TUGAS ETIKA KELOMPOK 4 - EUTHANASIA

source image: m.kaskus.co.id

Disusun oleh :

Donnie Leonardo                                41170123
Iannugrah Pandung W                        41170124
Irene Melati Wicaksana                      41170127
Pande Komang Wahyu                       41170130
Aureliya Stefani Perangin                   41170133
Yeheskiel Matthew Axel                     41170140
Mary Rose Angelina                           41170145
Virgina Glory Brillianti                       41170151
Mesakh Malvin Wardhana                  41170192
Hendrikus Fajar Kesuma                    41170193
Brigita Suci Putri P                             41170197
Jessica Chandra Santoso                     41170198
Yofani Wahyu Perdana                       41170199
Anastasia Aprilia Tumbol                   41170202
Stanley Lovell Hanson                       41170207
Trystan Josef Ticoalu                          41170210



BAB I
PENDAHULUAN

Terdapat berbagai macam permasalahan terkait dengan etika. Salah satu masalah etika yang akan dibahas dalam artikel ini adalah mengenai euthanasia. Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos, kata tersebut terbagi menjadi dua yaitu Eu dan tanathos. Eu berarti baik, tanpa penderitaan sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian, euthanasia dapat diartikan sebagai kematian tanpa adanya penderitaan, atau ada juga yang mengartikan sebagai mati dalam waktu cepat tanpa adanya penderitaan. Salah satu negara di Eropa yang maju dalam ilmu pengetahuan hukum Kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai rumusan yang dibuat oleh Eutanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) yang mengatakan, “Eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.”
Kasus Euthanasia seringkali memunculkan permasalahan atau perdebatan dalam etika kedokteran, mengingat bahwa kewajiban seorang dokter ialah memastikan kondisi pasien dalam keadaan baik dan berperan untuk menyembuhkan pasien. Euthanasia dapat dilakukan atas permintaan keluarga maupun permintaan pasien yang bersangkutan. Dalam hal ini euthanasia dikatakan tidak tepat karena kondisi pasien yang seharusnya masih bisa dirawat dan diselamatkan nyawanya akan tetapi karena pihak keluarga pasien yang merasa terbebani dalam merawat pasien atau penderitaan yang dirasakan oleh pasien sendiri karena suatu penyakit, hal inilah yang mencetuskan terbentuknya istilah euthanasia yang berarti melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau dengan istilah lain yaitu mati secara baik.
    Berdasarkan cara pelaksanaannya, euthanasia dibagi menjadi dua jenis :
1.      Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut
segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup
manusia.
2.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui
intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.
Salah satu bentuk euthanasia pasif ialah DNR atau Do Not Resuscitate, merupakan euthanasia pasif yang diajukan pasien untuk tidak memberikan pertolongan pada kasus henti jantung, oleh karena itu makalah ini dibuat dengan tujuan :
1.      Dapat mengetahui pengertian dari euthanasia
2.      Dapat mengetahui kewajiban dokter serta hak pasien terkait dengan euthanasia
3.      Dapat mengetahui gambaran kasus mengenai euthanasia
4.      Dapat mengetahui pelanggaran etika dan moral terkait dengan kasus euthanasia
5.     Dapat mengetahui gambaran hukum yang mengatur euthanasia baik di Indonesia maupun di Amerika
Dengan membahas kasus euthanasia ini, diharapkan untuk masa yang akan datang dokter lebih mengerti mengenai euthanasia dan mampu memberi keputusan tentang apa yang harus dilakukan apabila menemukan kasus serupa.


BAB II
RINGKASAN KASUS

Pada tanggal 30 November tahun 2017 New England Journal of Medicine mempublikasikan sebuah artikel mengenai kasus medis yang berkaitan dengan sisi etis kedokteran, yaitu mengenai tato DNR (Do Not Resuscitate). Kasus tersebut terjadi di Miami, Florida, Amerika Serikat, dimana ditemukan seorang pria yang tinggal di panti jompo dan berusia 70 tahun dalam keadaan tidak sadarkan diri di pinggir jalan dan diduga karena mengalami intoksikasi alkohol. Pasien kemudian dibawa ke ICU Rumah Sakit Jackson Memorial dan saat akan dilakukan resusitasi jantung paru (RJP), dokter dan perawat terkejut karena menemukan tato di dada pria tersebut yang bertuliskan “Do Not Resuscitate”. Selain itu, kata “not” pada tato juga digaris bawahi dan juga terdapat tanda tangan di dekat tato tersebut. Pasien tidak memiliki identitas yang jelas dan juga tidak ada teman atau keluarga yang ikut mengantar. Pasien memiliki riwayat penyakit  paru kronis dan diabetes mellitus, serta saat itu pasien mengalami syok septik karena terjadi infeksi yang kemudian menyebabkan kegagalan organ dan tekanan darah yang sangat rendah sehingga pasien mengalami atrium fibrilasi.
Dokter dan perawat bertanya-tanya apabila tato tersebut benar-benar merepresentasikan keinginan pasien dan apakah mereka harus menganggap tato tersebut secara serius karena beberapa orang beranggapan bahwa tato sering dibuat dalam keadaan tidak sadar atau mabuk dan seringkali merupakan keputusan yang kemudian disesali. Pernyataan tidak ingin diresusitasi juga secara formal seharusnya ditulis didalam sebuah kertas berwarna kuning yang sudah ditandatangani oleh dokter dan pasien atau wali pasien sebagai bukti pendukung. Tim medis kemudian memanggil dr. Gregory Holt yang merupakan spesialis paru untuk dimintai pendapat. Mereka sempat memutuskan untuk tetap melakukan resusitasi, namun mereka kemudian memberikan antibiotik empirik, cairan infus, serta memberikan perawatan Bilevel Positive Airway Pressure (BPAP) untuk membantu pasien dalam bernafas sambil memikirkan keputusan apa yang harus mereka ambil. Pada akhirnya tim medis termasuk dr. Gregory E. Holt, Bianca Sarmento, Daniel Kett, dan Kenneth W. Goodman memutuskan untuk menghargai tato tersebut dan tidak melakukan resusitasi pada pasien. Pasien tersebut kemudian meninggal keesokan harinya, dan setelah kejadian tersebut departemen sosial baru bisa mendapatkan berkas DNR resmi yang sudah dibuat serta ditandatangani oleh pasien tersebut.


BAB III
ANALISA

    A. Pencermatan fakta berupa kronologi yang menjadi kasus etika
    1. Pasien tidak diberikan pertolongan pertama berupa RJP/Resusitasi Jantung Paru terkait keadaannya yaitu mengalami atrium fibrilasi dan tidak sadarkan diri. Pasien tersebut kemudian meninggal keesokan harinya.
      Rujukan :
·       Kewajiban Dokter dalam Kode Etik Kesehatan
Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan Kesehatan. Kode Etik Kedokteran IDI tentang kewajiban dokter terhadap pasien :
Ø  Pasal 11 (Pelindung kehidupan) : Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani. Pasal ini mencakup dokter tidak boleh melakukan euthanasia dan harus melakukan segala kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup pasiennya, akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Ø  Pasal 17 : Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
·       Kode Etik Amerika
Dari segi advance care planing (perencanaan perawatan lebih lanjut), perawatan lebih lanjut harus dilibatkan minimal pasien, jika ada keluarga bisa dilibatkan. Dokter tidak boleh menentukan perawatan lebih lanjut jika pasien tidak menyetujuinya hal ini berbeda jika pasien tidak sadarkan diri dan tidak ada keluarga baru dokter boleh melakukan pengambilan keputusan sepihak. Dokter harus memberi edukasi kepada pasien yang mana pasien meminta “nyawanya dihilangkan” untuk merenung dan berpikir sejenak tentang nilai-nilai kehidupan pribadi pasien serta memperpaiki kualitas hidup dari pasien itu sendiri.
·     Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan eutanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh sungguh dihukum penjara selama lamanya 12 tahun penjara. 

2. Dokter dan perawat mempertanyakan tatto tersebut apakah hanya sebagai candaan yang dibuat ketika pasien sedang mabuk atau benar-benar mempunyai suatu makna dibaliknya.        
      Rujukan :
·       Filosofi moral etika kesehatan dijelaskan dalam Prinsip Dasar Etika Kesehatan sebagai berikut :
Autonomy  (self-determination) yaitu prinsip yang menghormati  hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination) dan merupakan kekuatan yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis. Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir secara logis dan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain.
·       Kode Etik Amerika
Dari Orders Not to Attempt Resuscitation (DNAR), dokter berkewajiban etis untuk menghormati otonomi pasien dan penentuan nasib sendiri mengharuskan dokter menghargai keputusan untuk menolak perawatan, bahkan ketika keputusan seperti itu akan mengakibatkan kematian pasien. Dokter juga tidak boleh mengarahkan pasien dengan menggiring opini pasien harus sesuai dengan dokter dan penilaian pribadi dokter menurut medis.

3. Riwayat-riwayat yang terdapat pada pasien termasuk penyakit yang dideritanya serta keadaan pasien dipublikasikan ke media.
     Rujukan :
·    Pasal 16 (Rahasia Jabatan) : Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia dimana dokter tidak boleh menyebarluaskan rahasia medis seorang pasien termasuk diagnosa dan pengobatan kepada masyarakat luas tanpa persetujuan pasien. Hal ini diperbolehkan atas dasar kepentingan tertentu dan seatas sepengetahuan pasien dalam dugaan perkara hokum pihak pasien telah secara sukarela menjelaskan sendiri diagnosis/pengobatan penyakitnya di media massa/elektronik/internet.
·       Filosofi moral etika kesehatan dijelaskan dalam Prinsip Dasar Etika Kesehatan
      Confidentiality ( kerahasiaan) :
Semua pihak termasuk institusi kesehatan harus menjaga semua kerahasiaan informasi yang bisa merugikan pasien atau masyarakat. Segala informasi tentang catatan kesehatan pasien hanya boleh dibaca dengan tujuan pengobatan pasien dan tidak seorang pun bisa menerima informasi tersebut terkecuali atas persetujuan pasien dengan bukti yang jelas. Diskusi tentang pasien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang pasien dengan tenaga kesehatan lain termasuk hal yang harus dihindari.

4. Identitas pasien tidak diketahui dengan jelas, sehingga dalam kasus ini keluarga pasien tidak ikut serta mengambil keputusan dalam hal penanganan yang dilakukan oleh tim medis.
      Rujukan : 
·     Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan Kedokteran. Pada peraturan ini mengharuskan setiap tindakan kedoketran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan dan dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat atau secara lisan berupa ucapan setuju atau bentuk gerakan mengangguk kepala sebagai ungkapan setuju.

·     Pada Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan dengan lugas dan tegas bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”. Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No.209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka berdasarkan KUH Perdata pasal 1354 tindakan medis tanpa izin pasien diperbolehkan. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya. dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.    

    5. Kondisi pasien yang tidak sadarkan diri bisa diatasi dengan RJP dan riwayat penyakit pasien berupa paru kronis dan DM bisa "dikontrol" dengan pengobatan, namun dokter tetap memutuskan untuk tidak melakukan resusitasi dan pengobatan lainnya.
      Rujukan:
·     Berdasarkan Argumentative Essay negara Yordania tentang Do Not Resuscitate (DNR) dari Clinical  Medical Biochemistry Vol.3 Issue.2 :
DNR dilakukan sebagai sebuah bentuk penghormatan terhadap kemanusiaan dimana hal ini dipercaya mengurangi rasa sengsara dari pasien dengan penyakit yang tidak dapat sembuh. DNR dikatakan merupakan perlakuan yang diberikan oleh dokter saat pasien yang merasa sudah tidak ada jalan keluar dari penyakit yang dialaminya.


B. Pencermatan nilai/norma etika yang dilanggar serta konsekuensi/risiko dari kemungkinan pilihan-pilihan tindakan

a. Pencermatan Nilai/Norma pada Kasus

1.     Kebijakan Rumah Sakit di Amerika Serikat
Do Not Resuscitate atau yang biasa disingkat dengan DNR, merupakan permintaan atau perintah pasien untuk tidak dilakukan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation). Hal ini dianggap sebagai hak otonomi pasien terhadap dirinya dan tenaga medis harus menghormati keputusan tersebut. Dilansir dalam Journal of General Internal Medicine yang berjudul Why Do Patients Agree to a “Do Not Resuscitate” or “Full Code”? Perspectives of Medical Inpatients oleh James Dwonar dkk, setelah melakukan wawancara terhadap sejumlah pasien yang memutuskan untuk DNR, dituliskan terdapat 3 faktor penyebebab pasien memutuskan hal tersebut, yaitu: (1) faktor pribadi yang mencerminkan gaya hidup dan status kesehatan, seperti menganggap dirinya sudah tidak berdaya sehingga berpikir untuk apa hidup; (2) faktor relasional terhadap keluarga atau masyarakat secara keseluruhan, seperti hubungan tidak baik dengan keluarga atau pandangan masyarakat terhadap dia jika ia sembuh dengan kondisi tertentu; (3) faktor filosofis yang mencerminkan apa yang menurut mereka “pantas”, seperti tidak menerima konsep “life support” atau menganggap kematian adalah hal yang mutlak dan harus berserah, “jika saya mati, ya saya mati”.
Beberapa negara memberi larangan DNR dengan asas keadilan bahwa tindakan pengobatan, seperti resusitasi jantung paru (RJP), harus dilakukan sama pada setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama. Selain itu, Inggris juga melarang DNR karena menganggap orang yang diberikan label DNR memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat penatalaksanaan yang layak. Di Indonesia sendiri belum ada peraturan yang mengatur mengenai DNR dan masih dianggap masuk dalam eutanasia. Di Amerika Serikat sendiri, dilansir dalam  AMA Journal of Ethics – Illuminating the Art of Medicine tahun 2003 yang berjudul Policy Proposal: Do Not Resuscitate Orders, A Call for Reform, menyatakan bahwa, DNR dapat diputuskan dengan kebijakan: (1) sebelum DNR ditulis atau ditetapkan, harus diadakan diskusi antara dokter yang merawat dengan pasien atau pembuat keputusan pengganti; (2) pasien tanpa keputusan dengan dokumen perencanaan awal untuk tidak dilakukan resusitasi yang valid, merupakan indikasi untuk permintaan penetapan DNR. Selain itu, beberapa tahun kemudian, ditambahkan satu kebijakan yang mempertimbangkan klausa kesia-siaan (futility), yaitu perintah DNR dapat dituliskan apakah pasien atau pengganti setuju, jika dua dokter menganggap bahwa upaya resusitasi sia-sia, dengan artian tidak akan mengembalikan fungsi jantung paru atau mencapai tujuan yang dinyatakan dari pasien yang sadar dan sudah setuju. Keputusan DNR akan ditetapkan dalam bentuk tertulis (resmi) dalam surat Durable Do Not Resuscitate Order, salah satu contohnya seperti formulir di Virginia Department of Health (gambar 1). Sehingga dapat disimpulkan bahwa di Amerika Serikat membenarkan dan menyetujui DNR dengan memegang prinsip otonomi atau hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri dengan syarat adanya surat pernyataan DNR yang resmi. Surat pernyataan tersebut harus dipastikan terlebih dahulu, karena dewasa ini, banyak pernyataan DNR yang sampaikan tidak resmi atau bukanlah keinginan pasien. Seperti dalam kasus ini, tato yang ada bisa saja dibuat saat pasien dalam keadaan mabuk atau terdapat adanya paksaan yang tidak membenarkan pernyataan tersebut. Dalam kasus ini, tindakan tenaga medis dianggap benar karena terdapat surat pernyataan resmi milik pasien meski diawal belum dipastikan dengan baik.
Selain itu, terdapat pedoman yang dikembangkan dan diperbaharui oleh dewan perhubung resusitasi international dan dewan resusitasi lokal, The American Heart Association (AHA), memberikan kriteria untuk menahan tidak memberikan CPR, yaitu : (1) Pasien memiliki bukti DNR yang valid; (2) Pasien memiliki tanda kematian yang tidak dapat diobati (rigor mortis, pemenggalan, dll); (3) Tidak ada keuntungan fisiologis yang bisa diharapkan karena fungsi vital memburuk meskipun terapi maksimal. (The American Heart Association,2020) Dengan kata lain Amerika memberi kebijakan pada seseorang untuk mengambil dan menentukan suatu keputusan namun tetap terikat pada hukum yang ada. Pedoman ini dipegang oleh hampir seluruh dokter di dunia.

       2.    Segi norma budaya
Di Amerika Serikat, sangat menjunjung tinggi hal mengenai kebebasan, salah satunya kebebasan dalam menentukan pilihan hidup. Dilansir dalam The New York Times yang berjudul When Are You Really an Adult? Tahun 2020, jika seseorang sudah berusia 21 tahun dan dirasa sudah dewasa mental untuk mengambil atau menentukan suatu keputusan maka mereka bebas menentukan apa yang akan dipilihnya, tentu masih terikat dengan hukum yang ada. DNR dianggap merupakan salah satu bentuk kebebasan memutuskan pilihan hidupnya dan dapat diterima selama terdapat surat pemutusan resmi/sah. Penerimaan keputusan DNR di Amerika Serikat berlandaskan anggapan bahwa tidak ada yang tahu apa yang sedang dialami seseorang. Ada kemungkinan seseorang lebih memilih DNR karena merasa apabila dilakukan CPR akan lebih menyusahkan dirinya .

