingkan keuntungan diri sendiri seperti yang dilakukan di kasus ini. Sehingga apabila seorang dokter sudah melakukan tugasnya dengan benar maka tugas pemerintah/hukum akan melindungi dokter dari akibat perbuatannya.
PATRICK KURNIAWAN – 41170104
            Pelajaran yang saya dapatkan dari praktikum ini khususnya dari kasus yang kami angkat pada makalah ini saya bisa mengerti bahwa dalam dunia kedokteran belajar akan hal etika memang sangat penting, tetapi kita juga harus mengerti bagaimana aturan – aturan hukum yang ada pada profesi dimana kita melayani yaitu dunia kedokteran. Bahwasannya setiap hal yang kita lakukan didasarkan atas peraturan yang berlaku yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagia kedua belah pihak. Dalam hal ini saya belajar untuk mengerti hal apa yang dapat saya lakukan dan tidak dapat saya lakukan sesuai dengan kehendak saya karena hal itu merugikan orang lain. Salah satu yang banyak saya pelajari adalah mengenai informed consent yang menurut saya sangat penting di dunia kedokteran hari – hari ini. Informed consent dan rekam medis merupakan bukti tertulis tentang semua prosedur medis yang dilakukan dan telah disetujui oleh pasien untuk dilakukan. Kesalahan dalam penyampaian baik dari informasi yang kurang lengkap, tidak menyampaukan apa yang akan dilakukan dan melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan tanpa indikasi dan seizin dari pasien tersebut merupakan Tindakan malpraktik yang bukan saja merugikan pasien namun dapat berampak kepada dokter itu sendiri. Dari praktikum ini saya semakin paham bahwa ilmu kedokteran saja tidak cukup untuk menjadikan kita menjadi dokter yang baik, masih banyak aspek termasuk etika dan hukum dalam prosedur kedokteran yang harus kita pahami dan lakukan untuk bisa melayani sesame dengan lebih baik, Tuhan memberkati
BRENDA M RUSTAM - 41170167
Melalui praktikum ini saya belajar bahwa pada saat melanggar etika profesi bukan tidak mungkin kita akan mendapat tuntutan hukum. Ketika merawat pasien mungkin akan banyak hal yang jika tidak hati-hati dilakukan akan menyeret kita ke dalam kasus hukum apalagi sekarang ini masyarakat sudah semakin kritis terhadap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dari kasus ini juga saya belajar bahwa dalam melakukan tindakan medis selain pada keadaan darurat, dokter harus mendapat izin dari pasien atau keluarganya dan setelah izin tersebut diberikan tidak boleh dilakukan hal lain yang tidak ada pada kesepakatan awal. Semoga saat menjadi dokter kelak, saya tidak hanya dapat bertanggung jawab dengan tindakan medis yang dilakukan tetapi juga berkomunikasi yang baik dengan pasien dan keluarganya untuk dapat memberikan informasi yang jelas, serta mencegah terjadinya kesalahpahaman.
JONATHAN DAVE – 41170168 
Pelajaran yang saya dapat dari kasus ini adalah saat melakukan diagnosa penyakit pada seseorang harus dilakukan dengan cermat agar saat melakukan tatalaksana kita tidak salah dalam memberi obat atau tindakan. Ketika salah dalam memberikan tatalaksana maka akan menimbulkan kecenderungan malpraktek dan jika tindakan tatalaksana tersebut merugikan pasien, maka pasien bisa menuntut dokter. Saya juga belajar bahwa setiap kali melakukan tindakan kedokteran yang invasif, perlu memberikan informasi yang jelas dan rinci kepada pasien tentang tindakan, apa yang akan kita lakukan, manfaat dan resiko dari tindakan,  efek samping dari tindakan dan biaya yang harus dikeluarkan. Sebelum melakukan tindakan invasif tersebut sebagai dokter perlu memberikan inform consent kepada pasien agar dokter mendapat persetujuan dari pasien tentang tindakan yang akan dilakukan. Ketika  sedang melakukan tindakan kepada pasien, dokter harus melakukan  tindakan tersebut sesuai prosedur yang ada. Prosedur yang telah dibuat oleh rumah sakit maupun prosedur yang dipelajari oleh dokter bertujuan untuk keselamatan pasien.
CAROLINA DEVI SANTI M - 41170122
Kasus yang melibatkan dokter Jen dan pasien masih sering ditemui di rumah sakit dimanapun. Kendatinya rumah sakit bukan merupakan tempat yang selalu aman dan jauh dari kekeliruan. Kesalahan yang dapat terjadi seperti lupa untuk meminta informed consent, lalai dalam meletakkan jarum suntik, serta kesalahan peresepan obat dan nama pasien sering terjadi di rumah sakit. Kesalahan yang dibuat dr.Jen dapat membuat kita belajar pentingnya untuk melakukan pemeriksaan yang menyeluruh sebelum memutuskan tindakan yang terbaik bagi pasien, karena dengan pemeriksaan menyeluruh dapat meminimalisir kesalahan tindakan yang akan dilakukan. Selain informed consent, menjelaskan segala tindakan dan alasan tindakan dilakukan juga sangat penting, agar pasien dapat mengetahui resiko apa saja yang diperoleh ketika menyetujui tindakan tersebut. Saya berharap kasus yang menimpa dr.Jen serta pasien tersebut, dapat membuat kita belajar untuk melakukan segala hal dengan hati-hati dan teliti agar tidak merugikan pihak manapun di kemudian hari.
NEYSA BELLA H - 41170126
Hal yang dapat saya pelajari dari kasus ini yaitu seorang dokter wajib melakukan pemeriksaan secara menyeluruh kepada pasien sebelum melakukan tindakan selanjutnya. Selain itu, sebelum melakukan prosedur lebih lanjut kepada pasien, sudah seharusnya dokter memberikan penjelasan yang rinci mengenai prosedur apa yang akan dilakukan kepada pasien dan memastikan bahwa pasien benar-benar sudah memahami apa saja manfaat, komplikasi serta risiko dari prosedur tersebut. Hal yang terpenting yaitu seorang dokter harus melibatkan pasien dalam hal pengambilan keputusan mengenai tindakan yang akan dilakukan, jangan sampai dokter melakukan hal-hal yang dapat merugikan pasien maupun dokter itu sendiri. Apabila pasien tidak menyetujui, maka dokter seharusnya menghormati keputusan pasien tersebut dan tidak melakukan tindakan kepada pasien di luar kesepakatan.
NATHANIA DHESTIA PUTRI - 41170132
Melalui praktikum tentang malpraktek seorang dokter, saya menjadi lebih mengerti mengenai etika-etika dan peraturan mengenai praktik kedokteran yang seharusnya dilakukan oleh seorang dokter saat menjalankan pelayanannya. Dari kasus malpraktek yang kelompok kami kerjakan, saya menjadi sadar bahwa seorang dokter itu harus benar-benar mengerti tentang ilmu kedokteran, teliti dalam bertindak, bijaksana, dan berhati-hati saat menjalankan prakteknya. Sehingga kesalahan dan kelalaian saat menangani pasien dapat dihindari. Selain hal tersebut, dalam menjalankan prakteknya seorang dokter tidak boleh egois dan memaksakan kehendak pasien untuk menerima perawatan dan pengobatannya. Dokter harus mengikutsertakan pasien di dalam mengambil keputusan untuk perawatan dan pengobatan yang akan dijalani serta dokter harus lebih terbuka mengenai informasi-informasi mengenai tindakan dan tata cara tindakan yang akan dilakukan untuk perawatan dan pengobatan pasien. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman dan kesalahan tindakan dalam pengobatan. 
KRISENTIA YAHYA - 41170141
            Dari kasus ini saya mengerti bahwa pentingnya kode etik kedokteran dan hukum. Adanya kode etik dapat menjadi pedoman sebagai dokter dalam bertindak dan hukum akan mengatur jika seorang dokter melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan. Sebagai dokter yang mengobati pasien sebaiknya tidak melakukan tindakan berdasarkan pilihan dokter sendiri saja, lebih baik libatkan pasien dalam mengambil tindakan yang akan dilakukan pada dirinya agar pasien merasa nyaman, dan sebagai dokter harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan yang akan dokter lakukan, agar pasien mengetahui tindakan tersebut serta risiko dan komplikasinya seperti apa. Dari kasus ini dr. Jen hanya meminta pasien menandatangani informed consent tetapi pasien tidak mengetahui tindakan lain yang dokter lakukan seperti mengangkat ovariumnya dan akhirnya pasien menuntut dr. Jen. Walaupun kenyataannya informed consent sebagai bukti bahwa pasien menyetujui dilakukan tindakan medis tetapi dengan syarat pasien harus mengetahui tindakan yang akan dilakukan dan risikonya seperti apa yang mungkin terjadi, ketika pasien hanya menandatangani informed consent tanpa mengetahui tindakan dan risiko berarti sebagai seorang dokter gagal dalam memberikan informasi kepada pasien dan melanggar etika karena tanpa persetujuan pasien.
I GUSTI NGURAH BAGUS SULAKSANA PUTRA – 41170142
            Dalam kasus ini, pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya mendapat persetujuan dari pihak pasien sebelum melakukan tindakan, dimana hal ini berkaitan dengan etika profesi seorang dokter saat menjalankan tugasnya. Etika ini menjadi pedoman saat dokter mengambil keputusan dan tindakan yang nantinya akan dilakukan terhadap pasien, informed consent perlu dilakukan agar kedepannya setelah melakukan tindakan dokter terhindar dari malpraktek dan kejadian kejadian yang tidak diinginkan lainnya yang dapat merugikan kedua belah pihak, baik dari dokter maupun pasien. Yang diharapkan kedepannya nanti dokter dapat lebih profesional dalam mengambil tindakan dengan cara meminta izin dari pasien terlebih dahulu agar pihak pasien tahu apa saja dampak dari tindakan yang akan dilakukan baik dari sisi positifnya maupun negatifnya.
CORNELIA RIVANDA BERLIANI - 41170146
Pelajaran yang bisa saya ambil adalah bahwa dari kasus malpraktik dr.Jen ini sebagai contoh yang tidak perlu ditiru. Menjadi dokter sangat perlu untuk membangun dan menjaga kepercayaan antara pasien dengan dokter maupun tim tenaga medis lainnya yang akan menangani. Membangun kepercayaan dari awal saat pasien datang, saat pemeriksaan, saat menjelaskan beberapa alternatif tatalaksana, saat pasien memilih tatalaksananya sendiri, hingga pasien sembuh. Selain kepercayaan, kita sebagai dokter perlu mengedukasi setiap prosedur, risiko, komplikasi, serta harga sedetail mungkin, sehingga ketika pasien sudah paham dan menandatangani persetujuan pada informed consent hal tersebut bisa bersama-sama di pertanggung jawabkan. Dokter pun tidak boleh melakukan tindakan yang di luar persetujuan dengan pasien walaupun itu dirasa perlu untuk dilakukan, karena kuasa pilihan tatalaksana tetap pada pasien. Untuk mencegah terjadinya hal seperti ini, maka diperlukan pemeriksaan yang lengkap tentang status dan kondisi pasien dan edukasi lengkap kepada pasien serta lembar informed consent yang sah.
DIANA TERESA - 41170147
            Hal yang dapat saya petik dari kasus ini adalah pentingnya informed consent bukan hanya demi mematuhi hukum semata. Dokter memegang tanggung jawab besar, karena pasien telah mempercayakan kehidupannya kepada dokter tersebut. Seperti ada kasus ini, perkaranya tidak hanya berhenti di hukum dan sanksi yang diterima oleh dr.Jen. Sanksi seberapapun besarnya tidak akan mengubah fakta bahwa pasien tidak lagi punya harapan untuk memiliki anak. Informed consent juga tidak hanya sekedar lembar persetujuan saja, dokter wajib menjelaskan secara rinci prosedur apa saja yang akan dilakukan. Kemudian, apabila pasien sudah setuju, dokter juga harus bertanggung jawab melakukan apa saja yang tertera di informed consent tersebut. Apabila ada hal yang sekiranya membuat dokter ragu di tengah-tengah prosedur, seperti pada kasus dr. Jen, maka hendaknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terlebih dahulu jika tidak merupakan kasus emergensi. Sehingga, dokter juga perlu memiliki sikap kritis sebelum memutuskan untuk bertindak. 
LUCIA VINI PUSPITA RODJA - 41170158
            Refleksi yang dapat saya ambil dari kasus malpraktek dr.Jen ini adalah sebagai seorang dokter yang tentunya sudah dipercayai oleh pasien harus benar-benar mengerti etika medis yang berlaku. Mengenai kasus malpraktek ini penting sekali ditekankan terkait lembar Informed consent yang harus dibuat secara benar yakni lengkap ditandatangani oleh pasien sebagai tanda persetujuan dari pasien dan mencatat semua tindakan medis yang akan dokter lakukan pada pasien. Selain itu tugas sebagai dokter bukan hanya meminta pasien untuk menandatangani informed consent saja  melainkan pasien harus diberi penjelasan secara jelas dan rinci terkait tindakan yang akan dilakukan, sehingga nantinya tidak akan menimbulkan kekeliruan antara dokter dan pasien. Dan yang paling utama kita sebagai dokter juga harus menghormati hak pasien dalam memilih tindakan medis apa yang akan dijalankan oleh pasien sehingga dokter tidak bisa seenaknya melakukan tindakan medis tanpa izin dan sepengetahuan pasien sendiri.
GABRIEL BTARA Y. PRAMONO - 41170163
Melalui praktikum kasus malpraktik ini, dapat diperhatikan bahwa dalam etika profesi khususnya etika kedokteran menjadi sebuah hal yang patut diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan kasus dimana bisa diketahui bahwa dr. Jen dalam melakukan diagnosa pasien tidak melakukannya dengan teliti dan cermat, selain itu pula disini bisa dilihat kalau informed consent merupakan satu hal yang sangat penting dalam sebuah mekanisme tindakan pemeriksaan. Dari kasus ini, saya belajar pula bahwa peran fundamental etika sendiri berperan dalam hal-hal yang menjadi pedoman sebagai dokter dalam berpikir dan bertindak serta disini hukum juga berperan untuk mengatur jika seorang dokter melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan diluar etikanya. Dan dari kasus ini juga kita bisa mempelajari bahwa setiap dari apa yang bakal dilakukan dalam sebuah tindakan medis perlu partisipasi dan keterlibatan pasien didalamnya dalam bentuk informed consent yang dijelaskan dengan detail sehingga pasien dapat paham dan mengerti akan resikonya sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara pasien - dokter dan menjadi sebuah tindakan hati-hati dari dokter sebelum melaksanakan tindakan medis.
VIDEL CHRISTIN D. KWANDO-41170169        
Refleksi dari praktikum kedua kasus malpraktik ini adalah saya belajar bahwa seorang dokter harus berhati-hati dalam mengambil tindakan medis yang dilakukan karena tindakan medis yang salah dapat berujung fatal yang dapat menyebabkan kasus malpraktik. Dokter wajib melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap pasien kemudian cermat dan teliti dalam menentukan diagnosa yang diberikan sehingga tatalaksana yang dilakukan juga tepat dengan diagnosa tersebut. Tindakan yang dilakukan seorang dokter kepada pasien juga wajib memiliki persetujuan  yakni informed consent dari pasien ataupun wali yang mendampingi pasien sebagai bukti tertulis persetujuan pasien yang dapat dipertanggungjawabkan oleh seorang dokter . Seorang dokter harus memiliki integritas dan profesional dalam bekerja sehingga tidak terjadi pelanggaran etik yang salah satunya adalah malpraktik. Kasus malpraktik yang terjadi dapat merugikan ataupun membahayakan dalam kehidupan pasien  sehingga seorang dokter dapat dikenakan sanksi dari pihak hukum maupun dari pihak komisi etik baik itu sanksi pidana, denda, penangguhan lisensi praktek , atau pencabutan ijin praktek. 
DANIEL EKA RAENATA - 41170170
            Dokter merupakan sebuah profesi yang berhubungan dengan masyarakat luas. Keprofesian dokter memang sebuah profesi luhur dengan mengutamakan keselamatan dari pasien. Disamping hal tersebut, seorang dokter juga dituntut dan dituntun dengan pada suatu aturan, tata cara, atau pedoman etis dalam melayani pasien. Seorang dokter harus mengikuti kode etik kedokteran ditempat ia melayani, Kasus diatas memberikan sebuah pelajaran yang berharga bagi dokter di seluruh dunia, terkhusus di Singapura. Dokter harus memiliki nilai integritas serta profesionalisme dalam menjalankan tugasnya, termasuk dengan memberikan sebuah informed consent kepada pasien. Kesalahan dr. Jen dalam memutuskan untuk pengambilan ovarium beserta tuba falopi pada saat operasi mengajarkan kita bahwasannya pada kondisi darurat pun, kita tetap harus menjunjung tinggi profesionalisme. Seharusnya dr. Jen tidak bertindak demikian, sebagai seorang dokter harus tetap memberikan penjelasan serta meminta persetujuan dengan pasien apabila hendak melakukan tindakan pengangkatan jaringan atau organ. Dengan demikian, besar harapan saya kepada seluruh dokter maupun mahasiswa kedokteran agar dapat mempelajari dengan baik kasus yang telah dilakukan dr.Jen dan juga menerapkan sikap yang berintegritas serta profesional agar menjadi seorang dokter yang luhur dan kompeten.     
ELSA WIJAYA - 41170135 
Bagi saya Setiap dokter sudah memiliki kompetisinya masing- masing dan tuntutan yang berat karena berurusan dengan nyawa manusia. Terjadinya malpraktik berakibat pasien menderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia. Pasien sudah mempercayakan kondisinya untuk ditangani oleh dokter dan sudah mempercayakan tubuhnya untuk mengikuti semua permintaan dokter. Maka diharapkan dokter dapat melakukannya sebaik- baiknya. Namun dokter juga manusia yang memungkinkan human error maka hukuman yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat kesalahannya. Saya mempelajari bahwa sekalipun kesalahn kecil, hukum tetaplah berlaku, perlu bagi saya untuk banyak menambah pengalaman sehingga ada bayangan akan tindakan yang saya ambil. sebagai contoh kecil seperti pemberian inform consent pada pasien, yang dampaknya besar terhadap pasien. 