       3.    Segi norma agama
DNR merupakan keputusan yang rumit oleh karena berkaitan dengan berbagai aspek dalam kehidupan yaitu etik, agama dan kepercayaan serta hukum. Keputusan tersebut diyakini menyangkut martabat manusia dimana hal ini sangat berkaitan erat dengan keyakinan dan agama yang dimiliki oleh seseorang. Jurnal “View of Main Religion of the World On ; Don’t Attempt Resuscitation Order (DNR)” membahas DNR menurut pandangan 3 agama terbesar dunia yakni Kristen , Islam dan Yahudi.
Pada Agama Kristen yang beraliran Katolik, perijinan dalam pemberian tatalaksana dapat dihentikan atau tidak dimulai apabila dapat menyebabkan penderitaan pada pasien. Namun, keputusan DNR merupakan keputusan yang mengarah pada bunuh diri / euthanasia.  Gereja Yesus Kristus Orang - Orang Zaman Akhir telah menerima DNR. Aliran Kristen Protestan berkeyakinan bahwa sekecil apapun harapan hidup yang dimiliki oleh seseorang, penghentian atau tidak dimulainya tindakan untuk menyelamatkan hidup adalah dilarang sehingga tindakan memperpanjang kehidupan harus tetap diberikan. “The Assemblies of God” yang merupakan denominasi pentakosta terbesar di Amerika Serikat menentang euthanasia. Denominasi tersebut mengajarkan bahwa hidup merupakan karunia yang sakral dan hanya Tuhan yang menentukan kapan kehidupan berakhir. Hal tersebut ditekankan dalam kitab Ulangan 32 ayat 39 tertulis “Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia. Tidak ada Allah kecuali Aku. Akulah yang mematikan dan menghidupkan, Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan, dan seorangpun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku”. Pada Aliran Orthodox, kehidupan dan kematian merupakan kehendak dari Yang Maha Kuasa sehingga upaya untuk memperpendek ataupun memperpanjang kehidupan sangat tidak etis. Mereka percaya bahwa ada kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan medis dan mukjizat itu nyata.
Kematian menurut Yahudi adalah keadaan dimana seseorang tidak bernafas lagi. Terdapat 3 aliran besar dalam Yahudi, yaitu, Reformis, Orthodox, dan Konservatif. Mayoritas dari mereka adalah aliran Orthodox yang beranggapan menurut kitab mereka Halacha dikatakan bahwa, segala upaya untuk mempercepat kematian adalah dilarang. Hal tersebut termasuk penghentian pemberian makan kepada pasien yang sedang sekarat, hal itu tidak diperbolehkan karena sama dengan melakukan euthanasia secara aktif / sengaja. Menurut ajaran mereka, meskipun kemungkinan untuk bertahan hidup sudah sangat kecil, kehidupan tetap harus berlangsung. Namun apabila upaya memperpanjang kehidupan tetap membuat pasien tidak mampu kembali secara fisiologis setelah masa pemulihan maka DNR diperbolehkan.
Terdapat 2 aliran besar Muslim yaitu Sunni dan Syiah. Secara garis besar mereka beranggapan bahwa mempercepat kematian adalah hal yang dilarang dan merupakan kejahatan. Namun, upaya untuk memperpanjang kehidupan dapat dilakukan sepanjang pasien memiliki kesempatan yang besar untuk bertahan hidup setelah dilakukan upaya pemulihan. Umat Islam percaya hidup adalah suci dan berasal dari Tuhan, oleh karena itu disebut dosa apabila mengambil nyawa seseorang, seperti yang disampaikan oleh David Stephen Powers dari Cornell University di Ithaca, New York. Dalam Islam sudah ditegaskan bahwa setiap ciptaan Allah akan binasa kecuali Allah sendiri sebagai Sang Pencipta. Dalam surat Yunus ayat 56 dinyatakan: “Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa manusia tidak boleh mendahului keputusan Allah, karena hanya Allah yang mengatur hidup dan matinya manusia. Terdapat pengecualian kasus di mana pada kebanyakan negara Muslim mengijinkan penghentian life support hanya kepada pasien-pasien yang mengalami kematian otak. Menurut aliran Sunni, upaya prolife bisa dihentikan / tidak dimulai apabila efek samping yang ditimbulkan lebih kecil daripada manfaat yang diterima. Melakukan DNR atas kasus tersebut diperbolehkan tanpa harus meminta ijin dari keluarga pasien. Pada aliran Syiah, permintaan DNR tidak dapat diminta oleh pasien. Apabila penyakit sudah tidak dapat disembuhkan, pasien dapat menolak dilakukannya usaha untuk memperpanjang kehidupan, dan keputusan ini harus dibuat oleh petugas kesehatan. Namun, segala upaya untuk melindungi kehidupan tetap harus dilakukan.
Menurut Damiem Kwon, profesor etika di Goldsmiths College, umat Budha mengajarkan bahwa secara moral dikatakan salah apabila menghancurkan kehidupan manusia meskipun bertujuan untuk mengakhiri penderitaan.


Gambar 1. Contoh surat penetapan Durable Do Not Resuscitate Order oleh Virginia Department of Health

b. Konsekuensi/Risiko Tindakan yang Diterima
Setiap keputusan dokter atau tenaga medis untuk melakukan atau tidak melakukan pertolongan dengan resusitasi, harus memperhatikan beberapa aspek serta mempertimbangkan risiko ataupun konsekuensi yang akan diterima. Jika melihat dari sudut pandang agama, maka dokter tersebut akan memiliki rasa bersalah atau menyesal ketika memilih untuk tidak melakukan pertolongan. Hal tersebut terjadi karena menurut sudut pandang agama, hidup merupakan pemberian dari Tuhan, dan manusia tidak berhak untuk mengakhirinya. Ketika dokter memilih melakukan pertolongan maka dokter tersebut melanggar hak otonomi pasien, jika tato “Do Not Resuscitate” dibuat dalam keadaan sadar dan disertai dengan surat secara resmi untuk tidak dilakukan resusitasi.

Pada pasien dengan permintaan DNR, dilansir dalam DNR Orders Emerge as Risk Factor in Surgery oleh Sandra J. A di laman Yale School of Medicine dan dalam Increased Risk of Death in Patients with DNR Orders oleh Laura Shepardson dkk di laman Medical Care, mengatakan bahwa tingkat kematian atau mengalami komplikasi setelah dilakukan operasi atau penanganan selain CPR lebih tinggi dibandingkan dengan pasien non-DNR, yang tentunya dipengaruhi oleh multi-faktorial lainnya.


BAB IV

A.    Kesimpulan
Euthanasia merupakan tindakan yang dilakukan untuk melepaskan kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, dimana euthanasia dapat dibedakan menjadi euthanasia aktif dan pasif,  sesuai dengan kode etik baik di Indonesia dan Amerika terkait dengan nilai/norma yang melarang dilakukannya euthanasia, hal tersebut sesuai dengan prinsip moral dokter yang mengataskan kepentingan pasien diatas kepentingannya sendiri, seperti kasus tato ”Do Not Resuscitate” yang seharusnya dokter tetap melakukan resusitasi kepada pasien karena pasien masih memiliki kemungkinan untuk hidup, dalam keadaan apapun kita sebagai dokter tetap berusaha melakukan yang terbaik untuk pasien dan kedepannya sebagai dokter dapat menganut prinsip tersebut. 

B.     Refleksi Pribadi
41170123_Donnie Leonardo
Selama pengerjaan praktikum ini, saya belajar banyak tentang etika kedokteran dan juga memahami bagaimana etika kedokteran tidak hitam dan putih dan juga bukan sekedar benar dan salah. Banyak hal yang masih diperdebatkan hingga sekarang mengenai hal ini. Dalam kasus yang saya pelajari juga saya belajar bahwa dokter bukan hanya menyelamatkan nyawa saja tetapi juga menghormati keputusan pasien, salah satunya ialah mengenai euthanasia, dimana dokter harus menghormati keputusan pasien yang tidak ingin diperpanjang hidupnya akibat penderitaan atau karena tidak tahan terhadap bayangan akan kemungkinan cedera akibat pertolongan yang diberikan, misalkan saat dilakukan resusitasi. Maka dari itu, kita sebagai mahasiswa kedokteran perlu benar-benar mempelajari etika kedokteran karena itu merupakan dasar bagi kita untuk membuat keputusan.

41170124_Iannugrah Pandung Wibowo
Dalam pengerjaan praktikum analisis kasus etika aktual, saya mendapatkan cukup banyak pembelajaran, seperti salah satunya mencoba langsung menuangkan nilai nilai etika kedokteran yang ada pada kasus nyata, dimana saya juga belajar untuk bagaimana memandang permasalahan etika juga harus melihat dari berbagai sisi yang terlibat, tidak bisa hanya dari sisi etik saja. Selain itu saya juga jadi mengerti bahwa kita tetap harus berpikir logis saat menghadapi permasalahan etika kedepannya dan diharapkan melalui pembelajaran ini saya jadi terlatih dalam mengambil keputusan terkait. Pada kasus yang diangkat oleh kelompok saya, berupa kasus euthanasia secara pasif, merupakan contoh kasus yang cukup bagus dalam konteks pro dan kontra yang muncul, karena baik dari alasan pro ataupun alasan kontra, terasa seimbang, tidak berat sebelah mana keputusan yang lebih bijak untuk diambil.

41170127_Irene Melati Wicaksana
Dari kasus ini saya belajar bahwa menjadi seorang pemberi layanan kesehatan , sangat penting untuk memahami keanekaragaman norma, budaya , agama , hukum , ideologi dan berbagai sudut pandang yang ada di tengah masyarakat. Memahami keanekaragaman tersebut dilakukan untuk membangun komunikasi yang baik dan merencanakan tatalaksana yang sesuai dengan sudut pandang , ideologi , agama yang dimiliki oleh pasien dan pemberi layanan kesehatan, serta norma, budaya, dan hukum yang berlaku di masyarakat setempat. Sehingga terjadi kesepakatan / keputusan yang sama baiknya bagi kedua belah pihak, baik pihak pasien, maupun pemberi layanan kesehatan.

41170130_Pande Komang Wahyu P
Melihat kasus euthanasia yang terjadi menurut saya hal yang paling berperan penting adalah hukum, karena pada setiap negara mempunyai peraturan sendiri mengenai euthanasia. Dapat dikatakan sesuai norma moral manusia normal euthanasia merupakan sesuatu yang sangat disayangkan karena seseorang tersebut berkeinginan mengakhiri hidupnya tanpa rasa sakit, namun disisi lain hal ini dapat sangat berguna dan manusiawi jika terdapat seseorang kriminalitas yang dijatuhi hukuman mati.

41170133_Aureliya Stefani .P
Setelah mengikuti praktikum analisis kasus etika aktual dimana mengambil materi tentang eutanasia pasif yaitu DNR (Do Not Resucitate) saya belajar tentang banyak hal yang berkaitan dengan moral dan etika dalam dunia kedokteran. Setiap tindakan atau keputusan yang dipilih oleh dokter tidak hanya berdasarkan ilmu kedokteran yang dimiliki tetapi juga harus mempertimbangkan banyak aspek termasuk aspek etika dan moral beserta risiko atau konsekuensi yang akan diterima dokter dan pasien atas tindakan tersebut. Etika dan moral sangat diperlukan, karena seorang dokter berinteraksi atau menghadapi manusia dari berbagai latar budaya yang berbeda sehingga dokter harus mampu menyesuaikan dan memahami budaya tersebut agar tetap menghormati setiap keputusan pasien.

41170140_Yeheskiel Matthew Axel
Menurut saya tindakan untuk tidak melakukan Resusitasi atau DNR merupakan tindakan yang profesional dari seorang dokter karena dokter mengutamakan kehendak dan keinginan dari seorang pasien, yang dimana keinginan dari pasien untuk menentukan prosedur penatalaksanaan dirinya sendiri untuk terapi merupakan salah satu faktor yang menjadikan seorang pasien dapat menilai profesionalitas dari seorang dokter, bahwasannya dokter tersebut menghargai pilihan dari pasien.  Namun secara hukum tindakan tersebut merupakan tindakan yang melanggar undang undang di beberapa negara yang menerapkan bahwa euthanasia merupakan tindakan ilegal. Sehingga secara hukum dan secara profesionalitas seorang dokter, harus perlu dikaji lagi untuk menentukan apakah tindakan eutanasia dapat diberlakukan agar tidak melanggar hukum dan tetap menjaga profesionalitas seorang dokter.

41170145_ Mary Rose A
Saya dapat mempelajari banyak hal dari kasus ini. Pertama saya dapat belajar bahwa pedoman etik dalam dunia kedokteran tidak bisa ditilik hanya dari satu sisi saja, namun harus dari beberapa sisi dan sudut pandang. Seperti dalam kasus ini, apabila tim medis tidak menganggap tato pasien secara serius dan tetap melakukan resusitasi, maka sama saja dengan tidak menghargai keputusan pasien. Namun apabila tim medis menghargai tato pasien dan tidak melakukan resusitasi, tim medis bisa saja dituntut atau dikenai hukuman, karena pada dasarnya perintah DNR harus tertulis di kertas kuning yang sudah ditandatangani oleh dokter dan pasien terkait. Kedua, saya juga dapat belajar bahwa seseorang harus tanggung jawab terhadap keputusan yang sudah diambil sebelumnya. Berdasarkan peraturan, kertas DNR seharusnya selalu dibawa oleh orang yang sudah menyetujui keputusan tersebut, bisa di kantung baju maupun dompet, akan tetapi pasien tersebut tidak membawa kertas DNR nya saat itu sehingga menyebabkan kebingungan, walaupun pada akhirnya departemen sosial dapat menemukan salinan dari berkas DNR pasien yang asli.

41170151_Virgina Glory B
Setelah dilakukan telaah lebih dalam mengenai kasus ini, menurut saya, DNR (Do-Not-Resuscitate) menjadi salah satu hak otonomi milik pasien yang tidak dapat diganggu gugat dengan syarat adanya surat permintaan DNR tertulis dan resmi, sama halnya dengan informed consent yang selalu disampaikan diawal tiap pemeriksaan kesehatan. Hanya saja dalam pengambilan keputusan untuk dilakukan atau tidaknya CPR, perlu dicermati dan didiskusikan dengan baik agar tidak menjadi masalah di kemudian hari, seperti pelanggaran hukum atau hal yang dapat memperburuk kondisi pasien. Sehingga dokter diminta mampu mengambil keputusan baik dengan memperhatikan segala aspek secara keseluruhan.

41170192_Mesakh Malvin Wardhana
Dari kasus di atas tepatnya kasus euthanasia yang memegang peranan penting ialah moral manusia dan hukum dari negara tersebut. Dari sini saya mendapatkan pelajaran berupa moral yang mana ketika kelak pasien meminta dokter untuk melakukan penghilangan nyawa pada pasien maka saya pribadi sebagai dokter menolak keras karena bertentangan dengan nilai moral yang saya anut yang mana setiap orang berhak hidup dengan hak haknya. Peran hukum suatu negara juga berperan penting dalam kasus ini yang mana jika melegalkan akan menambah kasus dari eutanasia itu sendiri serta peran dokter untuk mencegah eutanasia semakin berkurang.

41170193_H. Fajar Kesuma
Menurut saya pasien dengan permintaan DNR sepanjang hidupnya mempunyai berbagai masalah dari aspek kesehatan mungkin pasien itu terkena penyakit sudah berkomplikasi, tidak diperhatikan oleh orang terdekat dan mempunyai tekanan hidup yang hebat. Akan tetapi saya berada di negara indonesia bukan berada di USA atau negara barat yang mementingkan sikap individualitas. Indonesia sendiri belum memiliki hukum yang jelas dalam mengatur tentang permintaan DNR sehingga walaupun nanti jika ada pasien meminta untuk dilakukan DNR, saya sebagai dokter tidak bisa melakukan karena mematuhi hukum di Indonesia yaitu kesembuhan pasien yang paling utama dilakukan jika sebagai dokter nanti saya tetap melakukan DNR walaupun sudah didiskusikan dengan keluarga pasien mungkin saja akan terdapat pihak yang akan melaporkan yaitu Komnas HAM atau IDI  ke kepolisian karena belum adanya hukum yang jelas dalam mengatur tentang DNR, dan hal ini akan mempertaruhkan profesi sebagai dokter mungkin saja gelar dokter bisa dicabut. 

41170197_Brigita Suci Putri Primadona
Pada kasus ini benar-benar membuktikan pernyataan yang mengatakan bahwa terkadang etika ataupun moral tidak bersifat fleskibel dalam menghadapi berbagai hal yang mengharuskan seseorang harus bertindak cepat dan benar, tidak terkecuali seorang dokter. Ketika seorang harus menentukan benar salah dan hidup mati, ia akan terikat oleh etika atau moral, apa yang menurutnya benar/tepat belum tentu benar seutuhnya didalam moral/etika, karena kembali lagi kepada prinsip awal dimana kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan pikiran yang dimiliki memiliki kesadaran untuk memaknai diri sebagai ciptaanNya. Namun, kita bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup atau mati seseorang. Norma/etika sangat dibutuhkan dalam keseharian untuk menuntun seseorang ke dalam kebenaran, namun etika atau moral juga dapat menjadi jebakan jika tidak benar-benar diperhitungkan segala konsekuensinya.

41170198_Jessica Chandra Santoso
Hal yang dapat saya pelajari dari topik yang dibahas mengenai euthanasia pasif khususnya kasus DNR (Do Not Resuscitate) yang terjadi pada pasien berusia tua 70 tahun yaitu euthanasia masih menjadi pertimbangan sampai saat ini terutama dari segi etika dan moral dimana seorang dokter harus bisa mengambil keputusan yang terbaik bagi pasien. Menurut pendapat saya, euthanasia pasif yang dilakukan dalam kasus ini sudah benar karena dengan adanya tulisan DNR di dada pasien berarti dokter menghormati keputusan pasien untuk membiarkan pasien meninggal dengan tidak menyelamatkan nyawanya mengingat kondisi pasien yang juga mengalami berbagai komplikasi penyakit. Hal ini dilakukan karena satu-satunya jawaban mengenai kasus ini berada di pihak pasien itu sendiri melalui tulisan DNR di dada pasien, selain itu tidak adanya keluarga pasien yang terlibat untuk dimintai keputusan atas kejadian ini sehingga keputusan pasienlah yang diambil oleh dokter dengan melakukan euthanasia.

41170199_Yofani Wahyu Perdana
Refleksi yang dapat saya ambil terkait dengan kasus euthanasia ini adalah bahwa walaupun salah satu prinsip moral yang penting dijunjung oleh seorang dokter adalah menghormati keputusan pasien tetapi pada saat keadaan pasien masih mungkin untuk diselamatkan setidaknya kita sebagai dokter harus melakukan semua cara yang ada dan yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan pasien, sesuai dengan kasus diatas, walaupun tato yang bertuliskan ”Do Not Resuscitate” tersebut ada pada pasien, kita sebagai dokter harus tetap memprioritaskan kesembuhan pasien walaupun kemungkinan yang ada itu sangatlah kecil karena dari kemungkinan tersebut bisa menjadi kesempatan pasien untuk mengalami kehidupannya Kembali.

41170202_Anastasia Aprilia Tumbol
Dari kasus DNR ini saya belajar bahwa seorang dokter harus bisa memahami dan menghargai keputusan pasien akan kehidupannya dengan tetap memahami nilai keagamaan dan budaya yang ada, selain itu saya juga mengerti bahwa menjadi seorang dokter tidak hanya diperlukan penguasaan ilmu yang baik tetapi seorang dokter juga harus memiliki moral, etiket yang sesuai, patuh terhadap hukum dan memiliki pengetahuan akan etika terkait kode etik profesi yang dijalani sebagai dasar dari segala tindakan yang akan dilakukan, dengan begitu seorang dokter akan bisa membuat keputusan yang bermanfaat bagi pasien, keluarga pasien, dokter itu sendiri dan juga masyarakat.

41170207_Stanley Lovell H
Memahami kasus DNR atau Do Not Resuscitate menyadarkan saya bahwa dalam mengambil keputusan diperlukan banyak pertimbangan, tepat tetapi tidak gegabah. Keputusan yang diambil harus tetap dilandasi oleh norma, etika, agama, hati nurani dan tentunya hukum yang belaku. Diperlukan pemikiran yang luas agar dapat mengerti sudut pandang setiap pasien. Kita perlu menjunjung tinggi dan menghormati hak pasien dalam menentukan pilihannya, namun sebagai dokter tetap sepenuhnya berusaha untuk memperjuangkan kehidupan pasien.

41170210_Trystan Josef Ticoalu
Dari kasus yang saya baca, saya baru tahu dengan yang namanya DNR sehingga membuat saya penasaran dan mencari-cari info tentang hal ini. Pandangan saya terhadap DNR ini sendiri sebenarnya sangat rancu, di mana jika dipandang dari sisi kemanusiaan hal ini pantas karena selain pasien sendiri telah menyetujui hal ini, Tindakan DNR ini sendiri dilakukan ujntuk mengurangi atau menyudahi rasa sengsara pasien tersebut. Sedangkan dari sisi iman saya kematian bukan merupakan suatu keputusan yang dapat diambil oleh manusia melainkan suatu hal yang telah diatur oleh sang pencipta sehingga menurut saya DNR merupakan suatu tindakan yang masih sangat kontroversial


Daftar Pustaka


(2013)  . Religious Groups' Views on End of Llife Issues. Washington DC: Pew Research Center.
Ackerman, Sandra J. 2011. DNR Orders Emerge as Risk Factor in Surgery. Yale School of Medicine. New Haven. https://medicine.yale.edu/news/yale-medicine-magazine/dnr-orders-emerge-as-risk-factor-in-surgery/. Diakses tanggal 21 Mei 2020.
American Medical Association (2006). House of Delegates,Resolution 3-06 (A-06). Chichago, IL : American Medical Association.
American Medical Association. (2016). Opinions on Caring for Patients At the End of Life. AMA Principles of Medical Ethics, (Medical Ethics), 53–61.
Bever, L. (2017, Desember 2). A man collapsed with ‘Do Not Resuscitate’ tattooed on his chest. Doctors didn’t know what to do. The Washington Post. Diakses dari https://www.washingtonpost.com/news/to-your-health/wp/2017/12/01/a-man-collapsed-with-do-not-resuscitate-tattooed-on-his-chest-doctors-didnt-know-what-to-do/
Burghal H, M., & Maryyan, M. (2017). Do Not Resuscitate (DNR) Argumentative Essay. Clinical & Medical Biochemistry, 03(02). https://doi.org/10.4172/2471-2663.1000136.
Cheraghi, M. A. et al. (2016) ‘View Of Main Religions of the World On; Don’t Attempt Resuscitation Order (DNR)’, International Journal of Medical Reviews, 3(1), pp. 401–405.
Cramer, M. 2020. When Are You Really an Adult?. The New York Times. New York. https://www.nytimes.com/2020/01/18/us/usa-legal-age.html. Diakses tanggal 21 Mei 2020.
Downar J, Luk T, Hawryluck. 2011. Why Do Patients Agree to a “Do Not Resuscitate” or “Full Code”? Perspectives of Medical Inpatients. Journal of General Internal Medicine. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3101966/. Diakses tanggal 21 Mei 2020.
Holt, G. E., Sarmento, B., Kett, D., & Goodman, K. W. (2017). An unconscious patient with a DNR tattoo. New England Journal of Medicine, 377(22), 2192–2193. https://doi.org/10.1056/NEJMc1713344
https://journalofethics.ama-assn.org/article/policy-proposal-do-not-resuscitate-orders-call-reform/2003-01. Diakses tanggal 21 Mei 2020.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. (2004). Kode Etik Kedokteran dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran, (29), 1024–1028. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan Kedokteran.
Purnama, G. S. (2017). Modul Etika dan Hukum Kesehatan. Fakultas Kedokteran Udayana, 1-68.
Purwadianto, A., dkk. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
RI, P. (2004). UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 157–180.
Shepardson, Laura, et al. 1999. Increased Risk of Death in Patients With Do-Not-Resuscitate Orders. Vol 37. Medical Care. https://journals.lww.com/lww-medicalcare/Abstract/1999/08000/Increased_Risk_of_Death_in_Patients_With.3.aspx. Diakses tanggal 21 Mei 2020.
Weissman, D. 2003. Policy Proposal: Do Not Resuscitate Orders, A call for Reform. AMA Journal of Ethics.
Wismabrata, M.H. (2017, Mei 4). Karena Tato, Dokter Memutuskan untuk Membiarkan Pasien Memilih Mati. Kompas Online. Diakses dari https://sains.kompas.com/read/2017/12/04/132251123/karena-tato-dokter-memutuskan-untuk-membiarkan-pasien-memilih-mati


Komentar

  1. Terima kasih atas artikelnya. Pembahasan kasus diatas adalah kasus di luar negeri. Izin bertanya, jika di Indonesia sendiri apakah euthanasia diperbolehkan? Atau mungkin ada euthanasia jenis tertentu yang diperbolehkan di Indonesia? Apakah ada peraturan khusus mengenai euthanasia di Indonesia? Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas pertanyaannya. Kasus diatas memang terjadi diamerika, tapi penulis meng-analisis dengan sudut pandang hukum indonesia dan hukum luar juga. Jika berkenan bisa melihat kembali di bagian analisis fakta, beberapa rujukan sudah mencantumkan bagaimana pandangan kasus ini dari hukum indonesia secara singkat. Mengenai detail peraturan tentang euthanasia di indonesia, salah satu bisa merujuk kepada

      KODE ETIK KEDOKTERAN IDI,
      KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
      Pasal 11: Pelindung kehidupan.
      Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani.
      Cakupan Pasal:
      (2) Seorang dokter dilarang terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus, euthanasia, maupun hukuman mati yang tidak dapat dipertanggung
      (4) Seorangdokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.
      (5) Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan (abortus provocatus) tanpa indikasi medis yang membahayakan kelangsungan
      hidup ibu dan janin atau mengakhiri kehidupan seseorang yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh (euthanasia).

      Pasal 17
      Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

      Dari pasal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa segala jenis euthanasia apapun tidak diperbolehkan tanpa terkecuali karena tidak sesuai dengan moral yang diterapkan di indonesia. Jika ditinjau dari pandangan seorang dokter, seorang dokter wajib menyelamatkan pasiennya dengan segala kemampuannya untuk mengurangi penderitaan pasien tersebut tetapi tidak dengan cara mengakhiri nyawa pasiennya. Semoga membantu.

      Brigita Suci/41170197

      Sumber : Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Tatalaksana Kode Etik Kedokteran Indonesia. Oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, IDI.

      Hapus
  2. Terimakasih atas artikel nya menarik sekali. Izin bertanya mengenai DNR. Mengenai DNR sendiri apakah ada acuan peraturan seperti undang undang atau kodeki yang mendukung ? Sehingga bila pasien tidak selamat, secara peraturan dokter tidak dapat dinyatakan bersalah. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaannya.
      Acuan peraturan baik secara hukum maupun etika profesi di Indonesia, belum ada yang membahas spesifik mengenai DNR itu sendiri karena DNR masih merupakan tindakan yang digolongkan ke dalam Eutanasia Pasif yaitu perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan/pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia. Dalam hal ini bahasan tentang Eutanasia Pasif diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) bab 16 dan KUHP pasal 344 dimana tertulis
      “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
      Di Indonesia, ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran karena dalam pasal 575 RUU KUHP (2005) dan pasal 584 RUU KUHP (2012) juga menegaskan bahwa tindakan eutanasia di Indonesia itu dilarang/tidak diperbolehkan dilakukan oleh siapapun termasuk seorang dokter sekalipun atas permintaan pasien.
      Namun, di Amerika Serikat (lokasi terjadinya kasus diatas) membenarkan dan menyetujui DNR dengan memegang prinsip otonomi atau hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri dengan syarat adanya surat Durable Do Not Resuscitate Order yaitu pernyataan DNR yang resmi dalam bentuk tertulis.
      Semoga jawaban ini bermanfaat dan membantu dalam pemahaman terkait euthansia di Indonesia. Terima Kasih.

      Anastasia Aprilia-41170202


      Sumber :
      Purwadianto, A., dkk. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
      RUU KUHP (2005) Pasal 575.
      RUU KUHP (2012) Pasal 584.
      American Medical Association (2006). House of Delegates,Resolution 3-06 (A-06). Chichago, IL : American Medical Association.

      Hapus
  3. Terimakasih informasinya,
    Artikel tersebut sangat menarik!

    Saya ingin bertanya 2 hal :
    1) apakah semua org boleh mengisi berkas DNR (kertas warna kuning) tersebut? Atau adakah syarat-syarat tertentu bagi org untuk mengisi berkas tersebut?
    2) mengenai kasus yang ada diatas, dokter akhirnya tidak melakukan resusitasi namun pada saat pengambilan keputusan tersebut, berkas DNR pasien belum di konfirmasi, dan keesokan harinya pasien dikonfirmasi memiliki berkas tsb, sehingga dokter yang bersangkutan tidak bersalah.
    Bagaimana apabila ternyata pasien tidak menandatangani berkas DNR dan telah terlanjur tidak di resusitasi (hanya dengan melihat tato) ?

    Terimakasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaan yang diberikan, berikut akan saya jawab untuk pertanyaan nomor 1. Pengisian berkas perintah DNR, berdasarkan sumber yang dibaca, diperbolehkan harus dengan pertimbangan atau syarat tertentu, yaitu:

      1) Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten dalam mengambil keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokter yang merawatnya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan
      2) Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sakit dan tidak dapat diobati, misalnya kanker
      3) Pasien berada dalam keadaan dimana kemungkinan hidupnya kecil dan hanya menunggu waktu kematian
      4) Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin
      5) Pihak yang berhak melakukan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilakukan euthanasia.

      Semua pernyataan tersebut harus dapat dipenuhi baru euthanasia dapat dilaksanakan. Setelah berkas perintah tersebut ditandatangani oleh dokter dan pasien atau perwakilan resmi pasien, perintah DNR akan berlaku dan pasien akan dibebaskan dari resusitasi oleh profesional medis manapun.

      Semoga jawaban yang diberikan dapat membantu, terima kasih.

      Sumber:
      Amiruddin, M. 2017. Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia
      di Negara Yang Menganut Sistem Hukum Eropa
      Kontinental dan Sistem Hukum Anglo Saxon. Universitas
      Islam Negeri. Makassar
      Sutoto. 2014. Hak Pasien dan Keluarga: Panduan DNR (Do
      Not Resuscitate). SNARS-Standart Nasional Akreditasi
      Indonesia. Komisi Akreditasi Rumah Sakit
      Virginia Department of Health. 2018. Virginia Durable Do Not
      Resuscitate Order. SeniorNavigator: A VirginiaNavigator
      Website. https://seniornavigator.org/article/12446/virginia-
      durable-do-not-resuscitate-order. Diakses tanggal 23 Mei
      2020

      -Virgina Glory B (4110151)

      Hapus
    2. Aureliya Stefani23 Mei 2020 pukul 14.58

      Terimakasih atas pertanyaannya, saya akn menjawab nomor 2.

      2. Jika dokter memilih untuk tidak melakukan resusitasi/ RJP, kemudian pasien meninggal sedangkan surat tersebut ( Durable Do Not Recsucitate Order) ternyata tidak ditandatangani oleh pasien dan hanya melihat dari tato maka keputusan dokter tersebut boleh dilakukan karena pada kasus diatas pasien tidak dapat berkomunikasi untuk mendiskusikan penatalaksanaan terbaik untuk dirinya serta tidak adanya keluarga yang dapat membantu dalam mengambil keputusan. Kasus diatas terjadi di Amerika, menurut kode etik di Amerika dokter berhak secara sepihak untuk memutuskan tindakan yang akan dilakukan yaitu tidak melakukan resusitasi/RJP, sebagai bentuk penghormatan terhadap keputusan atau hak otonomi pasien berdasarkan tato yang ada dan sebelumnya keputusan tersebut telah didiskusikan dengan dokter lain atau komite etik rumah sakit tersebut. Berbeda dengan di Indonesia, dimana mengutamakan nilai kehidupan, walaupun hak otonomi pasien juga dipertimbangkan karena di Indonesia sudah ada hukum pidana yaitu Pasal 344 KUHP : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

      Semoga jawaban ini bisa membantu dan bermanfaat. Terimakasih.
      41170133_Aureliya Stefani .P.

      Sumber :
      American Medical Association. (2016). Opinions on Caring for Patients At the End of Life. AMA Principles of Medical Ethics, (Medical Ethics), 53–61.
      Orders, N. (2010). The AMA code of medical ethics opinions on seriously ill newborns and do-not-resuscitate orders. Virtual Mentor, 12(7), 554–557. https://doi.org/10.1001/virtualmentor.2010.12.7.coet1-1007

      Hapus
  4. Terimakasih banyak ulasannya! cukup menarik dan membuat saya penasaran akan suatu hal, apakah diperlukan adanya kolaborasi antara dokter dan perawat mengenai pemahaman etik dalam suatu kasus agar dapat menentukan keputusan? atau disini hanya dokter yg berperan sebagai pengambil keputusan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Prinsipnya sy setuju dg euthanasia aktif terutama untuk pasien usia lanjut yg menurut hitungan medis tak ada harapan hidup.
      Untuk pasien lanjut usia dokter tdk berdiri sendiri. Di sana ada rmh sakit yg selalu mengkonversi setiap tindakan dokter ke rupiah yang harus dibayar keluarga pasien. Keluarga pasien tidak boleh diselamatkan dari satu masalah untuk masuk ke masalah lain yg mungkin lbh besar.

      Hapus
    2. Maksud sy euthanasia pasif.

      Hapus
    3. terimakasih atas pendapatnya, memang saat ini yang berperan dalam menentukan pilihan akhir tindakan medis (clinical decision) adalah dokter. saat ini juga sudah banyak perawat yang mengeluhkan tentang dokter yang tidak menghargai atau bahkan tidak mendengarkan pendapat perawat tentang tindakan yang akan diberikan terhadap pasien. berdasarkan jurnal yang saya baca (Mboineki, 2019), sudah banyak kejadian dimana dokter tidak mempertimbangkan pendapat perawat dan menyuruh perawat untuk melakukan tindakan yang malah bertolak belakang dari pendapat perawat, tanpa memberikan alasan atas keputusannya tersebut. padahal, banyak dari kasus yang disebutkan dalam jurnal tersebut, dimana pendapat perawat justru lebih tepat. bahkan ada kasus kematian akibat kesalahan dokter dalam menentukan status dari pasien.

      menurut dari yang disebutkan oleh jurnal, perawat berhak memberikan pendapat dalam sebuah clinical decision. akan tetapi, memang keputusan akhir dipegang oleh dokter. namun bukan berarti dokter dapat menolak mentah-mentah pendapat perawat dan tidak mempertimbangkan sama sekali, terlebih jika perawat yang memberikan pendapat memiliki alasan yang baik kenapa mempertimbangkan pendapat tersebut.

      dari jurnal juga disebutkan bahwa perawat menghabiskan waktu paling lama dengan pasien dibandingkan tenaga medis lain, dan paling mengerti perkembangan dari status pasien. atas dasar itu semua, perawat memiliki hak untuk memastikan agar tindakan yang diterima pasien aman dan sesuai kualitas standar.

      jadi jawabannya adalah : ya, kolaborasi antara dokter dan perawat mengenai pemahaman etik diperlukan. sebab agar dapat bertindak sesuai etik, diperlukan pemahaman yang baik tentang pasien, dimana perawat sering kali memahami hal ini lebih baik dari dokter.

      Sumber :
      Mboineki, J. F., Chen, C., Gerald, D. D., & Boateng, C. A. (2019). The current status of nurses-doctors collaboration in clinical decision and its outcome in Tanzania. Nursing open, 6(4), 1354–1362. https://doi.org/10.1002/nop2.360

      Flannery L, Ramjan LM, Peters K. End-of-life decisions in the Intensive Care Unit (ICU) - Exploring the experiences of ICU nurses and doctors - A critical literature review. Aust Crit Care. 2016;29(2):97‐103. doi:10.1016/j.aucc.2015.07.004

      Flannery L, Peters K, Ramjan LM. The differing perspectives of doctors and nurses in end-of-life decisions in the intensive care unit: A qualitative study [published online ahead of print, 2019 Oct 31]. Aust Crit Care. 2019;S1036-7314(19)30006-2. doi:10.1016/j.aucc.2019.08.004

      Lin C, Cohen E, Livingston PM, Botti M. Perceptions of patient participation in symptom management: A qualitative study with cancer patients, doctors, and nurses. J Adv Nurs. 2019;75(2):412‐422. doi:10.1111/jan.13853

      Hapus
  5. Artikelnya keren sekali, tapi saya ingin bertanya. Dalam suatu kondisi di mana ada conflict of interest, sebaiknya kita rujuk kepada pihak yang dapat menerimanya. Tapi di sisi lain, kita juga tidak boleh melakukan euthanasia dengan membiarkan seseorang meninggal. Nah kira kira batasan kriteria seperti apa yang diperbolehkan untuk melakukan perujukan dalam hal conflict of interest bukan karena keterbatasan pengetahuan ? Apakah dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa kita tidak boleh melakukan perujukan karena hanya hal tersebut?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Terimakasih sudah bertanya :))

      Saya Irene Melati Wicaksana / 41170127 ijinkan saya menjawab pertanyaan anda.