MELIANA JULISTIANI - 41170117

Dari kasus ini, saya pribadi menjadi dapat lebih memahami bahwa profesi tidak hanya berkutat dalam lingkaran ilmu dan keterampilan, melainkan berpegang teguh pada etika yang berlaku sehingga tidak menimbulkan kelalaian berupa malpraktik seperti ini. Malpraktik dalam kasus ini timbul akibat tidak adanya informed consent yang valid antara dokter dan pasien, yang mana di dalamnya adalah informed consent terkait penjelasan prosedur. Penjelasan terkait prosedur sangatlah penting untuk membangun kepercayaan pasien, dan kepercayaan pasien dibangun agar tidak ada permasalahan seperti malpraktik dalam kasus ini. Sebagai dokter, perlu sekali menghormati hak autonomi pasien untuk turut campur dan memutuskan dalam berbagai prosedur yang akan dilakukan kepadanya




DAFTAR PUSTAKA
Buamona, Hasrul. (2014). Tanggung Jawab pidana Dokter Dalam Kesalahan Medis Volume 2 No 2.Advokat dan Konsultan Hukum Kesehatan : Arrorney at Law HB & Partners dan YLBHI - LBH Yogyakarta.
Indonesia, K. K. (2018). Konsil Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.
Indonesia, R. (2004). Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Jakarta: Republik Indonesia.
Jen, S.W, dan Singapore Medical Council. (2017). Judgment : In The High Court of The Republic of Singapore
Koeswadji, H. H. (1996). Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan: asas-asas dan permasalahan dalam implementasinya. Citra Aditya Bakti.
Njoto, H. (2011). Pertanggungjawaban Dokter Dan Rumah Sakit Akibat Tindakan Medis Yang Merugikan Dalam Perspektif UU No 44 Th 2009 Tentang Rumah Sakit. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 7(14).
Ray, L. (2019). Law Articles : Medical Negligence and Malpractice. Singapore. Available at : https://singaporelegaladvice.com/law-articles/medical-negligence-and-malpractice-in-singapore/ [diakses tanggal 30 Mei 2020]
Vanessa, Lim. (2018). Taking And Documenting Informed Consent. Singapore

Komentar

  1. Terimakasih, artikel diatas sangat lengkap dan menarik!!

    Saya Febri, ingin bertanya.. Pada kasus dr. Jen, ketika laparotomi dilakukan dan dilihat adanya kerusakan/massa pada ovarium dan tuba fallopi, sehingga dr. Jen melakukan pengangkatan ovarium, namun ternyata massa tsb jinak.
    Bagaimana jika setelah dites ternyata massa tersebut memang ganas dan berbahaya? Apakah tidak ada pertimbangan / keringanan atas tindakan dr. Jen?

    Terimakasih😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. terima kasih untuk pertanyaannya kak Febri, menurut saya ketika seorang dokter melakukan tindakan yang tidak disepakati dengan pasien padahal hal tersebut bisa didiskusikan sebelumnya merupakan suatu pelanggaran hukum medis. meskipun dr. Jen terlihat berupaya untuk memberikan yang terbaik untuk pasien, tetapi hal tersebut telah melanggar hak pasien. yang memperburuk keadaan adalah, dr Jen tidak melakukan informed consent dengan benar, tidak menjelaskan dengan detail apa saja yang akan dilakukan selama operasi dan kemungkinan yang mungkin terjadi. setelah operasi pengangkatan tumor dan ovarium pun dr.Jen tidak memberitahu pasien apa yang telah terjadi selama operasi, sehingga pasien baru tahu telah kehilangan ovarium 8 bulan setelah operasi tersebut dilakukan. untuk pertimbangan dan keringanan tidak diberikan kepada dr. Jen karen bukti yang ada menunjukkan bahwa dr. Jen telah melanggar hukum tersebut.
      sumber :Malpraktek kedokteran dipertegas dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, PMK No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, SINGAPORE MEDICAL COUNCIL: Handbook of Medical Ethics, 2016
      Brenda M Rustam (41170167)

      Hapus
  2. Bagaimana jika hal serupa terjadi pada keadaan darurat? Dimana pasien dalam keadaan emergency dan memerlukan penanganan yang tepat, namun tidak ada keluarga dari pasien yang mengantarkan ataupun kerabat yang berada di RS, bagaimana informed consent itu diberikan dan apakah ada pengecualian dalam pemberiannya tersebut?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada yang disebut implied consent dalam keadaan emergency, jika pasien dalam keadaan gawat darurat sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak di tempat,
      dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter (Permenkes No.
      585 tahun 1989, pasal 11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent.
      Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang
      akan dilakukan dokter

      Hapus
    2. izin menambahkan jadi ketika dalam keadaan darurat dokter bisa melakukan tindakan medis tanpa melakukan informed consent, tetapi setelah tindakan selesai ketika pasien ttelah sadar atau keluarga pasien sudah ada maka dokter wajib memberikan penjelasan terkait dengan tindakan medis yang telah dilakukan. terima kasih
      sumber : http://www.idionline.org/wp-content/uploads/2010/03/PMK-No.-290-ttg-Persetujuan-Tindakan-Kedokteran.pdf
      brenda m rustam 41170167

      Hapus
  3. Nice information guys! Artikel diatas sangatlah membantu khususnya bagi teman" yang kedepannya akan mengemban profesi sebagai seorang dokter, dimana informed consent sendiri penting karena hal tersebut tidak lepas dari code of conduct pada tatanan kedokteran itu sendiri.

    Kita ketahui sendiri bahwa dalam menjalankan tugasnya dokter tidak hanya terikat pada kode etik melainkan pada seluruh aturan hukum yang relate dengan aktifitas kedokteran itu sendiri, so kita tidak hanya dapat berkaca atau bertumpu pada satu sisi saja ( kode etik kedokteran ) melainkan juga pada aturan" hukum yang berlaku sehingga dapat mereduksi potensi risiko hukum yang muncul dikemudian hari

    Harapannya artikel diatas dapat menjadi pembelajaran bagi calon" dokter dalam menjalankan tugasnya.

    Sukses selalu guys!
    SEKUT ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Fyi comment diatas tulisan saya, mohon maaf tidak mencantumkan nama pada komentar sebelumnya. Terimakasih

      Hapus
    2. Terima kasih sudah membaca dan atas tanggapannya tentang kasus ini.. kami sangat menghargai tanggapannya kak 🙏 sukses selalu...

      Hapus
  4. Artikel yg menarik.
    Tetap berkarya dan memberikan informasi yg bermanfaat untuk semua orang. Terimakasih

    BalasHapus
  5. wah menarik sekali temen2 adek calon dokter ini. sukses ya kalian semua

    tp ada pertanyaan nih dari aku. menurut kalian, kalau seorang dokter di dlm ruang operasi lalu ada operasi darurat dan harus diangkat uterusnya krn darurat. perlu tidak inform consent ke keluarga? atau apa yang akan kalian lakukan :)

    makasih adek2 semua

    cheers,
    andrea.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaan yang diberikan.
      Pada umunya semua tindakan medis yang hendak dilakukan oleh dokter harus didasari lembar informed consent yang sudah disetujui oleh pasien/wali dan juga dokter yang bertanggungjawab. Dari kasus darurat seperti pengangkatan uterus yang dimana tindakan ini juga memiliki resiko tinggi tentunya sebelum dilakukan tindakan pengangkatan uterus tetap harus ada informed consent. Bila pasien tidak dapat melakukan informed consent langsung, nantinya bisa dilakukan informed consent pada keluarga terdekat pasien tetapi pihak medis tetap memberi penjelasan rinci terlebih dahulu.
      Sumber : Singapore medical Council: Ethical Code&Ethical Guidelines,2002

      Lucia Vini P Rodja_41170158

      Hapus
    2. Izin ikut menjawab terkait pertanyaan ini, kak! Menurut PMK No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, tepatnya pada pasal 4, apabila tindakan yang perlu damhkan adalah darurat yang dimaksud untuk penyelamatan jiwa pasien dan/atu mencegah kecacatan, tidak diperlukan persetujuan (diputuskan oleh dokter atau dokter gigi), dan kemudian dicatat dalam rekam medik dan wajib sesegera mungkin menjelaskan tindakannya pada pasien atau keluarga.
      Jadi, apabila operasi pengangkatan uterus tersebut darurat karena dapat menghilangkan nyawa pasien atau menimbulkan kecacatan, boleh langsung dilakukan tindakannya namun dengan catatan langsung dituliskan di rekam medis selengkap-lengkapnya dan dijelaskan kepada pasien dan keluarga sesegera mungkin. Semoga cukup menjawab, kak!
      Sumber: PMK No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

      Meliana Julistiani - 41170117

      Hapus
  6. Antonia Deta 41170177
    Pembahasan yang sangat bagus. Saya mau bertanya. Pada kondisi seperti apa seorang dokter harus melakukan inform consent? Apakah yang menjadi dasar perbedaan inform consent tertulis dan tidak tertulis?
    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Deta atas pertanyaannya saya ijin menjawab

      Informed Consent terbagi menjadi yaitu Implied Consent (tersirat atau dianggap telah diberikan) dan Expressed Consent ( dinyatakan).
      Implied consent dapat diberikan dalam keadaan normal atau darurat. keadaan normal seperti menyuntik pasien. dalam keadaan darurat dan memerlukan tindakan segera namun pasien tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarga pasien tidak ada di tempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medis yang terbaik bagi pasien, tindakan ini sesuai dengan permenkes 290 tahun 2008.
      Expressed consent dibagi menjadi dua yaitu secara lisan dan secara tertulis. persetujuan secara lisan diberikan pada tindakan medis yang tidak mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku. Persetujuan secara tertulis diberikan yang mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan.