      Conflict of Interest / Konflik Kepentingan adalah suatu keadaan ketika seorang profesional memiliki kewajiban untuk melakukan tanggung jawabnya dengan baik , dan jujur (primary interest) atau sedang melalaikan kewajibanya karena pengaruh dari luar ( secondary interest ). sehingga dapat dikatakan bahwa secondary interest terdapat unsur untuk memperoleh keuntungan pribadi / sepihak . (Setiabudy,2019)

      Kode Etik Kedokteran (Kodeki) merupakan pedoman seorang dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran. Kaitannya dengan konflik kepentingan seperti yang tertuang dalam KODEKI 2012 pada :
      1.Pasal 2
      “Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen,dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi.”
      2.Pasal 3
      “Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
      Dalam kedua pasal tersebut dijelaskan bahwa praktik kedokteran harus jujur dan bersih dari kepentingan / tekanan - tekanan dari luar yang ditujukan untuk menguntungkan salah satu pihak tertentu terlebih dirinya sendiri. Sehingga dapat tercipta keputusan yang tepat, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

      Dalam melakukan rujukan seperti yang tertulis dalam Pasal 14 Konsul dan Rujukan Kode Etik Kedokteran Indonesia 2012 yang berbunyi :
      “Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan/pengobatan atau demi kepentingan terbaik pasien, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib berkonsultasi/merujuk pasien kepada dokter lain yang mempunyai keahlian untuk itu.”
      Dari pasal tersebut dijelaskan bahwa seorang dokter diperbolehkan untuk berkonsultasi / meminta saran / pendapat dan nasehat dari dokter lain. Seorang dokter juga diperbolehkan untuk merujuk pasien ketika ia merasa tidak mampu melakukan pemeriksaan/memberikan tatalaksana. Yang mana konsultasi/rujukan tersebut bertujuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi pasien. Pihak terujuk seperti yang tertuang dalam penjelasan pasal 14 pada KODEKI 2012, selayaknya harus lebih mampu, ahli dan mau. Ketika melakukan rujukan, dokter perujuk juga harus menyertakan ringkasan medik pasien.

      Hubungannya dengan euthanasia, Sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 : Pelindung Kehidupan dalam KODEKI 2012 pada poin pertama & kedua yaitu:
      1.Seorang dokter wajib mengerti/memahami siklus dan mutu kehidupan manusia, mulai saat pembuahan dan/atau saat kehidupan diawali, proses alamiah kehidupan berlangsung sampai dengan menjelang/saat/sesudah kematian manusia,dengan tujuan untuk menghormati, melindungi dan memelihara hidup mahluk insani.
      2.Seorang dokter dilarang terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus,
      euthanasia, maupun hukuman mati yang tidak dapat dipertanggungjawabkan moralitasnya.
      Oleh karena Kode Etik Kedokteran merupakan pedoman praktik bagi dokter - dokter di seluruh Indonesia, untuk menyikapi kasus euthanasia pasti akan sama sama mempertimbangkan poin poin tersebut diatas, norma - norma yang berlaku di masyarakat, pertimbangan hukum dan sanksi yang berlaku serta keadaan medis yang dialami pasien.

      Sumber :
      KODEKI (2012) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Available at: http://www.idai.or.id/professional-resources/ethic/kode-etik-kedokteran-indonesia.
      Permana, M. Y. et al. (2019) ‘Celetukan Beracun: Pendiskreditan Dokter pada Second Opinion’, Jurnal Etika Kedokteran Indonesia, 3(2), p. 53. doi: 10.26880/jeki.v3i2.35.
      Setiabudy, R. and Sundoro, J. (2019) ‘Konflik Kepentingan dalam Profesi Dokter’, Jurnal Etika Kedokteran Indonesia, 3(1), p. 11. doi: 10.26880/jeki.v3i1.28.

      Hapus
  6. Artikelnya sgt informatif sekali, namun ad beberapa poin yg belum saya mengerti,
    1. Mengingat euthanasia adalah sesuatu yang tabu dan dilarang menurut hukum dan agama di Indonesia
    Apakah di Indonesia sendiri ada contoh dari kasus euthanasia? Dan adakah hukum yang membahas tentang euthanasia?
    2. Bila terdapat contoh kasus di Indonesia, bagaimana sebagai dokter kita harus menyikapi pilihan pasien? mengingat kt jg ditekankan utk harus menghormati apapun pilihan pasien termasuk menolak pengobatan, sprt contoh kasus dnr, dan adakah kriteria kondisi dari pasien yang memungkinkan kita utk dapat mengabaikan tanda dnr pada pasien?
    Sekian pertanyaan yg saya sampaikan, kiranya dapat dijawab dengan baik, terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. Untuk Euthanasia sendiri terdapat satu contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia, dimana pada saat itu adanya upaya pengajuan permohonan euthanasia di penghujung 2004, seorang suami dari isteri yang sakit bernama Ny. Agian mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan isterinya, namun permohonanan itu ditolak oleh pengadilan, tindakan eutahansia sendiri harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi, sifat limitatif ini ada untuk mencegah agar nantinya pengajuan euthanasia tidak sewenang-wenang. Dasarnya euthanasia memang diilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia aktif yang dapat dipidana paling lama 12 tahun penjara, tetapi terkait dengan kasus DNR yang masuk kategori euthanasia pasif tidak mudah mencerat pelaku. Penyalahgunaan euthanasia pasif bisa dilakukan oleh medis ataupun pihak keluarga salah satu contohnya karena ketidaksanggupan menganggung beban biaya pengobatan. kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat dalam menyikapi persoalan tersebut. Yuridis formal dalam hukum pidana Indonesia pun hanya mengenal satu bentuk euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia), sebagaimana secara eksplisit disampaikan pada Pasal 344 KUHP : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Bertolak dari pasal tersebut pun bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. dengan demikian, konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang.

      2. Sebagai seorang dokter sendiri salah satu prinsip moral yang dijunjung adalah menghormati keputusan pasien,akan tetapi dilihat dari kasus DNR ini, bahwa sebelum ada konfirmasi secara pasti langsung dari pasien, tenaga medis yang ada sudah memutuskan untuk tidak memberikan pertolongan secara berkala pada pasien dikarenakan sebuah tato yang dianggap merupakan keputusan pasien, walaupun setelah itu surat DNR tersebut sampai kepada tenaga medis, tetapi sudah terlambat dan pasien pun sudah meninggal karena eutahanasia pasif tersebut. Untuk kriteria pasien sendiri pada dasarnya tergantung kondisi pasien sendiri, diantaranya adalah pasien dengan penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun pasien yang di cap eutanasia ( dibiarkan mati ataupun suntik mati karena kehidupan yang sudah tidak terjamin). ataupun keadaan kaku mayat, tapi terlepas dari semua itu sesuai dengan poin pertama bahwa Eutahansia itu tetap dilarang di Indonesia dan dapat dikenakan sanksi hukum pidana pada yang melakukannya.
      Semoga jawaban ini bisa bermanfaat dan membantu lebih jauh pemahaman terkait euthansia. Terima Kasih
      41170199_Yofani Wahyu Perdana
      Sumber :
      Amiruddin, M. (2017). Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia Di Negara Yang Menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Sistem Hukum Anglo Saxon. Jurisprudentie : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum, 4(1), 83. https://doi.org/10.24252/jurisprudentie.v4i1.3666

      Hapus


  7. artikel nya bagus sekali, mau nanya

    1. prosedur apasaja yg harus di penuhi untuk euthanasia?
    2. adakah contoh kasus di indonesia tentang euthanasia aktif ? terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Veren! terimakasih atas tanggapannya, semoga jawaban dari saya memuaskan ya
      1. ini adalah guideline yang berlaku di Belanda, salah satu negara yang sudah melegalkan euthanasia
      a. Prosedur ini hanya boleh dilakukan oleh dokter
      b. Pasien yang meminta prosedur ini sudah harus yakin sepenuhnya dengan kesadaran diri sendiri, tanpa ada keraguan sedikitpun
      c. Paien memiliki keadaan/penyakit yang sudah tidak bisa pasien tahan lagi penderitaannya
      d. Sudah tidak ada lagi alternartif lagi bagi pasien untuk pasien menyembuhkan keadaanya
      e. Dokter yang bersangkutan sudah berkonsultasi dengan tenaga profesional lain untuk keputusan euthanasia pasien
      2. Sampai sejauh ini euthanasia masih menjadi "bola panas" dalam legalisasinya, dan menimbulkan dari perdebatan dari pihak agama, kesehatan, hukum dan HAM. Euthanasia dianggapa menentang pasal 344 KUHP: ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Sejauh ini sudah ada beberapa pengajuan euthanasia kepada pengadilan, yang terbaru pada tahun 2017 permintaan Euthanasia yang diajukan oleh Berlin Silalahi(BS) yang merupakan seorang survivor dari Tsunami Aceh 2004, ia hidup dengan keadaan lumpuh, asma dan tak bisa melakukan aktivitas apapun, berbagai pengoobatan tak kunjung membuat keadaanya membaik, hakim pun menolak pengajuannya dengan merujuk pada Pasal 344 KUHP dan UU no 39 tahun 1999, dan Pengajuan yang sebelum belumnya juga berakhir dengan penolakan. Untuk saat ini tidak ada euthanasia yang pernah dilakukan di Indonesia atas persetujuan hukum.
      Sumber:Singer. P. Pritical Ethics, Cambridge University Press, Cambridge, 1980; second edition, 1993; third edition, 2011
      Euthanasia; Letting die Su Myat Noe SHEM/M G-60366688
      https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd69042ee7e8/euthanasia-dan-ancaman-pasal-344-kuh-pidana?page=2
      Iannugrah Pandung Wibowo_41170124

      Hapus
    2. Untuk euthanasia yang belum pernah disetujui secarq hukum yang saya maksud adalah euthanasi aktif

      Hapus
  8. Wawwwww artikelnya bagus banget, sangat sangat informatif

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, semoga informasinya bisa bermanfaat..

      Hapus
  9. Artikel nya informatif sekali!
    Tetapi ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan,
    1. Apakah di Indonesia terdapat semacam surat pernyataan DNR?
    2. Selain pertimbangan dari segi etika, agama, dan kondisi medis pasien, apalagi yang perlu di pertimbangkan oleh seorang dokter jika akan melakukan Euthanasia? Mengingat prosedur ini bertolak belakang dengan janji dokter & hippocratic oath?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Stanley Lovell H23 Mei 2020 pukul 16.48

      Terimakasih atas pertanyaan yang diberikan
      Menjawab nomor 1 Di Indonesia,peraturan DNR masih belum ada secara eksplisit dan pasti tertulis. Namun, Dalam Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.Dalam Pasal 344 KUHP juga secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa jelas praktik euthanasia dapat terjerat kedua pasal diatas, bahkan pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap ada ancaman pidana bagi pelaku. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak mudah menjerat pelaku euthanasia yang banyak terjadi. Adanya hak atau otonomi pasien serta UU HAM yang menyatakan setiap orang mempunyai hak menentukan hidup orang itu sendiri,menjadikan hukum khusus DNR masih abu-abu atau belum jelas. Berikut contoh surat pernyataan DNR :(https://drive.google.com/file/d/0B8Amvzzpdu6DbEp1VWdCQUNMYnc/view) page 55.
      Semoga jawabannya berguna dan bermanfaat.
      Sumber :
      Sutoto. 2014. Hak Pasien dan Keluarga: Panduan DNR (Do Not Resuscitate). SNARS-Standart Nasional Akreditasi Indonesia. Komisi Akreditasi Rumah Sakit
      -Stanley Lovell H (41170207)

      Hapus
    2. Hai !! Terimakasih sudah bertanya :))

      Saya Irene Melati W. / NIM 41170127, ijinkan sy menjawab pertanyaan anda poin ke 2.

      Dalam dunia kedokteran dan kesehatan, penerapan prinsip - prinsip etika dalam kedokteran dikenal dengan prinsip - prinsip bioetika yang digunakan sebagai pedoman praktis dan normatif yang bersumber dalam 4 kaidah dasar (basic moral principle) dan turunannya. 4 kaidah dasar moral tersebut adalah :
      1.Autonomy ( menghargai otonomi pasien )
      Otonomi pasien merupakan wewenang pasien / hak personal yang dimiliki oleh pasien tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.
      2.Beneficence ( berbuat baik )
      Tindakan - tindakan yang dilakukan hendaknya demi kebaikan pasien.
      3.Non - Maleficence ( tidak merugikan )
      Tindakan yang dapat memperburuk keadaan pasien adalah dilarang.
      4.Justice ( berlaku adil )
      Mementingkan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya.
      ( Affandi,2017 ; Suryadi,2009 )

      Di Indonesia perumusan norma dan etika harus didasarkan dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila serta UUD 1945, seperti yang tertuang dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya juga harus mempertimbangkan aturan - aturan / hukum yang berlaku di Indonesia. Beberapa contoh pertimbangan dari segi hukum yang berlaku di indonesia :
      1.Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP):
      ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”
      2.Pasal 338 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP):
      “ Barang siapa secara sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dipenjara selama - lamanya lima belas tahun”
      3.Pasal 340 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP):
      “ Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain , dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama - lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama - lamanya dua puluh tahun”
      4.Pasal 359 Kitab undang - undang Hukum Pidana (KUHP):
      “ Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama - lamanya lima tahun atau kurungan selama - lamanya satu tahun”
      5.UU No. 39 Tahun 1999

      Sumber :
      M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir. (2009). Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, ed. 4, cet. 1 (-.). EGC, Jakarta.
      Suryadi (2009) ‘Prinsip Prinsip Etika Dan Hukum Dalam Profesi Kedokteran’, Pertemuan Nasional V JBHKI, p. 13.
      KODEKI (2012) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Available at: http://www.idai.or.id/professional-resources/ethic/kode-etik-kedokteran-indonesia.
      Afandi, D. (2017) ‘Kaidah dasar bioetika dalam pengambilan keputusan klinis yang etis’, Majalah Kedokteran Andalas, 40(2), p. 111. doi: 10.22338/mka.v40.i2.p111-121.2017.

      Hapus
  10. Artikel yang cukup informatif, cuman masih ada beberapa informasi yg kurang tegas. Jadi bagaimana pandangan para dokter apabila di Indonesia terjadi kasus serupa, apakah menghormati hak pasien dengan melihat sekedar dari keinginan pasien lewat tato saja itu mempunyai kekuatan hukum yg kuat kedepan nya?
    Sedangkan di Indonesia hak untuk memperoleh kehidupan itu sangat diperjuangkan.

    Jika di Indonesia diperbolehkan tindakan euthanasia, apa saja hal yg harus dipenuhi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aureliya Stefani23 Mei 2020 pukul 20.47

      Permitaan untuk tidak dilakukan resusitasi jika hanya berdasarkan tato tentu tidak memiliki hukum yang kuat, terlebih saat dokter maupun tenaga medis tidak mengetahui tato tersebut dibuat saat pasien dalam keadaan sadar atau tidak. Untuk permintaan "Do not resucitate" harus menyertakan surat permintaan untuk tidak dilakukan resusitasi secara resmi yang ditandatangani oleh pasien, dokter maupun saksi atau pihak keluarga. Keputusan untuk tidak dilakukan resusitasi juga harus mempertimbangkan banyak aspek seperti etika, moral dan hukum yang berlaku di Indonesia, berdasarkan kondisi medis pasien, kesepakatan antar pasien dan keluarga termasuk risiko atau konsekuensi yang akan diterima pasien, keluarga pasien maupun dokter.

      DNR diberikan dengan pertimbangan tertentu seperti:
      - Orang yang akan diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sakit dan tidak dapat diobati, misal kanker.
      - Pasien dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal menunggu kematian.
      - Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
      - Yang boleh melaksanakan bantuan pengahiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan Euthanasia.

      Prosedur DNR yang direkomendasikan:
      - Meminta informed consent dari pasien atau walinya.
      - Mengisi formulir untuk dilakukan DNR, kemudian salinan formulir tersebut ditempatkan di rekam medis dan juga diberikan pada pasien atau keluarga. Formulir harus ditandatangani oleh pasien, dokter, dan pihak ketiga.

      Perintah DNR mencakup : diagnosis, alasan dilakukan DNR, kemampuan pasien untuk membuat keputusan, dokumentasi bahwa status DNR telah ditetapkan.

      Semoga jawaban ini membantu dan bermanfaat. Terimakasih.

      Aureliya Stefani .P.(41170133)

      Sumber:
      Rumawi, A. (2016). Euthanasia, Dapatkah Dilakukan di Indonesia? Gama Cendekia UGM.
      Jusuf Hanafiah M. dan Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 3, Jakarta : ECG, 1999
      Amiruddin, M. 2017. Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia
      di Negara Yang Menganut Sistem Hukum Eropa
      Kontinental dan Sistem Hukum Anglo Saxon. Universitas
      Islam Negeri. Makassar
      Virginia Department of Health. 2018. Virginia Durable Do Not
      Resuscitate Order. SeniorNavigator: A VirginiaNavigator
      Website. https://seniornavigator.org/article/12446/virginia-
      durable-do-not-resuscitate-order. Diakses tanggal 23 Mei
      2020

      Hapus
  11. terima kasih untuk artikelnya, saya ingin bertanya, diatas disebutkan kewajiban seorang dokter memastikan kondisi pasien dalam keadaan baik dan berperan untuk menyembuhkan pasien. bgaimana jika pasien merasa sangat kesakitan jika diberi anti nyeri kemungkinan akan mengalami hal buruk bahkan kematian atau tetap membiarkan pasien merasa kesakitan luar biasa? berdasarkan prinsipnya mana yang lebih " beretika" dan apa alasannya ?
    .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaannya disini saya mau menjawab mengenai gambaran apa yang sebaiknya dilakuan jika terjadi kasus seperti pertanyaan diatas. Disini perlu diingat bahwa kewajiban seorang dokter adalah keselamatan pasien merupakan hukum tertinggi dan melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan menurut UU no 29 tahun 2004. Pada gambaran kasus yg ditanyakan tentu saja sebagai seorang dokter Ia harus berusaha sebisa mungkin untuk menghilangkan rasa sakit pasien tersebut karena perlu digaris bawahi pemberian anti nyeri tentu sudah ada dosis tertentu dan indikasi pemberiannya untuk tidak membahayakan nyawa pasien , sehingga walaupun dengan dosis yang sedikit tapi dapat mengurangi penderitaan pasien sebaiknya tetap diberikan anti nyeri untuk mengurangi rasa sakit pasien tanpa membahayakan nyawa pasien tsb. 41170210_ Trystan Josef Ticoalu

      Sumber: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan , Bab 7: Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien

      Hapus
    2. terima kasih banyak untuk jawabannya trystan, sudah sangat jelas.
      BRENDA M RUSTAM (41170167)

      Hapus
  12. Terimakasih atas informasinya. Izin bertanya :
    1. Penderitaan yang sejauh mana yang dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya euthanasia pada pasien?
    2. Apakah ada pro dan kontra yang bisa saja muncul dalam pelaksanaan euthanasia seperti kasus yang dijelaskan diatas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai nandaa terimakasih atas ketersedian kamu membaca artikel ini dan memberikan tanggapan serta pertanyaan nya.di sini kami mencoba menjawab menurut literatur kami yaa :) semoga puas dengan jawaban kami

      1.konsep penderitaan bagi seseorang tentu berbeda beda,tetapi merujuk kasus kasus euthanasia di Indonesia biasanya terjadi karena penyakit kronis atau cacat secara fisik. Contohnya ada sebuah kasus dimana bapak2 umur 45 tahun,dia kecelakaan sudah 6 taun yang lalu. Dia hidup bersama anak istri nya,tetapi karena dia kecelakaan dia kehilangan 2 kakinya dan dia tidak bisa mencari nafkah serta merepotkan anak istrinya karena keterbatasan fisiknya. Dia berkonsultasi ke dokter untuk mengakhiri hidupnya supaya beban istri anak tidak terlalu berat karena merawat dirinya.Tetapi yang perlu digaris bawahi ialah segala jenis euthanasia tidak di perbolehkan di indonesia karena melanggar uud dan HAM yang berupa hak untuk hidup dan jkalau ada yang melanggar bisa dilakukan hukum pidana
      2.pro dan kontra pasti selalu ada,di dunia medis pun euthanasia menjadi perdebatan yang sangat sengit mengingat euthanasia berikatan dengan moral,norma dan etika kedokteran di Indonesia.

      Ini saya lampirkan kasus kasu euthanasia di indonesia dan hukum yang mengatur euthanasia itu sendiri

      Sumber:YasinMuhhamad (2019 November 21) Euthanasia di Indonesia, Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat
      https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd4f5e2a4f7f/euthanasia-di-indonesia--masalah-hukum-dari-kisah-kisah-yang-tercatat/


      Mesakh Malvin Wardhana 41170192

      Hapus
  13. Pembahasan yang lengkap. Izin bertanya jika dari pihak keluarga semisal meminta untuk tdk dilakukan penangganan lanjut, apa yg harus dokter lakukan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapan dan pertanyaanya, kami akan menanggapi pertanyaan yang Anda berikan mengenai tindakan yang harus dokter lakukan apabila pihak keluarga tidak menghendaki pasien untuk hidup. Berdasarkan UU No 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh diapapun. Setiap orang memiliki hak kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya, dalam hal ini ialah pilihan hidup atau mati berdasarkan prosedur medis, oleh karena itu apabila keluarga atau pihak lain berusaha untuk tidak melanjutkan penanganan terhadap pasien berarti ini termasuk dalam euthanasia pasif. Terdapat banyak alasan mengapa keluarga memilih untuk tidak melanjutkan penanganan lebih lanjut, antara lain ketidaksanggupan pihak keluarga dalam merawat pasien atau menanggung biaya pengobatan pasien sehingga pihak keluarga memilih keputusan tersebut seolah-olah supaya beban yang mereka rasakan hilang. Namun keputusan yang dibuat oleh orang lain termasuk kelurga dalam melakukan pembiaran tanpa adanya persetujuan pasien termasuk melanggar hukum, hal ini diatur secara eksplisit dalam KUHP Pasal 304 berkaitan dengan Euthanasia yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” di mana hal ini termasuk ke dalam jenis euthanasia pasif yang merupakan perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia. Terdapat dua macam euthanasia yaitu voluntary euthanasia dimana keputusan berada di tangan pasien dan involuntary euthanasia di mana keputusan berada di pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dokter dapat melakukan tindakan sesuai dengan keputusan pihak keluarga apabila pasien berada pada kondisi tidak mampu memberikan keputusan karena mengalami kondisi tidak sadar atau koma medis, apabila pasien mampu memilih dan menentukan keputusannya sendiri untuk hidup maka dokter harus mengormati keputusan pasien dengan melanjutkan tindakan dalam upaya menyelamatkan dan melanjutkan kehidupan pasien. Hal ini sesuai dengan prinsip etika kedokteran dan kesehatan yaitu autonomy (otonomi) di mana dokter harus menghargai dan menghormati pilihan atau keputusan pasien dalam memutuskan suatu prosedur medis.
      Semoga bisa menjawab atas pertanyaan yang Anda berikan. Terimakasih.
      (Jessica Chandra S_41170198)
      Sumber :
      1. BPHN. (2015). Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) Badan Pembinaan Hukum Nasional.
      2. Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 1(1), 56–63. https://doi.org/10.17977/um019v1i12016p056
      3. Purnama, S. G. (2017). Prinsip-Prinsip Etika Kesehatan. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. (September), 1–68

      Hapus
  14. Pembahasan sgt lengkap. Izin bertanya,
    Apa yang akan terjadi jija dokter di Indonesia melakukan euthanasia? Dilihat dari segi budaya dan agama yg beragam di Indonesia, apakah dokter tersebut akan mendapatkan sanksi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaan.

      Dikarenakan belum adanya peraturan yang mengatur mengenai eutanasia secara eksplisit dan pasti di Indonesia, kalangan kedokteran di Indonesia perlu megetahui dan mengingat ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 344 yang menyatakan secara tegas: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, hal tersebut secara inplisit menekankan bahwa tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien/keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman atau sanksi tersebut harus dihadapinya jika telah melakukan hal tersebut.

      Semoga jawaban yang diberikan dapat membantu, terima kasih.

      -Virgina Glory B (4110151)

      Sumber:
      Hanafiah M.J, Amir A. 2019. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta

      Hapus
  15. Terima kasih untuk artikelnya, sangat informatif!
    Saya izin bertanya, apakah ada batas waktu maksimal untuk bisa mengambil keputusan jika kertas DNR tidak ada ? Terutama di Indonesia.
    Terima kasih, Tuhan memberkati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kak untuk tanggapan dan pertanyaanya. Menanggapi pertanyaan yang sudah diberikan, tidak terdapat batas maksimal untuk menyerahan berkas DNR. Akan tetapi itu kembali lagi kepada peraturan setiap rumah sakit. Apabila seseorang sedang berada didalam keadaan kritis, maka sesuai dengan SOP rumah sakit terkait, tenaga medis akan terus melakukan upaya penyelamatan kepada pasien. Kecuali apabila keluarga maupun wali pasien dapat menyerahkan dokumen resmi surat DNR (Do Not Resuscitate). Berdasar hukum (KUHP pasal 344), pelaksanaan euthanasia aktif dilarang di Indonesia karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan hukum, norma sosial, agama, dan etika dokter di Indonesia. Akan tetapi terdapat beberapa keadaan yang dapat dilakukan pelaksanaan prosedur DNR, yaitu pelaksanaan Pseudo-Euthanasia atau Euthanasia semu, yaitu pada keadaan seperti:
      1. Gejala mati batang otak (brain stem death)
      2. Kegawatdaruratan karena kuasa tidak terlawan. Contohnya pada keadaan dimana seorang tenaga medis harus memilih diantara dua pasien darurat untuk dilakukan uoaya penyelamatan (RJP atau prosedur pemasangan respirator)
      3. Apabila suatu prosedur memberikan efek yang lebih buruk daripada tidak dilakukan prosedur sama sekali dan lebih bersifat menganiaya pasien.
      4. atau apabila pasien menolak menerima perawatan medis

      Sumber :
      Irmanti, R., & Andrianto, W. (2016). Analisis Perintah “Jangan Lakukan Resusitasi” (Do Not Resuscitate/DNR) Sebagai Suatu Bentuk Euthanasia Semu (Pseudo-Euthanasia). FH UI, 5-7.

      Hapus
  16. Artikel yang sangat informatif. Saya ingin bertanya dan pertanyaan ini ditujukan untuk penulis. Ketika penulis telah menjadi dokter dan suatu hari mendapati pasien dengan tato DNR, tindakan apa yang akan penulis lakukan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin terdapat beberapa opsi, jika seseorang tersebut didalam kondisi yang sangat kritis dan memang membutuhkan resusitasi maka resusitasi harus dilakukan, namun jika dilain sisi ada informed consent yang jelas dan tertulis dari pasien maupun keluarga untuk tidak bolehnya dilakukan resusitasi maka sebagai seorang dokter harus menghargai keputusan dari pihak pasien/keluarga tersebut, Terimakasih.

      Hapus
  17. Artikel yang bermanfaat sekali dalam etik kedokteran. Saya ingin bertanya bila ada pasien karena sakitnya ingin sekali mengakhiri hidupnya namun dari keluarga pasien sendiri tidak setuju dengan keinginan pasien sendiri, apa yang akan penulis (dokter) sebagai dokter di Indonesia akan lakukan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Rexy! Terima Kasih atas tanggapan dan pertanyaanya.
      Jika terkait kasus yang anda katakan maka sebaiknya seorang dokter tetap harus mengupayakan segala cara untuk menyembuhkan pasien tersebut, hal ini karena keinginan pasien untuk mengakhiri hidup bisa dikarenakan oleh banyak faktor seperti depresi akibat kurangnya dukungan dari orang lain atau depresi karena penyakit yang dialami, jika seperti itu sudah menjadi tugas seorang dokter untuk menyembuhkan pasien baik dari segi penyakit fisiknya hingga psikologi pasien terkait depresi yang dialami tidak hanya lewat obat-obatan tapi juga lewat psikoterapi suportif yang berguna untuk mental dan psikis pasien sendiri sehingga dapat mengatasi rasa ingin mengakhiri hidupnya.
      Sebagai dokter di Indonesia tentu saja tindakan yang kelompok penulis ambil didasari pada kode etik profesi yaitu KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) dan hukum yang berlaku di Indonesia. Terlepas dari persetujuan keluarga, hukum negara kita menegaskan bahwa tindakan eutanasia di Indonesia itu dilarang/tidak diperbolehkan dilakukan oleh siapapun termasuk seorang dokter sekalipun atas permintaan pasien. Jika pada kasus anda, keluarga tidak menyetujui keinginan pasien, hal itu bisa menyebabkan dokter dituntut bila dokter memilih mengikuti kemauan pasien tanpa penanganan yang maksimal.
      Terima kasih, semoga bermanfaat.

      Anastasia Aprilia - 41170202

      Sumber :
      Purwadianto, A., dkk. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

      Hapus
  18. Saya mau bertanya terkait hal yang nanti kita temukan saja di praktek kita sebagai Dokter yaitu
    1. Pada kasus apa kita akan melakukan DNR? atau kapan kita boleh melakukan DNR?
    2. Jikalau ada pasien MBO (Mati Batang Otak) siapa yang boleh mentukan dan melakukan Euthanasia terhadap pasien tersebut? Dan dari berbagai macam jenis euthanasia, apa jenis euthanasia yang terbaik untuk pasien MBO?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Ryan! Saya akam coba bantu jawab
      1. Disamping adanya surat pernyataan resmi daei pasien untuk DNR, menurut American Heart Association sebagai salah satu panduan yang banyak digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua pasien. Pasien dengan kondisi terminal, penyakit yang tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir dapat dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP.
      2. Penentuan euthanasia dilakukan oleh wali yang sah(keluarga, teman) sehingga sifatnya menjadi Euthanasia Involuntary dan tindak euthanasia cukup dengan menghentikan pemberian bantuan hidup(karena biasanya pasien MBO ditopang dengan berbagai alat untuk tetap hidup) tindakan ini termasuk euthanasia pasif dan diperbolehkan dari PMK No 37 tahun 2014
      Sumber:4. Sa’id AN, Mrayyan M. Do Not Resuscitate: An Argumentative Essay. J Palliat Care Med. 2016; 6: 254. DOI:10.4172/2165-7386.1000254
      Amin Hidayati. 2016. “Kontroversi Tentang
      Euthanasia (Hak Mati)”. Makalah
      Kesehatan Masyarakat. Malang: FKIP UMM
      Iannugrah Pandung Wibowo/41170124

      Hapus
  19. Terimakasoh untuk artikelnya. Saya mau bertanya beberapa hal
    1. Di Indonesia sendiri lembaga apa yang mengurusi DNR dan apa saja syaratnya?
    2. Apakah menurut kalian DNR termasuk eutanasia? Mengapa?
    3. Apa yang terjadi jika ternyata tato DNR memang hanya tato dan tidak ada form aslinya? Apakah akan ada tindak pidana?
    Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Kak Novi Manda terima kasih sudah menyempatkan waktu nya untuk membaca artikel ini dan memberikan beberapa pertanyaan kepada kami. Kami akan menjawab beberapa pertanyaan anda semoga jawaban ini bisa menjawab pertanyaan anda.
      1. Untuk saaat ini belum terdapat satupun lembaga dibawah pemerintah Indonesia yang mengawasi tindakan euthanasia karena di Indonesia pun belum terdapat hukum yang spesifik dalam mengatur euthanasia. Jika mengacu KHUP 344 dinyatakan, "Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun". Berdasarkan peraturan tersebut dalam konteks hukum positif Euthanasia masih sesuatu yang dilarang di Indonesia, apabila dokter tetap melakukan tindakan tersebut maka bisa diancam pidana maksimal dua belas tahun.
      2.Menurut Kartono Muhammad, euthanasia dibagi dalam 4 macam yaitu:
      - Euthanasia pasif : mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan/mengambil tindakan pertolongan. DNR termasuk dalam golongan ini karena DNR berarti tidak memberikan pertolongan Resusitasi jantung paru untuk menolong korban.
      -Euthanasia aktif : membunuh pasien dengan cara aktif, misalnya, menyuntikkan pasien dengan dosis obat yang mematikan. Kadang-kadang disebut euthanasia "agresif".
      - Euthanasia sukarela : mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Biasa nya hal ini terjadi kepada pasien yang mengalami gangguan depresi berat atau mengalami tekanan hidup yang hebat tanpa support orang disekitar nya.
      -Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai mercy killing. Biasanya euthanasia tipe adalah permintaan dari keluarga korban yang tidak melihat pasien secara menerus menahan sakit biasanya pada pasien yang sudah mengalami komplikasi parah seperti kanker, namun bisa juga keluarga pasien sudah tidak memiliki uang untuk membayar rumah sakit dan tingkat kesembuhan pasien rendah.
      3. Jika merujuk pada kasus diatas dokter terlebih dahulu dokter berdiskusi dengan keluarga korban, namun jika keuluarga korban tidak diketahui keberadaan nya dokter bisa langsung minta pendapat ke tim etik rs. Sehingga dokter tidak boleh mengambil keputusan sendiri dalam menangani kasus DNR karena jika mengambil tindakan sendiri dokter bisa terancam pidana.
      Sumber :
      - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).
      - Kartono Muhammad, “Teknologi Kedokteran dan Tantanggannya terhadap bioetika”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992

      H FAJAR KESUMA_41170193

      Hapus
    2. Saya ingin menambahkan untuk pertanyaan ketiga, tatto yang bertuliskan "DNR" sejauh ini dari beberapa kasus di luar negeri memang orang tersebut sudah mempunyai komitmen ingin mengakhiri hidupnya. Jadi tidak terdapat kasus orang yang sehat jiwa dan raga membuat tatto bertuliskan DNR.
      Sumber :
      http://www.bbc.co.uk/ethics/euthanasia/overview/dnr.shtml

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. https://medicine.missouri.edu/centers-institutes-labs/health-ethics/faq/euthanasia

      Hapus
  20. Apabila ada pasien yang menderita kanker stadium akhir dan meminta untuk di euthanasia karena tidak kuat dengan rasa nyerinya apa yang akan kamu lakukan sebagai dokter?
    Apa pendapatmu tentang pernyataan bahwa "CPR atau pemberian ventilator itu melawan kehendak Tuhan"? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai anonim,terimkasih telah membaca artikel kami dan sudah memberi pertanyaan kepada kami. Disini saya mencoba menjawab pertanyaan kamu ya. semoga kamu puas dengan jawaban kami

      1.kami sebagai dokter dengan tegas menolak permintaan pasien tersebut dan memberi semaksimal mungkin pengobatan bagi pasien agar bisa sembuh atau minimal bisa mengurangi rasa sakitnya.Kenapa kami tenaga medis menolak hal tersebut? karena dalam etika kedokteran indonesia dan KUHP pasal 334 di jelaskan bahwa "Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
      disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh sungguh, dihukum penjara selama lamanya dua belas tahun penjara. selain bisa menyebabkan hukuman pidana,euthanasia bagi dokter itu sendiri bisa melanggar HAM berupa hak untuk hidup serta merusak nilai2 moral dan norma yang ada
      2.pendapat saya tentang "CPR atau pemberian ventilator itu melawan kehendak Tuhan" adalah tidak melanggar,justru kalo kita tidak melakukan CPR,kita sebagai medis telah melanggar kode etik yang ada serta merasa berdosa. kenapa berdosa? karena kita mempunyai kompetensi melakukan cpr kok tidak melakukan nya,dan hal yang terpenting bagi dokter ialah mennyelamtakan dan memberi pertolangan medis bagi orang yang merasa saki atau menderita karena sakit.

      sekian jawaban saya dan terimakasih :)
      salam hangat Mesakh Malvin Wardhana 41170192

      sumber:jusuf hanfiah,m (2016) Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan edisi 5 bab 16 tetang Euthanasia EGC: Jakarta

      Hapus
  21. Saya izin mau bertanya, dijelaskan di artikel bahwa berdasarkan segi agama, euthanasia dilarang selama pasien masih dapat diselamatkan. Di samping itu DNR mengarah pada tindakan bunuh diri.
    Apa yang seharusnya kita lakukan bila kelak menjadi dokter diperhadapkan dengan pasien dengan usia masih muda atau masih ada harapan kesembuhan, namun ia telah putus asa sehingga memohon-mohon kepada kita untuk tidak dilakukan tindakan apapun (euthanasia), walaupun kita telah mengedukasinya, sementara kita mengingat dari sisi agama?