      Sumber:
      Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.2008
      Jonathan Dave - 41170168

      Hapus
  7. Terimakasih atas artikelnya, setelah saya baca berita diatas.Seberapa penting kah informed consent perlu dilakukan dalam tindakan medis? terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas waktu dan tanggapannya. Disini saya akan menjawab perihal pertanyaan diatas. Jadi untuk informed consent sendiri. Pertama, pentingnya informed consent sendiri menjadi sebuah perhatian sebelum melakukan tindakan medis karena tindakan medis sendiri merupakan upaya yang memiliki resiko dan hasilnya tidak selalu dapat dihitung secara matematis. Disini informed consent sendiri berperan bukan hanya sebagai lembar persetujuan melainkan menjadi sebuah proses komunikasi antar pasien dan dokter yang dimana bisa mencakup informasi dan waktu bagi pasien untuk bertanya berkaitan dengan tindakan medis dengan tujuan antara dokter dan pasien memiliki kesepahaman akan resiko ataupun efek yang akan terjadi selama dan setelah prosedur tindakan medis. Selain itu informed consent yang diperoleh dengan cara yang baik, bisa meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter serta mempererat hubungan antara dokter dengan pasien. Jika kemudian perkiraan tadi meleset penderita tidak akan begitu saja menuntut dokter, karena pasien sadar bahwa tidak semua akibat tindakan dapat diduga sebelumnya karena sudah sebelumnya sudah membahas berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada informed consent. Melalui proses informed consent juga, pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusannya, pasien harus paham dan jelas apa tujuan dari suatu tes atau pengobatan, hasil apa yang akan diperoleh dan apa dampaknya jika menunda keputusan.
      Referensi : M. Jusuf Hanafiah, dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Ed. 4. EGC. Jakarta, 2013.
      -Gabriel Btara / 41170163

      Hapus
  8. Menarik sekali pembahasannya dan saya jadi tau kronologinya karena dibuat dengan runtut dan jelas. Info yang menarik. Mantappp

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih atas kunjungan dan tanggapan di laman kami. semoga bermanfaat, ya.

      Hapus
  9. James Coco Lomel31 Mei 2020 pukul 11.03

    Artikel yg bagus dan menambah wawasan

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih sudah singgah di blog kami. semoga bermanfaat.

      Hapus
  10. Melihat dari dua sudut pandang memang bisa adanya pro-kontra dalam kasus tersebut. Dokter tersebut bisa dibilang melanggar kode etik pekerjaannya dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang ada dan beliau tidak menyelidiki kasus keluhan sakit pasien dengan lebih detail. Namun dilain sisi iya berusaha untuk mengutamakan keselamatan dari sang pasien tersebut dengan memberikan anjuran untuk diberikan pengobatan yang lebih intensif. Pasien juga tidak berpikir lebih jauh terhadap kasus sakit yang didiagnosis dan hanya langsung menerima anjuran dokter tersebut, atau bisa dibilang pasrah tanpa berusaha untuk mencoba bernegosiasi dengan dokter dalam mencari solusi penanggulangan kasusnya tersebut. Jadi menurut saya jika bagi dokter tersebut keselamatan pasiennya adalah yang utama maka tindakan yang harus diberikan juga sesuai dengan proses medis yang ada tanpa menyebabkan dampak buruk bagi pasiennya. Karena setiap pekerjaan tentunya punya resiko dan setiap keputusan yang diambil harus bisa dipertanggungjawabkan apapun hasilnya nanti

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas tanggapannya :) Memang dalam setiap kasus selalu dapat dilihat dari dua kacamata yang berbeda, ada tanggung jawab dari pasen juga yang harus dilakukan begitu juga untuk dokter. Disini kami mengambil dari kacamata tenaga medis yang mana memang dari kasus yang sudah diurai diatas bahwa terbukti sang dokter belum melakukan suatu bentuk komunikasi dalam bentuk penjelasan yang jujur dan benar terhadap prosedur medis kepada pasien dan juga melakukannya tanpa seperizinan pasien. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf 2 Pasal 45, yang menyatakan bahwa:
      1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
      2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

      Semoga membantu :)

      Hapus
  11. Dalam masalah yang ada apa yang dikerjakan dokter salah dan melanggar kode etik.
    Sebagai pembelajaran buat kita semua sebagai pasien sebelum memberikan ttd harus paham permasalahan yang ada dengan rinci/detail dan HARUS ada pendampingan dari keluarga agar ada yang memonitor dalam pelaksaan sebelum dan sesudah operasi.
    Trimakasih

    BalasHapus
  12. Setelah saya baca dan pahami, benar bahwa ini kasus yang bisa dilihat dimana dari ringkasan kasus sudah menjelaskan dengan seksama dan bisa direspon dari dua perspektif bisa pro dan kontra. Namun disini penulis sudah menyimpulkan dengan sesuai tanpa banyak menghakimi dan tidak melakukan hiperbola dalam kasus diatas. Kasus seperti diatas perlu dijadikan bahan evaluasi pembelajaran sedari dini agar lebih teliti dan tidak neko-neko. Keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih atas tanggapannya. kami sangat mengapresiasi tanggapannya, kak.

      Hapus
  13. Artikel yang sangat baik. Izin bertanya bila dalam keadaan emergensi dan pasien tidak sadarkan diri sedang keluarga pasien tidak dapat dihubungi. Apa yang dapat dilakukan dokter untuk mendapat consent. Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, kak atas pertanyaannya. Pada situasi tersebut dimana keadaannya emergensi dan keluarga masih belum bisa dihubungi, tetap yang pertama harus ditangani adalah kondisi gawat daruratnya. Di Indonesia sendiri hal tersebut diatur pada UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pada pasal 45 ayat 1 disebutkan bahwa dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Selain itu, pada Perkonsil no 4 tahun 2011 pada poin no 9(e) disebutkan bahwa dalam kondisi dimana pasien tidak mampu memberikan persetujuan dan tidak memiliki pendamping, maka dengan tujuan untuk menyelamatkan hidup (life saving) atau mencegah kecacatan pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat, tindakan/asuhan medis dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien. Ditambahkan pada PMK no 290 tahun 2008 pasal 4 dimana pada keputusan untuk melakukan tindakan emergensi tersebut harus dicatat di dalam rekam medik dan dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. Semoga cukup menjawab pertanyaanya, terima kasih.

      Sumber: UU no 29 tahun 2004, Perkonsil no 4 tahun 2011, PMK no 290 tahun 2008

      -Diana Teresa (41170147)

      Hapus
  14. Bagus sekali artikelnya, sangat memperluas wawasan saya.
    Perkenalkan nama saya Kezia Adya nim 41170107 ingin bertanya
    Apakah dr Jen sudah memastikan sebelumnya bahwa itu adalah massa ganas/jinak? Lalu pemeriksaan apa yang harus dilakukan untuk mengetahui hal tersebut ganas/jinak? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah membaca artikel kami dan pertanyaannya, jadi seperti kronologis yang sudah dijelaskan pada artikel tersebut bahwa dr. Jen sudah melakukan pemindaian transvaginal (USG transvaginal) dan hanya berpendapat bahwa "kemungkinan" tumor yang cukup besar tersebut adalah bersifat ganas TANPA melakukan observasi lebih lanjut. Tumor yang ternyata bersifat jinak tersebut diketahui justru setelah pemeriksaan mikroskopis post-operasi (biopsi). Jadi kesimpulannya dr. Jen tidak memastikan massa itu ganas/jinak, hanya menyimpulkan secara cepat saja. Kemudian pemeriksaan pre-op yang bisa untuk memastikan massa itu jinak/ganas bisa dengan laparoskopi konservatif untuk bedah minim invasif dan dapat memastikan massa apakah benar-benar jinak/ ganas.

      Cornelia Rivanda B. - 41170146

      Hapus
  15. Artikel yang sangat bagus. Saya ingin bertanya, bila ada seorang wanita hamil yang akibat dari kehamilan tersebut mengancam nyawa dari sang ibu, namun ibu tidak ingin melakukan aborsi terhadap janinnya namun suami dari ibu tersebut ingin mengaborsi janin tersebut (agar istri tertolong), apakah yang dapat dilakukan sebagai seorang dokter? Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih telah membaca artikel kami dan memberi pertanyaan.Saya Carolina Devi Santi M-41170122 ingin mencoba menjawab pertanyaan.

      Menurut Undang-undang kesehatan aborsi dapat dilakukan bila :
      a.Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baaik mengancam nyawa ibu dan atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan / cacat bawaan.Maupun tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
      b.Kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
      Selain hal tersebut, syarat dan ketentuan aborsi lain pada pasal UU No 36 Tahun 2009 :
      a.Sebelum kehamilan 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam kedaruratan medis.
      b.Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan serta memiliki sertifikat yang ditetapkan Menteri.
      c.Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.
      d.Dengan izin suami, kecuali korban pemerkosaan.
      e.Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

      Jadi, sesuai dengan ketentuan Pasal dari UU yang berlaku, aborsi dengan alasan medis memang diperbolehkan apalagi jika hal tersebut sudah mengancam nyawa ibu dan bayi, namun jika sang ibu tidak menyetujui maka aborsi tidak bisa begitu saja dilakukan karena semua tindakan medis yang akan dilakukan harus ada infromed consent pada ayah dan ibu, jika ibu tidak setuju, maka bisa menandatangani informed consent penolakan.

      Terimakasih atas pertanyaan yang diberikan.Semoga sudah menjawab pertanyaan.

      Hapus
  16. Sedih banget bacanya, karena ketidak telitian dan kelalaian dokter kebahagiaan seorang yg ingin menjadi calon ibu bisa terampas. Semoga kejadian seperti yg dilakukan dr. Jen tidak terjadi lagi kedepannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin... Terima kasih atas tanggapannya 😊

      Hapus
    2. Terimakasih sudah berkunjung membaca artikel kami, semoga bermanfaat ;)

      Hapus
  17. sekut bgt bos

    BalasHapus
  18. Terimakasih artikelnya untuk kelompok 3, saya Dixie Bramantya S nim 41170136 ingin bertanya

    Apa alasan dokter tersebut tetap melakukan tindakan yang tidak disetujui oleh pasiennya ? Apakah dokter tersebut juga sudah menjelaskan kepada pihak keluarganya juga ?

    Terimakasih semoga sukses selalu leukosit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Dixie untuk pertanyaannya, disini saya akan mencoba menjawab. Berdasarkan berita yang terbit, dr. Jen melakukan tindakan pengangkatan ovarium dan tuba fallopi pada pasien karena saat melakukan tindakan open laparatomi beliau melihat adanya struktur yang rusak pada ovarium dan tuba fallopi pasien sehingga beliau memutuskan untuk melakukan tindakan pengangkatan ovarium dan tuba fallopi pasien. Selain itu di dalam berita tidak dijelaskan bahwa dr. Jen memberikan penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan kepada keluarga pasien tetapi hanya memberikan penjelasan pada pasien yang bersangkutan tetapi pihak pasien sendiri masih belum mendapatkan informasi yang cukup mengenai tindakan yang akan dilakukan oleh dr. Jen
      Terimakasih, semoga menjawab ya :)
      Nathania Dhestia Putri (41170132)

      Hapus
  19. Terimakasih atas artikelnya. Disini saya sebagai awam tidak terlalu memahami tentang peraturan berkaitan dangan salah prosedur akibat kelalaian seperti diatas. Apakah tindakan yang seharusnya diambil haruskah sesuai prosedur ataukah apabila dokter itu menemukan hal lain yang mencurigakan kemudian di tindak itu adalah hal yang salah? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas komentar dan pertanyaannya! Saya izin coba menjawab, ya.
      Pada sumber yang kami gunakan, tertera bahwa dr. Jen melakukan ovariektomi kiri (pengangkatan indung telur sebelah kiri) karena mencurigai adanya kanker pada ovarium tersebut, karena terdapat benjolan mirip kista yang ditelusuri dengan USG transvaginal (pencitraan lewat vagina) bersumber dari ovarium. Padahal, yang diinformasikan kepada pasien adalah, dokter akan melakukan pengangkatan pada kista, bukan pengangkatan pada ovarium. Tindakan yang seharusnya diambil adalah yang sesuai dengan informed consent, yaitu pengangkatan kista untuk kemudian dilakukan pemeriksaan histologis untuk memastikan apakah kista itu ganas atau tidak. Apabila kista terbukti ganas dan diperlukan ovariektomi untuk mencegah kanker menyebar, dr. Jen dapat menginformasikannya kepada pasien dan dilakukan informed consent kedua terkait ovariektomi. Namun, yang terjadi adalah dokter melakukan ovariektomi tanpa persetujuan, dan saat kistanya di cek, terbukti bahwa kista tersebut jinak dan bukanlah kanker.
      Semoga sudah cukup menjawab pertanyaannya, ya!
      Meliana Julistiani - 41170117

      Hapus
  20. Balasan
    1. terimakasih Kiren atas tanggapannya! semoga bermanfaat, ya.