    Bagaimana tanggapan agama lain, seperti Buddha, Hindu, KongHuCu mengenai euthanasia atau DNR selain agama Islam, Katolik, Kristen yang telah dijelaskan pada artikel di atas?

    Artikelnya sangat bermanfaat. Berkat artikel ini, saya sudah bisa mengerti sejak sekarang tentang etika euthanasia dan DNR.
    Terima kasih. Tuhan memberkati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Isa atas pertanyaannya. Apakah isa pernah mendengar bahwa penyakit fisik berpotensi untuk mempengaruhi psikis juga? Nah, seperti inilah yang mungkin terjadi pada orang-orang yang mengidap suatu penyakit terlebih penyakit kronis. Semua golongan umur (tua atau muda) mempunyai resiko tinggi untuk terganggu psikisnya, akibat dari itu mereka cenderung memilih cara-cara yang bisa mengakhiri hidupnya dengan anggapan segala penderitaan mereka akan berakhir. Tentu saja, jika dalam hal ini Isa mengatakan DNR mengarah ke tindakan bunuh diri, sebagai dokter kita perlu melakukan pendekatan yang tidak cukup hanya 1-2 kali edukasi saja. Kita perlu melakukan pendekatan yang holistic sehingga bisa membantu pasien untuk mengatasi masalahnya. Tidak cukup dokter saja yang melakukan pendekatan, pihak keluarga juga mempunyai peran penting dalam pendekatan ini. Pasien juga bisa kita libatkan dalam kegiatan agama guna meningkatkan kesadaran rohaninya dan me-review kembali nilai-nilai agama yang dianutnya. Lewat kegiatan keagamaan ini diharapkan pasien bisa lebih mensyukuri segala sesuatu yang terjadi dan yakin bahwa segala penyakitnya bisa disembuhkan jika pasien memiliki pikiran yang positif terlebih dahulu.

      Menyinggung masalah agama, kebetulan saya adalah seorang Katolik dan saya kurang mengetahui secara detail bagaimana pandangan agama lain terhadap kasus ini. Tapi yang saya ketahui, agama apapun akan mengajarkan bahwa tindakan mengakhiri hidup dengan sengaja tidak dibenarkan dengan cara apapun, kita harus menghargai anugerah yang diberikan melalui hidup ini, ketika kita lebih banyak bersyukur maka hidup ini juga akan lebih menyenangkan untuk dijalani.
      Untuk mencegah kesalahpahaman tentang ajaran-ajaran agama lain yang memang saya tidak ketahui secara rinci, mohon maaf Isa saya tidak bisa menjawab secara detail untuk bagaimana pandangan agama Buddha, Hindu, dan KongHuCu terhadap tindakan ini sebagaimana yang Isa tanyakan. Mungkin jika teman-teman saya yang lain bisa membantu menjawab sesuai kepercayaannya masing-masing, saya sangat persilahkan. Semoga membantu, terimakasih.

      Brigita Suci/41170197

      Hapus
  22. Terima kasih atas informasinya. Jika kasus serupa dengan tato DNR terjadi di Indonesia. Pertanyaan saya:
    1. Apabila tim medis memilih untuk tidak melakukan RJP, prinsip etika apa yang di langgar dan alasannya?
    2. Apabila tim medis tetap melakukan RJP, prinsip etika apa yang dilanggar dan alasannya?
    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kak Frilla atas pertanyaanya. Kami akan menanggapi pertanyaan kakak mengenai prinsip etika yang dilanggar mengenai kasus DNR (tidak dilakukan RJP) dan dilakukan RJP. Sebenarnya kasus ini masih menjadi pro kontra dari segi kedokteran maupun etika sehingga prinsip etika yang dilanggarpun bisa berkaitan satu sama lain. Sebelumnya, terdapat 8 prinsip etika kesehatan yaitu autonomy (otonomi), benefience (berbuat baik), non malifiece (tidak merugikan), confidentiality (kerahasiaan), fidelity (menepati janji), fiduciarity (kepercayaan), justice (keadilan), dan veracy (kejujuran). Berdasarkan pertanyaan nomor 1 dan 2, prinsip etika yang dilanggar ialah otonomi di mana prinsip ini mengacu pada hak pasien dalam menentukan keputusannya. Pasien berhak menenukan apa yang dirasa baik bagi dirinya, dalam hal ini memilih dilakukan RJP atau tidak. Apabila pasien menolak dilakukan RJP namun tim medis tetap melakukan atau bisa sebaliknya, pasien ingin dilakukan RJP tetapi karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk selamat sehingga tidak dilakukan RJP, hal ini mengacu pada pelanggaran hak pasien dalam menentukan pilihannya. Prinsip ini memberi pengertian bahwa bukan hanya sekedar tim medis saja yang berkuasa/memiliki wewenang dalam menentukan nasib pasien melainkan pasienlah yang berhak menentukan hidupnya sehingga dokter harus menghormati apapun keputusan yang diambil oleh pasien. Prinsip otonomi juga bisa dihubungkan dengan prinsip keadilan di mana setiap pasien memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menentukan keputusannya bukan berdasar "perkiraan kondisi" dari segi pandang dokter, Khusus pertanyaan nomor 1 juga berkaitan dengan pelanggaran prinsip benefience di mana pada prinsip ini berkaitan dengan manfaat yang diperoleh harus lebih besar daripada risiko/dampak buruk yang terjadi, sehingga dalam hal ini kewajiban dokter untuk menangani dan mengobati pasien menjadi gagal karena adanya keputusan pasien untuk tidak dilakukan RJP. Khusus pertanyaan nomor 2, prinsip non malefience juga dapat dilanggar apabila tim medis tetap melakukan RJP meskipun pasien menolak, di mana hal ini termasuk jenis "pemaksaan" agar pasien tetap hidup meskipun pasien tidak mau dilakukan RJP bisa karena kondisi pasien yang sudah mengalami komplikasi atau pasien memiliki pandangan bila mereka diselamatkan maka akan mengalami kecacatan atau konsekuensi buruk lainnya sehingga hal ini bisa menyebabkan penurunan quality of life pasien.
      Semoga bisa menjawab atas pertanyaan yang kakak berikan. Terimakasih.
      (Jessica Chandra S_41170198)
      Sumber :
      1. Purnama, S. G. (2017). Prinsip-Prinsip Etika Kesehatan. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. (September), 1–68.
      2. Suryadi T. Prinsip-Prinsip Etika dan Hukum dalam Profesi Kedokteran. Bioetika dan Humaniora. Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh, 2009. hlm 1-13

      Hapus
  23. Artikelnya sangat bermanfaat, terima kasih untuk informasinya.
    Saya mau bertanya, apakah di Indonesia sudah pernah ada kasus nyata mengenai kejadian DNR? Jika sudah ada, bagaimana tanggapan kelompok ini tentang kejadian tersebut? Jika belum, adakah saran atau tanggapan lainnya mengenai kejadian tersebut? Melihat selalu adanya pro dan kontra mengenai kejadian euthanasia ini.
    Terim kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk kasus nyata nya sendiri belum ada mengenai kejadian DNR, namun di Indonesia sendiri sudah terdapat dua kasus permintaan untuk Euthanasia di pengadilan.
      -Pertama kasus euthanasia di Indonesia tercatat mulai muncul sejak 22 Oktober 2004 di Rumah Sakit Islam Bogor. Saat itu, Panca Satrya Hasan Kusumo melakukan permohonan praktik euthanasia terhadap istrinya, Agian Isna Nauli Siregal, yang sudah mengalami koma selama 3bulan karena menderita kerusakan permanen di otak. Melihat kondisi istrinya, Panca mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonannya ditolak negara karena dianggap melanggar hukum. Solusinya: pemerintah yang membiayai perawatan istrinya.
      -Kejadian kedua, permintaan euthanasia muncul pada bulan Mei 2017. Saat itu, Berlin Silalahi yang mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh lantaran kondisinya lumpuh dan menderita sakit kronis. Istrinya, Ratna Wati, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Seperti kasus euthanasia lain, permohonan tersebut ditolak.
      berdasarkan dari kejadian tersebut memang tindakan euthanasia masih sangat dilarang di Indonesia,memang belum ada peraturan yang spesifik membahas tentang euthanasia, namun jika mengacu pada uud pasal 28A Pasal 28A "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya" dan KHUP 344 “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun" berdasarkan dari pasal tersebut sangat dilarang dan yang melakukan tindakan bisa dikenakan pidana paling lama 12 tahun.
      - Untuk saat ini berdasarkan dari pengalaman tersebut, NKRI hanya mengakui hak manusia untuk hidup bukan hak manusia untuk mati.
      Sumber :
      - https://tirto.id/euthanasia-dan-perdebatan-tentang-hak-untuk-mati-cKw3
      - KHUP dan UUD
      - http://jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/319
      H FAJAR KESUMA_41170193

      Hapus
  24. Terima kasih atas informasi dan pembahasannya, sangat menarik.
    Apakah orang sehat boleh mengisi DNR form?
    Apakah ada kondisi yang bisa membatalkan DNR?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas pertanyaannya , ya orang sehat juga bisa mengisi form DNR untuk mencegah dilakukannya DNR jika suatu saat nanti dibutuhkan. Contohnya kutipan dari organisasi profesi perawat dan dokter anestesi memiliki konsensus yang mendukung hak pasien akan dirinya sendiri yang bertulis "Pasien yang dinyatakan dewasa secara hukum dan kompeten berhak menolak prosedur, termasuk yang menyelamatkan hidup mereka, setelah mendapat informasi dan memahami betul implikasi keputusannya.Perintah DNR dianggap sebagai dokumen medis legal yang mencerminkan keputusan dan keinginan pasien akan menghindari upaya untuk mempertahankan kehidupan. Sedangkan kondisi yang bisa membatalkan DNR adalah jika pasien atau orang tsb yang mau membatalkan , semoga membantu
      41170210_Trystan Josef
      Sumber : Alomedika Kajian Bioetik Dan Medikolegal Dari “Do Not Resuscitate”

      Hapus
  25. Artikelnya sangat informatif, tetapi saya masih punya pertanyaan. Apakah pengisian form DNR sudah berlaku di Indonesia? Lalu apakah ini diajukan kepada semua individu atau hanya orang-orang tertentu saja? (Berhubung DNR ini masih asing di telinga banyak orang).Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mary Rose (41170145)24 Mei 2020 pukul 19.43

      Terimakasih Veeghan untuk tanggapannya terhadap artikel kami! Mengenai pelaksanaan DNR di Indonesia sendiri sudah berlaku sejak dulu dan masih berlaku hingga saat ini. Surat DNR dapat diminta atau diisi oleh semua pasien dewasa yang sudah dinyatakan kompeten untuk mengambil keputusan dan pasien telah mendapat penjelasan dari dokter sebelumnya. Namun apabila pasien dinyatakan tidak cukup kompeten untuk mengambil keputusan tersebut, maka keputusan dapat diberikan oleh keluarga terdekat pasien, wali sah pasien yang telah ditentukan oleh pengadilan sebelumnya, atau oleh surrogate decision maker.
      Keputusan pengisian form DNR juga dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus tertentu, misalnya pada kasus dimana suatu prosedur yang akan dilakukan memiliki angka keberhasilan rendah dan RJP hanya akan menunda kematian alami, pada kondisi dimana pasien berada pada stadium terminal dari suatu penyakit, atau pada penyakit kronis yang akan lebih merugikan pasien apabila dilakukan diresusitasi daripada tidak. Keputusan untuk tidak melakukan resusitasi harus disetujui oleh kedua pihak terkait, yaitu pihak dokter atau rumah sakit dan pihak pasien, keluarga, atau wali. Apabila pihak dokter atau rumah sakit tidak menyetujui keputusan DNR pasien, maka pasien dapat ditransfer ke dokter atau rumah sakit lain.
      Penjelasan oleh dokter juga sebaiknya memperhatikan beberapa hal, mengingat keputusan pengisian form DNR sangat menentukan tindakan yang diambil dokter dan perawat di masa depan. Beberapa hal tersebut antara lain :
      1. Mengkondisikan ruangan sehingga pasien dalam keadaan tidak tertekan saat membuat keputusan
      2. Melibatkan pasien dan keluarga atau wali pasien yang sah
      3. menjelaskan dengan nada dan intonasi yang baik serta pelafalan yang jelas
      4. Tidak mendiskusikan keputusan pasien sesaat setelah pemberian diagnosis, sehingga keputusan yang sudah diberikan oleh pasien sudah benar-benar dipikirkan secara jernih oleh pasien.
      5. Menjelaskan informasi dengan bahasa dan kata-kata yang sederhana dan dapat dipahami oleh pasien.
      6. Memperhatikan sudut pandang dan menerima pendapat serta pertanyaan pasien dengan baik.

      Keputusan DNR pasien dapat dibatalkan sewaktu-waktu, akan tetapi form asli DNR pasien akan tetap tersimpan di rekam medis pasien.

      Sekian informasi yang bisa saya sampaikan, semoga beberapa informasi tersebut dapat menjawab serta menjelaskan pertanyaan yang sudah diberikan. Terimakasih.

      Sumber:
      Amestiasih, T., & Dede, C. (2017). Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Do Not Resuscitation (DNR) Dengan Sikap Merawat Paisen di ICU RSUD Panembahan Senopati Bantul. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta.

      Hapus
  26. Beltsazar Onne P - 41170179

    Terima kasih artikel yang sudah dibuat sangat informatif dan menarik untuk dibahas serta
    Terima kasih juga untuk teman-teman yang sudah berkontribusi untuk membuat artikel ini :)

    Saya Billy ijin bertanya tentang pasien dengan tato DNR di rangkuman diatas kan berakhir dengan berkas DNR resmi yang sudah dibuat dan ditandatangani oleh pasien tersebut jika semisalnya pasien dengan tato DNR tersebut belum membuat berkas DNR yang resmi dan belum ditandatangani serta ternyata pasien ini juga tidak di resusitasi karena tato tersebut, Kesalahan yang terjadi mengarah lebih ke pasien tersebut atau dokter maupun tim medis yang tidak melakukan resusitasi? Mungkin bisa berikan alasannya serta norma/hukum/etik yang dilanggar di negara pasien yang ada di artikel maupun di Indonesia !

    Terima kasih :)
    Selamat menjawab

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih saudara Billy untuk pertanyaannya, jika pada kasus tersebut pasien tidak mempunyai dan tidak menandatangani surat DNR sebelumnya dari sudut pandang kode etik Amerika tidak ada kesalahan tertentu yang dilakukan oleh dokter, dikarenakan kode etik Amerika disini lebih mementingkan otonomi pasien, sesuai dengan yang sudah dituliskan diatas, bahkan jika keputusan yang dilakukan oleh dokter akan mengakibatkan kematian pasien, jadi yang dijunjung tinggi untuk kode etik Amerika adalah prinsip otonomi. Jika tidak ada surat DNR yang sudah ditandatangani pasien maka keputusan dokter tidak dapat disalahkan. Kemudian, bagaimana dengan Indonesia, walaupun Indonesia sendiri juga mementingkan prinsip otonomi yaitu menghargai keputusan pasien, tetapi kehidupan perseorangan terutama pasien disini juga lebih dihargai, seperti yang sudah tercantum dalam KUHP bahwa euthanasia dilarang di Indonesia dan dapat diberikan hukum pidana, tercantum pada pasal 344 KUHP : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, jadi pada saat ada tidaknya surat DNR yang ada bisa tetap dikenakan hukum pidana, karena hanya ada beberapa keadaan yang bisa didasarkan dari surat DNR, beberapa diantaranya seperti : pasien dengan penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontraindikasi CPR dan keadaan kaku mayat. Tetapi, ditekankan Kembali bahwa memutuskan keadaan pasien secara sepihak pada dokter dapat dikenakan hukum pidana karena hal tersebut masuk kategori sebagai euthanasia.

      41170199_Yofani Wahyu Perdana
      Sumber :
      Amiruddin, M. (2017). Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia Di Negara Yang Menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Sistem Hukum Anglo Saxon. Jurisprudentie : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum, 4(1), 83. https://doi.org/10.24252/jurisprudentie.v4i1.3666

      Hapus
  27. Saya ingin bertanya jika kejadian diatas benar-benar terjadi di Indonesia bagaimana tanggapan penulis sebagai sorang dokter yang menangani pasien tsb? Apakah penulis akan menghargai putusan pasien sebagaimana kejadian yang tertera di artikel atas? Dikarenakan indonesia memiliki lingkup pandang yang cukup berbeda dibandingkan amerika yaitu dengan pasal 344 KUHP. Terima kasih ����

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebagai salah satu penulis, sebaiknya tetap dilakukan resusitasi, dengan beberapa pertimbangan.
      1. kemungkinan bahwa orang tersebut tidak benar-benar menginginkan DNR, misalkan mengikuti trend atau sebelumnya memutuskan untuk DNR dan membuat tato, namun mencabut keinginannya untuk DNR padahal tato dapat bersifat permanen
      2. mempertimbangkan hukum yang berlaku. misalkan di Indonesia, hak untuk hidup sangat dijunjung tinggi dan kewajiban untuk memberi pertolongan juga diatur dalam undang-undang. sebut saja :

      Pasal 344 KUHP
      “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

      Pasal 304 KUHP
      “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
      3. status dari pasien. salah satu yang ditakutkan pasien DNR ialah komplikasi yang mungkin timbul setelah kejadian henti jantung. bila status pasien stabil dan baik, serta waktu onset memungkinkan untuk terjadi recovery maksimal, maka tidak perlu ada keraguan dalam melakukan DNR.