      Hapus
    2. Terimakasih sudah berkunjung yaa

      Hapus
  21. Pembahasan dalam artikel menarik, sangat informatif!

    BalasHapus
  22. Artikel yang menarik sekali untuk dibaca, karna kejadian seperti ini mungkin saja terjadi kepada kita sebagai dokter kelak jika kita lalai. Pelajaran yang bisa saya ambil pada artikel ini adalah sebagai dokter, kita diharapkan tidak lalai dalam mengambil keputusan, karna keputusan dokter dapat berpengaruh ke kehidupan pasien selama di rumah sakit ataupun setelah keluard dari rumah sakit. Terimakasih atas bacaan yang sangat bermanfaat ini, sukses selalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah membaca Desmon, Amin, biar melalui ini kita bisa sama-sama belajar untuk menjadi dokter yang lebih baik.

      Hapus
  23. Kezia Devina Deodatis - 41170137

    Kasus yang menarik sekali kelompok 3, namun saya ingiin bertanya beberapa hal.
    Menurut pengadilan dari kasus di atas, selembar kertas yang ditanda tangani tidak cukup menunjukkan adanya persetujuan dari seorang pasien yang dijadwalkan menjalani operasi.
    Bagaimana tanggapan kelompok 3 mengenai hal tersebut? dan bagaimana sistem Informed Consent yang seharusnya dibuat? Apakah isi dari Informed Consent tiap rumah sakit berbeda?

    Dalam PMK No. 290 Tahun 2008 pasal 2 memuat bahwa setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien, harus mendapatkan persetujuan baik secara tertulis maupun lisan. Apabila pasien sudah menyetujui secara lisan, apakah tindakan pengangkatan ovarium kiri tetap boleh dilakukan?

    Terimakasih, sukses selalu:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk pertanyaannya, izin menjawab pertanyaan yg kedua.
      Dalam skenario seperti diatas, jika pasien sudah menyetujui secara lisan, perlu dilihat kembali apakah pasien sudah menandatangani informed consent yang sudah diberikan oleh dokter yang nanti akan melakukan tindakan, dimana isi dari informed consent harus sesuai dengan tindakan yang nanti akan dilakukan terhadap pasien, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf 2 Pasal 45.
      Selain itu perlu dilakukan pemastian kembali dari informed consent yang sudah diberikan secara lisan maupun tertulis, apakah pasien sudah paham penuh dengan keputusan yang akan diambil nantinya. Selengkapnya dapat dibaca dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf 2 Pasal 45 dan PMK No. 290 Tahun 2008 Pasal 2.
      Sumber : Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf 2 Pasal 45 dan PMK No. 290 Tahun 2008 Pasal 2.
      I Gusti Ngurah Bagus Sulaksana Putra - 41170142

      Hapus
    2. Halo Kezia terimakasih sudah bertanya, disini saya akan mencoba menjawab pertanyaan pertama. Menurut saya informed consent pada kasus tersebut tidak cukup membuktikan adanya persetujuan pasien dikarenakan saat pasien menandatangani informed consent dr. Jen tidak hadir dan menyaksikan pasien memberikan tanda tangan nya dalam lembar informed consent. Seharusnya sebagai seorang dokter di saat akan melakukan tindakan yang membutuhkan informed consent dokter tersebut harus hadir sehingga dapat memberikan informasi yang lengkap (diagnosis penyakit, tindakan yang akan diambil, indikasi tindakan, tata cara tindakan, risiko tindakan, komplikasi dari tindakan, prognosis, dll) sehigga pasien dapat paham dan menentukan tindakan apa yang akan dipilih dengan pemahaman informasi yang didapat dari seorang dokter. Bagi dokter informed consent sendiri dibuat untuk membuat rasa aman saat melakukan tindakan medis dan dapat digunakan untuk pembelaan diri apabila terdapat tuntutan dari pasien atau keluarganya. Sedangkan bagi pasien informed consent adalah hak yang harusnya dipenuhi untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai penyakitnya dan juga tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya. Sehingga informed consent sendiri seharusnya dibuat berdasarkan persetujuan antara dokter dengan pasien secara langsung dimana dokter sudah memberikan penjelasan mengenai penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukan sedangkan pasien sudah benar-benar paham mengenai penjelasan dan informasi tersebut. Untuk informed consent dari setiap rumah sakit sebenarnya isinya hampir sama karena tujuan dari informed consent pada dasarnya sama di setiap rumah sakit yaitu untuk melindungi pasien dari segala tindakan medis yang dilakukan dokter dan memberikan perlindungan hukum pada dokter.

      Terimakasih, semoga menjawab ya :)
      Nathania Dhestia Putri (41170132)

      Hapus
  24. Ni Kadek Ayu Divia P - 41170131

    Hallo kelompok 3, terima kasih atas artikel yang sangat menarik ini :) Saya ingin bertanya mengenai beberapa hal mengenai Informed Consent.

    1. Apabila ada pasien yang sedang kritis dan pasien tersebut harus menjalankan terapi bedah tertentu untuk menyelamatkan nyawa pasien tersebut, akan tetapi saat akan dilakukan tindakan tidak ada wali dari pasien itu sendiri, apakah yang harus dilakukan oleh seorang dokter ? Apakah dokter akan membiarkan kondisi pasien seperti itu atau akan melakukan prosedur bedah sesuai dengan kebutuhan pasien ? Apabila pasien melakukan prosedur bedah tanpa adanya persetujuan dari pasien/keluarganya apakah hal itu diperbolehkan dari segi hukum ? Dan apakah ada dasar hukum dari tindakan tersebut ?

    2. Apakah ada syarat-syarat yang memperbolehkan seorang dokter tidak meminta Informed Consent kepada pasien sebelum melakukan tindakan agar tidak dikatakan melakukan malpraktik ?

    Terima kasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaannya. saya mencoba menjawab yang nomor 2 . jadi, Persetujuan antar dokter dan pasien dapat berupa persetujuan tertulis (informed consent )dan tersirat (Implied consent). Penanganan medis yang membutuhkan informed consent yaitu seperti tindakan pembedahan, transfusi darah, terapi radiasi, tindakan anestesi, vaksinasi, kemoterapi, biopsi, tes darah(HIV), beberapa tes medis lanjutan lainnya. Sedangkan untuk implied consent seperti pemberian penangaan medis dengan tingkat resiko lebih rendah atau dokter sudah memahami prognosisnya akan baik. Tindakan yang dilakukan dokter sehari-hari dengan prognosis baik tersebut tidak perlu informed consent tapi implied consent saja.
      (Elsa Wijaya_41170135)

      Hapus
    2. terimakasih untuk pertannyaan yg menarik, saya mencoba untk mnjwab nomor 1.
      Hal tersebut tentu dibolehkan jika pasien dalam keadaan emergency, dan Dasar Hukum dari tindakan tersebut adalah UU no 29 thn 2004 ttg Praktik Kedokteran dan PMK no. 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran. Informed consent merupakan hal mutlak diperlukan bagi pihak dokter sebelum ia melakukan tindakan medis bagi pasiennya yang diatur di dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 8, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 2 ayat 1. Akan tetapi tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tanpa adanya informed consent bagi pasien yang kondisinya gawat darurat dapat dilakukan. sebagaimana pengecualian tersebut yang diatur pada UU Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Pasal 51 huruf d serta Permenkes pasal 4 ayat 1 yang biasa disebut dengan Presumed Consent, yaitu persetujuan tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasien ataupun keluarga yang mendampingi, guna menyelamatkan nyawa pasien. Pada saat memberikan tindakan medik dengan menggunakan persetujuan Presumed Consent, tidak semua pasien dapat diberikan karena persetujuan ini hanya untuk pasien yang dalam keadaan kegawatdaruratan. Semua itu didasarkan demi kesembuhan dan keselamatan pasien itu sendiri juga merupakan penerapan asas perlindungan dan keselamatan pasien yang dianut pada UU Kesehatan maupun UU Praktik Kedokteran.
      Presumed consent ini dapat dilakukan apabila pasien memenuhi syarat sebagai berikut :
      a. Pasien datang dalam keadaan tidak sadarkan diri.
      b. Tidak ada keluarga ataupun pihak yang mampu bertanggung jawab atas pasien tersebut.
      c. Keadaan pasien sangat memerlukan pertolongan secara cepat untuk tindakan Live Saving
      Apabila pasien telah dianggap memenuhi syarat tersebut, maka persetujuan tindakan medik dapat dilakukan dengan mencatat semua tindakan dalam rekam medik.

      Semoga jawaban di atas dapat bermanfaat :)

      Sumber :
      UU no 29 thn 2004 ttg praktik kedokteran
      PMK no. 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran
      https://media.neliti.com/media/publications/34624-ID-pertanggungjawaban-pidana-terhadap-pelaksanaan-presume-consent-oleh-dokter-kepad.pdf

      (Videl. Christin.D Kwando-41170169)

      Hapus
  25. Balasan
    1. Terima kasih mas fikri.. semoga bermanfaat :)

      Hapus
    2. terimakasih Fikri atas kunjungannya ke artikel kami.

      Hapus
  26. saya mau bertanya tapi ternyata sudah diwakili beberapa diatas jadi saya mau mengapresiasi saja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih tanggapannya, semoga bermanfaat :)

      Hapus
    2. Terimakasih yaa sudah berkunjung!

      Hapus
  27. Selamat malam kak.. ini artikel yang menarik sekali
    izin bertanya kak, terkait dengan prosedur, bagaimana kah prosedur tepat evaluasi pasien sebelum dilakukannya tindakan? dikarenakan seharusnya evaluasi dilakukan secara detail terhadap hal hal seperti ini terlebih lagi sebelum dilaksanakannya tindakan operatif.Kemudian adakah hukum yang mengatur kewenangan dokter untuk melakukan tindakan yang tidak bersangkutan dengan tujuan utama operasi tanpa persetujuan pasien ? dan atas dasar penilaian apa dokter mampu melakukan tindakan medis tersebut sedangkan hasil pemeriksaan mengenai temuan itu saja tidak ada sebelum dilakukannya tindakan ?
    dan kompensasi apa yang patut diterima korban terhadap kondisi seperti ini ?

    terimakasih kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaannya. Untuk pertanyaan pertama, terkait evaluasi yang seharusnya dilakukan oleh dr. Jen. Sebelum melakukan tindakan operatif, dr. Jen seharusnya menggunakan Risk of Malignancy Index (RMI) untuk menilai keganasan tumor, bukan hanya berdasarkan hasil dari pemeriksaan transvaginal ultrasound. Selain itu, dr. Jen juga perlu melakukan evaluasi terhadap:
      1) Usia pasien dan status pre-menopausal
      2) Gejala klinis, ukuran, dan dugaan patologis massa
      3) Riwayat medis pasien
      4) Respon ovarium pasien terhadap obat Clomid yang pernah diresepkan kepada pasien dari bulan Juli hingga Agustus 2010
      Untuk pertanyaan kedua terkait hukum yang mengatur kewenangan dokter. Dalam SMC Ethical Code and Ethical Guidelines 2016 bagian C6 tentang Consent, semua tindakan kedokteran, baik berupa perawatan biasa maupun prosedur invasif harus dilakukan berdasarkan persetujuan dari pasien. Jika pasien berada dalam keadaan tidak sadar (dalam pengaruh obat anestesi), maka seorang dokter tidak boleh melakukan prosedur lain tanpa persetujuan pasien kecuali jika pasien berada dalam keadaan gawat darurat dan perlu dilakukan tindakan lain untuk menyelamatkan nyawa pasien. Selanjutnya untuk pertanyaan ketiga terkait alasan dr. Jen melakukan operasi pengangkatan ovarium tanpa persetujuan pasien. Saat melakukan operasi pada pasien, dr. Jen menemukan beberapa hal yang mencurigakan pada pasien yaitu adanya cairan asam berwarna merah pada rongga peritoneum pasien, posisi ovarium dan tuba fallopi pasien yang abnormal, adanya tanda-tanda herniasi pada permukaan ovarium pasien dan adanya massa yang menutupi seluruh ovarium pasien. Berdasarkan adanya temuan ini, dr. Jen menganggap bahwa tumor tersebut sudah bersifat ganas dan ditakutkan dapat menyebar ke tempat lain sehingga dr. Jen melakukan operasi pengangkatan ovarium pada pasien tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari pasien. Untuk pertanyaan terakhir terkait kompensasi yang patut diterima korban. Berdasarkan peraturan yang ada di Indonesia, dokter yang melakukan penyimpangan berupa ingkar janji atas perjanjian terapeutik, maka dokter tersebut memiliki tanggung jawab secara perdata seperti diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang berbunyi “Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi janjinya”. Dalam kasus ini, dr. Jen melakukan tindakan operasi yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal dan dikenakan sanksi berupa membayar denda sebesar $ 10.000 dan ditangguhkan selama 8 bulan sehingga kompensasi yang diterima oleh korban sudah layak dan pantas sesuai dengan aturan yang tertulis di KUH perdata.

      Sumber:
      - SMC Ethical Code and Ethical Guidelines, 2016
      - Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

      Neysa Bella H - 41170126

      Hapus
  28. Bagus sekali informasinya sebagai seseorang yang awam banget dunia kedokteran terutama malpraktik ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah berkunjung ke blog kami jeje. Semoga infomasinya bermanfaat yaa

      Hapus
  29. Artikelnya sangat menarik kak informasinya juga mudah dipahami. semangat terus yakk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mengunjungi artikel kami, semoga bermanfaat ya 🙏🏻

      Hapus
  30. Artikel yang menarik. Saya ingin bertanya jika sebelumnya dokter sudah memberikan informed consent kepada pasien mengenai terjadinya keganasan pada pasien tetapi pasien tidak ingin mengoperasinya dikarenakan pasien ingin memiliki anak.
    Menurut sudut pandang anda apakah yang akan anda lakukan? Mengikuti kemauan pasien atau bagaimana?

    Selanjutnya untuk pertanyaan kedua jika terdapat pasien yang sebelumnya sudah menolak dilakukan operasi padahal ada keganasan di dalam tubuhnya. Tetapi suatu ketika ada keadaan darurat yang menyebabkan pasien harus segera dioperasi untuk menyelamatkan nyawanya dan dokter melakukan operasi tersebut tanpa mengonfirmasi pada pasien dimana pasien juga tidak memiliki sanak saudara. Apakah hal tersebut juga merupakan tindakan malpraktik?

    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk pertanyaannya, saya izin menjawab terkait pertanyaan kedua. Dari contoh kasus yang anda berikan tidak termasuk dalam tindakan malapraktik. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290 tahun 2008 Bab II Persetujuan dan Penjelasan pada Pasal 4 bahwa dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan nyawa pasien atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran, dan dalam melakukan tindakan kedokteran tersebut dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah sadar atau kepada keluarga terdekat.
      Terima Kasih dan semoga bermanfaat :)
      (Krisentia Yahya_41170141)

      sumber :
      http://www.idionline.org/wp-content/uploads/2010/03/PMK-No.-290-ttg-Persetujuan-Tindakan-Kedokteran.pdf

      Hapus
    2. Terimakasih atas pertanyaannya, mohon izin untuk menjawab pertanyaan pertama ya.

      Kasus yang disebutkan anda kerap kali dijumpai dan tidak sedikit menjadi perdebatan banyak pihak. Tugas seorang dokter yakni memberikan informasi terkait penyakit sedetail mungkin kepada pasien. Persetujuan akan dilakukan tindakan medis sepenuhnya hak pasien, dan dokter tidak boleh untuk menyarankan atau bahkan memaksakan untuk terapi. Segala sisi baik maupun buruk harus dijelaskan kepada pasien. Apabila memang terjadi keganasan akan tetapi pasien menolak, sebagai dokter tidak serta merta langsung mengikuti keinginan pasien. Kita coba komunikasikan dengan baik, menjelaskan bahwasannya kanker / tumor ganas dapat membahayakan ibu. Apabila pasien tetap menginginkan seorang anak, mungkin dapat dikomunikasikan lebih lanjut dan bisa juga diusulkan untuk mengadopsi anak apabila memang sangat tidak memungkinkan lagi memiliki keturunan. Dan pada akhirnya pasien lah yang berhak menentukan apakah perlu dilakukan operasi pengangkatan kanker tersebut apa tidak, jika memang hal yang diinginkan pasien agar tidak diangkat maka sebagai dokter harus memberikan form pernyataan bahwa pasien telah menolak dilakukan tindakan medis setelah diberikan penjelasan dan komunikasi secara jelas.
      Sumber : PMK 290 tahun 2008

      -Daniel Eka Raenata 41170170-

      Hapus
  31. Victoria Filialni1 Juni 2020 pukul 11.22

    Selamat pagi teman-teman kelompok 3, terima kasih atas artikelnya, saya Victoria Filialni (41170176) ingin bertanya
    1.Mengapa The Court of Three Judges mengatakan bahwa “selembar kertas yang ditandatangani tidak cukup menunjukkan adanya persetujuan”? Bukankah form informed consent menjadi salah satu bukti bahwa telah ada kesepakatan antara dokter dan pasien?

    2. Pada kasus ini, poin informed consent seharusnya dapat menguntung dokter (melihat profesi ini rentan akan risiko) dan pasien (kepuasaan dan keselamatan). Nah, poin apa saja yang menurut teman-teman sangat penting dan poin apa saja yang telah dilewatkan si dokter sehingga beliau dituntut?

    3.Pada kondisi apa saja, seorang dokter dapat langsung melakukan tindakan medis tanpa informed consent terlebih dahulu?

    Terima kasih teman-teman, semangat.



    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaannya, Ijin menjawab...
      1. Iya benar bahwa Informed Consent adalah salah satu bukti atau syarat utama antara kesepakatan dokter dengan pasien. Di dalam kasus ini jelas bahwa dokter yang bersangkutan tidak melakukan Informed Consent, buktinya adalah ketika dokter melakukan tindakan operasi tanpa memperoleh persetujuan dari pasien (melakukan Ooforektomi kiri). Dan mengenai selembar kertas yang tidak cukup menandakan persetujuan maksudnya adalah di dalam prosedur operasi tidak diisi oleh pasien yang bersangkutan dan pada saat itu dokter tidak hadir ketika pasien menandatangani formulir persetujuan. Jadi jelas ada langkah dari prosedur operasi yang tidak diisi oleh pasien dan yang tidak diketahui juga atas sepengetahuan dokter sebelum operasi dimulai.
      Terimakasih...Fehren Kurnia Brylian- 41160044

      Hapus
    2. Terima kasih atas pertanyannya
      Saya ijin menjawab pertanyaan kedua..


      Memang terdapat beberapa pasal yang dilanggar oleh dr Jen sendiri terkait informed consent seperti berikut:

      Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf 2 Pasal 45, yang menyatakan bahwa:

      1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

      2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

      3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
      diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
      prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

      4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

      5.Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

      6.Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri

      Semoga mejawab :)
      Patrick K - 41170104

      Hapus
    3. terima kasih untuk pertanyaannya Victoria , menjawab untuk pertanyaan ke tiga
      keadaan yang memungkinkan seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa melakukan informed consent terlebih dahulu yaitu dalam keadaan darurat medis. meskipun belum melakukan informed consent, seorang dokter wajib mencatat setiap tindakan di dalam Rekam medis serta memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien terkait dengan tindakan yang dilakukan kepada pasien setelah sadar atau kepada keluarga pasien.
      sumber : http://www.idionline.org/wp-content/uploads/2010/03/PMK-No.-290-ttg-Persetujuan-Tindakan-Kedokteran.pdf pasal 4
      brenda m rustam (41170167)

      Hapus
  32. Saya mau bertanya, apakah dokter memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan yang tidak bersangkutan dengan tujuan utama operasi tanpa persetujuan pasien itu merupakan sesuatu yang benar apabila dokter merasa menemukan sesuatu yang “tidak semestinya” pada saat operasi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Alvin atas pertanyaanya, saya izin menjawab.

      Tindakan medis yang dilakukan dokter apabila menyimpang dari tujuan utama operasi tersebut dan tidak memberitahukan/menjelaskannya terlebih dahulu pada pasien/wali pasien itu dianggap tindakan yang tidak benar. Apabila saat operasi dokter menemukan sesuatu yang tidak semestinya dan perlu melakukan tindakan medis tambahan, harus disertai izin pasien/wali pasien. Hal ini terkait dengan aturan dari SMC Ethical Code and Ethical Guidelines 2016 bagian C6 terkait consent yakni semua tindakan kedokteran, baik itu berupa perawatan biasa maupun prosedur invasif harus dilakukan berdasarkan persetujuan dari pasien. Jika pasien dalam keadaan tidak sadar (dalam pengaruh obat anestesi) maka seorang dokter tidak boleh melakukan prosedur lain tanpa persetujuan pasien.
      Sumber : Singapore Medical Council Ethical code and Ethical Guidelines Ed 2016

      Lucia Vini P Rodja_41170158

      Hapus
    2. izin menambahkan, terkait dnegan tindkaan yang akan dilakukan kepada pasien merupakah hak pasien sepenuhnya, meskipun menurut dokter tindakan A yang terbaik untuk memberikan pelayanan yang maksimal tetapi pasien lebih memilih tindakan B karena alasan tersendiri, maka dokter hanya bisa melakukan tindakan B. jadi diluar keadaan darurat, apapun tindakan yang akan dilakukan dokter kepada pasien wajib mendapatkan persetujuan pasien.
      brendaa m rustam 41170167

      Hapus
  33. Berdasar kasus diatas saya ingin bertanya berkaitan dengan inform consent. Apakah setiap tindakan medis itu memerlukan inform consent terlebih dahulu? Apakah ada kondisi yang tidak memerlukan inform consent?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaannya saya izin menjawab.

      Tidak semua tindakan medis memerlukan informed consent telebih dahulu. tindakan yang tidak membutuhkan informed consent adalah tindakan penanganan kasus darurat. Tindakan darurat tersebut dilakukan berdasarkan tindakan medik terbaik menurut dokter ketika pasien tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ad di tempat.
      Sumber:
      PMK No 290 Th. 2008 pasal 4

      Jonathan Dave_41170168

      Hapus
  34. Kesimpulan yang bagus. Semoga tidak ada lagi kasus malpraktik di Indonesia

    BalasHapus
  35. Terimakasih, artikelnya sangat menarik! Saya kira pertanyaan saya sudah terwakilkan sehingga tidak perlu saya tanyakan lagi. Sukses selalu!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah membaca, semoga bermanfaat :)

      Hapus
    2. Terimakasih Regina semoga informasinya bermanfaat! :)

      Hapus
  36. Artikel yang menarik sekali,bahasannya juga terurut dan mudah dipahami, saya kira untuk pertanyaan yang ingin saya ajukan sudah di tanyakan dan di jawab dengan jelas di kolom komentar sebelumnya, semangat dan sukses selalu.
    Tuhan Berkati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapannya, semoga artikel ini dapat bermanfaat ^^

      Hapus
  37. Apakah dalam kasus tersebut bila di Indonesia, inform consent yg memang ditanda tangani di kertas namun pemberitahuan rincian prosedur secara lisan juga tetap terkena malpraktik?
    Karena pada PMK No. 290 th 2008 pasal 2 ayat 2 bisa dengan lisan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaannya Kak Ken, saya izin menjawab
      Rincian prosedur yang yang secara lisan dan persetujuan tindakan ditandatangani di atas kertas hal ini boleh dilakukan sesuai pada PMK No.290 pasal 8 dan pasal 9. Namun rincian prosedur yang diberikan secara lisan harus dituliskan ke dalam rekam medis

      Sumber:
      PMK No. 290 Th.2008 pasal 8 dan pasal 9

      Jonathan Dave_4170168

      Hapus
  38. Terima kasih untuk informasinya. Inform consent yang dilakukan selain menandatangani di kertas adalah dengan penjelasan secara lisan. Pertanyaan saya, penjelasan lisan seperti apa yang diperlukan agar menjadi bukti dalam penatalaksanaan tindakan medis?, mengingat bahwa bisa saja pasien lupa dengan apa yang dijelaskan oleh tenaga medis.
    Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kak atas tanggapannya. Ijin menjawab pertanyaan diatas. Jadi untuk informed consent dalam bentuk lisan atau oral informed consent sendiri dapat dilakukan pada tindakan-tindakan medis yang sifatnya non-invasif dan juga tindakan yang tidak mengandung resiko tinggi. Informed consent secara lisan pula bisa diteruskan kemudian dengan persetujuan secara tertulis apabila memang dibutuhkan. Adanya kelanjutan dari informed consent secara lisan menjadi informed consent tulisan sehingga dapat menjadi bukti yang sah dan tertulis sehingga segala informasi yang dijelaskan sebelum tindakan medis dan persetujuan ini dapat pula digunakan di kemudian hari. Semoga ini cukup menjawab pertanyaan diatas. Terimakasih.
      -Gabriel Btara Y. Pramono - 41170163

      Hapus
  39. Kasus yang diambil kelompok sangat baik, dan patut diekspos. Hal tersebut karena dapat memberikan suatu pembelajaran untuk para calon dokter, supaya kejadian serupa tidak terjadi lagi. Sebagai orang yang awam dalam bidang kedokteran, saya memiliki tanggapan tentang kasus yang diambil, bahwa penting sekali menanamkan etika berporfesi, rasa profesionalitas, tanggung jawab, dan kejujuran di dalam profesi sebagai dokter, hal ini tentunya untuk memberikan dampak baik bagi pasien dan bagi dokter tersebut. Terimakasih
    Dari : Arnoldus Galih / mahasiswa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas kunjungan dan tanggapannya di laman kami, Bang Galih mahasiswa paling keren di Jl. Kaliurang. Semoga bermanfaat,ya.
      Dari : Gabriel Btara / mahasiswa juga

      Hapus
    2. Terimakasih atas tanggapannya, semoga artikel ini dapat bermanfaat ^^

      Hapus
  40. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  41. Menurut saya makalah atau artikel yang dibuat cukup baik dan sangat menarik, dan saya berterimakasih juga untuk beberapa calon dokter seperti kalian mampu bermimpi untuk memiliki tanggung jawab yang besar untuk pasien kedepan. semoga kalian menjadi dokter yang baik dan memiliki etika integritas dan juga moral yang baik. tetapi saya juga ingin bertanya, apakah yang kalian lakukan ketika kalian yang berada diposisi dokter jen, ditambah dengan beberapa kondisi yang sedikit buruk yaitu apabila jaringan ovarium beserta tuba fallopi tersebut dalam keadaan yang berbahaya. TerimakasihMenurut saya makalah atau artikel yang dibuat cukup baik dan sangat menarik, dan saya berterimakasih juga untuk beberapa calon dokter seperti kalian mampu bermimpi untuk memiliki tanggung jawab yang besar untuk pasien kedepan. semoga kalian menjadi dokter yang baik dan memiliki etika integritas dan juga moral yang baik. tetapi saya juga ingin bertanya, apakah yang kalian lakukan ketika kalian yang berada diposisi dokter jen, ditambah dengan beberapa kondisi yang sedikit buruk yaitu apabila jaringan ovarium beserta tuba fallopi tersebut dalam keadaan yang berbahaya?. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai, terima kasih sudah membaca dan memberikan tanggapan. Saya mewakili kelompok ingin menjawab. Menurut kami, yang tepat dilakukan sebagai dr Jen adalah melakukan investigasi lanjutan terlebih dahulu setelah ditemukannya massa panggul pada MRI. Hal tersebut untuk memastikan bagaimana kondisi pasien dan menegakkan diagnosis dari benjolan/massa tersebut. Baru kemudian pasien dijelaskan mengenai pilihan terapi yang ada dalam bentuk informed consent yang tentunya disampaikan secara rinci dan jelas. Pada saat prosedur, apabila ditemukan hal yang mencurigakan seperti pada kasus, sebaiknya dokter mencari beberapa kemungkinan penyebab hal tersebut berdasarkan investigasi yang telah dilakukan sebelumnya, dan yang juga penting untuk digarisbawahi disini adalah prosedur tetap harus dilakukan sesuai apa yang tertera pada informed consent. Kecuali pada kondisi yang sudah dipastikan darurat dan dapat mengancam nyawa apabila tidak ditangani secara cepat, maka yang utama adalah keselamatan pasien. Namun pada kasus ini tidak disebutkan bahwa pasien berada dalam kondisi kegawatan, sehingga ooforektomi yang tidak dicantumkan pada informed consent tidak boleh dilakukan.