      Sumber :
      T. S. Pradjonggo.(2016).SUNTIK MATI (EUTHANASIA) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA.Malang : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

      M.Konya.(2018).DNR tattoos: Are they legal and is EMS bound to comply?.EMS1 accessed from :https://www.ems1.com/paramedic-chief/articles/dnr-tattoos-are-they-legal-and-is-ems-bound-to-comply-RE78PPdJlpo3zjUs/

      Hapus
    2. Hansen Evandore (41170154)

      Hapus
  28. Terima kasih atas diskusinya kelompok 4

    Saya hendak bertanya
    Pada bagian konsekuensi, ada kalimat seperti ini " Ketika dokter memilih melakukan pertolongan maka dokter tersebut melanggar hak otonomi pasien, jika tato “Do not Resusitate” dibuat dalam keadaan sadar dan disertai dengan surat secara resmi untuk tidak dilakukan resusitasi."

    Bagaimana caranya untuk tahu bahwa tulisan DNR tersebut terdapat surat secara resmi dari pasien ? apabila pasien datang tanpa ada pihak keluarga atau pihak yang mengantar yang mengetahui keberadaan surat tersebut dan pasien sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Atau bisa juga pasien tidak diketahui keberadaan keluarganya.

    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. dari pembuatan form DNR itu sendiri, ketika DNR dibuat, rumah sakit tempat pasien mengajukan permohonan wajib menyelipkan kopian dari form tersebut di rekam medis pasien.
      2. surat atau form DNR diharuskan untuk selalu berada didekat pasien atau selalu dibawa, dan berada dalam tempat yang mudah terlihat didekat ranjang pasien ketika berada dirumah.
      3. pasien dapat mengajukan form berbentuk kalung (medallion) atau gelang (bracelet) agar lebih mudah dibawa dan tidak menganggu setelah memenuhi berbagai syarat atau dokumen yang diperlukan.

      pada medallion atau bracelet ini, akan terdapat no. yang dapat dihubungi untuk memastikan validitas dari DNR pasien.

      sumber :
      Backer, H., 2016. Do Not Resuscitate (DNR) And Other Patient-Designated Directives. [online] Emsa.ca.gov. Available at: [Accessed 23 May 2020].

      Hapus
  29. selamat malamm kak ,,, wii artikelnya membuka bahwa dunia kedokteran punya sektor yang cukup menantang ya..
    .
    .
    izin bertanya bang , kalau orang biasa dengan life basic support kemudian melakukan resusitasi dan kemudian pasien DNR ini selamat, bagaimana nasibnya
    ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Secara umum, penolong bukan merupakan tenaga medis, namun hanya memiliki basic life support sehingga sah sah saja untuk orang tersebut melakukan pertolongan kepada pasien DNR tersebut, karena orang tersebut tidak paham adanya profesionalitas seorang tenaga medis untuk tetap menghargai keinginan dan ketersediaan pasien dalam penindak lanjutan tatalaksana pasien, orang tersebut hanya berniat baik nyuk menolong pasien DNR tersebut. Dan Jika selamat setelah dilakukannya resusitasi, kemungkinan ada rasa tidak terima dari pasien DNR tersebut bahwa dirinya telah tertolong, namun seorang yang telah memberi resusitasi tidak bisa dituntut ataupun diberikan sanksi atas perbuatannya karena hal tersebut merupakan tindakan pertolongan kepada pasen DNR, dan sesuai hukum jika seseorang membantu dan merencanakan atau mengakhiri hidup tidak karena faktor alami kematian, usia tua serta penyakit-penyakit tertentu yang menyebabkan kematian, merupakan tindak pindana dan akan dibawa ke jalur hukum

      Hapus
    2. -Yeheskiel Matthew Axel M

      Hapus
    3. Sumber : https://statelaws.findlaw.com/florida-law/florida-euthanasia-laws.html itu merupakan salah satu Undang-Undang yang mengatur tentang Euthanasia di florida sesuai kasus dari artikel diatas

      Hapus
  30. Apa saja metode yang bisa dilakukan untuk euthanasia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika eutanesia dapat dilakukan biasanya dokter/tenaga medis memberikan dosis tinggi Pentobarbital, pemberian obat ini juga bisa diberikan kepada binatang, berikut saya sertakan sumber, terimakasih.

      Sumber :
      https://www.abc.net.au/news/2017-10-20/assisted-dying-what-is-need-from-drugs-for-voluntary-euthanasia/9069896

      https://end-of-life.qut.edu.au/euthanasia

      Hapus
  31. Terima kasih kelompok 4 untuk artikel yang bermanfaat ini, saya ingin bertanya apakah tindakan aplikatif DNR dapat dilakukan dalam lingkup medis di Indonesia? dan juga ingin bertanya terkait DNR apakah ada aturan yang menyatakan mengenai pembatalan DNR? mengingat mungkin saat pasien / keluarga pasien saat memutuskan tindakan DNR mungking sepenuhnya belum memikirkan secara matang keputusan mereka

    Terima kasih

    Stefan Prayoga Yukari Ujan (41170108)

    BalasHapus
  32. Stanley Lovell H24 Mei 2020 pukul 14.49

    Terimakasih atas pertanyaan saudara Yoga, di Indonesia peraturan untuk penerapan DNR masih belum ada pasti tertulis. Namun, tetap ada peraturan dalam Pasal 338 KUHP yang secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.Dalam Pasal 344 KUHP juga secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Kedua pasal diatas dapat memberitahu bahwa praktik euthanasia berisiko terjerat kedua pasal tersebut. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak mudah menjerat pelaku euthanasia yang banyak terjadi. Adanya hak atau otonomi pasien serta UU HAM yang menyatakan setiap orang mempunyai hak menentukan hidup orang itu sendiri,menjadikan hukum khusus DNR masih abu-abu atau belum jelas. Setelah pasien bersedia dilakukan DNR maka harus dilakukan peninjauan ulang mengenai keputusan DNR meliputi 1) Keputusan mengenai DNR ini harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, terutama jika terjadi perubahan apapun terhadap kondisi dan keinginan pasien. 2) Frekuensi peninjauan ulang ini harus ditentukan oleh dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau oleh konsultan penanggungjawab pasien 3) Biasanya peninjauan ulang ini dilakukan setiap 7 hari sekali, tetapi dapat juga dilakukan setiap hari pada kasus-kasus tertentu. 4) Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi perbaikan kondisi, dan respons pasien terhadap terapi atau pengobatan. Lalu ketika keputusan DNR tidak jadi diambil mengingat mungkin saat pasien atau keluarga pasien ketika memutuskan tindakan DNR mungkin sepenuhnya belum memikirkan secara matang keputusan mereka. Maka dapat dilakukan pembatalan keputusan DNR dengan mengisi bagian pembatalan di formulir DNR yang harus dilengkapi atau diisi dengan dituliskan tanggal dan ditandatangani oleh dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau oleh konsultan. Pembatalan ini harus dengan jelas dicatat di dalam rekam medis pasien.
    Seperti itu saudara Yoga, semoga terjawab dan bermanfaat.

    Sumber :
    Sutoto. 2014. Hak Pasien dan Keluarga: Panduan DNR (Do Not Resuscitate). SNARS-Standart Nasional Akreditasi Indonesia. Komisi Akreditasi Rumah Sakit
    T. S. Pradjonggo.(2016).Suntik Mati (EUTHANASIA) Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.Malang : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

    -Stanley Lovell H (41170207)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih saudara Stanley atas jawabannya

      Hapus
  33. Terima kasih atas ulasannya. Mohon diperbaiki beberapa kesalahan ketik di naskah utama. Mohon refleksi per anggota dilengkapi (ada yang tidak lengkap).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih banyak Dok untuk revisinya.

      Hapus
  34. Informasi yang menarik! Namun, saya mau bertanya apakah ada pertimbangan atau aspek2 yang tertulis mengenai dilakukannya DNR? Apa saja negara di Asia yang melegalkan tindakan euthanasia? Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Novembeln! Terima kasih atas tanggapan dan pertanyaannya.

      Terkait dilakukannya DNR tentu memiliki beberapa aspek atau pertimbangan yang dilakukan dan tindakan DNR diputuskan dengan kebijakan seperti :

      1.Sebelum DNR ditulis atau ditetapkan, harus diadakan diskusi antara dokter yang merawat dengan pasien atau pembuat keputusan pengganti.
      2.Pasien tanpa keputusan dengan dokumen perencanaan awal untuk tidak dilakukan resusitasi yang valid, merupakan indikasi untuk permintaan penetapan DNR.
      3.Kebijakan yang mempertimbangkan klausa kesia-siaan (futility), yaitu perintah DNR dapat dituliskan apakah pasien atau pengganti setuju, jika dua dokter menganggap bahwa upaya resusitasi sia-sia, dengan artian tidak akan mengembalikan fungsi jantung paru atau mencapai tujuan yang dinyatakan dari pasien yang sadar dan sudah setuju.
      4.Keputusan DNR akan ditetapkan dalam bentuk tertulis (resmi) dalam surat Durable Do Not Resuscitate Order, salah satu contohnya seperti formulir di Virginia Department of Health.
      5.Surat pernyataan DNR harus dipastikan terlebih dahulu, untuk menghindari adanya kemungkinan ketidak resmian dari keputusan atau hal itu sebenarnya bukanlah keinginan pasien. Seperti dalam kasus ini, tato pada pasien mungkin dibuat saat pasien dalam keadaan mabuk atau adanya paksaan dari orang lain dan bukan keinginan pasien sendiri.
      Melihat pertimbangan ini maka pelaksanaan DNR di Amerika tetap terikat pada hukum yang berlaku dan dilaksanakan dengan penuh pertimbangan dan keputusan yang sebijak mungkin.

      Terkait pertanyaan Novemberln yang kedua, sampai saat ini kelompok penulis belum menemukan negara di Asia yang melegalkan tindakan Eutanasia. Kelompok penulis hanya mendapatkan negara-negara Eropa saja seperti Amerika dimana sudah ada pembahasan tertulis di hukumnya.
      Semoga jawabannya bermanfaat, terima kasih.

      Anastasia Aprilia T - 41170202

      Sumber :
      AMA Journal of Ethics. (2003). "Policy Proposal: Do Not Resuscitate Orders, A Call for Reform". Illuminating the Art of Medicine.
      The American Heart Association (AHA).

      Hapus
  35. terimakasih atas artikelnya, saya ingin bertanya perihal perspektif dari penulis terhadap kasus euthanasia dan apa yang dapat dilakukan sebagai seorang mahasiswa kedokteran ketika melihat atau mengetahui adanya kasus seperti kasus diatas? danke.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Stanley Lovell H27 Mei 2020 pukul 15.08

      Terimakasih atas pertanyaanya saudara Btara,
      Mengenai perspektif terhadap kasus euthanasia tentunya akan sangat banyak perspektif atau sudut pandang yang ada. Salah satunya setiap manusia memiliki hak untuk memilih bagaimana jalan kehidupannya, dan kita sebagai manusia lain tentunya harus menghormati pilihannya tersebut. Namun yang perlu diingat adalah kita hidup sebagai manusia yang dikaruniai akal budi dan hati nurani dimana memberikan kesempatan kita untuk menyelamatkan seseorang yang perlu pertolongan dalam hidupnya. Sebagai dokter kita akan dapat menolong dari sisi medis dan sebagai manusia yang dibungkus oleh etika, moral, dan agama yang dianut tentunya akan berusaha menolong dari sisi permasalahan kehidupan orang tersebut hingga pada akhirnya keputusan euthanasia tidak menjadi keputusan akhir. Pada agama tertentu contohnya seperti Islam dan Kristen, seseorang tidak memiliki hak untuk menyelesaikan hidup orang lain tetapi hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan kuasa atas kehidupan dan kematian seseorang. Dengan kata lain tindakan euthanasia tidak menjadi pilihan pada sudut pandang ini. Sesuatu yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa kedokteran adalah lebih belajar lagi untuk menghormati suatu kehidupan dan mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa karena hanya dari sanalah kita mendapat pertolongan dan karakter kita dibangun agar setiap pilihan yang diambil merupakan kehendak-Nya.
      Seperti itu saudara Btara semoga terjawab dan membantu.

      -Stanley Lovell H (41170207)

      Hapus
  36. selamat sore, terima kasih atas artikelnya kelompok 4...
    Disini saya ijin bertanya tentang euthanasia sendiri... apakah misal ada pasien dg keadaan sakit parah, misalkan sudab kanker stadium akhir, lalu pasien tsb meminta untuk memutuskan kontrak teurapetik atau memberhentikan pengobatan. Apakah ini bisa dimasukkan dalam kategori euthanasia sendiri karena membiarkan pasien tanpa pertolongan? bagaimana sikap dokter sebaiknya mengenai masalah ini .. terimakasih, semangat
    patrick 41170104

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat sore patrick, terima kasih atas pertanyaannya.

      Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu euthanatos yang berarti mati dengan baik tanpa penderitaan. Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan bahwa euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Kemudian euthanasia dapat dibagi jenisnya menjadi euthanasia aktif dan pasif. Dimana euthanasia aktif berarti mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kematian, seperti menyuntikan cairan yang dapat mengakhiri hidup seseorang. Sedangkan euthanasia pasif berarti mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan atau mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan biasa yang sedang berlangsung. Dari artian tersebut, kasus seperti yang tertera dipertanyaan, dimana pasien meminta untuk memutuskan kontrak terapeutik atau memberhentikan obat, termasuk dalam tindakan euthanasia pasif. Karena hukum euthanasia di Indonesia belum diatur secara tegas dan masih mengacu pada KUHP pasal 344 yang berbunyi: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, seharusnya dokter menolak melakukan tindakan tersebut, sekalipun keluarga pasien menghendaki. Selain itu, secara hukum, norma sosial, agama, dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan. Dalam kasus di atas, terkait dengan kanker stadium akhir atau penyakit yang sudah tidak bereaksi dengan pengobatan kuratif, dokter dapat meyakinkan pasien untuk tetap melanjutkan pengobatannya atau memberikan pilihan terapi paliatif. Terapi ini berfokus pada meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan dukungan bagi pasien dan keluarga yang menghadapi masalah terkait dengan kondisi pasien dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi dini, penilaian yang seksama, dan mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan tenang dan nyaman tanpa merasa tertekan atas penyakit yang diderita, baik secara fisik, maupun psikis yang berbasis spiritual, serta pelayanan masa duka cita bagi keluarga. Tujuan terapi paliatif bagi setiap pasien berbeda-beda dan dibuat dengan memperhatikan hal yang ingin dicapai oleh pasien bila memungkinkan, hal ini biasanya disampaikan dalam bentuk fungsi tubuh seperti Saya ingin bisa melakukan... atau kejadian penting seperti Saya ingin melihat anak saya menikah.

      Semoga jawaban yang diberikan dapat membantu, terima kasih.

      - Virgina Glory B (41170151)

      Sumber:
      Amiruddin, M. 2017. Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia di Negara Yang Menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental dan Sistem Hukum Anglo Saxon. Universitas Islam Negeri. Makassar
      Kartono, M. 1992. Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Bioetika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
      Kementrian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Teknis Pelayanan Paliatif Kanker. Indonesia

      Hapus
  37. Selamat malam, artikel ini menarik untuk dibahas.
    Saya ijin bertanya sekaligus bertukar pendapat, bahwa saya pernah menonton drama yang memiliki inti cerita DNR seperti artikel ini. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana sikap kita sebagai dokter kelak apabila menjumpai kasus serupa namun keluarga yang mengantar memohon pada kita untuk melakukan semaksimal mungkin menolong pasien tsb? Mana yang harus kita pilih? Terimakasih atas kesempatannya untuk dapat bertanya.
    Oey, Yedida Stephanie S 41170190

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aureliya Stefani25 Mei 2020 pukul 14.05

      Terimakasih fanny atas pertanyaannya, saya akan mencoba menjawab. Pada contoh kasus pasien tidak dapat berkomunikasi untuk menentukan penatalaksanaan yang terbaik dan juga tidak terdapat keluarga atau kerabat untuk mendiskusikan tatalaksana yang akan diberikan, sehingga dokter memutuskan untuk menghormati keputusan (hak otonomi) pasien berdasarkan tato "Do not resucitate" yang ada. Menurut saya, jika ditemukan kasus serupa dimana pasien meminta DNR tetapi tidak diserta surat permintaan DNR yang resmi, pasien tidak dalam keadaan sadar, sedangkan masih ada anggota keluarga yang dapat diajak berdiskusi dan anggota keluarga tersebut meminta untuk tetap dilakukan pertolongan, maka dokter sebaiknya mengikuti keputusan yang dipilih oleh keluarga. Di Indonesia sendiri eutanasia masih di larang, dan dapat terancam pidana karena melanggar pasal Pasal 344 KUHP
      “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Selain itu dokter juga harus menjalankan kode etik kedokteran Pasal 11 : "Seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk
      meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak
      untuk mengakhirinya"

      Semoga jawaban ini bisa membantu dan bermanfaat. Terimakasih.

      Aureliya Stefani (41170133)

      Sumber :
      Purwadianto, A., dkk. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

      Hapus
  38. Selamat malam. Terima kasih untuk artikel yang menarik dan informatif ini.
    Apabila dilihat dari penyampaian materi dan diskusi dalam kolom komentar, sepertinya saya menangkap bahwa kembali lagi, apapun yang menjadi keputusan dokter, tentu akan ada risiko pelanggaran etika/hukum tertentu.
    Saya penasaran, dengan risiko yang pasti akan diterima saat memutuskan dilakukan maupun tidak dilakukan RJP pada pasien dengan DNR ini, maka sebagai dokter keputusan mana kah yang paling baik untuk kasus DNR ini jika terjadi di Indonesia? Alasannya apa?

    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat malam, terimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya kak Christyowati, saya akan menjawab pertanyaan mengenai rirsiko pelanggaran etika/hukum dalam kasus dilakukan dan tidaknya resusitasi, dan peraturan di Indonesia mengenai DNR. Mengenai hal tersebut, dalam menentukan keputusan apakah DNR dilakukan atau tidak sebenarnya semua kembali ke pihak dokter. Keputusan yang dibuat biasanya berdasarkan naluri dan sifat emosional dokter, mereka harus menempatkan diri sebagai seorang dokter dengan dedikasi untuk menyelamatkan pasien sesuai janji sumpah dokter atau menghargai keputusan pasien untuk melakukan euthanasia. Pada dasarnya, Indonesia melarang tindakan euthanasia dan lebih mementingkan keselamatan pasien. Larangan dan hukuman ini terdapat pada KUHP pasal 344 yang berbunyi: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Berdasarkan KODEKI 2012, menurut agama, Undang Undang Negara, serta Etik Kedokteran, dokter dilarang untuk menggugurkan kandungan (abortus provocatus) dan mengakhiri hidup seseorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak akan sembuh lagi (euthanasia)
      . Oleh karena itu, apabila terdapat kasus DNR di Indonesia, maka dokter wajib menyelamatkan hidup pasien semaksimal mungkin dengan melakukan RJP dengan mengesampingkan hal-hal yang mungkin terjadi setelah diberi pertolongan. Hal ini sesuai dengan KUHAP pasal 13, dimana dokter wajib memberikan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan.
      Semoga bisa menjawab atas pertanyaan yang kakak berikan. Terimakasih.
      (Jessica Chandra S_41170198)
      Sumber : Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. (2004). Kode Etik Kedokteran dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran, (29), 1024–1028. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

      Hapus
  39. Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapannya. Semoga bermanfaat. Terimakasih

      Hapus
  40. Trimakasih atas artikel yang sangat menarik
    Saya ingin bertanya, bagaimana jika dilakukan resutisasi pada pasien tersebut dan saat pasien tersadar, ia marah-marah dan tidak menerima bahwa ia masih hidup.
    Bagaimana tindakan yang bisa dilakukan tenaga kesehatan yang menolong pasien tersebut ?


    Thankyou
    Youlla Anjelina ( 41170153)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Youlla atas pertanyaannya.
      Ijinkan saya menjawab ini menurut pandangan pribadi saya, karena memang ini permasalahan yang sangat membingungkan, dimana jika kita memposisikan diri sebagai dokter/tenaga kesehatan, kita berada diantara harus melakukan tugas sebagai dokter atau menghormati keputusan pasien itu sendiri.

      Namun, kembali lagi kepada diri sendiri, jika kita lebih mengutamakan keselamatan pasien sebagai salah satu prioritas diatas apapun, lakukan semampu kita untuk menolong pasien tersebut. Tapi, jika kita lebih mengutamakan dan menghargai otonomi pasien sebagai individu yang mempunyai hak terhadap dirinya, maka hargai apapun yang menjadi keputusannya.
      Sehingga diharapkan kelak ketika kita sudah membuat dan melakukan suatu keputusan disaat ke-serbasalahan ini, kita tidak akan menyesal karena telah melakukan sesuatu yang menjadi prioritas kita sejak awal walaupun kita harus menerima sanksi atas keputusan itu.

      Kemudian ketika kita menemukan pasien yang tidak terima karena telah diresusitasi, kembali lagi apakah memang kita sudah mengetahui ada surat resmi atas DNR itu? jika memang kita sudah mengetahui, ini bisa kita asumsikan bahwa kita memang memprioritaskan keselamatan pasien terlebih dahulu, mungkin kita bisa memberikan pengertian bahwa sebagai tenaga kesehatan kita hanya melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan hidup seseorang. Selebihnya, biarkan pasien yang membuat keputusannya. Semoga membantu.

      Brigita Suci/41170197

      Hapus
  41. Halo kelompok 4, terima kasih atas penulisan artikelnya yang sangat menarik.
    Saya ingin bertanya, Apakah form DNR ini berlaku seumur hidup atau ada batasan waktu?
    Hal-hal apa saja yang perlu di lakukan oleh dokter ketika mendampingi pasien yang mengisi form DNR baik itu sebelum pengisian, saat pengisian dan sesudah pengisian?
    Terima kasih

    Jonathan Dave 41170168

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mary Rose (41170145)25 Mei 2020 pukul 14.26

      Terimakasih Jonathan untuk tanggapannya mengenai artikel kami. Form DNR yang sudah diisi akan berlaku untuk seumur hidup. Akan tetapi form DNR dapat diubah sewaktu-sewaktu sesuai dengan keputusan pasien, keluarga, atau wali yang sah. Formulir DNR juga dapat dipertimbangkan kembali apabila terdapat beberapa keadaan seperti:
      1. Pasien mengubah keputusannya atau,
      2. Terdapat perubahan substansial pada status kesehatan pasien/residen atau,
      3. Pasien dirawat dengan fasilitas baru.

      Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum, saat, dan sesudah pengisian DNR adalah:

      a) Sebelum pengisian
      1. Perawat dan Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) telah melakukan observasi dan evaluasi terhadap kondisi pasien.
      2. DPJP sudah memberikan informasi serta risiko dari prosedur apabila sudah memutuskan untuk mengisi form DNR.
      3. Pasien telah berkonsultasi dengan dokter yang berwenang sebelum pengisian DNR
      4. Pasien sudah dinyatakan kompeten untuk mengambil keputusannya sendiri

      b) Saat pengisian
      5. Pengisian formulir DNR tidak boleh diberikan sesaat setelah pemberian diagnosis
      6. Saat pengisian formulir, sebaiknya pasien dalam keadaan tenang dan dapat berpikir dengan jernih.
      7. Memperhatikan kondisi ruangan, sehingga pasien merasa tenang saat pengisian form dan tidak merasa tertekan serta dapat berpikir secara rasional.

      c). Setelah Pengisian
      8. Memasangkan gelang ungu pada pasien sebagai penanda bahwa pasien tidak ingin diresusitasi apabila diperlukan.

      Semoga informasi yang sampaikan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan. Terimakasih.

      Sumber :
      Panduan Hak dan Kewajiban Pasien Dalam Pelayanan. (2018). Bali: RSUD Kabupaten Buleleng.

      Hapus
  42. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  43. Hai, terima kasih kelompok 4, artikelnya sangat menarik untuk dibahas.
    Disini ada 2 kasus yang ingin saya tanyakan terkait euthanasia
    1. Saya pernah mendengar mengenai pelayanan Comfort Care pada pasien yang sudah sakit dalam jangka waktu lama dan mungkin juga sudah sangat sedikit yang bisa dilakukan oleh dokter untuk kedepannya. Maka pada Comfort Care ini, fokusnya adalah membuat saat-saat terakhir pasien senyaman mungkin. Yaitu dengan tidak lagi memantau tanda-tanda vital, tes lab, maupun pengobatan terkait dengan penyakitnya. Namun pasien masih diberikan obat2 penghilang nyeri, anti ansietas, dan pasien diperbolehkan makan atau minum apapun yang disuka. Apakah hal tersebut masuk ke dalam euthanasia pasif?
    2. Kasus yang hampir sama, apabila semisal ada pasien yang koma dan hanya bisa mengandalkan ventilator, tidak ada tanda2 pulih kembali. Apakah jika keluarga memutuskan untuk melepaskan ventilator apakah hal tersebut diperbolehkan oleh hukum Indonesia?

    Sekian pertanyaan dari saya, terima kasih

    Diana Teresa (41170147)

    BalasHapus
    Balasan
    1. halo Tes, aku coba bantu jawab ya
      1. Nah kalau meninjau dari pengertian euthanasi apasif, yaitu "segala tindakan dimana bentuk pertolongan dan atau pengobatan yang diperlukan tidak dilakukan untuk melanjutkan hidup" maka comfort care tidak termasuk sebagai euthanasi pasif, karena walaupun tidak membeiri support yang seharusnya, akan tetapi comfort care memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas dari pasien yang bersangkutan, dan ini sangat bertentangan dengan makna euthanasia secara umum.
      2. Dari PMK No 37 tahun 2014 yang kamu sebut termasuk dalam pengertian Penghentian terapi bantuan hidup (with-drawing life supports) adalah menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah diberikan pada pasien dan ini sudah boleh dilakukan karna ada peraturan tersebut, yang dipertegas dari pasal 15 yang tertulis "Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup".
      semoga membantu jawabannya, Tes.
      Sumber:Zhukovsky D (2019). Primer of Palliative Care. American Association of Hospice and Palliative Medicine. ISBN 9781889296081.
      Harris, NM. (October 2001). "The euthanasia debate". J R Army Med Corps. 147 (3): 367–70. doi:10.1136/jramc-147-03-22. PMID 11766225.
      Iannugrah Pandung Wibowo-41170124

      Hapus
  44. Sangat menarik, karena sebagai dokter sudah sewajarnya bertugas untuk menviba memberikan yang terbaik kepada pasien dan mengusahakan pengobatab terbaik dan bukan sebaliknya. Good job

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih atas tanggapannya, semoga bermanfaat :)

      Hapus
  45. Postingan yang bagus dan menarik. Saya mau bertanya, apakah seluruh RS di Indonesia telah menerapkan euthanasia? Kemudian faktor apa saja yang dapat menyebabkan euthansia aktif dapat diterapkan baik oleh dokter maupun pihak RS? Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Jesivaa. Terima kasih sudah menyempatkan waktu nya untuk membaca artikel nya dan memberikan beberapa pertanyaan kepada kami. Baik disini kami akan menjawab pertanyaan Jessiva, semoga anda puas dengan jawaban kami.
      - Untuk saat ini perkembangan euthanasia di Indonesia masih belum memiliki aturan dan perundang-undangan sendiri sehingga masih banyak yang menentang praktik euthanasia di Indonesia karena juga di Indonesia masih menekankan HAM, menurut pasal 1 ayat 1 UU no 39 tentang HAM disitu ditekankan bahwa HAM merupakan anugrah yang wajib dihormati dan diawasi langsung oleh negara. Euthanasia pun bertentangan dengan hukum pidana pasal 338 hingga 345 mengenai penghilangan nyawa seseorang. Namun apabila dikaji kembali penerpaan euthanasia akan memberikan dampak positif kepada pihak RS karena hal ini akan mengurangi beban biaya yang ditanggung RS untuk melayani pasien tersebut dan jumlah ruangan untuk pasien baru pun akan lebih tersedia. Akan tetapi hal ini kembali lagi pada karena belum adanya aturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang euthanasia pihak RS enggan untuk menerapkan euthanasia karena pihak RS takut berurusan dengan HAM.
      - Menurut UK Medical, euthanasia pasif dapat dilakukan jika
      1. Seseorang pasien yang kompeten secara mental telah menyatakan untuk tidak diresusitasi
      2. Jika terdapat surat wasiat dari pasien yang menyatakan jika ia tidak ingin di resusitasi
      3. Kondisi pasien yang sudah parah sehingga tidak di mungkinkan untuk dilakukan resusitasi.
      4. Jika resusitasi berhasil namun akan memberikan kualitas hidup yang buruk pada pasien tersebut.
      5. Keluarga korban menyetujui untuk dilakukan euthanasia
      Sumber
      - https://gc.ukm.ugm.ac.id/2016/05/euthanasiadapatkah-dilakukan-di-indonesia/
      - http://www.bbc.co.uk/ethics/euthanasia/overview/dnr.shtml
      Nama : H Fajar Kesuma
      Nim : 41170193

      Hapus
  46. Artikel yang sangat menarik
    Saya Ade Novita P (41170156) dari kelompok !

    Saya ingin bertanya kepada teman-teman.
    1. Apakah dokter di Indonesia bisa melakukan euthanasia? jika bisa mohon dilaskan, jika tidak apakah dengan surat persetujuan yang ditandatangani pasien untuk melakukan prosedur ini tidak cukup?
    2. Tolong berikan pendapat teman teman sebagai calon dokter, terkait "seorang dokter harus menghargai setiap insan" dan peroseur euthanasia
    3. Apakah ada undang undang terkait euthanasi di Indonesia?

    Terimakasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Novi untuk pertanyaannya , berikut untuk jawaban pertanyaannya :
      1. Jadi untuk dokter di Indonesia tidak dijinkan untuk melakukan euthanasia, sesusai dengan kode etik kedokteran di Indonesia juga pasal 10 mengatakan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup insani dengan kata lain yaitu hidup dari pasien itu sendiri, kemudian kaitannya dengan kasus surat DNR yang ditandatangani pasien itu datang setelah dilakukannya euthanasia pasif, tetapi mengingat bahwa kejadian tersebut terjadi di Amerika, dan memiliki kode etik yang berbeda dimana otonomi pasien lebih dijunjung tinggi, Kembali lagi jika Indonesia hal tersebut tidak diperbolehkan, bahkan apabila itu permintaan dari keluarga ataupun pasien, seorang dokter harus tetap mempertahankan dulu bahwa keputusan euthanasia itu dilarang oleh Indonesia.
      2. Tentu saja sesuai dengan artikel yang kami angkat disini, bahwa melindungi nyawa insani yaitu nyawa pasien sendiri itu merupakan hal yang terpenting, bahkan dalam keadaan pasien seperti apapun kita sebagai dokter nantinya harus tetap melakukan tindakan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa pasien yang dalam bahaya dengan keterampilan, wawasan, pengetahuan , serta etika dan moral yang kita miliki. Untuk prosedur euthanasia sendiri itu pertama muncul kasusnya pada tahun 2004, dan menurut kelompok kami itu bukanlah suatu keputusan yang tepat dalam arti menentukan nyawa pasien walaupun tidak dilakukan secara langsung seperti halnya kasus di atas yaitunya euthanasia pasif.
      3. Pada artikel utama bagian dasar-dasar etika sudah dicantumkan bahwa salah satunya di Indonesia sudah ada Undang-undang yang mengatur yaitu berasal dari KUHP pasal 344 yang berbunyi “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Selain itu dokter juga harus menjalankan kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 11 : "Seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak
      untuk mengakhirinya". Jadi dari awal sudah ada peraturan yang mengatur soal euthanasia di Indonesia, itulah mengapa dokter di Indonesia tidak diperbolehkan untuk melakukan Tindakan eutahansia, baik aktif maupun pasif.

      Yofani Wahyu Perdana_41170199

      Sumber :

      Purwadianto, A., dkk. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
      Amiruddin, M. (2017). Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia Di Negara Yang Menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Sistem Hukum Anglo Saxon. Jurisprudentie : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum, 4(1), 83. https://doi.org/10.24252/jurisprudentie.v4i1.3666

      Hapus
  47. Artikel yang sangat menarik

    Saya ingin bertanya
    1. Apabila ada kasus yang mirip seperti ini di Indonesia , kira-kira apa tindakan tenaga medis dalam menangani pasien ?
    2. Bagaimana pengaturan berkas DNR yang dilakukan di Indonesia ?

    Lucia Vini P Rodja_41170158

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Vini, terima kasih atas tanggapan dan pertanyaannya!

      1. Jika kejadian ini terjadi di Indonesia, tentu saja seorang dokter harus menolong pasien tersebut. Hal ini terkait dengan kewajiban dokter yang tertera dalam KODEKI dimana seorang dokter harus mengupayakan segala sesuatu untuk menyelamatkan pasien dan berhubung dengan pasal 584 RUU KUHP 2012 yang menegaskan bahwa tindakan eutanasia tidak diijinkan di Indonesia walaupun dilakukan oleh seorang dokter dengan persetujuan pasien. Dengan ini tato pada pasien tidak bisa menjadi alasan seorang dokter di Indonesia untuk tidak melakukan pertolongan pertama, karena dokter Indonesia terikat dengan kode etik kedokteran Indonesia dan peraturan hukum yang berlaku di negara Indonesia.
      Selain itu walaupun tidak ada keluarga yang mendampingi, dokter di Indonesia juga bisa melakukan pertolongan pertama tanpa harus menunggu persetujuan keluarga, karena jika terlambat melakukan pertolongan, pasien kemungkinan tidak akan tertolong, hal ini tertera dalam KODEKI 2012.

      2. Pengaturan berkas DNR baik secara hukum maupun etika profesi di Indonesia belum tertulisi karena DNR masih merupakan tindakan yang digolongkan ke dalam Eutanasia Pasif yaitu perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan/pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia. Dalam hal ini bahasan tentang Eutanasia Pasif diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) bab 16 dan KUHP pasal 344 dimana tertulis
      “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
      Mengetahui hal ini maka kita tahu pasti bahwa negara Indonesia belum menyetujui tindakan DNR tersebut.
      Semoga informasinya bermanfaat! Terima kasih..

      Anastasia Aprilia T - 41170202

      Sumber :
      Purwadianto, A., dkk. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
      KUHP pasal 344.
      RUU KUHP (2012) Pasal 584.

      Hapus
  48. Terimakasih atas artikel yang sangat menarik kelompok 4. saya ingin bertanya apabila ada orang asing di Indonesia dengan tatto DNR sama seperti kasus, apa yang harus dokter indonesia lakukan? akankah tetap untuk melakukan resusitasi? dan apakah setiap dokter harus mengikuti kode etik yang belaku di masing-masing negara? jadi misal dokter luar di Indonesia harus mengikuti KODEKI? terimakasih

    intan saraswati/ 41170194

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai saras terimakasih atas kesediaan nya membaca artikel kami dan memberi pertanyaan. Disini kami mencoba menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh kamu ya, semoga puas.

      jika da orang asing di Indonesia dengan tatto DNR sama seperti kasus, apa yang harus dokter indonesia lakukan? jawabanya ialah tetap melakukan RJP karena apa karena segala jenis permintaan pasien yang diminta secara langsung ataupun tidak langsung maupun tertulis dan tidak tertulis yang menyebabkan meninggalnya pasien bisa di kenakan hukum pidana dan kode etik kedokteran indonesia.

      apakah setiap dokter harus mengikuti kode etik yang belaku di masing-masing negara? jadi misal dokter luar di Indonesia harus mengikuti KODEKI?
      jawaban: benar sekali seperti kata pepatah "di mana bumi di pijak di situ pula langit di junjung" jadi ketika ada dokter luar negeri melamar menjadi dokter di indonesia mereka harus "di sekolahkan lagi" untuk penyamaan ilmu atau kesetaraan dan pengenalan kode etik di indonesia.Begitu pula sebaliknya dokter indonesia melamar kerja jadi dokter di luar negeri.

      terimakasih
      Mesakh Malvin Wardhana_41170192

      sumber:jusuf hanfiah,m (2016) Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan edisi 5 bab 16 tetang Euthanasia EGC: Jakarta
      2.https://news.detik.com/berita/d-3225603/dokter-wni-lulusan-luar-negeri-berjuang-agar-bisa-praktik-di-indonesia

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS ETIKA KELOMPOK 6 - KASUS ABORSI

TUGAS ETIKA KELOMPOK 5 - PEMALSUAN DIAGNOSA REKAM MEDIS

KASUS MALPRAKTIK KELOMPOK 1 - MALPRAKTIK PADA SITI CHOMSATUN - TIROIDEKTOMI BERUJUNG SESAK NAFAS