      Setelah operasi selesai, dokter bisa menginformasikan penemuannya selama prosedur tadi pada pasien, melakukan investigasi lebih lanjut, dan bersama-sama dengan pasien menentukan terapi selanjutnya. Semoga cukup menjawab ya. Terima kasih

      Diana Teresa (41170147)

      Hapus
  42. Artikel yang menarik.
    Saya Anathasya A.M NIM 41170106 bertanya apa peran MKEK dan MKDI dalam kasus ini? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaannya, Astrit. MKEK adalah Majelis Kehormatan Etika Kedokteran yang mengatur Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) adalah salah satu unsur Pimpinan dalam struktur kepengurusan IDI di setiap tingkatan, bersifat otonom dan berperan serta bertanggung jawab dalam pembinaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etika kedokteran termasuk perbuatan anggota yang melanggar, sedangkan MKDI adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Indonesian Medical Disciplinary Board) lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan sanksi. Sehingga dapat disimpulkan yang berperan pada kasus ini adalah MKDI karena sudah merujuk ke ranah malpraktik dan hukum karena pada Perkonsil no. 3 tahun 2011 menetapkan MKDI berfungsi sebagai penegak disiplin profesional dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. (source: PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA DAN MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN DI TINGKAT PROVINSI)

      Cornelia Rivanda B- 41170146

      Hapus
  43. Menurut saya, artikel di atas mengandung isi yang sangat bermanfaat. Teman-teman calon dokter sangat mampu menjelaskan secara baik mengenai pentingnya pelayanan dan penanganan profesional kepada pasien melalui kasus yang diangkat. Penjelasan nya diperkuat pula dengan undang-undang dan norma kesehatan yang berhubungan dengan kasus tersebut. Saya rasa, teman-teman juga sukses mengajak pembaca untuk ikut berfikir mengenai hal yang dituangkan ke dalam artikel ini. Artikel di atas memiliki penyampaian isi maksud yang jelas bagi pembaca, khususnya bagi saya sendiri.
    Semoga selalu sukses!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah membaca artikel kami, semoga bermanfaat, sukses selalu.

      Hapus
  44. Terimakasih sudah menyusun artikel seperti diatas dengan baik. Saya ingin bertanya apakah dalam kasus ini sendiri ada peran dari lembaga kesehatan di Singapura? ( semisal kalau di Indo ada IDI ). Mungkin itu saja. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah membaca artikel kami dan sudah bertanya. Saya Carolina Devi Santi M-41170122 mencoba untuk menjawab pertanyaan.
      Di Singapura terdapat Singapore Medical Council yang merupakan badan hukum yang ada di bawah Kementrian Kesehatan di Singapura. SMC mengeluarkan kode etik-kode etik yang berguna sebagain pegangan untuk seluruh dokter di Singapura yang memuat hak kewajiban dokter serta pasien. Jika terdapat masalah seperti kasus diatas, maka Complains Committe dari SMC akan melakukan penyelidikan awal terhadap aduan pasien. Lalu Complains Committe SMC memerintahkan bahwa dokter tersebut diberi surat peringatan, serta memerintahakn dokter tersebut menerima saran sehubung dengan manajemen praktik medisnya dari orang-orang yang disarankan oleh Complains Committe SMC.
      Complains Committe SMC juga dapat merekomendasikan pada dokter dan pasien untuk melakukan mediasi, melakukan penyelidisikan formal, serta pemeriksaan kesehatan pada dokter yang bersangkutan jika dirasa perlu.

      Semoga sudah menjawab pertanyaan.

      Hapus
  45. Kasus yg menarik untuk dijadikan artikel, saya ingin bertanya
    Menurut teman - teman ,apakah rumah sakit yang menjadi tempat pasien di operasi pantas untuk di berikan tindakan atau tidak ? mengapa ?

    Trimakasih
    Youlla Anjelina (41170153)
    Youlla Anjelina

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya! Saya mau coba izin menjawab, ya..
      Kebetulan di sumber yang kami baca, tidak terlalu dijelaskan secara spesifik apakah terdapat campur tangan dari rumah sakit tempat dr. Jen praktik dengan kasus ini, sehingga tidak begitu jelas apakah rumah sakit tersebut patut diberi tindak karena turut melakukan pelanggaran atau tidak. Namun, apabila mengutip dari Permenkes RI No. 4 Tahun 2018, Pasal 2 ayat (1) tentang Kewajiban Rumah sakit, dimana salah dua poinnya mengatakan bahwa, Rumah Sakit berkewajiban untuk memberikan informasi tentang pelayanan terkait Rumah Sakit dan informasi yang berkaitan dengan pelayanan medis pasien (termasuk diagnosis, tata cara tindak medis, terapi, kemungkinan resiko dan komplikasi serta alternatif, dan informed consent.), dan informasi tersebut harus diberikan dengan benar, jelas, dan jujur kepada pasien. Sehingga dilihat dari isian ayat tersebut, rumah sakit tempat dr. Jen melakukan praktik tersebut pun harus diberikan tindak karena melanggar hukum akan kewajibannya, yaitu tidak menginformasikan keadaan dan pelayanan medis pasien yang diberlakukan.
      Semoga cukup menjawab pertanyaannya ya, terimakasih! ♥️

      Meliana Julistiani - 41170117

      Hapus
  46. Halo, kelompok 3. Artikelnya sangat menarik dan komunikatif.

    Nindya Stephanie Christina ( 41170185 )

    Saya ingin bertanya, apabila dalam tindakan prosedur operasi terjadi hal yang tidak diinginkan yang memaksa seorang dokter untuk melakukan tindakan yang tidak termasuk dalam form inform consent untuk menyelamatkan pasien, dan tindakan tersebut gagal, apakah haal tersebut termasuk malpraktek? Karena dokter juga tidak memberitahukannya dalam inform consent dan tindakaan tersebut juga gagal.
    Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Nindya untuk pertanyaanya, saya akan mencoba menjawab. Apabila dokter melakukan suatu tindakan yang tidak termasuk didalam informed consent dan keadaaan saat dokter melakukan tindakan tersebut tidak masuk dalam keadaan gawat darurat maka hal tersebut termasuk dalam malpraktik. Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Permenkes No 290 Tahun 2008 tentang Pesetujuan Tindakan Medis Kedokteran dikatakan bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”. Sehingga apabila saat operasi terdapat keadaan mendesak/ gawat darurat dokter boleh mengambil tindakan yang tidak termasuk dalam inform consent untuk menyelamatkan pasien.

      Terimakasih Nindya, semoga menjawab ya :)
      Nathania Dhestia Putri (41170132)

      Hapus
    2. Sumber : Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Medis Kedokteran

      Hapus
  47. Artikelnya bagus sekali, sangat terstruktur dan mudah untuk dipahami.
    Izin bertanya, tdi sya baca di ringkasan kasus dikatakan bahwa ketika akan menandatangani form inform consent, dr. Jen tdk ada di tempat malah dr. Jen hadir ketika sudah di ruang op saja. Pertanyaan saya adalah, bagaimna sbenarnya alur dari pemberian inform consent ini? Apakah boleh ketika pengisian form inform consent ini dapat diwakili oleh petugas medis lain? Karena spt yg kita ketahui bahwa dlm form inform consent sendiri dibutuhkan ttd dokter (sbg pelaksana tindakan) yg memberi inform consent. Dan juga, apakah form inform consent ttp dikatakan valid bila tdk tertera jenis tindakan apa yg disetujui dlm form tsb? Terima kasih

    Dewianti Paluta P (41170114)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk pertanyaannya, izin mencoba menjawab.
      Untuk alur dari pemberian informed consent ini sendiri diawali dengan pasien umum yaitu pasien datang sendiri atau dengan keluarga pasien untuk dilakukan pemeriksaan oleh petugas. Kemudian dokter atau perawat melakukan anamnesa, jika pasien tersebut gawat dan harus dilakukan tindakan operasi maka dokter akan menjelaskan prosedur dan informasi apa saja yang nantinya akan dilakukan pada saat dilakukannya tindakan operasi, dokter yang melakukan tindakan medik bertanggung jawab memberikan informasi dan penjelasan. Apabila berhalangan dapat diwakilkan kepada dokter jaga UGD atas perintah Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) dengan sepengetahuan pasien yang bersangkutan. kemudian pasien atau keluarga pasien wajib mengisi dengan lengkap identitas dan menandatangani formulir surat pernyataan (Informed Consent) yang bermaterai.
      Menurut keputusan KKI Nomor 18/KKI/KEP/ IX/2006 tertanggal 21 September 2006 peraturan Konsil kedokteran Indonesia (KKI) tentang Manual Persetujuan Tindakan Medis yang berkaitan dengan jenis informasi yang akan dilakukan terhadap pasien dengan mengacu kepada kepustakaan, KKI melalui buku manual ini memberikan 11 kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien yaitu:
      1. Diagnosis dan prognosis secara rinci apabila tidak diobati.
      2. Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) termasuk pilihan pengobatan sebelum dilakukan pengobatan.
      3. Tujuan dari rencana pemeriksaan dan pengobatan; rincian dari prosedur atau Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Oktober 2014 90 pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan, bagaimana pasien harus mempersiapkan diri, rincian apa yang dialami pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa terjadi dan yang serius.
      4. Untuk setiap tindakan, diperlukan keterangan tentang kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi tentang kemungkinan resiko yang serius atau sering terjadi dan perubahan gaya hidup. sebagai akibat dari tindakan tersebut.
      5. Nyatakan bila tindakan tersebut masih eksperimental.
      6. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor atau dinilai kembali.
      7. Nama dokter yang bertanggung jawab secara keseluruhan untuk pengobatan tersebut.
      8. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka sebaiknya dijelaskan perananannya didalam rangkaian tindakan yang akan dilakukan.
      9. Mengingat kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap waktu.
      10. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain.
      11. Bila memungkinakan, juga diberitahu tentang perincian biaya.
      Terima kasih semoga menjawab.
      Sumber : Tertera, selengkapnya bisa diakses SINGAPORE MEDICAL COUNCIL: Handbook of Medical Ethics, 2016
      Undang-Undang‌ ‌Nomor‌ ‌29‌ ‌Tahun‌ ‌2004‌ ‌Tentang‌ ‌Praktik‌ ‌Kedokteran‌ ‌Paragraf‌ ‌2‌ ‌Pasal‌ ‌45‌ ‌
      Peraturan‌ ‌Konsil‌ ‌kedokteran‌ ‌Indonesia‌ ‌(KKI)‌ ‌tentang‌ ‌Manual‌ ‌Persetujuan‌ ‌Tindakan‌ ‌Medis‌ ‌
      I Gusti Ngurah Bagus Sulaksana Putra - 41170142

      Hapus
  48. Artikelnya sangat menarik dan informatif serta mudah untuk dipahami.
    Saya ingin bertanya. Dalam kasus tersebut sepemahaman saya, dr.Jen awalnya tidak berniat untuk melakukan pengangkatan ovarium, namun setelah melihat kondisinya saat operasi, dr, Jen akhirnya memutuskan untuk mengankat ovarium beserta tuba falllopi pasien tersebut. Yang ingin saya tanyakan adalah, apa yang seharusnya seorang dokter lakukan apabila berada di posisi dr,Jen? apakah perlu menunda operasi dan memberikan IC yang baru, atau tetap melakukan oprasi sesuai persetujuan awal yang hanya mengangkat massanya saja? Terimakasih.

    Arike Trivena_41170109

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih untuk pertanyaannya

      Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan wajib mendapat persetujuan dari pasien, dan tindakan harus di lakukan sesuai Informed consent yang telah di tandatangani pasien ataupun wali yang mewakili pasien dan form ic harus berisi sejelas-jelasnya tentang tindakan yang dilakukan. Dari kasus dokter Jen ini, dokter Jen langsung mengambil tindakan pengambilan tuba ovarii tanpa pemberitahuan ataupun persetujuan dari pasien maupun wali pasien tersebut yang tentunya itu menjadi permasalahan yang berujung pada malpraktik. Oleh karena itu tindakan yang harusnya dilakukan dokter Jen adalah memberikan tindakan yang sesuai dengan form IC yang sudah diberikan, jika memang keadaan sangat darurat dan harus di lakukan pengambilan ovarium secara bersamaan dengan tuba ovarii seharusnya dokter Jen meminta persetujuan atau IC kepada pasien ataupun wali pasien terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan.

      Sumber
      •UU no 29 thn 2004 ttg praktik kedokteran
      •PMK no. 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran
      (Videl. Christin.D Kwando-41170169)

      Hapus
  49. Topik artikelnya sangat menarik dan jelas, menammbah wawasan juga. ingin bertanya mengenai topik tersebut, apabila adanya dokter yang salah mendiagnosa keadaan pasien, dan membuat penyakitnya tidak ditangani secara tepat, apakah hal tersebut termasuk dalam malpraktik ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaannya. jadi, kesalahan dalam mendiagnosa pasien tidak selalu salah dokter karena pasien bisa saja tidak memberikan informasi selengkap-lengkapnya atau justru berbohong sehingga kesalahan diagnosa pasti akan terjadi. setelah itu penanganan pasti berbeda dan penyakit tidak kunjung sembuh akibat kesalahan diagnosa itu tadi maka hal tersebut tidak dikatakan malpraktik. Sesuai dengan kasus diatas adapun syarat dikatakan malpraktik adalah saat adanya pelanggaran kewajiban dokter terhadap pasiennya misalnya tidak melaksankan kewajiban profesional seorang dokter seperti tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat apa yang dilakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situasi dan kondisi yang sama tidak meminta persetujuan pasien sebelum melakukan suatu tindakan medik dan menjanjikan hasil tindakan medik pelayanan kedokteran yang kenyataannya tidak sesuai dengan perjanjian, yang dimana dari awal dokter memang tidak boleh menjanjikan sesuatu terutama kesembuhan. Kesembuhan dan keselamatan ada di tangan Tuhan maka dokter tidak bisa berjanji pasti berhasil sekalipun prosedur sudah sering dilakukan. Selain itu, Sebagai akibat pelanggaran kewajiban timbul kerugian terhadap pasien, kerugian yang dimaksud disini terjadi karena adanya kesalahan profesional bukan karena resiko suatu tindakan medik. Serta segala tindakan dokter yang jelas melanggar hukum,melanggar kepatutan,melanggar kesusilaan,melanggar prinsip-prinsip profesionalitas.
      Sumber : HM. Soedjatmiko, 2001 Masalah Hukum Medik Dalam Malpraktek Yuridis, dalam kumpulan makalah seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran RSUD dr. Syaiful Anwar Malang.
      (Elsa Wijaya P_41170135)

      Hapus
  50. Artikel yang menambah wawasan. Saya penasaran kriteria tindakan apa yang dilakukan sehingga tindakan itu di sebut sebagai sebuah malpraktik?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk pertanyaannya. Jadi, pengertian malpraktik sendiri yaitu suatu tindakan medik buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Secara umum, malpraktik medis meliputi tindakan-tindakan seperti:
      1) Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
      2) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban
      3) Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan
      Dalam kasus ini, dr. Jen melakukan prosedur pembedahan pengangkatan ovarium tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari pasien, dimana pada persetujuan awal dengan pasien seharusnya dr. Jen hanya mengangkat massa yang ada pada ovarium pasien. Selain itu, dr. Jen melakukan prosedur pengangkatan ovarium tanpa melakukan evaluasi lebih lanjut terlebih dahulu serta memastikan apakah massa tersebut bersifat jinak atau ganas. Hal-hal inilah yang menyebabkan tindakan dr. Jen termasuk dalam tindakan malpraktik.

      Neysa Bella H (41170126)

      Hapus
  51. artikelnya menarik! mau nanya dari kasus tersebut , seandainya prosedur yang dilakukan dr jen itu hasilnya bukan jinak tapi memang ganas, apa yg akan terjdi pada dr jen? Apakah tetap salah atau dapat dijadikan sebuah bukti untuk pembelaan? Trimakasih yaa ! :) godbless

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk pertanyaannya. Jika hasil yang didapatkan bersifat ganas tindakan yang dr. Jen lakukan tetap dikatakan salah karena tidak mengikuti prosedur dan melanggar aturan. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan, dan persetujuan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. Penjelasan yang diberikan dokter mencakup ; diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, tujuan tindakan, alternatif tindakan dan risiko, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis, dan perkiraan pembiayaan. Tetapi pada kasus ini pasien tidak mendapatkan penjelasan dari dokter jen selain pengangkatan masa tersebut.
      semoga bermanfaat :)
      (Krisentia Yahya_41170141)

      Hapus
  52. Mary Rose (41170145)4 Juni 2020 pukul 11.33

    Artikelnya sangat menarik! Disampaikan dalam artikel bahwa "selembar kertas yang ditandatangani" tidak cukup untuk menunjukkan adanya persetujuan. Menurut peraturan yang ada atau menurut teman-teman sendiri, informasi dan persetujuan apa saja yang harus ada didalam sebuah inform consent? Apakah terdapat peraturan yang khusus mengatur tentang pembuatan inform consent? Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapan serta pertanyaannya.

      “Selembar kertas yang ditandatangani tidak cukup untuk menunjukkkan suatu persetujuan”, kalimat ini memang cukup sulit dimengerti, akan tetapi perlu ditelaah kembali landasan atau dasar dari sebuah informed consent. Terdapat 2 bentuk informed consent, yakni dalam bentuk expresion (dapat secara lisan dan tertulis) maupun dalam bentuk implied (penyampaian tersirat tanpa pernyataan tegas). Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses “komunikasi” antara dokter dengan pasien mengenai kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien. Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis “hanya” merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Berkaca dari kasus dr. Jen, kondisi dimana pasien melakukan tandatangan informed consent tidak disertai dengan komunikasi efektif antara dokter dan pasien, hal inilah yang menyebabkan pernyataan bahwa selembar informed consent tidak cukup apabila tidak disertai dengan pendampingan dokter dalam memberikan penjelasan informed consent secara terperinci.

      Dalam informed consent disepakati empat elemen dasar untuk diskusi: pembuat keputusan harus memiliki kemampuan membuat keputusan, dokter harus menyampaikan rincian yang cukup untuk pembuat keputusan, pembuat keputusan harus menunjukkan pemahamannya dan pembuat keputusan harus secara bebas menetapkan pengobatannya. Kemudian dalam praktiknya, keempat elemen tersebut diterjemahkan dalam lima komponen di diskusi: diagnosis, pengobatan yang diusulkan, risiko dan manfaat pengobatan, pengobatan alternatif beserta risiko dan manfaat, dan risiko dan manfaat dari menolak pengobatan.

      Ada beberapa peraturan khusus yang mengatur tentang pembuatan informed consent :
      - Permenkes RI Nomor 585/MEN.KES/PER/X/1989
      - Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88
      - Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008
      - Undang-Undang No 29 Tahun 2009 Tentang Praktek Kedokteran, pada paragraf 2 pasal 45 ayat (1) sampai (6).
      - UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009
      - dll

      sumber :
      - Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88
      - Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008
      - Guwandi, J. Informed Consent & Informed Refusal, Jakarta: Fak. Kedokteran UI, 2006
      - Hermien Hadijati Koeswadji. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan
      Hukum Dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti,
      Bandung

      Hapus
    2. maaf saya lupa mencantumkan identitas jawaban diatas,
      - Daniel Eka Raenata 41170170-

      Hapus
  53. Yofani Wahyu Perdana_41170199
    Terima kasih untuk artikel dan penjelasannya kelompok 3, disini saya akan bertanya terkait dengan peran dari komite medik, dikatakan diatas bahwa salah satunya peran dari komite medik adalah membuat audit medis. Menurut kelompok 3 sendiri apabila kasus serupa terjadi di Indonesia apakah audit medis ini merupakan salah satu upaya yang sudah paling baik untuk mencegah terulang kembali kasus malpraktik tersebut, jika tidak apakah ada option lagi yang bisa dilakukan komite medik ataupun bidang lain yang ada sangkut pautnya dengan rumah sakit? Terima Kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya! Saya izin menjawab, ya..
      Menurut kami, apabila kasus serupa terjadi di Indonesia, audit medis yang dilaksanakan oleh komite medik merupakan upaya terbaik yang dapat dilakukan. Mengingat salah satu tujuan dari audit medis pada Kepmenkes RI No 496 Tahun 2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, adalah melakukan tinjau ulang dan evaluasi akan mutu pelayanan medis dengan cara pembahasan dan analisa kasus yang salah satunya melibatkan bagian rekam medis. Pada kasus ini, apabila dilakukan pembahasan dan analisa, dan kemudian diketahui bahwa perilaku yang dilakukan oleh dokter merupakan salah satu bentuk dari malpraktik, maka akan dilakukan tindakan korektif dan rencana re-audit di masa depan agar tidak ada kejadian serupa terulang kembali. Karena malpraktik sendiri akan menyebabkan penurunan mutu dari pelayanan medis, karena tidak melaksanakan profesinya sesuai standar dan menyalahi etika dan hukum kedokteran, salah satunya yaitu mengenai prinsip autonomi milik pasien dan hak pasien akan informasi terkait pelayanan medis.
      Semoga cukup menjawab pertanyaannya, terimakasih!

      Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI No 496 Tahun 2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit

      Meliana Julistiani - 41170117

      Hapus
  54. Choya Alvis Chenarchgo_41170166
    Terima kasih untuk artikelnya dan penjelasannya kelompok 3, saya ingin bertanya terkait hukuman apa yang didapatkan pada dr Jen sesuai dengan undang-undang yang ada di negara Singapore?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaannya….Ijin menjawab
      Untuk sanksi dan hukuman yang diberikan akibat perlakuan dari dr. Jen adalah dr.Jen dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Kedisiplinan Dewan Medis Singapore atas 2 dakwaan yakni dr Jen menganjurkan pasien untuk melakukan operasi pengangkatan massa panggul tanpa melakukan evaluasi dan investigasi lebih lanjut terkait kondisi pasien dan dr. Jen juga melakukan tindakan Ooforektomi kiri pada pasien tanpa memperoleh persetujuan pasien.
      Sehingga SMC DT (Singapore Medical Council Disciplinary Tribunal) memerintahkan agar dr. Jen membayar denda $ 10.000 dan ditangguhkan selama 8 bulan, selain itu dr. Jen juga harus membuat pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa ia tidak akan mengulang perbuatan serupa.
      Terimakasih…..Fehren Kurnia Brylian-41160044

      Hapus
  55. Choya Alvis Chenarchgo_41170166
    saya ingin bertanya lagi mengenai tindakan, sejauh mana suatu tindakan disebut tindakan malpraktik, dan sejauh mana bisa kita mengatakan tindakan emergency yang ditemukan saat operasi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih untuk pertanyaaanya Choya
      Dilihat dari definisi nya sendiri malpraktik artinya menjalankan suatu pekerjaan yang kualitasnya buruk, tidak lege arti dan tidak tepat. didalam dunia medis malpraktik dapat terjadi ketika
      1. dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan kedokteran dan keterampilan yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran
      2. dokter memberikan pelayanan medis di bawah standar
      3. dokter melakukan kelalaian berat atau kurang hati-hati yang mencakup melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang seharusnya dilakukan.
      4. melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
      untuk itu seorang dokter wajib memberikan tindakan atau layanan sesuai dengan standar profesi, standar etika dan standar layanan medis untuk meminimalisirkan tindakan malpraktik yang akan terjadi.
      saat sebelum operasi (bukan operasi darurat ) kita akan meminta informed consent pasien untuk setiap tindakan yang mungkin terjadi selama operasi, dan ketika operasi pun kita harus melakukan sesuai apa yang sudah menjadi kesepakatan awal tadi. jika kemudian ada tindakan darurat yang perlu kita lakukan berkaitan dengan tindakan yang menjadi tujuan operasi maka tidak bisa dianggap sebagai malpraktik misal ketika ada perdarahan kemudian kita melakukan transfusi, tetapi ketika selama operasi kita melakukan tindakan yang tidaks sesuai dengan kesepakatan awal maka itu termasuk tindakan malpraktik, seperti pada contoh kasus, mereka sepakat untuk mengambil tumor bukan mengambil ovarium. setelah tindakan operasi semua selesai dokter wajib menjelaskan apa saja yang terjadi didalam ruang operasi.
      sumber : buku etika kedokteran dan hukum kesehatan
      brenda m rustam 41170167

      Hapus
  56. Terimakasih atas pemaparan materi yang edukatif ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih atas kunjungan dan tanggapannya di laman kami, Dian. Semoga bermanfaat.

      Hapus
    2. Terimakasih semoga bermanfaat yaa

      Hapus
  57. Informasi yang menarik. Jadi lebih mudah memahami kasusnya karena kronologisnya dijabarkan diatas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat.

      Hapus
    2. terimakasih atas kunjungannya, Mesak. Semoga bermanfaat.

      Hapus
  58. selamat malam saya sulistyo 41170189 ingin bertanya terkait proses inform consent, sebenarnya siapa saja yang berhak meminta IC pasien dan siapa saja yang berhak menerima form IC pasien tersebut?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaannya mas Sulistyo dari Wates. Saya coba untuk menjawab ya.
      Terkait Informed Consent perlu ditinjau kembali definisinya, menurut Permenkes no 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (untuk selanjutnya disebut sebagai Permenkes PTK), Pasal 1 ayat (1): yang dimaksud dengan Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilaklukan terhadap pasien.

      Jadi yang berhak meminta yakni dokter yang hendak melakukan tindakan terhadap diri pasien tersebut. Seorang dokter dapat memberikan wewenang akan informed consent kepada perawat, dengan catatan dokter dapat memastikan bahwa perawat tersebut benar-benar memahami akan informasi medis yang hendak disampaikan.

      Sedangkan pihak yang berhak menerima informed consent sendiri pastinya ialah pasien dan keluarga pasien. Selain itu, dokter penanggung jawab pasien beserta rumah sakit juga memiliki hak yang sama dalam menerima informed consent tersebut, mengingat bahwasannya informed consent akan digunakan sebagai rekam medis pasien pada rumah sakit yang dimaksudkan.

      Sekian jawaban dari saya, semoga dapat menjawab pertanyaan mas Sulis, terimakasih
      - Daniel Eka Raenata 41170170-

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  59. Natasha Vanya M H_41170196
    kasus yang sangat bagus dan mudah dipahami , ijin bertanya
    Dalam kasus malpraktik ini, dikatakan apabila di singapura memungkinkan direkomendasikan beberapa tindakan ; seperti mediasi ,penyelidikan formal , dan pemeriksaan Kesehatan . pada saat apa saja tindakan ini diperlukan untuk dilakukan adakah apa yang menjadi pembatas/tolak ukur keadaan untuk tindakan yang saya sebutkan diatas untuk dilakukan apabila ada yang melakukan malpraktik?
    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk pertanyaannya...
      Untuk proses mediasi sendiri biasanya dilakukan pada awal kasus dan merupakan proses penyelesaian awal yang wajib diikuti oleh para pihak atas perkara yang telah diadukan. Upaya mediasi ini dilakukan sebagai langkah awal untuk merundingkan dan memperoleh kesepakatan kedua belah pihak yang dibantu oleh seorang mediator. Jadi, sebelum sebuah perkara dilanjutkan ke tingkat pengadilan maupun diangkat ke penyelidikan lanjutan, mediasi merupakan hal yang wajib diupayakan terlebih dahulu sekiranya kedua belah pihak dapat menempuh jalur damai.
      Terima kasih, semoga menjawab :)

      Hapus
  60. Sangat menarik analisis kasus malpraktek ini, yang menandakan negara maju dan dokter yang sering diminati(Orang indonesia sering ke singapur berobat) bisa keliru pun...

    Saya ingin bertanya: jika kasus ini terjadi di indonesia, apakah konsekuensi denda dan ? Apakah perbedaan kode etik mengenai maltpraktek dokter, pada kasus informed consent, kurangnya evaluasi/maldiagnosis seperti ini? (mungkin ada kasus yang serupa di Indonesia yang bisa diberi contoh)?

    Terima Kasih, salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya. Untuk kasus diatas, semisal terjadi di Indonesia tentu saja terdapat adanya konsekuensi. Sesuai Peraturan Konsil Kedokteran No 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter sesuai dengan kasus diatas, dokter tersebut telah melanggar karena tidak melakukan tindakan atau asuhan medis sesuai dengan kebutuhan pasien dan tidak jujur dalam memberitahukan penanganan yang diberikan sehingga mengakibatkan kerugian pasien. Dari peraturan yang dilanggar, dapat menjadi acuan bagi Komite Medis sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit yang mempunyai wewenang untuk melakukan audit medis, apabila dari hasil audit medis tersebut dokter telah melakukan kesalahan disiplin ilmu kedokteran, maka memudahkan penegak hukum untuk menentukan kesalahan sesuai ajaran hukum pidana. Jika seorang dokter melakukan kesalahan berupa malpraktik, maka rumah sakit akan terkena imbasnya. Sebuah rumah sakit dapat terlepas dari tanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang bekerja di rumah sakit, apabila ia terbukti tidak dapat mencegah perbuatan tersebut. Sesuai dengan paragraf terakhir pada Pasal 1367 KUHPerdata, yang secara jelas menyebutkan bahwa; rumah sakit dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya atas kesalahan atau kelalaian dokter bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pasien.
      Rumah Sakit juga terbebani hak dan kewajibannya menurut hukum atas tindakan yang dilakukan dokternya. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, sesuai dengan tingkat kesalahannya. Sanksi pidana terhadap rumah sakit, yang melakukan pelanggaran Undang-Undang Kesehatan ditetapkan pada Pasal 201 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu “ selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditetapkan terhadap perseorangan”. Selain pidana denda, termasuk rumah sakit, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum (Pasal 201 ayat (2). Selain itu juga, Hukum administrasi yang telah diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran menentukan sanksi administratif yang dapat dikenakan pada dokter adalah pencabutan surat izin praktik sementara atau tetap, dan pada pelanggaran berat berupa pencabutan surat tanda registrasi. Semoga cukup untuk menjawab pertanyaan diatas. Semoga bermanfaat, ya.
      - Gabriel Btara ( 41170163 )

      Hapus
  61. Izin bertanya. Menurut kalian untuk penyelesaian malpraktik tersebut lebih baik menggunakan jalur litigasi atau non litigasi? Beserta alesannya kenapa memilih jalur tersebut. Makasiiih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyannya. Berikut saya akan coba menjawab pertanyaan diatas. Ketentuan mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Perma 1/2016”). Menurut Pasal 1 angka 1 Perma 1/2016, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Kewajiban untuk melakukan mediasi sangat tegas diperintahkan oleh peraturan ini. Setiap hakim, mediator, para pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi.[2] Lebih lanjut, Pasal 17 ayat (1) Perma 1/2016 menegaskan bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh para pihak, hakim pemeriksa perkara mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Menurut terminologi hukum acara perdata, mediasi adalah proses penyelesaian awal yang wajib diikuti oleh para pihak atas perkara yang telah didaftar ke pengadilan. Sebelum hakim memeriksa perkara yang diajukan, majelis hakim mewajibkan para pihak yang berperkara untuk menempuh upaya mediasi terlebih dahulu. Berikut jawabannya. Semoga berkenan.

      Hapus
  62. Ulasan kasus yang sangat menarik.

    Saya ingin bertanya, bagaimanakah prosedur Informed Consent yang benar? Apakah pihak rumah sakit dapat mewakilkan penandatanganan Informed Consent selain dokter yang menangani? Terimakasih sebelumnya.

    Ivan Satrio Wicaksono (41170188)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah berkunjung dan bertanya, Ivan. Izin menjawab. Prosedur informed consent yang sudah dirumuskan detail baik dari UU maupun peraturan managemen lainnya dapat disimpulkan dengan poin-poin berikut:

      1. Anamnesis yang holistik dan membangun rasa kepercayaan antara dokter dan pasien.
      2. Dokter berkewajiban untuk menentukan diagnosis yang tepat melalui anamnesis dan pemeriksaan penunjang agar tidak terjadi kesalahan keputusan tatalaksana
      3. Jika diagnosis sudah ditegakkan, dokter berkewajiban untuk mengumpulkan beberapa alternatif tatalaksana yang sesuai
      4. Dokter memberikan penjelasan lengkap mengenai diagnosis, prognosis. Kemudian ada kelebihan dan kekurangan, biaya, komplikasi pada setiap alternatif prosedur. Tahap ini diharuskan pasien memahami betul setiap alternatifnya sehingga pasien bisa memilih sendiri tatalaksana yang akan dilakukan tenaga medis terhadap dirinya.
      5. Menyambung dari pertanyaan kedua dari Ivan, berdasarkan PMK No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran pasal 7, diharuskan informed consent berupa perjanjian tertulis antara dokter dengan pasien/ keluarga secara LANGSUNG, jadi artinya dalam hal ini dari anamnesis hingga perjanjian sah pasien harus berhadapan langsung dengan dokter yang akan melakukan tindakan.

      Sekian, semoga bermanfaat!

      Cornelia Rivanda B.(41170146)

      Hapus
  63. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  64. Terima kasih untuk artikelnya. Saya ingin bertanya, apakah jika kondisi pasien mengalami kegawat daruratan berhubungan dengan organ reproduksinya yang dapat mengancam nyawa saat itu juga tindakan pengangkatan ovarium dan tuba falopi yg dilakukan dr. Jen dapat dilakukan tanpa meminta IC dari pasien ataupun wali? Dan apakah dr. Jen yang tidak ada saat berlangsung penandatanganan IC juga bertentangan dengan hukum? karena menurut Permenkes No. 290 tahun 2008 pada pasal 10 dijelaskan bahwa yang dapat memberikan penjelasan IC adalah dokter, dokter gigi yang merawat pasien atau saat ada halangan dapat dilakukan oleh dokter atau dokter gigi lain yg lebih kompeten, dan tenaga kesehatan yang memiliki wewenang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gusti Ayu Agung Indra Sari P (41170152)

      Hapus
    2. Terima kasih Ira atas pertanyaannya, saya ingin coba menjawab. Pada kondisi darurat dan dapat mengancam nyawa pasien, yang utama bagi seorang dokter adalah keselamatan pasien. Sehingga walaupun belum ada informed consent atau mungkin wali/keluarga sedang sulit untuk dihubungi, dokter tetap bisa menangani kondisi emergensi tersebut dengan berdasarkan SOP yang sesuai. Baru nanti apabila kondisi emergensi sudah tertangani, dokter harus segera memberikan penjelasan secara jujur dan rinci serta membuat persetujuan kepada pasien dan/atau keluarganya. Hal tersebut diatur dalam UU no 29 tahun 2004 pasal 45 ayat 1 dan Perkonsil no 4 tahun 2011 poin 9(e). Namun pada kasus dr Jen ini, tidak disebutkan bahwa pasien dalam kondisi darurat. Pengangkatan ovarium dan tuba falopi tidak dilakukan investigasi terlebih dahulu ditambah dengan hasil pemeriksaan setelahnya yang menyatakan bahwa kondisi tersebut tidak berbahaya, menyebabkan tindakan dr Jen disini merupakan suatu kesalahan karena melanggar PMK no 290 tahun 2008 pasal 12(1) yang berbunyi “perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.”
      Untuk pertanyaan kedua, benar sekali bahwa dr Jen yang tidak hadir saat pasien menandatangani informed consent merupakan hal yang melanggar hukum salah satunya PMK no 290 tahun 2008 pasal 10 dimana penjelasan untuk mendapatkan persetujuan pasien harus diberikan secara langsung oleh dokter yang berwenang, dalam kasus ini adalah dr Jen. Sekian, semoga cukup puas dengan jawabannya. Terima kasih
      Sumber: UU no 29 tahun 2004, Perkonsil no 4 tahun 2011, PMK no 290 tahun 2008

      Diana Teresa (41170147)

      Hapus
  65. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  66. Terima Kasih untuk artikelnya yang bermanfaat.

    Saya ingin bertanya terkait tindakan dr Jen dimana mengangkat tumor yang masih jinak lalu diberi hukuman, tetapi mungkin dalam anggapan dr Jen siapa tahu tumor tersebut dapat berkembang menjadi ganas dan menyebar ke organ lain apakah pertimbangan seperti itu dapat meringankan beban hukuman dr Jen nantinya?

    Terima Kasih

    Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Yoga atas pertanyaannya , saya izin menjawab ya
      Untuk peristiwa diatas , dr Jen sendiri sedari awal tidak melakukan evaluasi secara khusus dan menyeluruh terhadap pasien dan hanya melakukan pemindaian transvaginal saja dan langsung meminta tindakan operasi pada pasien , tentu hal ini dianggan tidak benar dan tidak mendapatkan keringanan hukum dikarenakan harusnya dr.Jen melakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu terhadap benjolan yang dialami pasien sehingga dr.Jen disini harus benar-benar yakin benjolan ini ganas atau jinak hingga perlu tindakan operasi.
      Semoga menjawab pertanyaannya ya.
      Terimakasih.

      Lucia Vini P Rodja_41170158

      Hapus
  67. Terimakasih telah mengangkat artikel ini, artikel yang sangat menarik, saya ingin bertanya bagaimana inform consent diberikan tanpa didampingi oleh dokter yang bersangkutan?, dan sebelum melakukan operasi pasien telah melakukan pemeriksaan dan sudah berbicara tentang prosedur selanjutnya, apakah ada sisi kelalaian kewajiban dari pasien ?

    Thomas Carel (41170113)

    BalasHapus
  68. Terima kasih infonya sangat bermanfaat. "Pada kronologi kasus poin ke 15 disebutkan bahwa dr. Jen tidak mendokumentasikan rincian operasi yang disarankan dan pengambilan persetujuan. Maka hal tersebut melanggar SMC 2016 poin B3 ini" berdasarkan pernyataan tersebut bagaimana intervensi hukum yg dapat diberatkan pada dr. Jen sesuai undang -undang yg ada . Tks

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS ETIKA KELOMPOK 6 - KASUS ABORSI

TUGAS ETIKA KELOMPOK 5 - PEMALSUAN DIAGNOSA REKAM MEDIS

KASUS MALPRAKTIK KELOMPOK 1 - MALPRAKTIK PADA SITI CHOMSATUN - TIROIDEKTOMI BERUJUNG SESAK NAFAS